Episode 5

"Lesu banget, Yank? Perasaan tadi di rumah biasa aja," sapa Bang Win ketika aku muncul di ruangannya.

"Ngga tau, tadi di angkot tiba-tiba kliyengan," jawabku menghempaskan tubuh di atas sofa.

"Kumat lagi ya darah rendahnya?" Bang Win menghampiriku.

"Bisa jadi," sahutku pendek. Matahari di luar, panas menyengat, dan sinarnya membuat mataku sakit. Saat aku baru saja memejamkan mata, sesuatu yang dingin menyentuh pipiku hingga membuatku seketika terkejut.

"Minum yang banyak," ucap Bang Win menyodorkan sebotol air mineral yang sudah terbuka. Aku meneguk isi di dalam botol hingga tinggal setengah, ketika terpikirkan akan sesuatu.

"Yank. Pernah ngerasa yang aneh-aneh ngga di sini?" tanyaku menatapnya.

"Ngga."

"Masa?" tanyaku lagi tak percaya.

"Ya, ada sih. Cuma biasa aja," Bang Win terkekeh.

"Digangguin juga?"

Ia mengangguk. "Ya namanya bangunan udah lama kosong, 'kan?"

"Iya sih. Emang digangguin gimana?"

"Ngga usah diperpanjang. Ntar kamu ngga mau nemenin aku di sini," balasnya.

"Ya udah deh jangan." Tepat ketika aku berhenti bicara, mataku sontak menatap ke arah kursi kerja Bang Win yang berputar pelan. Ia sendiri melihatku dengan tatapan tanya sebelum mengikuti arah pandangan mataku.

"Nah kan, tau aja pas mau diomongin," ucapnya terkekeh. "Jangan dimainin woy! Nanti rusak!"

Secara tiba-tiba, kursi itu berhenti berputar dan aku menghembuskan nafas panjang.

"Jangan takut, ada aku," tambah Bang Win yang membuatku menoleh.

"Di sini banyak ya?" tanyaku penasaran. Entahlah, walaupun penakut, hal yang seperti ini membangkitkan rasa ingin tahuku.

"Yank," tegur Bang Win lirih.

"Iya-iya, ngga bakal nanya lagi," balasku sembari menyipitkan mata. "Kita sekarang siaran percobaan lagi? Emang butuh berapa kali siaran percobaan sih, sampai bisa siaran beneran?"

"Nih ya. Siaran percobaan pertama, 'kan buat ngecek server sama listrik bangunan ini, kuat atau ngga kalau dipakai bersamaan. Nah, siaran percobaan kali ini, buat ngetes genset, berfungsi atau ngga kalau listrik padam."

"Jadi nanti pas siaran, listriknya mau sengaja dimatiin?" tanyaku lagi.

"Iya. Nanti teknisinya mau dateng buat ngecek. Kalau udah aman, berarti udah siap buat dipakai siaran sepenuhnya.

"Abis magrib lagi nyobanya?"

"Iya. Karena daya listrik naik biasanya waktu malam. Pemakaian malam hari biasanya lebih banyak, sehingga beban listrik mencapai puncaknya dari jam lima sore sampai jam sepuluh malam," jelasnya lagi.

Aku mengangguk-angguk mengerti.

Tok tok tok!

Pintu ruang kerja diketuk seseorang dari luar, dan ketika dibuka oleh Bang Win, Pak Obi sudah berdiri di sana.

"Masuk Pak Obi."

"Iya Nak, maaf loh mengganggu," sahut Pak Obi ramah.

"Sama sekali ngga mengganggu. Ada apa Pak Obi?"

"Ini, Bapak ijin pulang dulu ya? Ada saudara jauh istri Bapak datang dari luar kota untuk singgah."

"Silakan, Pak. Saya kira ada apa," kekeh Bang Win.

"Tapi, itu Nak," Pak Obi terlihat ragu.

"Ada apa, Pak?" tanya Bang Win.

"Itu, yang waktu itu kita bicarakan sama Neng Rebel," jawab Pak Obi dengan suara lirih hampir tidak terdengar.

"Oh itu. Iya Pak, saya ingat. Saya pastiin jam delapan semua kegiatan sudah beres kok," sambung Bang Win.

Aku menatap mereka berdua bergantian dengan penuh tanda tanya.

"Alhamdulillah kalau Nak Win inget. Ya udah, Bapak permisi dulu ya Nak, Neng?" pamit Pak Obi.

Aku tersenyum mengangguk dan Bang Win berdiri mengantar Pak Obi sampai ke pintu. Setelahnya, ia kembali duduk di sampingku dan menghembuskan nafas panjang.

"Kenapa, Yank?" tanyaku semakin penasaran.

Ekspresi ragu-ragu bisa kutangkap jelas di wajah suamiku itu. Ia menatapku lekat dalam diam.

"Hei, kenapa?"

