Episode 14

Kakiku melangkah masuk ke halaman Radio Rebel dengan tidak bersemangat, setelah menjawab sapaan ramah Pak Obi. Akhir-akhir ini, suasana di kantor memang berbeda, pasca terbongkarnya dalang dari pembakaran kantor lama Radio Rebel.

"Teh," sapaku pada Teh Opi dan Teh Hani yang sedang duduk di teras.

"Hei Xu, udah di sini aja. Baru juga jam delapan," balas Teh Hani.

"Iya, Teh. Suntuk di rumah, makanya dateng lebih awal."

"Sama, Teteh juga suntuk. Di rumah suntuk, di sini suntuk. Kaya yang ngga bersemangat gitu," timpal Teh Opi yang aku angguki.

"Masih ngga percaya ...," tambahnya lirih. "Teteh sedikitnya tau perjuangan waktu radio ini dibangun. Kerja keras Teh Nday sama Teh Rebel, Bang Win juga Kang Saija. Ngga percaya aja kalau Kang Saija tega ngehianatin kerja keras dia selama ini."

Aku dan Teh Hani hanya diam mendengarkan.

"Sedih aja gitu ....," lanjut Teh Opi.

"Teh Inoxu, kopi tanpa gula?" tanya Kokom yang tiba-tiba muncul dari dalam.

"Ngga deh, Kom. Saya lagi males ngopi," jawabku.

"Ih, Teh Inoxu ini. Kalo mules mah ke toilet aja atuh."

"Duh, Kokom ...," keluhku.

"Alat pendengaran Kokom rusak, Xu. Gara-gara adu ilmu sama Adul kemaren. Seharian ini kita berkali-kali salah komunikasi. Tapi ada untungnya, Teteh bisa ngakak liat kelakuan si Kokom yang random," jelas Teh Opi.

Aku nyengir dan mengetik sesuatu di ponsel, lalu menunjukkannya pada Kokom. Tidak lama, gadis itu mengangguk mengerti dan kembali ke dalam.

"Aduh!" keluh Teh Hani menatap ke arah gerbang. Aku dan Teh Opi yang penasaran, mengikuti arah pandangannya.

"Emak sama Bu Jejen," sahutku lirih. Perasaan menggelitik memasuki hatiku karena melihat sosok Bu Jejen.

"Assalamualaikum! Yuhuuu, Emak datang bersama—."

"Bahaya!" seru Bu Jejen memotong perkataan Emak. "Ada yang naksir Neng, tapi ben*cong!"

Aku kembali nyengir melihat wajah kebingungan Teh Opi yang ditunjuk oleh Bu Jejen. Tidak lama, Teh Opi menatapku lekat, dan balas tersenyum. Sekilas, aku melihat kilatan jahil di matanya.

"Tapi saya sayang dia, Bu!" balas Teh Opi.

"Ibu punya jalan keluarnya. Nanti kalau Neng ketemu sama lelaki jejadian ini, Neng sentil jakunnya. Dijamin, abis itu dia bakal jadi lelaki seutuhnya."

"Masa iya?" tanya Teh Opi.

"Iya! Praktekin aja, Neng. Demi masa depan Neng, biar cepet nikah. Soalnya, Neng juga sama kaya Neng ini. Jomblo permanen," tunjuk Bu Jejen padaku.

Aku memicingkan mata menatap Bu Jejen dan beralih ke Emak Adul. "Mak, Adul masih sakit?"

"Masih, Neng. Kata dokter dia kena tipes. Ini, Emak mau nganterin surat dokter," jawab Emak menyodorkan amplop ke arahku, yang dengan cepat kuterima sembari melihat Bu Jejen. Ia bertingkah seperti sedang menerawang. Dengan menutup mata, ia mengangkat telapak tangannya ke segala arah.

Selagi Bu Jejen melakukan penerawangan, perhatianku teralih pada sebuah mobil yang memasuki halaman parkir. Tidak lama, terlihat Kang Krisna turun.

"Hoi, Jeng Merlin," teriakku lantang.

Seperti yang sudah kuduga, Kang Krisna mengubah cara berjalannya seperti wanita dan berlenggok ke kiri dan ke kanana seperti model di atas panggung. Aku menahan tawa sekuat tenaga karena gerakan luwes Kang Krisna yang bertubuh tinggi tegap dan gondrong. Tidak heran, karena sampai sekarang ia memiliki hobi naik gunung serta panjat tebing.

"Helow semua! Helow bebih," ucapnya memberikan ciuman jarak jauh untuk Teh Opi.

"Neng, ini laki-laki jadi-jadian yang naksir Neng?" tanya Bu Jejen menatap Kang Krisna dari atas sampai bawah.

"Hei! Sembarangan deh ibu kalo ngomong! Gini-gini saya jantan, Bu!" balas Kang Krisna melirik sinis. Ia mengibaskan rambut panjangnya yang mengenai wajah Bu Jejen.

"Tenang, Neng. Biar Ibu beresin," ucapnya ke arah Teh Opi. Dengan tiba-tiba Bu Jejen menghadap ke Kang Krisna dan menyentilnya tepat di jakun.

"Heug!"

Aku dan yang lain terpana melihat Kang Krisna mengeluarkan bunyi aneh dari mulutnya sembari memegang tenggorokan.

"Tuh liat Neng. Lelaki jejadian ini, aslinya ketempelan demit ben*cong. Makanya kelakuannya juga kaya gitu," jelas Bu Jejen, sebelum menutup mata kembali dan mengarahkan telapak tangannya ke arah Kang Krisna.

Kang Krisna sendiri hanya terdiam selama beberapa saat, sebelum ia menegakkan tubuh dan berbicara dengan suara aslinya. "Siapakah saya?"

"Tuh kan, Neng! Udah normal. Suaranya ngga menye-menye kaya tadi, sekarang mah macho. Laki banget!" seru Bu Jejen kegirangan.

"Siapa saya? Siapa kamu? Siapa dia? Siapa kita semua ...?" lanjut Kang Krisna.

"Wah, Bu. Kok jadinya malah kaya yang hilang ingatan?" tanyaku masih dengan menahan tawa.

"Tenang, Neng. Ini belum selesai," jawab Bu Jejen. Ia kembali mendekat ke arah Kang Krisna, setelah sebelumnya memetik beberapa bunga dari tanaman di dalam pot. "Hei anak muda! Nih, lempar setinggi-tingginya di atas kepala."

Dengan menurut, Kang Krisna mengambil bunga di tangan Bu Jejen. Tepat saat ia melemparkan bunga-bunga tersebut, tangan Bu Jejen mencubit ketiak Kang Krisna keras-keras.

"Wadooow! Geli, geli, geli!" seru Kang Krisna spontan.

"Tuh kan! Dk keteknya ada penunggunya nih, sama kaya si Adul!" ucap Bu Jejen masih dengan tangannya di ketiak Kang Krisna. Melihat itu semua, aku sudah tidak bisa lagi menahan tawa.

"Woi lepas, woi!" teriak Kang Krisna. Sampai beberapa saat kemudian, barulah Bu Jejen melepaskan tangannya dan membuat Kang Krisna bersimpuh di lantai.

"Awuuuuuuug! Awuuuuug! Awuuuuuug!" Kang Krisna melolong.

"Nah ini siluman srigala nih!" cetus Emak Adul.

"Bukan, ini setan mantan penjual awug!" bantah Bu Jejen menunjuk Kang Krisna. Dengan di luar dugaan, Kang Krisna menggigit tangan Bu Jejen hingga wanita itu tersentak.

"Hayu pulang, gaes! Ini setannya terlalu kuat," ajak Bu Jejen pada Emak.

"Neng, Mak pamit dulu ya. Assalamualaikum," ucap Emak dengan segera, dan meninggalkan Bu Jejen yang tangannya masih digigit Kang Krisna.

"Lepas!" seru Bu Jejen menepuk kening Kang Krisna kuat dan langsung berlari menyusul Emak. Saat sosok keduanya sudah tidak terlihat, tawa kami semua pecah hingga sampai sakit perut.

***

"Standby! 3, 2, 1, on air!" seru Remi mengangkat jempolnya.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, Inoxu hadir dari studio dua Kisah Tengah Malam Radio Rebel Bandung 12,08 FM. Malam ini, sama seperti malam-malam sebelumnya, saya akan menemani istirahat para pendengar semua dengan kisah dari para narasumber. Namun sebelumnya, akan saya putarkan satu buah lagu permintaan Safira Ha dari Padi dengan Kasih Tak Sampai. Stay tuned terus dan jangan ke mana-mana."

Aku mematikan mic dan sedang bingung memilih, apakah harus menelepon narasumber atau membacakan email, saat mataku tanpa sengaja membaca email atas nama Baron yang terletak paling atas. Dengan berdebar, aku membaca isi email tersebut dan menjadi lemas seketika. "Innalillahi wa innailaihi rojiun," ucapku lirih.

"Kenapa, Xu?" tanya Gia yang melihat perubahanku. Karena aku masih diam, dia menghampiri lalu ikut membaca isi email.

"Bunga meninggal ...?" tanyanya lirih.

Remi yang melihat kami, dengan segera bangkit dan berjalan ke mejaku. Matanya juga terbelalak melihat isi email yang dikirimkan Baron.

"Gimana ini? Mau dibacain?" Remi membuka suara setelah keheningan tercipta beberapa saat.

"Bacain aja, Xu," sambung Gia. Aku menghembuskan napas panjang sebelum mengangguk pelan, dan bersiap-siap kembali saat lagu hampir selesai.

"Itulah Padi dengan Kasih Tak Sampai," ucapku membuka kembali siaran. Entah kenapa, lagu ini terasa pas untuk Bunga dan Bang Win. Walaupun dengan tegas Bang Win mengatakan jika ia hanya menganggap Bunga tidak lebih dari adik temannya, Baron. Namun, dari gestur dan tatapan Bunga, aku tau jika gadis itu menyimpan perasaan untuk suamiku.

