Episode 18

Sudah dari subuh, para crew Radio Rebel sibuk mempersiapkan event gerak jalan yang bekerja sama dan disponsori oleh beberapa vendor. Sebagian mempersiapkan meja di halaman untuk verifikasi peserta yang sudah mendaftar lewat pesan Whatsapp, beberapa mempersiapkan snack sarapan dan tanda terima kasih untuk semua peserta, dan sebagian lagi mempersiapkan hadiah untuk pemenang gerak jalan dan doorprize. Tepat pukul enam, gerbang dibuka oleh Pak Obi dan membuat banyak ibu-ibu yang sudah berdiri di luar, melangkah masuk.

"Neng Inoxu!" teriak Emak Adul di dalam antrian peserta untuk verifikasi kehadiran dan mendapatkan kaos serta nametag bertuliskan nama peserta.

"Emak," sapaku menghampiri. Tepat di belakangnya, aku melihat Bu Jejen dan Bu Mumun. "Adul mana, Mak? Ditungguin dari tadi ngga dateng-dateng loh."

"Adul sakit lagi, Neng. Ngga tau kenapa, anak itu teh akhir-akhir ini sakit terus. Kayanya harus Mak jodohin deh, biar patah hatinya sama Kokom terobati."

"Bener tuh, Mak. Mending Adul dijodohin aja," sela Gia yang juga menghampiri emak.

"Gimana kalo sama Neng Gia aja? Daripada Neng Gia kelamaan nungguin si Tom-Tom dari Jepang ngga dateng-dateng, mending sama Adul yang siap nikah."

"Duh, makasi Mak, tapi maaf, Tomo bukannya ngga dateng-dateng, tapi lagi sekalian ngurus berkas-berkas buat menikah di sini," jawab Gia terkekeh.

"Kalau Neng Remi gimana?" tanya Emak lagi melihat Remi di kejauhan yang sedang memberikan snack sarapan.

"Jangan deh Mak. Jangan nyenggol Remi, dia udah hak milik kakaknya Inoxu. Tinggal nunggu waktu aja," balas Gia.

"Oh gitu, Neng?" tanya emak dengan nada lesu. Di belakangnya, Bu Jejen mendorong pelan bahu emak agar melangkah maju.

"Kita tinggal dulu ya Mak, Bu Jejen dan Bu Mumun?" sahutku tersenyum, seraya menarik Gia setelah sebelumnya menunduk kecil pada ketiganya.

"Eh Gi, nanti jangan sampai Bu Jejen ketemu Jeng Merlin, deh. Bisa gawat," ucapku pada Gia.

"Takut mereka berantem?"

"Takut kita ngga bisa nahan tawa," sahutku santai sebelum tertawa.

"Ish, kamu mah, Xu. Biarin ajalah, biar ngga tegang-tegang amat," balas Gia ikut tertawa.

Kami berdua masuk ke dalam ruang penyiar, di mana Teh Opi dan Teh Hani sedang menata hadiah yang sudah rapi dibungkus.

"Win, Krisna sama Utep belum balik ya?" tanya Teh Opi. Aku dan Gia kompak menggeleng. Mereka bertiga memang keluar untuk mengecek rute yang akan dilewati para peserta gerak jalan, dari sesudah sholat subuh berjamaah.

"Neng," panggil Pak Obi di ambang pintu. "Dokter Yan udah dateng, sama ambulannya juga."

"Oh iya, Pak," jawab Teh Opi sembari bangkit berdiri dan ke luar. Dokter Yan adalah anak dari sahabat baik Pak Obi, sewaktu beliau masih bekerja sebagai kepala stasiun. Dokter itu bekerja di salah satu rumah sakit kota Bandung, dan menyanggupi permintaan dari Radio Rebel, untuk menolong mengawasi event gerak jalan, jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

"Kalian pada sarapan dulu sana, di ruang meeting. Sekalian nemenin dokter Yan," pinta Teh Opi sekembalinya dari luar.

