Episode 10

Aku menatap kosong halaman kantor Radio Rebel dari sofa di teras, tempatku duduk.

"Neng, jangan ngelamun," tegur Pak Obi yang baru saja keluar. "Neng Inoxu sudah sholat?"

"Lagi ngga sholat, Pak Obi. Lagi berhalangan," jawabku tersenyum.

Pak Obi ikut duduk di sofa sembari membalas senyumanku. "Apalagi kalau begitu. Daripada melamun, bisa diisi dzikir, Neng. Bapak perhatiin dari tadi serius banget ngelamunnya."

"Saya sebenernya ngantuk, Pak," ucapku mencari alasan yang berbuah kekehan dari Pak Obi.

"Pasti capek ya, Neng? Harus siaran malam. Harus bener-bener jaga kondisi, kalau ngga pasti gampang sakit. Angin malam ngga baik buat kesehatan."

Aku mengangguk mengiyakan sebelum kembali bertanya. "Kokom gimana, Pak? Kerjanya lancar?"

"Alhamdulillah lancar, sekali-sekali ada salah komunikasi sih wajar, namanya juga manusia," jawab Pak Obi sambil berdiri. "Bapak pamit ke pos depan dulu ya, Neng? Sekalian mau cari makan."

"Iya, Pak. Mangga," aku mempersilakan.

Seperginya Pak Obi, aku kembali mengingat kejadian tadi pagi ketika Bang Win hampir berangkat kerja. Telepon dari kantor polisi membuatnya dengan cepat menghubungi Kang Utep setelah mendapat kabar jika adanya faktor kesengajaan pada peristiwa kebakaran kantor Radio Rebel yang lama.

Aku yang merasa cemas, memutuskan pergi ke Radio Rebel sesudah magrib, walaupun jam siaranku masih pukul sebelas nanti. Sayangnya, begitu aku sampai di sini, sosok Bang Win dan Kang Utep tidak kutemukan.

"Teh Inoxu mau dibikinin teh?" tanya Kokom yang sudah berdiri di dekatku dan dalam seketika mengembalikan penuh kesadaranku.

"Eh, Kom, ngagetin aja," lirihku. "Kopi aja deh, Kom."

Kokom mengerutkan kening, "Mau beli topi di mana, Teh? Udah malem gini mah, pasar tutup."

"Kopi, Kokom. Kopi! Kopi, jangan pake gula," ulangku.

"Wah, apalagi itu. Mana ada orang jual topi sama bunga malem-malem gini."

"Astagfirullah!" seruku menutup mata saat tiba-tiba teringat sesuatu. Sambil menatap Kokom lekat, aku menaruh kedua tanganku di telinga seperti sedang memegang headphone.

"Oh!" respon Kokom cepat. Ia merogoh saku kemeja berwarna hitam bertuliskan CREW RADIO REBEL yang dipakainya dan mengeluarkan alat bantu pendengaran.

"Kom, Teteh minta kopi ngga pake gula, ya?" aku mengulangi ucapanku yang tadi.

"Siap, Teh Inoxu! Satu kopi tanpa gula akan segera meluncur," jawabnya sembari kembali masuk ke dalam.

"Alhamdulillah," lirihku sembari menyandarkan punggung.

***

"Itu si Adul sama siapa tuh?" tanya Gia memicingkan mata ke arah pintu gerbang, selagi kami sedang mengobrol. Ia dan Remi datang tidak lama setelah Kokom mengantarkan kopi untukku.

"Wah, itu mah Emak! Yang dua lagi siapa ya?" seruku ketika mengenali sosok yang mirip seperti Adul. Samar-samar, suaranya yang melengking bisa kudengar walaupun jarak kami cukup jauh.

"Lah, yang dua lagi emaknya siapa?" tanya Remi.

"Emak anaknya lah, Teh. Tapi yang jelas bukan emak saya. Emak saya mah jualan martabak mini di depan," timpal Kokom yang sudah berada di belakang kami dan sontak membuat terkejut.

"Astagfirullah, Kokom! Hiih! Ngagetin aja sih!" Gia memegangi dadanya setelah reflek menepuk keras pundak Kokom.

"Ya maap atuh, Teh. Abisnya serius banget liatin si Aa ganteng kalem."

"Si Aa ganteng kalem?" tanyaku mengulang.

"Iyah, A Adul minta dipanggil kaya gitu."

"Buset, ngga nyadar diri banget itu si Adul," maki Gia lirih.

Aku hanya nyengir mendengar ucapan Gia, ketika rombongan Adul dan emaknya tiba di teras.

"Assalamualaikum! Yuhu Neng Inoxu, Neng Gia, Neng Remi. Emak datang," ucap Emak Adul lantang.

Kami semua maju satu persatu dan mencium tangan beliau takzim.

"Eh, ini teh yang namanya Komo?" tanya Emak pada Adul ketika Kokom maju dan ikut mencium tangannya.

