Episode 12

"Teh, kalo ada lagu ini, pasti yang muncul setan orang Belanda yang ngga punya kepala," celetuk Adul tiba-tiba. "Nyanyinya gimana ya? Kan ngga punya kepala."

Plak! Plak! Plak!

Adul mendapat puku*lan keras di bahu dan lengannya dari kami semua. Suasana yang terasa menakutkan semakin menjadi, karena ucapan Adul barusan.

"Diem! Ini mulut diem!" sentak Remi membekap mulut Adul karena kesal.

Nyanyian tersebut masih terdengar samar, namun tidak ada sosok yang nampak. Hal ini justru membuat kami semakin takut.

"Pada ngapain sih, duduk dempet-dempetan gitu? Akrab bener," tanya Kang Utep yang baru saja masuk.

"Huaaa!" teriak kami serempak. Rasa takut yang memuncak, ditambah kemunculan Kang Utep secara tiba-tiba membuat kami semua lepas kendali.

"Ish lebay! Ditegur doang pada teriak," balas Kang Utep sinis.

Tidak lama, listrik mulai menyala dan seketika membuat bangunan ini terang benderang. "Alhamdulillah," ucap kami semua spontan.

"Eh, tadi si Kokom dicariin emaknya tuh. Suruh pulang aja gih. Emaknya udah mau pulang, abis beres jualan," sambung Kang Utep ikut duduk di sofa.

"Lah, orang dari tadi ngga ada Kokom di sini, kita kira udah pulang," sahut Teh Hani. "Tadi pas mati lampu, Adul nyariin ke pantry, tapi ngga ada siapa-siapa."

"Waduh," balas Kang Utep. "Hayulah cari, emaknya udah nanyain tadi. Anak orang takut kenapa-kenapa."

Kami bangkit dan mulai mencari Kokom di dalam bangunan seluas ini. Setiap studio kami masuki namun hasilnya nihil. Tidak ada sosok Kokom di sana.

"Kokom udah pulang kali ya ke rumah?" ucap Teh Opi saat kami duduk di sofa teras.

"Bisa jadi, Teh. Mungkin Kokom pulang tapi emaknya ngga tau," balas Teh Hani dengan wajah yang tidak yakin.

"Ya udah deh, aku mau pulang aja," celetuk Gia setelah beberapa saat kami terdiam.

"Iya deh, aku juga. Ngga bakal bisa siaran kan ini?" tanya Remi.

"Ngga. Sok pulang aja, hati-hati di jalan ya?" balas Kang Utep.

Remi dan Gia mengangguk dan melambaikan tangan, lalu berjalan menuju pintu gerbang. Tidak lama kemudian, Bang Win dan Pak Obi serta dua orang yang kuperkirakan sebagai teknisi, berjalan dari halaman samping.

"Makasih banyak atas bantuannya ya, Kang?" seru Bang Win sebelum keduanya menaiki motor dan keluar dari halaman parkir.

"Beres, Win?" tanya Kang Utep ketika Bang Win dan Pak Obi ikut duduk bersama kami.

"Alhamdulillah beres," jawab Bang Win singkat sembari menatap ke arahku.

"Apa?" Aku bertanya.

"Ngga. Kangen aja," balas Bang Win yang membuat semua memicingkan mata dan Pak Obi terkekeh.

"Ah elah!" lirih Kang Utep dan Adul bersamaan.

"Win emang luar biasa! Bertaun-taun sikapnya dingin, kaku kalo ngobrol, garang kaya singa. Eh, ketemu sama Inoxu bisa jadi anak kucing, manja!" tambah Teh Opi.

Aku hanya tersenyum lebar menyaksikan Bang Win yang menunduk salah tingkah. Sepertinya ia lupa jika sedang dikelilingi teman-temannya.

"Bapak ke depan dulu ya?" pamit Pak Obi sembari berdiri, lalu tersenyum seraya mengacungkan jempolnya saat Bang Win berterima kasih atas bantuan beliau saat padam listrik.

"Udah, hayu pulang," Kang Utep berkata setelah sosok Pak Obi terlihat memasuki pos satpam.

"Bentar!" sela Teh Opi tiba-tiba. Semua mata memandangnya heran.

"Ada postingan pembaca lagi. Pembaca nanya, kenapa malam ini bukan Teh Inoxu dan Kang Adul yang siaran."

"Kayanya bener saluran kita bocor. Orang di studio ngga ada siapa-siapa kan?" tanya Kang Utep.