"Teteh ngga sarapan?" tanyaku menatapnya.

"Woyodah dong! Sarapan mah wajib sebelum beraktifitas," kekeh Teh Opi.

Kami ikut terkekeh dan menuju ke ruang meeting. Tepat di ambang pintu, Teh Hani berbalik dan memegang dadanya.

"An*jir Xu, Gi! Dokternya cakep banget! Teteh ngga kuat liatnya," lirih Teh Hani menyandarkan diri di tembok samping pintu.

"Siapa yang cakep?"

Sebuah suara dari belakang, membuatku sontak menoleh.

"Oxu sarapan di ruangan saya aja, Han. Tolong ambilin nasi kotaknya ya?" lanjut Bang Win dingin.

Teh Hani dan Gia terlihat menahan senyum, lalu masuk ke dalam ruang meeting, dan kembali dengan dua kotak berisi nasi.

"Emang dokternya cakep?" tanya Bang Win ketika aku sudah duduk di sofa ruang kerjanya.

"Kata Teh Hani sih gitu," jawabku sembari membuka nasi kotak.

"Kalau kata kamu?"

"Ngga tau, belum ngeliat langsung," jawabku lagi.

Bang Win menghembuskan napas panjang yang membuatku menatapnya.

"Kenapa sih, Yank? Ya kalau emang cakep biarin aja, belum tentu juga aku tertarik."

"Maaf," jawabnya lirih. "Maaf kalau aku berlebihan."

"Ngga masalah, santai aja atuh," sambungku tersenyum. Tidak lama, Bang Win mengambil nasi kotak yang baru saja kubuka, dan tanpa berkata apa-apa lagi langsung menyuapiku.

***

Tepat pukul delapan, acara gerak jalan yang mayoritas diikuti oleh ibu-ibu dimulai. Mereka terlihat antusias dan dengan bersemangat mulai berjalan keluar dari Radio Rebel. Bang Win, dokter Yan beserta ambulan, dan hampir semua penyiar pria sudah lebih dulu menempati beberapa pos yang berada di rute gerak jalan untuk menyediakan minum. Sedangkan Kang Krisna dan Kang Utep, mengikuti para anggota gerak jalan dari belakang dengan motor.

"Eh, Xu! Liat tuh," seru Remi menyenggol lenganku.

Aku mengarahkan pandangan ke arah yang ditunjuk Remi dan seketika memaki dalam hati. Luigi terlihat berjalan masuk di halaman Radio Rebel.

"Ngapain itu kodok zuma ke sini? Mana istrinya? Tumben sendirian aja," tanya Gia berbisik.

"Istrinya daftar gerak jalan bareng geng sosialitanya, Teteh mau ngasi tau tapi lupa," timpal Teh Hani yang baru saja menghampiri kami.

"Cepet juga ya? Radio Rebel dapet tempat baru. Salut, ngga kaleng-kaleng berarti modalnya," ucap Luigi ketika sudah berada di depanku. "Oh, sekarang udah punya seragam? Mayan-lah, kamu jadi punya baju buat kerja, ngga cuma kemeja flanel lusuh terus."

Kami semua kompak untuk mengabaikan ucapan pria itu. Di luar dugaan, ia malah duduk di salah satu kursi plastik, di depan meja panitia.

"Eh, Inoxu. Kamu udah hamil belum? Kayanya udah lumayan lama nikah ya? Tapi keliatannya badan kamu masih segitu-gitu aja," sahutnya menatapku.

"Situ kepo atau kepo banget? Di mana-mana, biasanya yang nyinyir itu cewek, lah ini? Cowok kok nyinyir!" timpal Gia pedas.

"Kamu sih, nikah sama om-om, yang udah jelas banget ngga produktif. Harusnya lepas dari aku, kamu dapetin yang di atas aku. Nyatanya? Malah terjun bebas selera kamu," sambung Luigi mengabaikan Gia.

