Episode 4

"Xu!" panggil Remi melambaikan tangannya dari teras saat aku berjalan di halaman.

"Wih, udah di sini lagi aja, Rem," sapaku sembari duduk di sofa.

"Woyadong! Udah ngga sabar pisan ih, pengen balik siaran."

"Yeee, 'kan sekarang mah siaran percobaan dulu buat ngetest alat-alat sama koneksi," sambungku.

"Ya meskipun. Semangat banget-lah Xu, pengen siaran lagi kaya dulu," kekehnya. "Eh tapi kok siaran percobaan serentaknya pas abis magrib sih? Kenapa ngga dari siang aja?"

"Ngecek daya listrik bangunan ini, kuat ngga kalau misal dipakai malam hari secara bersamaan. Kalau bisa, siaran yang off air juga bakal direkam malam, buat diputar besok paginya," jelasku. "Jadi ngga perlu antri kaya di kantor lama."

"Wih, keren pisan! Jadi sekarang kalo kita siaran malem ngga bakal sendirian banget lah ya?"

"Ya ngga-lah. Kan ada Pak Obi yang tinggal di sini. Adul juga katanya mau nempatin kamar yang jadi tempat naruh alat musik. Kejauhan banget dari rumahnya, kalo harus bolak balik."

"Bagus atuh, biar rame," balas Remi yang kuangguki. "Eh, jajan yuk? Di depan ada martabak mini, tuh."

"Hayu!" seruku. Kami berdua berdiri dan mulai berjalan ke arah depan, di mana banyak pedagang berjualan.

***

"Halo semua!"

"Assalamualaikum!"

"Inoxu hadir kembali menemani istirahat malam para pendengar semua!"

Aku mengoceh tidak karuan di depan mic karena Remi sedang mengontrol volume microphone. Kami mulai melakukan siaran percobaan, setelah sholat berjamaah di mushola.

"Adul woyadong!"

"Gubrak! Gubrak! Gubrak!"

"Emak, Adul mohon jangan ngomel mulu! Jangan apa-apa ngancem buat nyeburin Adul ke kolem ikan! Amis tau airnya!"

Aku tertawa mendengar perkataan Adul. Ia juga sedang mengoceh untuk mengecek volume. Di sudut ruangan, Remi masih fokus menatap layar monitor di meja panel kontrol dengan Gia yang berdiri di belakang kursinya.

"Xu, coba siaran penuh ya? Nanti kalo aku udah muterin lagu, kamu nyanyi," ucap Remi yang kuacungi jempol.

"Adul juga mau nyanyi dong," sahut Adul.

Remi mengangguk dan mulai mengatur kembali panel kontrol. "Standby yak!"

Aku dan Adul mengangguk sembari menunggu aba-aba.

"3, 2, 1, go!" Remi mengangkat jempolnya.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabatakatuh. Selamat malam dan selamat bertemu lagi dengan Inoxu dan Adul dalam siaran percobaan Radio Rebel Bandung 12,08 FM untuk program Kisah Tengah Malam.

Kali ini kami akan mempersembahkan satu buah lagu, untuk merayakan kembali pertemuan kita setelah sekitar dua bulan berhenti mengudara untuk sementara waktu, terkait kebakaran yang menimpa kantor lama Radio Rebel. Silakan bergoyang mengikuti irama dan selamat bersenang-senang," kataku memulai siaran.

Alunan lagu memasuki indera pendengaranku melalui headphone yang kupakai. Adul sendiri sudah mulai meliuk-liuk di kursinya. "Nah, ini lagu favorit Adul! Banyak yang bilang, muka Adul mirip vokalisnya," ucapnya.

"Iya sih bener. Emang mirip," jawabku menahan tawa.

"Biar kata nenek sihir. Bagiku kau Britney Spears!

Oh oh ... I love you bibeh!

Biar kata mirip buaya. Bagiku Luna Maya!

Oh oh ... I love you bibeh!"

Adul bernyanyi kencang diiringi tawaku, Remi dan Gia, saat pintu terbuka dan sosok Teh Hani masuk ke studio dengan mengikuti gaya Adul yang masih meliuk-liuk.

Kami tertawa bersama dan menikmati siaran percobaan ini. Kembali siaran setelah cukup lama berhenti, membawa energi positif dalam diri kami masing-masing.

"Itulah dia I Love You Bibeh yang dicover oleh Adul dari Radio Rebel," aku kembali bersuara.

"Selamat datang untuk Teh Hani yang baru saja memasuki studio karena terpancing nyanyian Adul yang mempesona. Dan sayang sekali pendengar semua, berakhirnya lagu barusan pertanda jika siaran percobaan kali ini sudah berakhir. Sampai jumpa lagi di siaran resmi Kisah Tengah Malam. See you on top! Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh."

Aku mematikan mic dan melihat ke arah Remi yang bertepuk tangan di atas kepalanya. "Done ya gaes ya! Kontrol aman!" serunya.

"Alhamdulillah," ucap kami semua. Remi memutar alunan instrumen klasik dengan volume rendah saat aku melepas headphone. Teh Hani yang duduk dekat meja kerja Gia tersenyum bersemangat.

"Lancar semua ya? Studio lain serempak juga siaran percobaan, hasilnya aman semua. Listrik sama server kita ngga down," ucapnya.

"Yihaaa! Bisa secepetnya siaran lagi dong kita?" tanya Gia berbinar.

"Bisa! Paling lambat minggu depan semua program siaran Radio Rebel udah bisa mengudara," jawab Teh Hani nyengir.

Kami terlibat obrolan ringan selama kurang lebih setengah jam ketika sebuah suara benturan ringan terdengar di jendela.

Bug!

