Episode 9

"Teteh!" panggil Adul ketika aku sedang membeli martabak mini.

"Hoi!" sahutku pendek.

"Kita mau rapat apalagi sih ini? Udah mah tadi malem abis siaran malem, giliran libur disuruh dateng juga buat rapat. Gaya banget ya? Kaya anggota dewan aja, rapat mulu kerjanya."

"Ngga tau, Bang Win cuma bilang anak-anak disuruh ngumpul doang sama Kang Saija." Aku menerima bungkusan berisi martabak mini yang masih terasa panas dari penjual. "Makasi, Bu."

"Sama-sama, Neng."

"Hayu masuk," ajakku pada Adul.

"Teh, minta," sahutnya sebelum kami melangkah. Aku memberikan bungkusan di tanganku padanya. Dengan cepat, Adul mengambil satu.

"Enak banget ini martabak mininya," gumam Adul sembari mengunyah.

"Ya enak-lah! Akang dapet gratis dari Neng itu," timpal si penjual yang ternyata masih memperhatikan kami. Aku nyengir mendengar perkataannya dan Adul hanya bisa cemberut.

"Neng. Neng sama Akang ini penyiar di Radio Rebel?" tanya penjual pada kami.

"Iya, Bu. Kenapa gitu?" Aku mengurungkan diri untum masuk ke dalam dan malah duduk di kursi plastik yang sudah tersedia.

"Itu Teh," jawabnya bingung.

"Kenapa, Bu?" tanya Adul menimpali. Mulutnya masih teeus mengunyah martabak mini milikku.

"Dua malem lalu, ada anak perempuan dateng, sempet beli martabak mini juga. Dia bilangnya mau ketemu sama penyiar di sini."

"Terus?"

"Nah, anak itu teh 'kan masuk ke dalem, padahal di dalem pas ibu liat udah sepi, gelap juga. Kayanya udah ngga ada orang kecuali Pak Obi. Ibu nungguin sampe anak itu keluar, tapi ngga keluar-keluar sampe waktunya ibu pulang jualan."

"Ibu perhatian bener sama anak itu, sampe ditungguin," celetuk Adul.

"Masalahnya, Neng itu belum bayar martabak mini Ibu. Barangkali, Neng sama Akang kenal, tolong sampein ya? Martabak mini ibu, belum dibayar."

Adul berhenti mengunyah untuk sesaat. "Waduh, tau aja ngga itu siapa," bisiknya.

"Ssshhh!" responku membolakan mata. "Cepet makannya."

Adul mengangguk pelan.

"Ya udah, Bu. Nanti kalau saya udah tau itu siapa, saya kasih tau deh ya ke orangnya. Mungkin dia temen salah satu penyiar, terus keburu pulang sampai lupa belum bayar martabak mini," ucapku.

Setelah melihat si ibu mengangguk, aku berdiri dan berniat masuk ke dalam studio diikuti oleh Adul. Saat berjalan, sesuatu teringat. "Martabak mini Teteh mana?"

Adul berhenti melangkah sebelum menatapku dengan wajah memelas. "Tadi 'kan Teteh nyuruh abisin."

Aku menyipitkan mata ke arahnya. Dan sembari menggeleng pelan, aku kembali berjalan dengan menepuk keningku berulang-ulang.

***

"Jadi, tolong diumumkan di setiap siaran, kalau kita lagi membuka lowongan pekerjaan untuk penyiar dan staf Radio Rebel," ucap Kang Saija yang direspon anggukan oleh semua yang hadir di ruang meeting. "Kalau gitu, sekian rapat kali ini. Terima kasih banyak ya, udah pada hadir."

Satu persatu berjalan keluar dari ruang meeting, termasuk aku, Adul, Gia dan Remi.

"Xu, ada Nyx tuh," ucap Remi tersipu.

Aku menoleh ke jendela yang mengarah ke teras. Sosok Nyx terlihat sedang duduk di sofa sembari fokus pada ponsel di genggamannya.