"Ya terus kenapa? Ada masalah? Pernikahan kamu ngga bahagia sampe-sampe ngerecokin pernikahan aku? Jadi bener kalau kamu tuh belum move on?" tanyaku dingin.

"Bahagia banget malah! Aku cuma kasian sama kamu, lepas dari aku kok kayanya ngenes banget," lanjutnya dengan wajah mulai merah tanda ia terpancing pertanyaanku barusan.

"Kayanya aku harus bersyukur malah, karena lepas dari kamu. Yang kamu banggain cuma muka yang sebenernya pas-pasan. Attitude sama adab mah nol besar," sahutku santai yang membuat Luigi tiba-tiba berdiri hingga kursi plastiknya terjungkal.

"Yah, kena mental dah. Dia yang mulai, dia yang kena sendiri," sahut Remi. Teh Hani dan Gia yang mendengar perkataan Remi, terkekeh dengan terang-terangan.

"Aku sumpahin kamu ngga bahagia, man*dul sekalian!" ucapnya dengan nada tinggi.

"So? Aku peduli gitu? Hati-hati aja doanya berbalik. Aku itu tipe manusia yang bersyukur. Dikasih anak sama Allah alhamdulillah, kalopun ngga juga ngga masalah. Suami aku aja santai kok. Situ siapa? Cuma sekedar pelengkap masa lalu, yang kalau bisa mau aku hapus dari ingatan," balasku tersenyum lebar.

Luigi berbalik pergi setelah menendang kursi plastik yang terjungkal di dekat kakinya.

"Cie panas!" teriak Gia mengompori. Remi dan Teh Hani ikut bersorak mengiringi kepergiannya.

"𝙏𝙤𝙡𝙤𝙣𝙜, 𝙏𝙚𝙝 ...."

Aku menundukkan kepala untuk memastikan jika suara yang kudengar bukanlah imajinasiku.

"𝙏𝙚𝙩𝙚𝙝, 𝙩𝙤𝙡𝙤𝙣𝙜!"

Deg! Setelah sekian lama, suara tanpa wujud itu terdengar lagi.

"Kenapa, Xu?" tanya Teh Hani menatapku.

"Ada suara minta tolong, Teh," jawabku melihat ke sekeliling.

"Kedengeran lagi?" tanya Remi dengan wajah tegang.

Aku mengangguk.

"Bawa headphone kamu ngga? Biar aku ambilin di dalem," sambung Gia.

"Ngga, karena udah ngga pernah denger suara-suara aneh lagi, sejak pindah ke sini, aku ngga pernah bawa headphone," jawabku lesu.

Gia dan Remi berpindah posisi dengan duduk di sisi kiri kananku, sedangkan Teh Hani, berdiri tepat di belakang kursi yang kududuki. Semua seperti berusaha melindungiku dari sesuatu yang tidak terlihat.

***

Tepat sebelum adzan dhuhur, peserta terakhir gerak jalan memasuki halaman Radio Rebel dengan dibonceng oleh Kang Utep. Setelah makan siang dan sholat, para crew Radio Rebel kembali bersiap untuk membagikan hadiah untuk peserta yang lebih dulu tiba, serta doorprize untuk peserta yang beruntung.

Setengah harian, aku berkali-kali mendengar suara minta tolong yang entah berasal dari mana. Sedikit banyak, hal ini mempengaruhiku, sehingga membuat tubuhku lesu.

"Mau istirahat di ruangan aku?" tanya Bang Win menghampiriku yang sedang duduk di kursi panitia dengan wajah khawatir dan memberikan sebotol air mineral. Aku memberitahunya tentang suara yang kudengar, dan seperti yang sudah kuduga, ia menempelku sekembalinya dari mengawasi peserta gerak jalan.

"Jangan sakit," ucapnya lirih sembari menggenggam tanganku.

"Aman," aku tersenyum lebar.

"Mau makan apa? Kamu belum makan siang. Nasi kotak lagi atau mau jajan di depan? Biar aku pesenin," lanjut Bang Win.