"Apa itu?" tanya Adul seketika. Kami semua saling menatap dengan wajah bingung.

Bug!

Suara itu terdengar lagi dan membuat Adul beranjak mendekati jendela lalu membukanya.

"Hei Jang! Jangan lempar-lempar bola ke jendela atuh! Bikin kaget deh," seru Adul pada seseorang di luar sana.

Karena penasaran, aku menggeser kursiku dan terpana seketika saat melihat sosok anak kecil berbaju putih, sedang berdiri tidak jauh dari jendela. Di dekat kaki anak itu terdapat sebuah bola. Bola yang sama, yang beberapa waktu lalu mengenai kakiku.

"Sana-sana," suruh Adul pada sosok itu.

"Udah sih, Dul. Ngga usah diladenin. Tutup aja jendelanya," kataku lirih. Pasalnya aku tau jelas siapa sosok anak kecil itu.

"Iya Teh, entar Adul tutup kalo anak itu udah pergi. Kalo ngga, dia nanti lempar-lempar bola lagi. Bikin kaget," jawab Adul. Ia kini menggerakkan tangannya pada anak kecil itu sebagai isyarat untuk pergi.

Rasa was-was mulai merambati hariku. Namun, karena ada Teh Hani, sedikitnya aku masih merasa tenang. Teh Hani terlihat santai dan hanya menatap ke arah Adul dengan pandangan datar. Dari pengalaman di kantor Radio Rebel yang lama, bisa kusimpulkan jika Teh Hani bukanlah seorang penakut.

"Udah sana pergi! Besok-besok kalau om ngga siaran, kita main bola bareng," sambung Adul. Perkataannya membuatku kaget seketika dan merasa jika sesuatu akan terjadi.

Benar saja! Sosok anak kecil itu perlahan melayang dan terbang ke arah jendela studio ini, di mana Adul masih berdiri.

"Emak!" teriak Adul lantang dengan mata membola.

Dengan kedua tangan masih memegang teralis jendela, tubuh Adul merosot di lantai. Ia menjerit-jerit histeris. "Astagfirullah! Emak tolong! Emak! Toloong!"

Aku, Teh Hani, Gia dan Remi, hanya bisa terpaku di kursi masing-masing karena kejadian ini berlangsung cepat dan membuat kami kaget setengah mati.

"Teh, usir Teh," ucapku susah payah pada Teh Hani yang melotot dan tidak mengalihkan pandangan dari jendela. Sosok anak kecil itu terlihat melayang-layang naik turun dan menyeringai di luar sana.

"Xu, lari!" teriak Teh Hani tiba-tiba yang membuatku kaget untuk kedua kalinya. Dengan cepat Teh Hani berlari keluar disusul oleh Gia dan Remi.

"An*jir si Xu loadingnya lama!" maki Gia yang berhenti berlari lalu berbalik ke arahku yang masih diam di kursi. Dengan kasar, ia menarikku keluar dari studio dan meninggalkan Adul yang masih menjerit histeris.

"Ada apa?" tanya Pak Obi yang datang tergopoh-gopoh ketika melihat kami berlari.

"Ada setan anak kecil, Pak!" lapor Remi.

Pak Obi terpana sesaat sebelum menuju ke studio dengan langkah lebar. Kami yang ketakutan sekaligus penasaran, ikut mengekor di belakangnya.

"Pulang, Jang, tos Wengi (sudah malam). Tong ngaganggu lamun hayang keneh di dieu (jangan mengganggu kalau masih mau di sini)," ucap Pak Obi pelan. Perlahan namun pasti, sosok anak kecil itu terlihat memudar hingga hilang sepenuhnya.

Pak Obi menghampiri Adul yang masih menjerit. Beliau membacakan doa-doa, lalu meniup kepala Adul pelan. Dalam beberapa detik, Adul seolah kembali mendapatkan kesadarannya dan berhenti berteriak.

"Istigfar Nak Adul," suruh Pak Obi. Berkali-kali beliau menuntun Adul mengucap kalimat istigfar. Setelah keadaan dirasa membaik, kami semua keluar dari studio dan duduk di sofa teras.

"Lain kali, kalau ada yang hal yang janggal, langsung diabaikan saja ya? Jangan penasaran, apalagi menantang," saran Pak Obi lembut. Kami semua mengangguk dan masih terdiam satu sama lain saat Pak Obi pamit untuk ke pos satpam.

"Teteh kenapa tadi lari? Bukannya Teteh pemberani?" tanyaku penasaran pada Teh Hani.

"Xu, kalo di kantor lama mah, Teteh udah biasa. Udah biasa sama keanehan di sana. Kalau di sini, kita kan baru semua. Jadi kalo ada yang gitu-gitu lagi, Teteh takut atuh. Orang penghuninya beda," jawabnya lirih.

"Yah, kita ngandelin siapa dong sekarang? Teteh juga takut gitu," timpal Gia.

"Eh, kan ada Pak Obi. Keren banget tadi Pak Obi waktu nyuruh anak itu pergi. Ngga pake bahasa kasar, ngga marah-marah, ngga nyentak-nyentak," sambung Remi.

"Iya ya? Pak Obi kayanya udah biasa ketemu yang aneh-aneh, jadi udah ngga takut lagi," sahutku yang diangguki oleh semua. Walaupun masih gemetar karena sisa-sisa ketakutan, aku merasa lebih tenang, karena kehadiran Pak Obi di Radio Rebel.

Terpopuler

Comments

Andini Andana

Andini Andana

udh ga maen lagi yaa bentak2.. "rek di duruk!? nyingkah sia!"..😅
pak Obi kalem tapi pasti 👍
Adul sok2an mau maen bola bareng, giliran di deketin tereak emak 😂😂

2023-01-10

5

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!