Episode 2

Selama sebulan lebih, hampir setiap hari aku mengunjungi kantor baru Radio Rebel bersama Bang Win, dan yang lainnya. Setelah proses pembersihan dan renovasi, bangunan Radio Rebel sudah terlihat tidak terlalu berantakan. Teh Rebel meminta untuk dipasangkan banyak lampu di halaman yang dijadikan tempat parkir. Ada juga neon box besar serta pos keamanan, yang letaknya tepat di dekat pintu gerbang.

Lokasi bangunan yang pada awalnya kukira terletak di tempat yang sepi, ternyata salah besar. Menjelang malam, banyak pedagang yang berjualan di sepanjang trotoar. Tidak jauh dari situ, ada beberapa kafe dan coffee shop berkonsep unik, yang buka sampai larut malam sehingga membuat suasana di sekitar masih cukup ramai, dengan para pengunjung yang kebanyakan muda mudi.

Kepindahan Radio Rebel membawa antusias tersendiri untuk warga sekitar. Mereka senang karena mengetahui jika bangunan yang sudah berpuluh tahun kosong, pada akhirnya menjadi kantor baru kami. Beberapa kali kami menerima kunjungan dari para pendengar yang penasaran.

"Ih, cucok banget deh pindah ke sini. Bisa cuci mata euy," seru Gia melihat-lihat keadaan pada waktu menjelang malam.

"Inget Tomo, hei!" timpal Adul meliriknya sinis yang membuat Gia tertawa.

"Eh, tapi serius. Enak loh di sini. Hawanya enakeun banget," Teh Opi membuka suara.

"Padahal lama ngga ditempatin yah?" sambung Gia lagi yang diangguki oleh kami semua.

"Teh Nday dulu anak siapa ya? Jaman dulu punya rumah segede gini juga kayanya bukan dari kalangan orang biasa," tanyaku.

"Ngga ada yang tau. Teh Rebel juga ngga cerita banyak. Biarin ajalah, yang penting Radio Rebel masih berjaya," jawab Teh Opi.

Kami sedang bersantai di teras depan bagian kiri yang sudah diubah menjadi tempat nongkrong para penyiar dan karyawan dengan sofa besar serta bean bag. Di teras bagian kanan, berdiri lemari kaca yang berisi beberapa piagam serta piala-piala penghargaan yang diberikan untuk Radio Rebel.

Ruangan luas yang berada setelah pintu masuk, di sebelah kanan dijadikan tempat resepsionis dan ruang tamu untuk menerima kunjungan para vendor serta klien. Di sebelah kiri disekat sebagai ruangan para penyiar, di mana terdapat loker untuk menyimpan barang pribadi serta papan tulis besar yang berisi jadwal siaran harian, lengkap dengan satu set sofa untuk beristirahat dan beberapa meja kerja.

Dari delapan kamar besar di bangunan ini, enam dijadikan studio siaran, di mana Kisah Tengah Malam direncanakan mengudara di studio dua. Sisanya adalah ruang kerja Bang Win dan ruang kerja karyawan non penyiar. Paviliun yang memiliki sisi tembok setengah lingkaran dengan jendela full kaca dijadikan perpustakaan sekaligus ruang rapat.

Di bagian belakang, teras yang sudah dibangun tertutup, di satu sisi dijadikan pantry, lengkap dengan semua peralatannya. Dan di sisi satunya, dijadikan mushola.

Tepat di sebelah pantry, yang tadinya adalah halaman dengan lorong terbuka, sudah ditutup juga, dan dibangun tempat wudhu serta dua kamar mandi. Di sebelah mushola, tepat berhadapan dengan tempat wudhu, dibangun dua kamar berderet. Satu untuk ditempati Pak Obi, dan satu lagi untuk tempat menaruh alat musik.

Sedangkan bangunan di ujung lorong yang tadinya adalah kamar mandi dan dapur lama, diputus dari bangunan utama, untuk dijadikan ruangan tempat pusat kelistrikan serta penyimpanan genset.

***

"Ngantuk?" tanya Bang Win mengacak rambutku. Dari tadi ia sibuk memasang perangkat komputer baru di ruangannya. Aku sendiri, menyandar di sofa dengan mata yang mulai terasa berat. Teman-teman lain sudah pulang dari setengah jam yang lalu.

"Mayan," jawabku pelan.

Ia menghentikan kegiatannya untuk duduk di sampingku, lalu memeluk dan menyandarkan kepalanya di bahu. "Pulang aja yuk?" bisiknya tepat di telinga.

"Beresin aja dulu deh. Kalau pulang sekarang, besok pasti ke sini lagi. Kan besok mau jalan-jalan," balasku menatapnya. Wajahku cukup dekat dengannya dan masih sering membuatku berdebar walaupun kami sudah menikah beberapa bulan.

"Iya. Tunggu bentar ya? Nunggu Utep beresin masalah listrik dulu," ucapnya beranjak untuk kembali ke meja kerjanya setelah sebelumnya mengusap kepalaku lembut.

Aku mengangguk dan berusaha memejamkan mata sebelum memutuskan membeli kopi di salah satu kafe dekat sini. Setelah berpamitan, aku menuju ke luar dan berjalan pelan di jalan paving block menuju ke pintu gerbang.

Jam di ponsel menunjukkan pukul sepuluh malam. Suasana di depan Radio Rebel sudah mulai sepi, walaupun banyak pedagang masih berjualan.

"Mau ke mana, Neng?" sapa Pak Obi yang berada di pos satpam.

"Mau beli minum, Pak," jawabku tersenyum.

"Oh, iya, Neng," Pak Obi mengangguk. Ia berdiri di pintu gerbang dan masih berada di sana saat aku kembali.

"Nunggu apa, Pak? Kok berdiri di sini?" tanyaku sembari menyerahkan segelas kopi pada beliau.