"Gaya banget, jam segini udah di sini aja," sapaku.

"Woyadong! Mau ngajak Remi makan siang, abis itu mau nonton."

"Beuh! Yang lagi pendekatan," timpal Gia yang membuat Nyx nyengir.

"Ya biasalah, hidup mah yang pasti-pasti aja Gi. Kamu mah enak, LDR juga umur masih pada muda. Lah aku? Udah mah dilangkahin Oxu, kalo masih lelet juga, kapan aku nikahnya?"

"Punten," sapa seorang gadis dari depan teras yang membuat kami semua menoleh.

"Iya Teh?" tanya Adul cepat. Ia menghampiri gadis itu sebelum berbisik pada kami semua. "Naini jatah Adul. Masa Adul mau jadi jomblo permanen kaya Kang Utep."

"Ada yang bisa dibantu?" terdengar jika Adul bertanya.

"Saya bukan pembantu, saya mau ngelamar kerja jadi penyiar," jawab gadis itu.

Kami semua saling berpandangan satu sama lain mendengar jawabannya.

"Iya, Teteh mau ngelamar? Kebetulan banget, ownernya ada di sini. Jadi bisa ketemu langsung," balas Adul.

"Saya ngga mau dilamar dulu, Kang. Kata Emak, saya masih muda. Saya mau kerja dulu buat nyari pengalaman."

"Eh, gimana-gimana?" tanyaku tidak mengerti.

"Saya mau kerja jadi penyiar," balas gadis itu.

"Oh, mau kerja. Teteh pernah punya pengalaman jadi penyiar?" tanyaku lagi.

"Aduh, Teh. Saya mah belum nikah, jadi belum berpengalaman jadi istri. Radio ini teh buka lowongan kerja atau lowongan jadi istri sih?" tanyanya balik.

Aku menepuk keningku dan menoleh ke arah teman-teman serta Nyx yang sedang tersenyum lebar.

"Kokom!"

Di saat yang membingungkan ini, ibu penjual martabak mini menghampiri gadis di depanku. "Emak bilang kalau mau pergi, ininya dipake," ucapnya seraya memasangkan alat bantu pendengaran di kedua telinga gadis di depanku ini.

"Teteh ini, anak Ibu?" tanyaku.

"Iya, Neng. Namanya Kokom. Kalau saya, Bu Munah. Anak saya mau ngelamar kerja di sini, buat pengalaman aja daripada diem terus di rumah."

"Oh, Kokom mau ngelamar jadi penyiar toh," ucapku sembari menganggukkan kepala.

"Ngga, Neng. Kokom mah jangan jadi penyiar. Kerja yang lain aja, kaya bersih-bersih atau bantu-bantu. Soalnya belum punya pengalaman pisan. Dia ngga ngerti, dikiranya semua yang kerja di kantor radio itu namanya penyiar. Padahal mah bukan ya?" Bu Munah terkekeh.

"Ya udah atuh, Bu. Mangga masuk dulu, biar saya panggilin atasan saya."

Sepasang ibu dan anak itu masuk setelah sebelumnya menyapa teman-temanku yang masih duduk di teras.

"Tunggu bentar, ya? Saya panggilin." Aku melangkah menuju ke ruangan Bang Win dan mengetuk pintu pelan. Setelah dipersilakan masuk, aku menyampaikan maksud kedatangan Kokom dan Bu Munah.

Bang Win dan Kang Saija keluar dari ruangan untuk menemui mereka, sedangkan aku langsung menuju kembali ke teras. Tidak berapa lama, Gia pamit pulang karena pesanan ojek onlinenya sudah menjemput.

"Kita jalan juga ya, Xu," pamit remi.

"Kita. Teh Remi sama Kang Nyx aja kali," timpal Adul sembari menyipitkan mata. Remi dan Nyx hanya tertawa sebelum melambai pergi meninggalkan kami.

"Teh, Kokom cantik ya? Polos banget ya Allah! Jaman sekarang masih ada perempuan sepolos itu sih, kayanya jarang banget," bisik Adul.