"Xu!" tegur Gia karena melihatku masih diam.

"Mohon maaf pendengar semua, saya agak kaget karena menerima email berisi berita duka cita dari Baron. Baron ini adalah kakak dari Bunga di Pasirkoja. Mungkin ada pendengar yang masih ingat, jika Bunga ini pernah menjadi narasumber di Kisah Tengah Malam. Dia bercerita tentang kema*tian beberapa warga di sekitar tempat tinggalnya, setelah ada pengumuman dari mushola terdekat. Ngga perlu lama-lama lagi, saya akan membacakan email dari Baron.

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, halo Teh Inoxu dan Adul, saya Baron. Saya adalah kakak dari Bunga di Pasirkoja yang pernah menjadi narasumber dan penggemar berat siaran Kisah Tengah Malam.

Saya datang membawa berita duka cita, tentang meninggalnya adik saya tersebut. Sama seperti yang pernah almarhumah ceritakan di Kisah Tengah Malam tentang beberapa warga kami yang meninggal dunia, hal serupa juga terjadi pada almarhumah. Dua minggu sebelum ia meninggal, kami mendengar pengumuman kema*tiannya di mushola dekat rumah kami.

Setelah mendengar pengumuman tersebut, almarhumah lebih sering mengurung diri di kamarnya. Beberapa kali ia berkata pada saya, jika ada suara yang memanggil namanya setiap pukul satu pagi. Saya berusaha menyemangatinya dengan mengatakan bahwa itu adalah kerjaan orang iseng. Namun semakin hari ia semakin lemah dan akhirnya jatuh sakit, hingga meninggal dunia.

Untuk semua para teman-teman, sahabat, atau siapapun yang mengenal almarhumah, melalui email yang mudah-mudahan dibacakan ini, saya menghaturkan permohonan maaf yang sebesar-besarnya atas kesalahan yang dilakukan almarhumah, baik sengaja maupun tidak. Dan jika berkenan, mohon sambungan doanya agar almarhumah husnul khatimah. Sekian email dari saya, terima kasih untuk Teh Inoxu dan Kang Adul yang sudah membacakan. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh."

Aku menghembuskan napas panjang sebelum melanjutkan. "Itulah dia email dari Baron, kakak dari almarhumah Bunga. Saya dan seluruh tim dari Kisah Tengah Malam mengucapkan turut berduka cita, semoga almarhumah Bunga husnul khatimah, diterima iman islamnya, dan diampuni segala dosa-dosanya. Aamiin.

Satu lagu akan saya putarkan, sebagai penutup Kisah Tengah Malam kali ini, permintaan dari Neng Sih dari Sheila on Seven dengan Sahabat Sejati dan salamnya untuk Teh Inoxu dan Bang Win. Terima kasih atas salamnya ya Neng Sih," balasku.

"Akhir kata, Inoxu dan tim mohon pamit, wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh."

Aku mematikan mic dan melepas headphone setelah mendengar lagu diputar.

"Hayu pulang," ajak Gia dan Remi yang langsung berkemas. Kami berjalan keluar dari studio saat aku melihat sosok Bang Win yang sedang berdiri di depan ruangannya. Setelah Gia dan Remi pamit pulang, aku berjalan mendekatinya yang langsung memelukku erat.

"Bunga ...," ucapku lirih.

"Tau. Aku juga denger kamu siaran," balas Bang Win.

"Kita pergi ke rumah Bunga?" tanyaku melepas pelukan.

Bang Win nampak berpikir sejenak. "Besok kita ke sana."

Aku mengangguk sebelum kami berjalan ke luar, menuju mobil yang diparkir dengan satu tanganku dalam saku hoodie Bang Win.

"Lagu yang kamu puterin tadi ...."

"Kasih Tak Sampai? Kenapa?" tanyaku penasaran.

"Pernah hampir jadi lagu kebangsaan aku, pas kamu susah banget dideketin," jawabnya tersenyum samar.

"Hahaha! Bisa aja deh," sambungku.

"Serius Oxu. Aku sering banget galau di studio kalau dengerin kamu siaran. Abis itu dengerin lagu itu deh, sedih banget pokoknya."

Bang Win mengeratkan genggaman tangannya saat kami berhenti berjalan. "Aku sendiri heran, sesayang apa aku sama kamu, sampai bisa galau sebegitu hebatnya."

Aku menatapnya lekat dengan mata yang menghangat, sebelum berjinjit dan mencium ringan pipinya, sehingga wajahnya menjadi kemerahan.

Terpopuler

Comments

Naida Iko

Naida Iko

ini mksudny gmn ya,, dua minggu sblum ia mninggal, kami mndengar pengumuman kematiannya dr musolla dket rmh kmi

2024-03-07

0

Andini Andana

Andini Andana

turut berduka cita Bunga.. 😔
tp sampe sekarang berarti masih jd misteri yaa, siapa orangnya yg kasih pengumuman ttg org meninggal di mushola?

2023-01-12

5

Andini Andana

Andini Andana

ya Allah.. ngakak sampe bengek ini mah 😂😂😂

2023-01-12

5

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!