Episode 13

"Itulah kenapa, Bapak sering mengingatkan Neng dan Nak semua, agar jangan melamun. Sebisa mungkin diisi dengan dzikir," ucap Pak Obi dengan suara yang menenangkan. "Sesungguhnya, gangguan jin dan setan itu nyata."

Kami semua yang hadir menganggukkan kepala. Siang ini, kami berkumpul lagi di Radio Rebel dan sedang membicarakan kejadian antara Adul dan Kokom tadi malam.

Selain itu, Kang Saija ingin bertemu kami, buntut dari laporan Bang Win yang mengatakan jika studio satu dalam keadaan kacau dengan beberapa peralatan yang rusak setelah studio tersebut menjadi tempat Adul dan Kokom saling serang.

Keduanya hari ini tidak bisa datang, karena Emak dan Bu Munah mengatakan bahwa anak-anak mereka menderita demam tinggi. Jadinya hanya aku, Bang Win, Kang Utep, Teh Opi dan Teh Hani yang akan bertemu dengan Kang Saija sebagai saksi di tempat kejadian.

"Dari segi ilmiah, kesurupan dianggap sebagai gangguan kejiwaan. Penyebab utamanya adalah stres akibat tekanan mental. Tekanan mental yang terjadi bisa diakibatkan hal yang terjadi di rumah, sekolah, atau tempat kerja. Di saat mental sedang turun, manusia cenderung putus hubungan dengan pikiran, memori, lingkungan sekitar, pergerakan, maupun identitas dirinya. Di saat seperti itu, ditambah gangguan dari jin dan setan, maka terjadilah yang namanya kesurupan," jelas Pak Obi.

"Wah, Pak. Bapak tau banyak ya?" kata Kang Utep dengan wajah kagum.

Pak Obi terkekeh, "Dulu waktu masih bekerja di stasiun, Bapak bersahabat baik dengan seorang penarik becak sekaligus petugas kebersihan yang berhasil mengantarkan anaknya menjadi seorang dokter. Anaknya masih sering mengunjungi Bapak, dan kami sering bertukar pikiran."

"Masya Allah, keren banget," seru Teh Opi.

"Bapak cuma titip pesan. Dijaga sholatnya, dipersering dzikirnya. Insya Allah, kita semua selalu dalam perlindungan Allah SWT," lanjut Pak Obi.

"Aamiin," ucap kami semua spontan, sebelum beliau pamit untuk makan siang.

***

"Saya harus ngomong gimana ke Teh Rebel ya?" lirih Kang Saija. "Peralatan yang rusak harganya lumayan euy."

"Cerita aja apa adanya, Kang. Nanti saya bantu ngomong," saran Bang Win.

"Saksinya kita kok, Kang. Kalau kejadian tadi malam itu bener-bener ketidaksengajaan," tambah Kang Utep.

Kang Saija menganggukkan kepala untuk beberapa saat, sebelum meraih ponselnya dan menghubungi Teh Rebel yang kebetulan sedang berada di Bandung.

"Teh Rebel bilang, dia akan nyempetin mampir ke sini. Tapi belum tau jam berapa bisanya. Dia lagi sibuk, karena dua novelnya diadaptasi menjadi film layar lebar, dan ikut terlibat kegiatan syuting."

"Wih keren banget," seruku spontan.

"Emang," balas Teh Hani berbisik.

"Tolong siapin aja laporan tertulisnya ya, Win? Sekalian estimasi harga peralatan yang rusak. Ngga mungkin juga kita minta ganti rugi ke Adul sama Kokom, orang mereka ngga sengaja," sahut Kang Saija menghembuskan napas panjang. "Oh iya, udah ada kabar lanjutan dari pihak kepolisian terkait kebakaran kemaren?"

"Belum. Win sama Utep udah keliling sekitar kantor lama untuk nyari cctv yang aktif. Tapi hasilnya nihil. Ngga terlihat ada orang yang mencurigakan yang masuk ke kantor."

Kang Saija mengangguk, "Ya udah kalau gitu. Kita tunggu penyelidikan dari pihak kepolisian."

Aku menatap Bang Win yang mengangguk pelan sebelum ia balas menatapku lekat.

***

Sesudah jam makan siang, hujan turun dengan deras dan membuat beberapa penyiar yang sudah selesai siaran mengurungkan niat untuk pulang. Mereka sedang membicarakan topik hangat yaitu perkelahian antara Adul dan Kokom. Kebanyakan menyangka, jika mereka berdua bertengkar karena hubungan asmara.

Bu Munah dan Emak Adul juga sempat datang ke sini untuk meminta maaf, dan menyatakan siap mengganti kerusakan, walaupun setelah tau harga peralatan yang rusak, wajah keduanya seketika pucat pasi. Kang Utep berusaha menenangkan, dengan mengatakan jika biaya tidak akan dibebankan pada mereka, karena yang Adul dan Kokom lakukan didasari oleh ketidaksengajaan. Namun, keputusan akhir ada di tangan Teh Rebel selaku pemilik utama radio ini. Keduanya mengangguk mengerti sebelum berpamitan pulang.

***

Menjelang sore, saat kantor sudah mulai sepi, sebuah mobil memasuki halaman dan sosok Teh Rebel keluar dari bangku pengemudi. Setelah menyapa kami yang sedang berada di teras, ia mengajak kami memasuki ruang meeting. Namun sebelumnya, ia melihat kondisi peralatan yang rusak di studio satu.

"Jadi kejadiannya gimana?" tanya Teh Rebel ketika kami sudah duduk di ruang meeting. Teh Opi dengan lancar menceritakan kejadian tadi malam yang didengarkan secara seksama oleh kami semua.

"Axava Kalara," sebut Teh Rebel yang membuatku sontak mengangkat wajah.

Tidak terlihat rasa takut di wajah Teh Rebel. Ia memandang kosong ke arah jendela berkaca mozaik dan tersenyum sekilas.

"Dokter Tama adalah tunangan Nday," ucapnya mulai bercerita. "Dia adalah senior kami di radio kampus yang pernah saya ceritakan. Ia alumni universitas yang sama dengan kami, dan juga menyukai dunia penyiaran. Itulah kenapa, walaupun sudah lulus dan menjadi seorang dokter spesialis, sesekali ia masih sering mampir.

Dari awal, keduanya cukup dekat karena Tama yang berprofesi sebagai dokter, dan Nday yang sering kali keluar masuk rumah sakit. Hubungan keduanya semakin intens dan bertahap menuju ke jenjang yang serius sampai akhirnya bertunangan.

Setelah bertunangan, saya seringkali mengantar Nday ke rumah sakit tempat praktek Tama. Di sanalah kami mengenal seorang gadis berusia lima belas tahun, saat ia pertama kali memeriksakan diri karena menderita gangguan kejiwaan yang kompleks.

Hubungan Tama dan Axava tidak lebih dari hubungan antara dokter dan pasien, dan Nday tau persis hal ini. Namun, pendekatan yang dilakukan oleh dokter kesehatan jiwa berbeda dengan dokter lain. Tama harus melakukan pendekatan mendalam untuk memonitor keadaan kejiwaan Axava. Sayangnya, hal ini disalah pahami oleh Axava sendiri dan membuatnya berusaha memanipulasi keadaan. Hal pertama yang ia lakukan adalah mencoba menggoyahkan Nday terkait hubungannya dengan Tama. Tanpa Axava sadari, Tama sudah menceritakan semuanya pada Nday, sehingga Nday tidak terpengaruh sama sekali sewaktu Axava bilang jika Tama menyukainya.

Melihat Nday yang tidak terpancing, sayalah sasaran selanjutnya. Ia memfitnah saya memiliki hubungan dengan Tama. Untungnya, Nday lebih dulu mengenal saya, dan percaya penuh pada saya. Langkahnya kembali terhenti, oleh kedekatan saya dan Nday yang solid.

Langkah terakhir, ia menggunakan Tama. Tama tau jelas jika dia sedang dimanipulasi, dan tau jelas seberapa berbahayanya seorang Axava. Dengan pertimbangan keselamatan Nday, Tama mundur dari pertunangan. Nday sendiri melampiaskan keterpurukannya, dengan bekerja giat membangun Radio Rebel. Hingga akhirnya, ia meninggal di tengah-tengah usaha kerasnya.

Dari berita yang saya dengar dan baca, Axava sendiri pada akhirnya bu*nuh diri. Di media cetak, Tama memberi kesaksian jika gangguan kejiwaan Axava bertambah parah, serta memunculkan karakter lain yang mendominasi, sehingga sosok Axava asli tenggelam dan kehilangan jati diri. Itulah kenapa, peristiwa bu*nuh diri itu terjadi."

"Teh Rebel tau banyak tentang Axava Kalara, ya?" tanya Teh Hani lirih.

"Jelas tau, beberapa tahun setelah kejadian bu*nuh diri Axava. Saya kembali bertemu dengan Tama, dan tanpa disangka menjadi dekat. Hingga akhirnya, sekarang kami sudah memiliki tiga orang putra."

Teh Hani dan Teh Opi terbelalak kaget, sedangkan aku yang sudah tau dari Bang Win, jika dokter Tama adalah suami Teh Rebel hanya bisa menahan tawa melihat ekspresi keduanya.

"Terus, kok bisa sih, Teh? Setannya Axava nyasar ke kantor ini," tanya Teh Opi dengan nada penasaran.

"Rumah sebelah kanan bangunan ini, rumahnya Axava Kalara. Tempat di mana ia membu*nuh kedua orang tuanya, sebelum pada akhirnya menghabisi nyawanya sendiri," jawab Teh Rebel santai.

Keheningan tercipta selama beberapa saat, sebelum Kang Saija membuka suara. "Jadi untuk peralatan studio yang rusak gimana, Teh? Adul dan Kokom akan dibebankan untuk ngeganti?"

"Ngga usah," jawab Teh Rebel. "Mereka ngga sengaja, 'kan? Lagipula ada uang asuransi kebakaran dari kantor lama. Emangnya belum cair?"

"Belum Teh, saya udah beberapa kali nanya ke pihak asuransi, tapi mereka bilang, masih diselidiki. Karena kalau menurut laporan dari polisi, penyebab kebakaran karena disabotase.

Ketentuan dari perusahaan asuransi, mereka ngga akan memproses penuh klaim asuransi kalau ditemukan bukti sabotase. Itu juga, mereka akan melakukan penyelidikan sendiri, apakah sabotase murni dari pihak lain atau dari pihak kita."

"Kalau gitu, uang asuransinya masih lama cair, ya?" tanya Teh Rebel menyandarkan punggungnya.

"Iya, padahal jelas-jelas kebakaran kantor lama gara-gara kabel pemancar ada yang konslet, tapi pihak asuransi bersikeras mau menyelidiki dulu," tambah Kang Saija.

Aku, Bang Win dan Kang Utep saling menatap satu sama lain. Jantungku berdebar, dan aku mulai was-was.

"Dari mana Kang Saija tau kalau kebakaran di kantor lama karena konslet?" tanya Bang Win lirih. "Padahal saya cuma bilang, kalau menurut polisi, kebakaran terjadi karena sabotase. Titik awal kebakaran, ngga ada yang tau selain saya dan Utep."

Kang Saija tersentak selama beberapa saat, sebelum membuka suara. "Iya, saya pikir pas kamu bilang ada orang yang menyabotase, yang disabotase itu kabel pemancar."

"Menurut Kang Saija siapa?" tanya Kang Utep.

"Mana saya tau," jawabnya cepat.

"Kalau memang orang asing, kenapa repot-repot masuk ke dalam Radio Rebel terus bikin konslet kabel pemancar?" tanya Kang Utep lagi. "Bawa aja bensin buat nyiram seluruh bangunan kantor dari segala arah, lebih simpel."

"I-itu ...," balas Kang Saija lirih.

"Cuma orang yang berpengalaman dalam penyiaran radio yang bisa menyabotase dari dalam. Hasilnya? Kaya sekarang. Hancur sampai ke akar hingga kita harus mulai lagi dari awal."

"Kamu nuduh saya?" tanya Kang Saija menatap Kang Utep. "Apa alasan saya menyabotase kabel pemancar."

"Karena Kang Saija memang menginginkan kebakaran terlihat seperti ketidaksengajaan," jawab Bang Win. "Biar klaim asuransinya penuh, mungkin."

Aku, Teh Hani dan Teh Opi berkali-kali mengalihkan pandangan pada mereka bertiga. Bang Win sudah menceritakan semuanya padaku sekembalinya dari kantor polisi tempo hari. Itulah kenapa, aku ikut kaget saat mendengar Kang Saija berkata jika kebakaran terjadi karena konslet kabel pemancar.

"Kang?" panggil Teh Rebel pada Kang Saija yang sudah menunduk. "Ada penjelasan?"

Kang Saija masih menunduk sebelum berkata lirih. "Maaf, Teh. Saya terpaksa. Saya butuh uang."

Teh Rebel menghembuskan napas kasar. "Tolong diberesin kalau itu memang perbuatan Kang Saija. Saya tunggu itikad baiknya."

"Iya, Teh," balas Kang Saija masih menunduk.

"Sekian aja pertemuan kali ini, saya pamit pulang. Bang Win, Kang Utep dan yang lain, tolong dibantu ya?"

Teh Rebel berdiri dan menepuk pundak Kang Saija sebelum pergi meninggalkan ruang meeting. "Kita keluarga, Kang. Saya lebih suka Akang terbuka dan berbagi masalah, daripada harus diam, dan berakhir seperti ini."

Walaupun sesaat, aku bisa menangkap ekspresi kecewa di wajah Teh Rebel yang biasanya selalu terlihat ceria.

Terpopuler

Comments

alena

alena

ternyta orang dalam nya kang saija 🤔

2023-03-10

0

Andini Andana

Andini Andana

gak nyangka euy.. kang Saija yg sabotase 😔😓

2023-01-12

6

Andini Andana

Andini Andana

wiiih.. novel yang mana nie yg di film kan teh Rebel? 😍

2023-01-12

5

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!