Episode 3

"Bapak udah lama tinggal di sini?" tanyaku pada Pak Obi.

Sore ini, aku menyusul Bang Win ke Radio Rebel setelah sebelumnya mengambil mobil yang sedang diservis di bengkel.

"Ngga terlalu lama juga, Neng. Bapak pindah ke sini setelah memasuki masa pensiun sebagai kepala stasiun kereta api di salah satu daerah Jawa Barat."

"Oh, gitu," responku sembari meminum es kopi yang baru kubeli.

"Bangunan ini milik kakak Bapak tadinya, dan dalam keadaan terbengkalai waktu Bapak pindah ke sini. Karena ngga ada kegiatan lain, Bapak iseng bersih-bersihin. Dan setelah suami Neng Rebel membeli tempat ini, beliau meminta Bapak untuk sesekali ke sini."

"Jadi Pak Obi itu pamannya Teh Nday?" tanyaku kaget.

"Betul, Neng."

"Teh Nday sendiri orangnya gimana sih, Pak?" Aku menatapnya dengan penasaran.

Pak Obi terkekeh sejenak sebelum menjawab. "Nday itu dari kecil memang udah luar biasa pinter. Sayangnya karena punya kelainan jantung bawaan, dia ngga bisa banyak beraktifitas di luar rumah. Itu sebabnya, temennya juga ngga banyak. Neng Rebel setau Bapak memang satu-satunya sahabat Nday. Mereka saling mengisi satu sama lain, sama-sama pinter, sama-sama punya mimpi besar yang pada waktu itu menurut orang sekitar mereka mustahil untuk diwujudkan."

"Kalau yang di belakang itu teh, kuburan siapa, Pak? Yang ada nisannya."

"Si Bruno, peliharaannya Nday. Temen bermain Nday kalau di rumah, sekalian penjaga bangunan ini," jawab Pak Obi.

"Anjing?" tanyaku penasaran

"Iya. Buat ngejaga mereka sekeluarga karena daerah ini dulunya sepi banget."

"Pak Obi," panggil Kang Utep dari halaman samping. "Bapak udah makan? Bisa tolongin saya sebentar?"

"Udah, Nak Utep," jawab Pak Obi sembari berdiri. Aku melihat Kang Utep membawa sebuah bingkai besar yang masih ditutupi kertas coklat dan diikat.

"Bapak tinggal dulu ya, Neng?" pamitnya padaku.

Sepeninggal Pak Obi, aku memilih untuk masuk dan melihat-lihat studio yang akan kugunakan untuk siaran program Kisah Tengah Malam. Peralatan studio yang modern, berbanding kontras dengan bangunan ini. Namun entah kenapa, perpaduan keduanya memberi kesan unik. Tidak perlu memasang AC di sini karena ruangan ini sendiri sudah cukup dingin.

Aku menikmati keheningan yang menenangkan. Di sini, aku tidak pernah sekalipun mendengar suara-suara yang aneh. Hal ini membuatku merasa sangat lega karena pada awalnya kukira akan mendapat banyak gangguan.

Telepon yang berbunyi mengalihkan perhatianku dalam sekejap. Karena takut ada hal yang penting, dengan cepat aku meraih gagang pesawat telepon yang terletak di meja kerja Gia.

"Selamat sore, dengan Radio Rebel di sini. Ada yang bisa saya bantu?" tanyaku.

Aku menunggu beberapa detik ketika tidak ada jawaban sama sekali dari ujung sambungan. Merasa jika mungkin ini adalah panggilan iseng, aku menaruh gagang telepon, kembali ke tempatnya dan menunggu.

Benar dugaanku, telepon di depanku kembali berbunyi. "Selamat sore, dengan Radio Rebel di sini. Ada yang bisa saya bantu?" ulangku.

"Halo ...?"

"Iya, halo. Maaf, saya berbicara dengan siapa? Ada yang bisa dibantu?" tanyaku.

"Ini dengan radio?" tanya suara di ujung sambungan yang terdengar keheranan.

"Iya betul. Ini Radio Rebel. Maaf, ada yang bisa saya bantu?"

"Saya Novi," jawabnya lirih.

"Iya, Teh Novi. Ada yang bisa dibantu?" tanyaku lagi mulai kesal.

Hanya keheningan yang kudapat dari ujung sana. "Teh Novi mau bicara dengan siapa?" ulangku lagi sembari berusaha menahan diri agar suaraku tidak meninggi.

"Ngga mau bicara dengan siapa-siapa, Teh. Saya dapet nomor ini di box telepon umum."

Aku mengerutkan kening tidak percaya. Masih adakah telepon umum yang beroperasi di tahun 2022?

"Teteh emang di mana? Teteh nelpon pake telepon umum?" tanyaku dengan rasa penasaran yang semakin meninggi.

"Di daerah Cipaganti. Saya sekarang pakai telepon rumah, Teh. Nomor ini saya dapet dari box telepon umum di depan kampus. Saya kira ini nomor asal, ngga taunya beneran nyambung ke radio," jawabnya ragu.