"Nungguin Neng Inoxu, takut ada yang gangguin. Pemuda sini mah kadang suka ada yang mabok," jawabnya yang membuatku terharu.

"Ih Bapak baik bener, makasi loh Pak. Saya masuk dulu ya?" pamitku yang direspon anggukan dan ucapan terima kasih atas kopinya.

Saat sedang berjalan santai dan melihat-lihat ke arah halaman, lampu tiba-tiba padam sehingga membuat suasana gelap gulita. Dengan penerangan seadanya dari ponsel, aku kembali berjalan pelan sembari menunduk ke arah jalan paving block karena takut tersandung.

Duk duk duk!

Sebuah bola memantul dan mengenai betisku. Tidak jauh dari tempatku berdiri, seorang anak laki-laki berbaju putih menatapku datar.

"Dek? Ini punya kamu?" tanyaku menunjuk bola.

Anak laki-laki yang kuperkirakan adalah anak dari salah satu penjual makanan di depan sana, tidak menjawab. Dengan perlahan, aku mengambil bola tersebut dan mendekatinya, dengan maksud mengembalikan bolanya.

Keanehan terjadi saat aku melangkah. Dari tempatku berdiri ke arah anak itu hanya sekitar lima meter, namun entah kenapa, setiap aku berjalan, jarak di antara kami seolah tidak terkikis sama sekali.

"Neng, lagi ngapain?" tanya Pak Obi yang tiba-tiba sudah berada di belakangku.

"Ini, mau ngembaliin bola anak yang tadi," jawabku menunjukkan bola di tangan.

Pak Obi mengambil bola tersebut. "Biar Bapak aja yang nanti ngembaliin."

Aku mengangguk mengiyakan.

"Masuk aja yuk, Neng? Bareng Bapak. Bapak juga mau ke dalem," ajaknya. Tepat di teras, lampu tiba-tiba kembali menyala.

"Baru aja mau aku jemput, yank," ucap Bang Win di pintu masuk.

"Ini, udah dianter Pak Obi nih," jawabku menuju ke arah sofa. Bang Win hanya tersenyum pada pria tua itu.

"Gensetnya belum berfungsi ya, Nak?" tanya Pak Obi.

"Belum, Pak Obi. Kayanya besok harus manggil lagi orang buat benerin deh. Ngga akan bisa mulai siaran kalau masalah listrik belum beres," jelas Bang Win.

"Ya sudah, biar besok Bapak hubungi orang yang kemarin lagi, ya?" balas Pak Obi.

"Iya Pak, boleh. Makasi ya sebelumnya," jawab Bang Win. Suamiku itu lalu kembali menuju ke dalam setelah memberitahuku untuk ke ruangannya jika sudah mulai mengantuk. Pak Obi sendiri, ikut duduk di sofa untuk menemaniku minum kopi.

"Neng, Bapak boleh bilang sesuatu ngga?" tanyanya dengan suara yang ramah.

"Boleh Pak, ada apaan? Kita mau gibahin siapa nih?" tanyaku lirih.

Pak Obi tertawa mendengar perkataanku. "Bukan mau gibahin orang. Neng, mah ya. Bapak udah tua kok malah diajak ngegibah."

Aku hanya nyengir dan mulai meminum kopiku.

"Lain kali, kalau ada yang aneh, jangan diikutin ya, Neng? Abaikan aja, langsung pergi," ucap Pak Obi serius.

"Maksudnya gimana, Pak?"

"Yang kaya tadi. Waktu Neng mau ngembaliin bola anak kecil tadi," jawab Pak Obi.

"Emang kenapa, Pak? Kan itu anak penjual di depan sana, bukan?"

"Tadi bolanya di mana, Neng?" Bukannya menjawabku, Pak Obi malah bertanya.

"Kan tadi bolanya dipegang Bapak," jawabku heran karena aku tidak melihat adanya bola di tangan Pak Obi.

"Bolanya ilang, Neng."

Aku mengerutkan kening.

"Bolanya ilang karena sebenernya, itu bukan bola sungguhan," jawab Pak Obi.

"Gimana-gimana?" tanyaku semakin tidak mengerti.

"Bola itu bukan bola sungguhan karena anak itu juga bukan manusia sungguhan."

Napasku seketika tertahan ketika mendengar ucapan Pak Obi. "Anak itu memang anak salah satu penjual makanan yang biasa mangkal di depan sana. Tapi udah satu tahun ngga pernah lagi berjualan karena suatu peristiwa," jelas Pak Obi.

"Anak itu kerap dibawa orang tuanya saat mereka berjualan karena ngga ada yang nemenin di rumah. Sampai suatu hari, karena sedang asik bermain bola, dia ngga sadar kalau udah sampai ke tengah jalan sehingga tertabrak motor yang lewat dan tewas di tempat. Sejak saat itu, Bapak seringkali melihat kemunculannya, namun selalu Bapak abaikan."

"Beneran, Pak?" tanyaku memastikan.

"Iya, sebetulnya ngga ganggu. Cuma ya itu, sesekali suka nampakin diri ke orang-orang sekitar. Lain kali mah diabaikan aja ya? Ke depannya, Neng mungkin bakal nemuin lagi kejadian serupa. Karena bangunan ini, lokasi ini, menyimpan banyak peristiwa yang ngga semuanya indah. Ada peristiwa yang menyedihkan, ada yang tragis, dan banyak lagi."

Walaupun diucapkan dengan tenang oleh Pak Obi, perkataan beliau barusan sontak membuat jantungku berdebar kencang.

Terpopuler

Comments

Andini Andana

Andini Andana

pak Obi berani syekali, tenang lagi, cucok lah buat jaga2 di sana 😎

2023-01-10

6

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!