Teh Opi membuka aplikasi pemutar radio di ponsel lalu mencari frekuensi Radio Rebel. Seketika kami terdiam karena terdengar suara asing yang sedang membawakan program siaran Kisah Tengah Malam.

"Ngga mungkin penyiar sini, 'kan?" tanya Teh Hani.

Gubrak! Seolah menjawab pertanyaan Teh Hani, suara yang lumayan keras terdengar dari dalam, yang sontak membuat kami semua masuk untuk melihat. Pintu semua studio tertutup, namun Kang Utep yakin jika suara tersebut berasal dari salah satu studio.

"Kokom?" seru Adul ketika ia membuka pintu studio satu. Kami semua setengah berlari menghampirinya dan melihat sesosok tubuh sudah tergeletak di lantai.

"Perasaan tadi udah ke studio ini, tapi ngga ada siapa-siapa. Kok tau-tau, Kokom jadi ada di sini?" tanyaku lirih.

"Ngga tau, bantuin bangunin Kokom aja yuk?" ajak Teh Opi.

"Ngga, Teh, aku mah takut. Silakan Teteh aja," balasku yang membuatnya menggeleng pelan.

"Kom! Kokom! Bangun, Kom!" panggil Teh Opi seraya menepuk pipi Kokom berkali-kali.

"Saya tanya dulu bentar ke Pak Obi, barangkali dia naruh obat atau apapun yang bisa bikin Kokom bangun," ucap Bang Win. "Oxu, kalau ada yang aneh, tolong menghindar, oke?" tambahnya padaku sebelum keluar dari studio.

"Kom, bangun Kom," ucap Adul ikut membantu menyadarkan Kokom. Terlihat jika Kokom dengan susah payah membuka mata dan mengerjapkannya berkali-kali. Teh Opi dan Adul membantunya bangkit dari posisi tiduran untuk duduk di kursi.

"Bentar, Adul ambilin minum du—."

"Hehehe!"

Ucapan Adul terpotong oleh tawa kecil dari Kokom yang sudah menundukkan kepala sehingga rambutnya terurai ke depan.

"Ah elah, mulai lagi. Bakalan cape malem ini," gumam Kang Utep lirih. Ia berjalan pelan menghampiri Kokom dan hampir menyentuh kepala gadis itu saat tiba-tiba lampu studio padam.

Aku dan Teh Hani saling merapatkan diri dan menatap ke segala arah.

"Yang ma*ti lampu di sini doang, di luar pada nyala," bisik Teh Hani.

"Mundur!" ucap Kokom lirih penuh penekanan dengan suara yang terdengar berbeda. "Menjauh! Tidak ada yang bisa menyentuh Axava Kalara!" sambungnya.

Teh Opi, Adul dan Kang Utep serentak mundur ke arahku dan Teh Hani yang masih berdiri terpaku.

"Kalian pengganggu! Sama seperti gadis berpenyakitan itu!"

"Kamu yang pengganggu!" balas Adul dengan suara yang berbeda setelah tubuhnya dengan tiba-tiba tersentak ke depan. Ia berusaha melepaskan tangan kami yang menahannya untuk menghampiri Kokom.

"Kamu yang merebut Tama, kamu yang memfitnah Rebel dan kamu juga yang mengikuti mimpi kami menjadi penyiar! Kamu tidak lebih dari seorang gadis dengan penyakit men*tal, yang berusaha menarik perhatian orang-orang dengan menggunakan penyakitmu!"

"Jangan ikut campur, Nday! Kamu juga penyakitan!" sentak Kokom yang membuat kami serentak menjauhi Adul.

"Itu Teh Nday?" tanya Teh Opi berbisik yang diangguki Kang Utep. Pria itu menggosok keningnya tanda putus asa.

"Bisa perang ini mah," ucapnya lirih.

"Perang?" tanyaku heran yang dianggukinya.

"Liat aja deh ntar," sambungnya lagi.

Adul dan Kokom sudah saling berhadapan dengan sosok dalam tubuh mereka masing-masing. Saling berteriak, saling menyalahkan dan saling menyudutkan.

Tubuhku membeku saat keduanya mulai menyerang satu sama lain. Menjam*bak, menen*dang, dan menca*kar. Persis seperti yang dulu kulakukan dengan Adul.

"Pisahin woi!" seru Kang Utep maju. Aku, Teh Hani dan Teh Opi yang tersentak, mengekor di belakangnya dan mencoba menarik Adul serta Kokom menjauh.

"Istigfar Kom. Istigfar!" teriak Teh Hani kencang.