"Kayanya kita ngga akan bisa siaran percobaan hari ini," jawabnya pelan.

"Kenapa?"

"Karena Pak Obi ngga ada." Bang Win masih menatapku lekat.

"Pak Obi teknisi genset?" Aku tidak mengerti.

"Kamu ngga ngerasa aneh, Yank? Kenapa waktu itu Teh Rebel bilang Pak Obi harus tinggal di sini dan ngebantu kita semua?" Bukannya menjawab, Bang Win malah bertanya.

"Ya karena Teh Rebel mau ngebantu Pak Obi dengan ngasi kerjaan 'kan?"

"No, bukan. Karena Pak Obi bisa menangani semua penghuni lama bangunan ini yang katanya rata-rata pada suka iseng."

"Setan?" tanyaku spontan.

"Ssshh! Semacam itulah. Teh Rebel bilang, dari waktu dia kuliah dan sering nginep di sini. Bangunan ini udah angker."

"Waduh," lirihku pelan. "Pak Obi dukun?"

Bang Win tertawa. "Sembarangan pisan kamu mah kalo ngomong. Bukan, beliau ahli ibadah yang pemberani. Liat sendiri waktu beliau nyadarin Adul kemarin 'kan?"

"Iya sih," sahutku setuju. "Yah, gimana dong kalau Pak Obi ngga ada?"

"Ya ngga apa-apa. Tapi sebisa mungkin jangan terlalu malem. Takutnya nanti temen-temen semua histeris pas diganggu. Kalau sampai kapok dan berhenti kerja, Radio Rebel mau gimana? Lagian, yang kaya gitu harusnya dihadapi. Walaupun takut, ya mau gimana. Kita kan kerja, niatnya nyari nafkah buat keluarga," jelas Bang Win panjang lebar.

"Ya itu kan kamu. Aku mah kerja ya buat jajan aku aja," sambungku.

"Hahaha! Iya, aku yang nyari nafkah, kamu yang main-main aja." Bang Win mengacak rambutku gemas, walaupun ia paling tau, aku sangat tidak suka jika rambutku diacak-acak.

***

Sehabis sholat magrib berjamaah, kami semua berkumpul di ruang rapat untuk mendapatkan instruksi singkat terkait siaran percobaan yang mau tidak mau harus dilakukan malam ini juga. Hal tersebut tidak dapat ditunda, karena teknisi genset hanya memiliki waktu malam ini.

"Nanti, pas listrik mulai dimatiin, pastiin UPS berfungsi sebelum mendapat pasokan listrik pengganti dari genset," instruksi Kang Utep.

UPS atau Uninterruptible Power Supply merupakan alat yang menyediakan cadangan energi listrik dalam jangka pendek, sehingga alat-alat di studio masih bisa tetap menyala dalam waktu singkat sebelum pasokan listrik dari genset diterima.

"Perhatiin juga pas proses pergantian dari listrik utama ke genset, kalau ada peralatan yang down atau settingan yang berubah."

Kami semua yang berada di ruang meeting mengangguk mengerti.

"Ya udah, paling gitu aja ya, temen-temen. Usahakan semua siaran serempak biar beresnya bersamaan. Bismillahirrahmanirrahim, semoga kali ini siaran percobaan kita sukses juga," tambah Kang Utep menutup rapat.

"Aamiin," semua yang hadir menjawab serentak dan membubarkan diri menuju ke studio masing-masing.

***

"Ish kamu! Meni baru dateng, Adul!" semprot Gia ketika kami semua sudah berada dalam studio.

"Maafin, Teh. Rumah Adul 'kan jauh dari sini," jawabnya dengan napas terengah. "Kita siaran percobaan lagi 'kan? Selow aja kalo gitu. Orang ngga beneran."

"Si Adul mulutnya dih," seru Remi menatapnya tajam.

"Iya-iya maap," Adul nyengir.

Aku dan Adul sudah bersiap di depan mic. Setelah mendapat aba-aba dari Remi, kami berdua mulai berbicara seolah-olah sedang siaran. Sekitar sepuluh menit kemudian, lampu meredup. Setauku, ini tanda jika pasokan listrik beralih ke genset. Dengan spontan, aku melihat ke monitor besar di depanku dan seketika tersenyum lebar saat melihat proses rekaman masih berjalan.

Gia yang berdiri di belakang kursi Remi juga terlihat tersenyum. Remi sendiri masih menatap lekat layar komputer yang masih menyala, tanda UPS berfungsi maksimal, hingga berapa detik kemudian, saat lampu yang redup kembali bercahaya normal.

"Alhamdulillah aman," cengir Remi.

"Alhamdulillah," sambung kami semua. Aku nyengir dan mematikan mic serta melepas headphone.

"Yes! Bentar lagi bisa siaran beneran," ucap Adul riang.

"Udah yuk ah," ajak Gia sudah memegang tasnya, diikuti Remi. Tepat saat kami keluar studio, