Aku terpaku bersama Bang Win, Kang Saija, Kang Utep, Teh Hani, dan Teh Opi, di halaman yang tadinya adalah tempat parkir Radio Rebel. Kami menatap satu sosok yang masih berdiri di dekat puing-puing sisa kebakaran, walau pun tetesan air hujan mulai turun.
Awalnya, kami ke sini untuk mengangkut barang-barang serta berkas yang masih sempat diselamatkan pada saat kebakaran beberapa hari yang lalu, yang rencananya akan ditempatkan sementara di rumah Kang Saija. Namun, kedatangannya yang bisa dibilang mendadak, sontak menghentikan kegiatan kami.
Aku dan Teh Opi hampir melangkah dan bermaksud menghampiri sosok tersebut untuk memberikan payung, agar tubuhnya tidak semakin basah terkena busur hujan yang semakin menderas.
"Jangan diganggu. Teh Rebel lagi butuh waktu sendiri," larang Kang Saija lirih.
Perkataannya membuat kami kembali terdiam di tempat. Hampir lima menit berlalu, saat Teh Rebel menghampiri kami. Raut sedih, kecewa bahkan air matanya yang tertangkap oleh netraku ketika ia pertama kali melihat kondisi Radio Rebel beberapa saat lalu, telah hilang sepenuhnya, seolah tersapu air hujan.
"Assalamualaikum," sapanya riang. Teh Opi buru-buru memayungi perempuan itu dengan payung yang digunakannya.
Tak bisa dipungkiri, kesedihan masih membayangi kami, para penyiar dan karyawan Radio Rebel. Radio Rebel bukan sekedar tempat untuk mencari nafkah, namun juga rumah kedua untuk kami semua. Di Radio Rebel, kami menemukan jika tidak perlu hubungan darah untuk menjadi satu keluarga.
***
"Ngga usah sedih. Saya udah nyiapin lokasi baru untuk Radio Rebel dan akan membutuhkan bantuan dari temen-temen semua. Tower pemancar akan mulai dikirim dalam dua minggu. Masih ada waktu untuk berbenah di tempat yang baru. Yang jelas di sana nanti, pekerjaan temen-temen semua akan bertambah banyak karena kita mulai lagi dari awal," ucap Teh Rebel pada kami semua di sebuah kafe tidak jauh dari Radio Rebel.
Kami saling berpandangan satu sama lain dengan tatapan tidak percaya.
"Beneran, Teh?" tanya Teh Hani pada akhirnya.
Teh Rebel mengangguk. "Sebenernya, udah dari jauh-jauh hari, saya ngerencanain untuk pindah ke tempat baru yang lebih besar. Namun, karena satu dan lain hal, rencana tersebut harus tertunda. Dan sekarang, saya rasa udah saatnya kita pindah."
"Alhamdulillah," ucap semua serentak.
"Tolong kerjasamanya ya? Temen-temen bakal lebih sibuk lagi mulai dari sekarang."
"Teh Rebel ngga sedih?" tanya Teh Hani dengan suara parau. Dari tadi ia mengusap mata berkali-kali saat menatap ke arah puing-puing Radio Rebel.
"Pasti sedih. Seperti yang udah pernah saya bilang, saya memiliki banyak sekali kenangan di tempat itu. Namun, kenangan sejatinya terletak di hati dan di pikiran, bukan di suatu benda atau bangunan. Bangunan itu bisa hangus, menjadi puing, dan rata dengan tanah. Tapi, kerja keras Nday dan kita semua, ada di Radio Rebel. Selama Radio Rebel masih berdiri, di mana pun lokasinya ngga akan jadi masalah."
***
"Sebelum meninggal, Nday tinggal di sini bersama orang tuanya. Setelahnya, mereka menjual bangunan ini dan pindah ke luar kota. Saya ngga bisa cerita banyak, tapi bisa saya bilang, kalau di tempat inilah mimpi kami untuk membuat Radio Rebel berawal. Dan sekarang, karena takdir, kita bisa berdiri di sini. Seperti yang temen-temen lihat, tempat ini butuh untuk dibersihkan."
Setelah pertemuan beberapa hari yang lalu dengan Teh Rebel di depan sisa bangunan Radio Rebel yang sudah menjadi puing, di sinilah aku dan yang lainnya berada, sembari menatap lekat ke arah bangunan yang berjarak sekitar lima ratus meter dari tempatku berdiri.
Bangunan utama yang berada di depan sana, dikelilingi halaman yang sangat luas. Ilalang yang tumbuh tinggi, menandakan jika bangunan ini tidak terawat untuk waktu yang cukup lama. Walaupun tidak terletak di jalan raya utama, bangunan ini berada di sisi jalan besar dan diapit oleh bangunan bergaya serupa.
"Teh, ini mah kaya rumah hantu ya?" bisik Adul. Ia ikut hadir karena ditelepon oleh Kang Utep.
"Sshhh, diem! Jangan mulai," aku memperingatkan.
"Ayo masuk," ajak Teh Rebel. Ia mendorong pagar besi yang sudah berkarat setinggi tiga meter.
Walaupun terlihat banyak ditumbuhi ilalang di halaman, jalan paving block menuju ke bangunan masih cukup rapi dan bebas dari tanaman merambat.
"Jangan jauh-jauh dari aku," bisik Bang Win. ia menggenggam tanganku erat dan sesekali menoleh ke arah samping. Kami berjalan pelan mendekati bangunan utama.
Napasku tercekat karena kagum melihat bangunan yang benar-benar bergaya kolonial. Teras depan yang lebih tinggi dari halaman dan berlantai marmer abu-abu, langit-langit bangunan yang tinggi, jendela-jendela berukuran besar dengan kaca mozaik berwarna, serta pilar penyangga yang terlihat unik, memunculkan kesan klasik, anggun, dan misterius.
"Adul kayanya ngga sanggup kalau siaran tengah malem di sini, Teh. Siang gini aja serem, apalagi malem," lirih Adul. Teh Hani dan Teh Opi yang ikut mendengar perkataan Adul, mengangguk mengiyakan.
Kami semua mulai memasuki bangunan. Ruangan yang sangat luas, terlihat setelah pintu masuk yang tepat berada di tengah-tengah bangunan, dibuka. Walaupun lama sudah tidak ditempati, kondisi di dalam cukup bersih. Hawanya jauh dari kata pengap karena sirkulasi udara yang baik.
Teh Opi dan Teh Hani mencatat apa saja yang diperlukan untuk kantor baru kami, sedangkan Teh Rebel bersama Kang Saija, Bang Win dan Kang Utep sedang berdiskusi tentang pengaturan ruangan serta melihat halaman belakang yang rencananya akan menjadi tempat tower pemancar serta beberapa alat-alat penunjang diletakkan.
"Teteh, hayu sekalian liat-liat?" ajak Adul. "Adul ngga liat yang aneh-aneh kok. Biarpun kaya yang serem, aura di sini adem banget."
Kami mengikuti Teh Hani dan Teh Opi berkeliling. Ada total delapan kamar besar dalam bangunan ini. Ada juga paviliun yang terlihat seperti ruang khusus membaca, karena terdapat bagian tembok berbentuk setengah lingkaran dengan jendela besar berkaca mozaik, sehingga membuat ruangan terang benderang.
"Oh, ini toh tembok yang dari luar keliatan setengah lingkaran," gumam Teh Hani.
"Keren yak?" tanyaku pelan yang dianggukinya.
Kami terus berjalan ke teras belakang, yang tersambung dengan bangunan lain di ujung sana oleh sebuah lorong terbuka beratap dan berlantai semen, dengan halaman berumput di kiri dan kanan. Persis seperti lorong rumah sakit.
"Serius ini? Kamar mandi sama dapur kepisah dari bangunan utama? Ngga praktis ya gaes ya? Kalo kebelet, keburu jebol pas jalan," sahut Adul.
"Udah sih, masih bagus kita dapet tempat baru buat Radio Rebel. Terima aja, gosah protes!" seruku.
"Iya-iya, kan Adul mah cuma bilang doang," balasnya lirih.
Saking asiknya melihat-lihat, tanpa terasa aku dan Adul sudah berjalan menjauh dari Teh Hani dan Teh Opi. Kami sudah berada di halaman samping yang ditumbuhi rumput tinggi.
Duk! Adul hampir saja terjatuh karena tersandung sebuah batu besar.
"Meni banyak batu gede ih, Adul hampir jatuh," serunya sembari memegang kaki.
Aku tidak terlalu mendengarkan perkataan Adul karena fokus pada sesuatu yang hampir membuat Adul tersandung. "Dul, itu kayanya bukan batu deh," ucapku lirih.
Adul yang penasaran, ikut menoleh ke arah pandangan mataku. "Teh Inoxu, itu mah kaya batu nisan ya?" tanya Adul.
Aku hanya diam dan tidak berniat menjawab pertanyaan Adul, walaupun benda yang masih kutatap itu, memang mirip dengan batu nisan.
"Pergi ajalah, yuk?" ajakku sembari membalikkan badan.
"Bentar, Teh. Adul mau mastiin itu nisan beneran atau bukan."
"Udah ish, gosah aneh-aneh! Hayulah balik," ajakku lagi yang tidak didengarkan oleh Adul.
"Jangan main di situ!" sentak sebuah suara serak yang terdengar penuh tekanan.
Mataku melihat berkeliling dan menemukan sosok pria tua sedang menatap tajam pada kami. Tubuhnya yang sangat tinggi membuatku bisa mengambil kesimpulan jika sosok yang kulihat bukanlah manusia.
"Bang Win," teriakku keras seraya berbalik lari dan meninggalkan Adul. Adul yang juga terkejut, ikut berlari mengejarku hingga akhirnya dia berhenti mendadak.
"Teh, tolong! Kaki Adul dipegang! Tangannya megang kaki Adul!" teriaknya.
Aku berbalik menatap Adul dan melihat sosok pria tua itu masih berada di tempatnya. Kengerian sontak menyelimuti hatiku saat membayangkan tangan pria tua itu memanjang dan menyentuh kaki Adul.
"Hiyaaaaa! Tolong! Tolong," teriak Adul semakin histeris di tempat.
Dengan berjalan mundur, aku menjauhi Adul dan bermaksud untuk kembali berlari ketika pria tua itu terlihat melompat, dan aku menyadari jika sebelumnya, sosok tersebut berdiri di atas sebuah batu besar yang tertutup rumput ilalang. Dengan cepat, ia menghampiri Adul, lalu membungkuk.
"Pak Obi? Ada apa?" Suara Teh Rebel dari belakang membuatku menoleh dan seketika berlari mendekati Bang Win yang juga ada di sana.
"Ini Neng Bel, si Aa ini teriak-teriak karena katanya ada yang megang kakinya. Pas saya liat, ngga taunya ular," jawab pria yang dipanggil Pak Obi tersebut seraya menunjukkan sebuah ular kecil di tangannya. Adul yang melihat itu sontak bergidik dan berlari ke arah kami.
"Ini tadi pada main di sebelah sana. Makanya Bapak larang, soalnya banyak ular. Eh malah pada lari ketakutan," Pak Obi terkekeh.
Teh Rebel nyengir dan memperkenalkan Pak Obi pada kami semua. "Ini Pak Obi, yang biasa bersih-bersih bangunan. Untuk ke depannya, ia akan tinggal di sini dan membantu mengurus serta menjaga Radio Rebel. Kalau ada perlu apa-apa, bisa minta tolong ke Pak Obi ya?"
Pak Obi tersenyum sesudah melepaskan ular yang tadi ia pegang. Setelah menemani kami kembali berkeliling selama beberapa saat, beliau mengantar kami kembali ke depan karena sudah waktunya pulang.
"Bapak itu tinggal di sini?" tanya Teh Opi saat kami berjalan ke arah pintu gerbang.
"Kayanya. Emang kenapa, Teh?" tanyaku balik.
"Bisa-bisanya tinggal di rumah yang kaya gini. Masa iya ngga takut ya?" lanjutnya berbisik.
"Jangan-jangan Pak Obi pawang setan," timpal Adul yang membuat Teh Opi melotot ke arahnya.
Kami lanjut berjalan saat rasa penasaran menghampiri. Dengan perlahan, aku menoleh dan terkejut sendiri karena tidak menemukan sosok Pak Obi, yang baru beberapa saat lalu melepas kepergian kami.
Selama sebulan lebih, hampir setiap hari aku mengunjungi kantor baru Radio Rebel bersama Bang Win, dan yang lainnya. Setelah proses pembersihan dan renovasi, bangunan Radio Rebel sudah terlihat tidak terlalu berantakan. Teh Rebel meminta untuk dipasangkan banyak lampu di halaman yang dijadikan tempat parkir. Ada juga neon box besar serta pos keamanan, yang letaknya tepat di dekat pintu gerbang.
Lokasi bangunan yang pada awalnya kukira terletak di tempat yang sepi, ternyata salah besar. Menjelang malam, banyak pedagang yang berjualan di sepanjang trotoar. Tidak jauh dari situ, ada beberapa kafe dan coffee shop berkonsep unik, yang buka sampai larut malam sehingga membuat suasana di sekitar masih cukup ramai, dengan para pengunjung yang kebanyakan muda mudi.
Kepindahan Radio Rebel membawa antusias tersendiri untuk warga sekitar. Mereka senang karena mengetahui jika bangunan yang sudah berpuluh tahun kosong, pada akhirnya menjadi kantor baru kami. Beberapa kali kami menerima kunjungan dari para pendengar yang penasaran.
"Ih, cucok banget deh pindah ke sini. Bisa cuci mata euy," seru Gia melihat-lihat keadaan pada waktu menjelang malam.
"Inget Tomo, hei!" timpal Adul meliriknya sinis yang membuat Gia tertawa.
"Eh, tapi serius. Enak loh di sini. Hawanya enakeun banget," Teh Opi membuka suara.
"Padahal lama ngga ditempatin yah?" sambung Gia lagi yang diangguki oleh kami semua.
"Teh Nday dulu anak siapa ya? Jaman dulu punya rumah segede gini juga kayanya bukan dari kalangan orang biasa," tanyaku.
"Ngga ada yang tau. Teh Rebel juga ngga cerita banyak. Biarin ajalah, yang penting Radio Rebel masih berjaya," jawab Teh Opi.
Kami sedang bersantai di teras depan bagian kiri yang sudah diubah menjadi tempat nongkrong para penyiar dan karyawan dengan sofa besar serta bean bag. Di teras bagian kanan, berdiri lemari kaca yang berisi beberapa piagam serta piala-piala penghargaan yang diberikan untuk Radio Rebel.
Ruangan luas yang berada setelah pintu masuk, di sebelah kanan dijadikan tempat resepsionis dan ruang tamu untuk menerima kunjungan para vendor serta klien. Di sebelah kiri disekat sebagai ruangan para penyiar, di mana terdapat loker untuk menyimpan barang pribadi serta papan tulis besar yang berisi jadwal siaran harian, lengkap dengan satu set sofa untuk beristirahat dan beberapa meja kerja.
Dari delapan kamar besar di bangunan ini, enam dijadikan studio siaran, di mana Kisah Tengah Malam direncanakan mengudara di studio dua. Sisanya adalah ruang kerja Bang Win dan ruang kerja karyawan non penyiar. Paviliun yang memiliki sisi tembok setengah lingkaran dengan jendela full kaca dijadikan perpustakaan sekaligus ruang rapat.
Di bagian belakang, teras yang sudah dibangun tertutup, di satu sisi dijadikan pantry, lengkap dengan semua peralatannya. Dan di sisi satunya, dijadikan mushola.
Tepat di sebelah pantry, yang tadinya adalah halaman dengan lorong terbuka, sudah ditutup juga, dan dibangun tempat wudhu serta dua kamar mandi. Di sebelah mushola, tepat berhadapan dengan tempat wudhu, dibangun dua kamar berderet. Satu untuk ditempati Pak Obi, dan satu lagi untuk tempat menaruh alat musik.
Sedangkan bangunan di ujung lorong yang tadinya adalah kamar mandi dan dapur lama, diputus dari bangunan utama, untuk dijadikan ruangan tempat pusat kelistrikan serta penyimpanan genset.
***
"Ngantuk?" tanya Bang Win mengacak rambutku. Dari tadi ia sibuk memasang perangkat komputer baru di ruangannya. Aku sendiri, menyandar di sofa dengan mata yang mulai terasa berat. Teman-teman lain sudah pulang dari setengah jam yang lalu.
"Mayan," jawabku pelan.
Ia menghentikan kegiatannya untuk duduk di sampingku, lalu memeluk dan menyandarkan kepalanya di bahu. "Pulang aja yuk?" bisiknya tepat di telinga.
"Beresin aja dulu deh. Kalau pulang sekarang, besok pasti ke sini lagi. Kan besok mau jalan-jalan," balasku menatapnya. Wajahku cukup dekat dengannya dan masih sering membuatku berdebar walaupun kami sudah menikah beberapa bulan.
"Iya. Tunggu bentar ya? Nunggu Utep beresin masalah listrik dulu," ucapnya beranjak untuk kembali ke meja kerjanya setelah sebelumnya mengusap kepalaku lembut.
Aku mengangguk dan berusaha memejamkan mata sebelum memutuskan membeli kopi di salah satu kafe dekat sini. Setelah berpamitan, aku menuju ke luar dan berjalan pelan di jalan paving block menuju ke pintu gerbang.
Jam di ponsel menunjukkan pukul sepuluh malam. Suasana di depan Radio Rebel sudah mulai sepi, walaupun banyak pedagang masih berjualan.
"Mau ke mana, Neng?" sapa Pak Obi yang berada di pos satpam.
"Mau beli minum, Pak," jawabku tersenyum.
"Oh, iya, Neng," Pak Obi mengangguk. Ia berdiri di pintu gerbang dan masih berada di sana saat aku kembali.
"Nunggu apa, Pak? Kok berdiri di sini?" tanyaku sembari menyerahkan segelas kopi pada beliau.
"Nungguin Neng Inoxu, takut ada yang gangguin. Pemuda sini mah kadang suka ada yang mabok," jawabnya yang membuatku terharu.
"Ih Bapak baik bener, makasi loh Pak. Saya masuk dulu ya?" pamitku yang direspon anggukan dan ucapan terima kasih atas kopinya.
Saat sedang berjalan santai dan melihat-lihat ke arah halaman, lampu tiba-tiba padam sehingga membuat suasana gelap gulita. Dengan penerangan seadanya dari ponsel, aku kembali berjalan pelan sembari menunduk ke arah jalan paving block karena takut tersandung.
Duk duk duk!
Sebuah bola memantul dan mengenai betisku. Tidak jauh dari tempatku berdiri, seorang anak laki-laki berbaju putih menatapku datar.
"Dek? Ini punya kamu?" tanyaku menunjuk bola.
Anak laki-laki yang kuperkirakan adalah anak dari salah satu penjual makanan di depan sana, tidak menjawab. Dengan perlahan, aku mengambil bola tersebut dan mendekatinya, dengan maksud mengembalikan bolanya.
Keanehan terjadi saat aku melangkah. Dari tempatku berdiri ke arah anak itu hanya sekitar lima meter, namun entah kenapa, setiap aku berjalan, jarak di antara kami seolah tidak terkikis sama sekali.
"Neng, lagi ngapain?" tanya Pak Obi yang tiba-tiba sudah berada di belakangku.
"Ini, mau ngembaliin bola anak yang tadi," jawabku menunjukkan bola di tangan.
Pak Obi mengambil bola tersebut. "Biar Bapak aja yang nanti ngembaliin."
Aku mengangguk mengiyakan.
"Masuk aja yuk, Neng? Bareng Bapak. Bapak juga mau ke dalem," ajaknya. Tepat di teras, lampu tiba-tiba kembali menyala.
"Baru aja mau aku jemput, yank," ucap Bang Win di pintu masuk.
"Ini, udah dianter Pak Obi nih," jawabku menuju ke arah sofa. Bang Win hanya tersenyum pada pria tua itu.
"Gensetnya belum berfungsi ya, Nak?" tanya Pak Obi.
"Belum, Pak Obi. Kayanya besok harus manggil lagi orang buat benerin deh. Ngga akan bisa mulai siaran kalau masalah listrik belum beres," jelas Bang Win.
"Ya sudah, biar besok Bapak hubungi orang yang kemarin lagi, ya?" balas Pak Obi.
"Iya Pak, boleh. Makasi ya sebelumnya," jawab Bang Win. Suamiku itu lalu kembali menuju ke dalam setelah memberitahuku untuk ke ruangannya jika sudah mulai mengantuk. Pak Obi sendiri, ikut duduk di sofa untuk menemaniku minum kopi.
"Neng, Bapak boleh bilang sesuatu ngga?" tanyanya dengan suara yang ramah.
"Boleh Pak, ada apaan? Kita mau gibahin siapa nih?" tanyaku lirih.
Pak Obi tertawa mendengar perkataanku. "Bukan mau gibahin orang. Neng, mah ya. Bapak udah tua kok malah diajak ngegibah."
Aku hanya nyengir dan mulai meminum kopiku.
"Lain kali, kalau ada yang aneh, jangan diikutin ya, Neng? Abaikan aja, langsung pergi," ucap Pak Obi serius.
"Maksudnya gimana, Pak?"
"Yang kaya tadi. Waktu Neng mau ngembaliin bola anak kecil tadi," jawab Pak Obi.
"Emang kenapa, Pak? Kan itu anak penjual di depan sana, bukan?"
"Tadi bolanya di mana, Neng?" Bukannya menjawabku, Pak Obi malah bertanya.
"Kan tadi bolanya dipegang Bapak," jawabku heran karena aku tidak melihat adanya bola di tangan Pak Obi.
"Bolanya ilang, Neng."
Aku mengerutkan kening.
"Bolanya ilang karena sebenernya, itu bukan bola sungguhan," jawab Pak Obi.
"Gimana-gimana?" tanyaku semakin tidak mengerti.
"Bola itu bukan bola sungguhan karena anak itu juga bukan manusia sungguhan."
Napasku seketika tertahan ketika mendengar ucapan Pak Obi. "Anak itu memang anak salah satu penjual makanan yang biasa mangkal di depan sana. Tapi udah satu tahun ngga pernah lagi berjualan karena suatu peristiwa," jelas Pak Obi.
"Anak itu kerap dibawa orang tuanya saat mereka berjualan karena ngga ada yang nemenin di rumah. Sampai suatu hari, karena sedang asik bermain bola, dia ngga sadar kalau udah sampai ke tengah jalan sehingga tertabrak motor yang lewat dan tewas di tempat. Sejak saat itu, Bapak seringkali melihat kemunculannya, namun selalu Bapak abaikan."
"Beneran, Pak?" tanyaku memastikan.
"Iya, sebetulnya ngga ganggu. Cuma ya itu, sesekali suka nampakin diri ke orang-orang sekitar. Lain kali mah diabaikan aja ya? Ke depannya, Neng mungkin bakal nemuin lagi kejadian serupa. Karena bangunan ini, lokasi ini, menyimpan banyak peristiwa yang ngga semuanya indah. Ada peristiwa yang menyedihkan, ada yang tragis, dan banyak lagi."
Walaupun diucapkan dengan tenang oleh Pak Obi, perkataan beliau barusan sontak membuat jantungku berdebar kencang.
"Bapak udah lama tinggal di sini?" tanyaku pada Pak Obi.
Sore ini, aku menyusul Bang Win ke Radio Rebel setelah sebelumnya mengambil mobil yang sedang diservis di bengkel.
"Ngga terlalu lama juga, Neng. Bapak pindah ke sini setelah memasuki masa pensiun sebagai kepala stasiun kereta api di salah satu daerah Jawa Barat."
"Oh, gitu," responku sembari meminum es kopi yang baru kubeli.
"Bangunan ini milik kakak Bapak tadinya, dan dalam keadaan terbengkalai waktu Bapak pindah ke sini. Karena ngga ada kegiatan lain, Bapak iseng bersih-bersihin. Dan setelah suami Neng Rebel membeli tempat ini, beliau meminta Bapak untuk sesekali ke sini."
"Jadi Pak Obi itu pamannya Teh Nday?" tanyaku kaget.
"Betul, Neng."
"Teh Nday sendiri orangnya gimana sih, Pak?" Aku menatapnya dengan penasaran.
Pak Obi terkekeh sejenak sebelum menjawab. "Nday itu dari kecil memang udah luar biasa pinter. Sayangnya karena punya kelainan jantung bawaan, dia ngga bisa banyak beraktifitas di luar rumah. Itu sebabnya, temennya juga ngga banyak. Neng Rebel setau Bapak memang satu-satunya sahabat Nday. Mereka saling mengisi satu sama lain, sama-sama pinter, sama-sama punya mimpi besar yang pada waktu itu menurut orang sekitar mereka mustahil untuk diwujudkan."
"Kalau yang di belakang itu teh, kuburan siapa, Pak? Yang ada nisannya."
"Si Bruno, peliharaannya Nday. Temen bermain Nday kalau di rumah, sekalian penjaga bangunan ini," jawab Pak Obi.
"Anjing?" tanyaku penasaran
"Iya. Buat ngejaga mereka sekeluarga karena daerah ini dulunya sepi banget."
"Pak Obi," panggil Kang Utep dari halaman samping. "Bapak udah makan? Bisa tolongin saya sebentar?"
"Udah, Nak Utep," jawab Pak Obi sembari berdiri. Aku melihat Kang Utep membawa sebuah bingkai besar yang masih ditutupi kertas coklat dan diikat.
"Bapak tinggal dulu ya, Neng?" pamitnya padaku.
Sepeninggal Pak Obi, aku memilih untuk masuk dan melihat-lihat studio yang akan kugunakan untuk siaran program Kisah Tengah Malam. Peralatan studio yang modern, berbanding kontras dengan bangunan ini. Namun entah kenapa, perpaduan keduanya memberi kesan unik. Tidak perlu memasang AC di sini karena ruangan ini sendiri sudah cukup dingin.
Aku menikmati keheningan yang menenangkan. Di sini, aku tidak pernah sekalipun mendengar suara-suara yang aneh. Hal ini membuatku merasa sangat lega karena pada awalnya kukira akan mendapat banyak gangguan.
Telepon yang berbunyi mengalihkan perhatianku dalam sekejap. Karena takut ada hal yang penting, dengan cepat aku meraih gagang pesawat telepon yang terletak di meja kerja Gia.
"Selamat sore, dengan Radio Rebel di sini. Ada yang bisa saya bantu?" tanyaku.
Aku menunggu beberapa detik ketika tidak ada jawaban sama sekali dari ujung sambungan. Merasa jika mungkin ini adalah panggilan iseng, aku menaruh gagang telepon, kembali ke tempatnya dan menunggu.
Benar dugaanku, telepon di depanku kembali berbunyi. "Selamat sore, dengan Radio Rebel di sini. Ada yang bisa saya bantu?" ulangku.
"Halo ...?"
"Iya, halo. Maaf, saya berbicara dengan siapa? Ada yang bisa dibantu?" tanyaku.
"Ini dengan radio?" tanya suara di ujung sambungan yang terdengar keheranan.
"Iya betul. Ini Radio Rebel. Maaf, ada yang bisa saya bantu?"
"Saya Novi," jawabnya lirih.
"Iya, Teh Novi. Ada yang bisa dibantu?" tanyaku lagi mulai kesal.
Hanya keheningan yang kudapat dari ujung sana. "Teh Novi mau bicara dengan siapa?" ulangku lagi sembari berusaha menahan diri agar suaraku tidak meninggi.
"Ngga mau bicara dengan siapa-siapa, Teh. Saya dapet nomor ini di box telepon umum."
Aku mengerutkan kening tidak percaya. Masih adakah telepon umum yang beroperasi di tahun 2022?
"Teteh emang di mana? Teteh nelpon pake telepon umum?" tanyaku dengan rasa penasaran yang semakin meninggi.
"Di daerah Cipaganti. Saya sekarang pakai telepon rumah, Teh. Nomor ini saya dapet dari box telepon umum di depan kampus. Saya kira ini nomor asal, ngga taunya beneran nyambung ke radio," jawabnya ragu.
"Nomor ini memang nomor telepon radio. Radio Rebel namanya, letaknya juga di Cipaganti, Teh. Saya baru tau kalau masih ada telepon umum di jaman sekarang," ucapku. "Rumah Teteh di Cipaganti mana?"