"Pengen mie ayam deh, tapi mie ayam yang biasa ngga keliatan jualan," jawabku.

"Ngga jualan, Teh. Denger-denger anaknya ketab*rak tadi pagi di jalan waktu mau nyusul bapaknya ke sini buat jualan. Biasanya, anaknya ini ngga pernah ke sini, tapi karena mau ada acara di Radio Rebel dan takut bapaknya kerepotan, dia ikut," timpal Kokom yang baru saja membawakan pesanan martabak mini pesanan Gia.

"Ya udah, aku cari aja ke tempat lain ya?" tanya Bang Win kembali menatapku. Aku mengangguk beberapa saat sebelum dia pergi.

"Teh, anak itu kok Kokom perhatiin berdiri di deket mobil itu terus sih?" ucap Kokom berbisik.

Aku mengikuti arah pandangan Kokom dan menyadari jika mobil yang dimaksud Kokom adalah mobil milik Luigi.

"Kom, ngga ada siapa-siapa di sana. Kamu yakin ngeliat ada orang di situ?" tanyaku dengan jantung yang berdetak kencang.

"Yakin, Teh. Ada anak seusia anak SMP-lah," jawab Kokom dengan suara yang tegang. "Kokom dari kecil emang suka liat penampakan."

Aku merutuk dalam hati mendengar ucapan Kokom. "Temenin saya ke sana. Nanti kamu liatin, anak itu masih di sana atau ngga," ucapku berdiri dan menarik tangannya pelan.

Setelah sampai di sebelah mobil milik Luigi, Kokom menyentuh tanganku dan mengangguk pelan.

"Dek?" panggilku lirih.

"𝙏𝙚𝙩𝙚𝙝 ...."

Aku terhenyak dan mundur beberapa langkah.

"Teh, kayanya ada yang mau disampein deh. Anak itu nunjuk ke arah Teteh terus," bisik Kokom lagi.

Dengan memantapkan hati, aku meminta Kokom pergi, sebelum pada akhirnya duduk di halaman.

***

Sudah menjelang sore, saat banyak peserta gerak jalan yang membubarkan diri. Sisanya, masih bertahan di halaman Radio Rebel sembari menikmati aneka jajanan yang banyak dijual di depan.

"Tuh, target mendekat," ucap Gia yang duduk di halaman berumput, tepat di sebelahku.

Mata Bang Win menatap Luigi tajam. Jika aku tidak menahannya, kemungkinan besar, ia akan langsung mengha*jar pria itu.

Luigi berjalan bersama istrinya dan tersenyum sinis ke arahku. "Tadinya kita mau langsung pulang. Tapi kayanya kurang sopan ya kalau ngga pamit," ucapnya.

"Tumben inget sopan santun," celetuk Remi.

"Heh, kalau ngga diajak ngomong ngga usah nyautin!" seru istri Luigi.

"Kayanya kalian ngga akan bisa langsung pulang, deh," timpal Kang Utep menatap mereka berdua.

"Nungguin apa lagi?" tanya Luigi. "Masih mau bagi-bagi hadiah?" Nada suaranya terdengar mengejek.

"Iya. Liburan di hotel," jawabku pendek.

"Hotel mana?" tanya istri Luigi. "Keren juga ini radio, bisa ngasih hadiah nginep di hotel berbintang."

"Mimpi! Kapan Inoxu bilang hotel berbintang?!" tanya Teh Hani ketus.

"Terus apa dong?" tanya wanita itu penasaran.

"Hotel prodeo! Polisi bentar lagi dateng buat nangkap kalian berdua karena kasus tabrak lari!" sentakku dengan suara tinggi.

"Heh, jaga mulut ya! Sembarangan kalau fitnah orang!" balas Luigi.

"Fitnah apa? Dasar kodok zuma! Kamu tadi pagi nabrak seseorang 'kan waktu mau ke sini?!" lanjutku.

"Heh gem*bel! Kalau mau nuduh seenggaknya ada bukti! Kalau ngga jatuhnya fitnah! Kamu punya bukti apa? Cctv? Saksi mata?" tanya istri Luigi.

"Noda darah di bumper depan!" sentakku. "Paling ngga nih ya, kalau kalian masih punya hati, setelah ngelakuin kesalahan harusnya minta maaf dan bertanggung jawab. Bukannya kabur dan malah dateng ke sini buat ikut gerak jalan! Udah ma*ti tau ngga, nurani kalian sebagai manusia!"

Keduanya terkejut dengan perkataanku. "Tau dari mana?" tanya Luigi lirih.

"Tau dari mana!? Berarti bener dong!? Dasar ib*lis kalian berdua!" makiku. "Anak yang kalian tabrak sedang koma di rumah sakit. Bapaknya penjual mie ayam di depan sini, silakan bertanggungjawab atas apa yang udah kalian lakuin!"

Aku berkata dengan napas tersengal, setelah melihat sebuah mobil polisi memasuki halaman Radio Rebel. Polisi pengemudi mobil itu adalah teman Bang Win, yang sering berkomunikasi dengannya terkait penyelidikan kebakaran kantor Radio Rebel yang lama. Ia datang atas laporan Bang Win terkait kasus tabrak lari tadi pagi.

Luigi menatapku dengan lesu, sebelum ia dan istrinya digiring untuk masuk ke dalam mobil polisi. Mobilnya yang masih di tempat parkir, dibawa oleh seorang petugas untuk barang bukti.

Beberapa saat lalu, setelah aku menceritakan pembicaraanku dengan anak itu pada Bang Win, ia meminta dokter Yan untuk memeriksa bagian bumper yang terdapat noda kecoklatan, dan ikut terhenyak setelah dokter tersebut memberitahukan, jika itu adalah darah. Setelah berdiskusi dengan yang lain, Bang Win menelepon temannya untuk menjemput Luigi serta istrinya di Radio Rebel.

"Udah yuk, masuk ke dalam," ajak Kang Krisna pada kami semua.

Entah karena lemas yang disebabkan belum makan dari siang, atau karena emosi yang masih menyelimuti, aku merasakan pusing hebat sebelum akhirnya terjatuh dan kehilangan kesadaran.

***

"Yank? Oxu?"

Suara Bang Win perlahan membantuku untuk mendapatkan kesadaran. Aku sedang berbaring di sebuah kamar yang bisa kupastikan adalah kamar rumah sakit setelah beberapa saat tersadar. Bang Win sendiri, duduk di sebelah tempat tidur dan menggenggam tanganku erat.

"Kaya di sinetron-sinetron ya?" ucapku pelan sembari meliriknya. "Pemeran utama pingsan, dibawa ke rumah sakit, terus pas endingnya, jreng jreng jreng, selamat anda hamil."

Bang Win tertawa mendengar ucapanku. Aku bisa melihat matanya yang masih berkaca-kaca.

"Iya kaya di sinetron. Padahal kamu beneran hamil," ucapnya lirih.

"Hah?" aku tidak mengerti.

"Kamu hamil, Yank ...."

Aku semakin tidak mengerti saat Bang Win menunduk, masih dengan menggenggam tanganku.

"Masa sih?" tanyaku tidak percaya. "Masa ngga ada mual-mual kaya di sinetron? Ngga ada ngidam-ngi—."

Perkataanku terputus ketika merasakan ada tetesan air di tanganku. Bang Win menangis.

"Aku hamil," ucapku lagi dengan suara lirih, sebelum pada akhirnya menangis tersedu-sedu.

Terpopuler

Comments

nath_e

nath_e

ikut ceneng 🤭

2023-01-19

3

irva 😍

irva 😍

selamat teh Oxu dan bang Win,,

2023-01-17

5

Andini Andana

Andini Andana

waaa...selamat ya Oxu dan bang Win 😍😍 padahal br tadi disumpahin, eeh yg nyumpahin masuk bui, Oxu malah positif hamil 😊

2023-01-14

5

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!