Keadaan cukup kacau, tenaga keduanya menguras habis tenaga kami semua. Beberapa kali aku menjadi target salah sasaran Kokom yang membuat kulit tanganku terkelupas karena dicakarnya.

"Aduh!" keluhku merasa pusing. Kokom dan Adul yang berhasil lepas dari pegangan kami, sudah saling menjam*bak kembali. Kata-kata tunangan, dokter Tama, gagal dan penyakitan, berulang kali memasuki pendengaranku.

Aku baru bisa bernapas lega saat melihat Pak Obi berlari masuk, disusul Bang Win yang langsung pasang badan di depanku. Setelah Adul dan Kokom lemas terbaring di lantai, aku yang kelelahan ikut duduk dengan napas tersengal-sengal.

***

"Utep juga baru sadar waktu si Kokom nyebut Axava Kalara. Dari cerita Teh Rebel sih, dia itu dulu pasien dari tunangan Teh Nday," Kang Utep membuka cerita. "Kamu juga masih inget cerita ini 'kan Win?"

Bang Win yang duduk di sebelahku mengangguk. Kokom dan Adul sudah diantar pulang beberapa saat yang lalu, dan kami sedang duduk di sofa teras, menunggu kedatangan Kang Krisna yang akan menjemput Teh Opi.

"Emang gimana ceritanya?" tanya Teh Hani. Aku yang ikut penasaran, mulai menajamkan telinga.

"Kalau kata Teh Rebel, dulu itu Teh Nday punya tunangan yang berprofesi sebagai dokter ahli kejiwaan. Namanya dokter Tama. Teh Nday sendiri bisa kenal sama Axava karena sering ketemu di tempat praktek dokter Tama. Lama kelamaan, mereka jadinya temenan."

"Sama Teh Rebel juga?" tanya Teh Opi.

"Iya, karena kadang Teh Nday dateng ke tempat dokter Tama, dianter sama Teh Rebel. Mereka berteman bertiga, walaupun si Axava ini ngga bisa sedeket Teh Nday dan Teh Rebel. Ngga tau gimana, Axava sempet memfitnah Teh Rebel. Dia bilang ke Teh Nday kalau Teh Rebel mau ngerebut dokter Tama. Syukurnya, Teh Nday lebih percaya ke Teh Rebel daripada ke si Axava. Sampai pada kenyataannya, si Axava malah yang ngerebut dokter Tama, sampai pertunangan mereka putus."

"Woh, jahat banget!" seru Teh Hani.

"Ya gimana, namanya orang sakit jiwa. Dia didiagnosa awal menderita kepribadian ganda yang meningkat menjadi alter ego. Ada beberapa karakter dalam satu tubuh kalau ngga salah," Kang Utep menjelaskan.

"Dia memanioulasi orang sekitar untuk ngedapetin apa yang dia mau, termasuk perhatian dokter Tama sepenuhnya. Pas pertunangan mereka putus, Teh Nday fokus mendirikan Radio Rebel sama Teh Rebel, sampai akhirnya meninggal karena penyakitnya kambuh."

"Kalau si Axava sendiri?" tanyaku.

"Meninggal juga, ngga lama setelah Teh Nday. Bu*nuh diri, sampai masuk koran dan heboh banget. Kalau bahasa jaman sekarang mah, viral," jawab Kang Utep yang kuangguki.

Kami semua tenggelam dalam keheningan dengan pikiran masing-masing dan berpisah untuk pulang ke rumah, setelah Kang Krisna datang dan menjemput Teh Opi.

"Terus kabarnya dokter Tama gimana ya? Tunangannya meninggal, pasiennya juga meninggal, dua-duanya deket sama dia," tanyaku pada Bang Win yang menggenggam tanganku saat berjalan menuju ke tempat mobil di parkir.

"Nikah sama Teh Rebel. Itu juga setelah sekian lama setelah Axava bu*nuh diri," jawab Bang Win. "Namanya jodoh, ya kan?"

"Iya. Ngga nyangka aja gitu, jodohnya ternyata ngga jauh," jawabku datar.

"Kaya kamu sama aku. Walaupun aku butuh waktu lama buat ngungkapin ke kamu," balasnya, tepat sebelum membukakan pintu mobil untukku.

Terpopuler

Comments

Anonymous

Anonymous

jadi suaminya author dong namanya tama iya thor

2023-06-06

0

Andini Andana

Andini Andana

waduh ni etannya lagi pd ngeluarin unek2 yg terpendam 😱

2023-01-12

8

Andini Andana

Andini Andana

😂😂 nasib jomblo

2023-01-12

6

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!