"Jalan Cipaganti nomor 128."
"Oh, kayanya sih deket sini ya, Teh? Main ke sini dong. Banyak kok pendengar Radio Rebel yang suka main ke sini," tambahku.
"Emang boleh, Teh?" tanya Novi.
"Boleh dong, kenapa ngga? Main aja ke sini."
"Iya deh, nanti saya cari dulu alamatnya. Nama radionya apa tadi?" Novi terdengar antusias.
"Radio Rebel. Belum pernah denger?" tanyaku heran.
"Belum, Teh. Setau saya, radio di Bandung cuma Oz, Dahlia, Ardan, dan Lita."
"Oh, itu mah emang radio senior. Radio-radio itu berdiri udah dari tahun 1970an. Kalau Radio Rebel baru enam tahunan berdiri," jelasku.
"Oh iya, Teh. Beneran ngga apa-apa kalau saya main ke situ? Saya dan sahabat saya pengen banget jadi penyiar. Bahkan, kami punya mimpi untuk membuat radio kami sendiri."
"Wih keren banget, Teh Novi! Semoga cita-citanya terkabul ya?" balasku.
"Aamiin, makasi ya Teteh. Nanti kalau saya main ke sana, jangan diusir loh," ucap Novi terkekeh.
"Ngga bakal. Tenang aja ya?"
"Iya deh, makasi banyak ya, Teh. Saya tutup teleponnya. Dadah."
"Sama-sama, Teh Novi. Dadah." Aku meletakkan gagang telepon kembali ke tempatnya, dan bermaksud pergi ke ruangan Bang Win ketika sosok suamiku itu ternyata sudah berdiri di ambang pintu studio.
"Ngomong sama siapa, Yank?" tanyanya.
"Sama penelpon tuh. Tadi nelpon ke sini, ya terus ngobrol deh jadinya," jawabku menghampirinya. "Mau pulang sekarang?"
"Nunggu waktu sholat magrib dulu deh," jawab Bang Win dengan muka tegang.
"Kenapa? Kok pucet banget mukanya?" tanyaku menelisik.
"Kamu yakin tadi ngobrol sama penelpon?"
"Iyah," jawabku tegas.
"Ngga mungkin, Yank. Saluran telepon Radio Rebel belum tersambung. Utep baru daftarin kemarin, dan masih dalam proses."
Aku mengerutkan kening. "Beneran kok. Penelepon tadi namanya Novi. Dia bilang dapet nomor Radio Rebel di box telepon umum."
"Tambah ngga mungkin lagi. Kan nomor Radio Rebel lagi diproses. Kita aja belum tau nomornya berapa. Dan pesawat telepon di tiap studio itu ekstensi, jadi kalau pun ada yang nelpon, pasti yang bunyi pesawat telepon di meja resepsionis. Lagian, emangnya masih ada telepon umum yang beroperasi di tahun 2022?" tanya Bang Win dengan suara lirih.
Hatiku mencelos dan perasaan was-was kembali menghampiri.
"Aku ngelindur kayanya," ucapku lesu. Pasalnya aku sangat yakin jika baru saja berbicara dengan seseorang di sambungan telepon.
"Ngga usah dipikirin. Abaikan aja kalau sekiranya aneh." Bang Win mulai mengerti keanehan yang terjadi dan ia menyodorkan tangannya untuk kugenggam.
Kami keluar dari studio dan melihat Kang Utep yang sedang memasang sebuah foto besar tepat di belakang meja resepsionis dibantu Pak Obi.
Semakin dekat ke arah mereka, jantungku berdetak semakin kencang. Mataku terpaku menatap sebuah foto hitam putih dengan ukuran cukup besar, yang menampilkan dua orang gadis sedang bergaya tepat di depan sebuah bangunan yang kukenali sebagai bangunan Radio Rebel.
Novi Rindayu (Nday) & Regina Maharani Rahman (Rebel)
Jalan Cipaganti No. 128 Bandung - Tahun 1992
Nafasku seketika tercekat setelah membaca tulisan tepat di bagian bawah foto tersebut dan membuat tubuhku lemas tiba-tiba.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!