Aku mengangguk mengiyakan, "Kayanya mah ngga banyak tingkah ya? Bu Munah juga ramah. Mudah-mudahan bisa keterima kerja di sini."

"Aamiin," ucap Adul.

Doa kami berdua ternyata menjadi kenyataan, hampir setengah jam kemudian, Bu Munah dan Kokom keluar dari dalam dengan wajah berseri.

"Alhamdulillah, Kokom keterima, Teh, Kang. Ibu nitip Kokom ya, kalau ada apa-apa, tolong dikasi tau aja. Maklum, ini pertama kali kerja."

"Alhamdulillah, selamat bergabung ya, Kom? Semoga betah," sahutku tulus sembari melihat seragam Radio Rebel yang dipegangnya.

Keduanya berbasa-basi sebentar sebelum pamit karena Bu Munah sudah terlalu lama menitipkan dagangannya pada pedagang lain.

"Kayanya 2023, Adul ngga bakal jomblo lagi," gumamnya lirih seraya menatap Kokom yang berjalan pergi.

"Aamiin. Tapi harus gercep, Dul. Yakali kan, ntar ketikung sama Kang Utep," aku menggodanya sambil tertawa.

"Ish Teteh, Mah! Jangan atuh, masa harus saingan sama jomblo permanen kaya Kang Utep," keluhnya. "Udah ah, Adul mau pulang aja."

Aku mengangguk dan melambai. Tepat saat Adul berjalan menuruni tangga teras menuju ke halaman, Kang Saija memanggilnya. "Dul, mau pulang? Hayu bareng saya."

"Emang boleh kang?" tanya Adul.

"Kamu mah, 'kan saya ngajak. Hayulah!" jawab Kang Saija melambai ke arahku dan Bang Win. "Pulang dulu ya, Win, Inoxu."

"Hati-hati, Kang, Dul," seruku balas melambai.

Dalam beberapa menit, mobil Kang Saija berjalan pelan meninggalkan Radio Rebel.

"Udah laper ya? Maaf, tadi ngobrol kelamaan sama Kang Saija," ucap Bang Win yang tiba-tiba duduk di sebelahku.

"Bagus kalo jadi judul sinetron," balasku. "Suamiku lupa daratan jika sudah mengobrol dengan temannya sehingga membuat sang istri yang bekerja sebagai bawahannya kelaparan."

"Hahaha! Kamu mah, Yank! Bisa aja," ucapnya seraya mengacak kuat rambutku.

Aku nyengir dan berusaha keras merapikan rambutku yang kembali diacak-acak olehnya.

"Kamu tuh gemesin tau ngga?"

"Tau," jawabku pendek.

"Bagus. Berarti udah tau juga kalau aku sayang banget sama kamu," sambungnya mengambil tanganku dan menggenggamnya erat. "Aku sebenernya masih khawatir kalau kamu siaran malem walaupun aku juga nemenin. Khawatir aja kalau terjadi sesuatu, waktu kamu ngga ada dibawah penglihatan aku."

"Aman, Yank," jawabku menatap matanya lekat. "Jangan khawatir."

"Inget 'kan, apa yang pernah aku bilang? Aku ngga akan pernah bisa memulihkan diri, kalau kamu sampai kenapa-kenapa, Oxu."

Aku mengangguk pelan. Rasa haru menyeruak memenuhi hatiku. Bang Win memang bukan tipe suami romantis yang penuh dengan rayuan. Itulah kenapa, jika ia sampai berkata seperti ini, itu pertanda jika ia benar-benar serius dengan ucapannya.

Terpopuler

Comments

irva 😍

irva 😍

so sweet

2023-01-15

4

Andini Andana

Andini Andana

othor nya bisa banget mengaduk2 perasaan reader...ada pert lucu, serem, baper...😂😱😍😘

2023-01-11

7

Andini Andana

Andini Andana

wkwkwk... jadi sambil ngobrol teh si Adul terus we makan..😂😂

2023-01-11

6

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!