"Kokom," ralat Gia.

"Emak maunya Komo. Lucu, gemes, kaya orangnya," jawab Emak pendek yang membuat Gia kembali menutup mulut karena menahan tawa.

"Kenalin, ini Bu Jejen dan Bu Mumun," lanjut Emak. "Mereka ini geng Emak, sahabat baik, best friends forever."

Kami ganti menyalami dua orang ibu-ibu tersebut dengan pikiran penuh tanda tanya.

"Ada perlu apa ya, Mak?" Remi memberanikan diri bertanya.

"Emak pengen tau nih, sama calon mantu. Terus mau daftar buat gerak jalan sama mau ikut nongkrong di sini," jawab Emak.

Radio Rebel memang sedang membuat event, bersama dengan beberapa vendor yang menjadi sponsor acara gerak jalan keluarga.

"Boleh, Mak. Nanti didaftarin ya? Soalnya, Teh Hani yang pegang pendaftaran buat event ini udah pulang. Minta aja nama lengkapnya," balas Remi."

"Siap, nanti Emak Whatsapp ya."

Remi mengangguk dan tersenyum lebar.

"Gelap! Kantor ini gelap!" seru teman Emak yang kalau tidak salah bernama Bu Jejen, mengagetkan kami semua.

"Temen Emak ini emang punya kelebihan Neng. Anak indehoy," jelas Emak Adul.

"Hah?" ucap Gia dan Remi serempak.

"Ituloh, Teh. Yang punya kemampuan diatas manusia normal," tambah Adul. "Ibego."

"Oh." Kami menganggukkan kepala.

"Pokoknya gelap! Kantor ini gelap!" ulang Bu Jejen.

"Ya jelas gelap, itu bola lampunya putus satu," jawabku menunjuk sebuah lampu di atas langit-langit.

"Bukan, Neng! Di kantor ini ada roh anak perempuan kecil yang suka maen masak-masakan di taman!"

"Oh, kalo itu mah anak laki-laki, Bu. Sukanya maen bola," celetuk Adul yang membuatku, Gia dan Remi spontan menutup mulut dengan telapak tangan.

"Dan di sana itu! Di pos satpam, ada perempuan berbaju putih yang melayang-layang."

"Ngaco ah Bu Jejen! Di sana adanya Pak Obi," sambung Adul lagi. "Mak, buruan pulang deh, Mak! Adul mau kerja nih."

"Iya-iya, Mak pulang. Hayulah lesgow!" ajak Emak pada kedua temannya.

"Neng, coba mandi kembang sepatu. Biar ngga jadi jomblo permanen terus. Taun depan, dijamin nanti ada yang ngelamar Neng. Neng ini susah jodoh karena ditempel roh perawan jomblo," ucap Bu Jejen padaku, sebelum berbalik pergi dengan emak.

Ketika sosok ketiganya menjauh, aku tidak bisa lebih lama lagi menahan tawa, termasuk Gia dan Remi.

"Serius ini teh? Aku disuruh mandi kembang sepatu biar ngga jomblo lagi? Terus Bang Win itu siapa?" tanyaku di sela tawa.

"Eh Dul, ibu itu siapa sih?" tanya Remi penasaran. Ia mengusap air matanya karena tertawa kencang.

"Itu emak-emak yang dulu mau ngobatin Adul karena sering kesurupan. Yang bilang ketua setan di badan Adul asalnya dari Jepang dan tinggalnya di ketek," jawab Adul cemberut.

"Hahaha!" Kami kembali tertawa kencang.

***

[Yank, aku udah di ruangan ya. Maaf ngga ngabarin, baterai ponsel aku habis tadi.]

Aku menerima pesan baru dari Bang Win, saat di tengah-tengah siaran.

[Iya] balasku sebelum menaruh ponsel di atas meja dan kembali fokus pada suara dari headphone yang kugunakan.

"Silakan, Teh Cece," ucap Adul mempersilakan narasumber untuk bercerita.

"Saya waktu itu cuma berdua dengan adik saya di rumah, karena kedua orang tua kami lagi ke luar kota untuk menengok nenek.

Rumah kami berlantai dua. Semua aktifitas, banyaknya dilakukan di lantai dua. Kalau orang tua kami ada di rumah, mereka lebih suka berada di lantai satu. Emang sih, menurut orang-orang, rumah kami angker. Tapi selama tingga di sana, kami belum pernah mendapat gangguan sama sekali.

Hingga di malam itu, pas saya ketiduran dari sore dan kebangun karena ngedenger ada suara pintu dibuka. Waktu saya ngintip lewat balkon dalam yang mengarah ke ruang tamu, ada adik saya baru pulang, dan lagi buka sepatu.