"Nomor ini memang nomor telepon radio. Radio Rebel namanya, letaknya juga di Cipaganti, Teh. Saya baru tau kalau masih ada telepon umum di jaman sekarang," ucapku. "Rumah Teteh di Cipaganti mana?"

"Jalan Cipaganti nomor 128."

"Oh, kayanya sih deket sini ya, Teh? Main ke sini dong. Banyak kok pendengar Radio Rebel yang suka main ke sini," tambahku.

"Emang boleh, Teh?" tanya Novi.

"Boleh dong, kenapa ngga? Main aja ke sini."

"Iya deh, nanti saya cari dulu alamatnya. Nama radionya apa tadi?" Novi terdengar antusias.

"Radio Rebel. Belum pernah denger?" tanyaku heran.

"Belum, Teh. Setau saya, radio di Bandung cuma Oz, Dahlia, Ardan, dan Lita."

"Oh, itu mah emang radio senior. Radio-radio itu berdiri udah dari tahun 1970an. Kalau Radio Rebel baru enam tahunan berdiri," jelasku.

"Oh iya, Teh. Beneran ngga apa-apa kalau saya main ke situ? Saya dan sahabat saya pengen banget jadi penyiar. Bahkan, kami punya mimpi untuk membuat radio kami sendiri."

"Wih keren banget, Teh Novi! Semoga cita-citanya terkabul ya?" balasku.

"Aamiin, makasi ya Teteh. Nanti kalau saya main ke sana, jangan diusir loh," ucap Novi terkekeh.

"Ngga bakal. Tenang aja ya?"

"Iya deh, makasi banyak ya, Teh. Saya tutup teleponnya. Dadah."

"Sama-sama, Teh Novi. Dadah." Aku meletakkan gagang telepon kembali ke tempatnya, dan bermaksud pergi ke ruangan Bang Win ketika sosok suamiku itu ternyata sudah berdiri di ambang pintu studio.

"Ngomong sama siapa, Yank?" tanyanya.

"Sama penelpon tuh. Tadi nelpon ke sini, ya terus ngobrol deh jadinya," jawabku menghampirinya. "Mau pulang sekarang?"

"Nunggu waktu sholat magrib dulu deh," jawab Bang Win dengan muka tegang.

"Kenapa? Kok pucet banget mukanya?" tanyaku menelisik.

"Kamu yakin tadi ngobrol sama penelpon?"

"Iyah," jawabku tegas.

"Ngga mungkin, Yank. Saluran telepon Radio Rebel belum tersambung. Utep baru daftarin kemarin, dan masih dalam proses."

Aku mengerutkan kening. "Beneran kok. Penelepon tadi namanya Novi. Dia bilang dapet nomor Radio Rebel di box telepon umum."

"Tambah ngga mungkin lagi. Kan nomor Radio Rebel lagi diproses. Kita aja belum tau nomornya berapa. Dan pesawat telepon di tiap studio itu ekstensi, jadi kalau pun ada yang nelpon, pasti yang bunyi pesawat telepon di meja resepsionis. Lagian, emangnya masih ada telepon umum yang beroperasi di tahun 2022?" tanya Bang Win dengan suara lirih.

Hatiku mencelos dan perasaan was-was kembali menghampiri.

"Aku ngelindur kayanya," ucapku lesu. Pasalnya aku sangat yakin jika baru saja berbicara dengan seseorang di sambungan telepon.

"Ngga usah dipikirin. Abaikan aja kalau sekiranya aneh." Bang Win mulai mengerti keanehan yang terjadi dan ia menyodorkan tangannya untuk kugenggam.

Kami keluar dari studio dan melihat Kang Utep yang sedang memasang sebuah foto besar tepat di belakang meja resepsionis dibantu Pak Obi.

Semakin dekat ke arah mereka, jantungku berdetak semakin kencang. Mataku terpaku menatap sebuah foto hitam putih dengan ukuran cukup besar, yang menampilkan dua orang gadis sedang bergaya tepat di depan sebuah bangunan yang kukenali sebagai bangunan Radio Rebel.

Novi Rindayu (Nday) & Regina Maharani Rahman (Rebel)

Jalan Cipaganti No. 128 Bandung - Tahun 1992

Nafasku seketika tercekat setelah membaca tulisan tepat di bagian bawah foto tersebut dan membuat tubuhku lemas tiba-tiba.

Terpopuler

Comments

Andini Andana

Andini Andana

sudah curiga waktu penelepon bilang dpt no telp radio Rebel dr box telp umum.. ternyata itu teh Nday 🙀🙈 teteh lagi cek n ricek yaa 🙊

2023-01-10

6

Andini Andana

Andini Andana

ooooh.. ya ampuun.. baru ngeh abi..ini teh pak Obi yg kepala stasiun yaak 😍😚 weh pak Obi kesini juga

2023-01-10

5

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!