Saya bermaksud turun ke bawah untuk menemui adik saya, tapi pas saya ngelewatin kamar adik saya yang posisinya deket tangga, saya ngeliat adik saya ini lagi duduk di atas tempat tidurnya, sambil nonton tivi. Luar biasa kagetnya saya waktu itu. Adik saya itu juga nyapa saya, pokoknya deg-degan banget, Teh, Kang.

Dia makin banyak nanya, saya kenapa, kenapa muka saya pucat, dan lain-lain. Saya sih yakin, sosok yang di depan saya ini adik saya, soalnya cerewet banget. Karena yakin, saya cerita ke dia kalau saya liat sosok mirip dia di lantai satu. Adik saya bilang, kalau dia udah pulang dari tadi, pas saya lagi tidur.

Saya minta dia nemenin turun ke lantai satu, buat ngecek. Takutnya saya salah liat dan ternyata malah orang jahat yang masuk. Awalnya dia ngga mau, tapi karena saya paksa terus, akhirnya dia nurut. Walaupun dia minta saya yang jalan di depan.

Pas sampai di anak tangga lantai satu, sosok yang mirip adik saya ini manggil saya, sekalian minta maaf karena pulangnya telat banget. Asli, Teh, Kang. Saya ngga bisa gerak karena emang sosoknya mirip banget. Ada dorongan dalam hati untuk ngeliat ekspresi adik saya yang di belakang saya. Tapi, pas saya nengok, saya makin kaget. Di belakang ngga ada siapa-siapa."

"Jadi sosok adik Teh Cece, yang mana yang asli?" tanyaku merinding.

"Yang baru dateng, Teh. Saya cerita ke adik saya itu, dan dia juga ketakutan. Jadinya saat itu juga, kami ngungsi tidur ke rumah sodara, sampai orang tua kami pulang."

"Ish ngeri sih! Teh Cece secara langsung berkomunikasi sama sosok yang menyerupai adik Teteh," timpal adul.

"Itu dia, Kang. Pokoknya itu pengalaman yang paling nakutin seumur hidup saya."

"Saya yang denger cerita Teteh aja takut, gimana Teteh langsung. Ada lagi, Teh Cece?"

"Udah segitu aja, Kang, Teh. Makasi banyak ya udah diijinin jadi narasumber. Saya seneng banget Kisah Tengah Malam bisa mengudara lagi. Salam buat para penyiar lain ya."

"Siap Teh Cece, terima kasih kembali karena sudah setia mendengarkan Kisah Tengah Malam," jawabku.

"Ya, itulah dia cerita dari Teh Cece tentang pengalamannya bertemu dengan sosok yang menyerupai adiknya. Serem pisan hih, semoga dijauhkan dari yang begitu-begitu. Aamiin.

Satu lagu akan saya putarkan sebagai penutup Kisah Tengah Malam kali ini, permintaan Ning Sih Tailor dari Siti Nurhaliza dengan Cinday, salam-salamnya untuk ukhti-ukhti alumni pondok pesantren Nurul Haromain Lombok Barat. Ada Eka Malaika, Basyasya, Nur Isnaini, Juraisy Sri Yuliana, Megawati dan lain-lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Dan untuk sahabat kecilku, Endang, Srinurmayani, Noeng Yamaha Ibban, Arkana Arbiana Loundry. Tetap semangat sahabat, semoga sehat selalu!

Akhir kata, Inoxu, Adul dan tim mohon pamit. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh."

Aku mematikan mic dan melepas headphone, diikuti oleh Adul dan yang lainnya. Setelah membereskan barang pribadi masing-masing, kami keluar dari studio.

Adul, Gia serta Remi melambai padaku sebelum mereka pulang dan aku melangkahkan kaki menuju ruang kerja Bang Win. Begitu dibuka, aku melihatnya sedang duduk menyandar di sofa sembari menutup mata.

"Yank," sapa Bang Win ketika aku duduk di sebelahnya. Dengan pelan, ia merebahkan diri dan menaruh kepalanya di pangkuanku. Secara otomatis, aku mengusap kepalanya.

"Beres urusannya?" tanyaku.

"Belum. Maaf ngga ngehubungin kamu seharian, aku keliling sama Utep nyari rekaman cctv."

"Buat apa?" tanyaku lagi.

"Buat nyari sesuatu, karena polisi bilang, kebakaran kantor lama karena ulah manusia. Polisi juga nanya, apa Radio Rebel punya rival. Setau aku ngga ada, kita bersaing secara sehat dengan radio-radio lain."

Aku hanya diam dengan masih mengusap kepalanya saat ia kembali menutup mata.

"Capek banget ya? tanyaku mendekatkan wajah ke arahnya.

"Ngga. Capeknya ilang kalau udah liat kamu," jawabnya pelan sebelum mengecup hidungku ringan.

Terpopuler

Comments

Andini Andana

Andini Andana

😂😂😂 cocok ni Kokom sama Adul

2023-01-11

6

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!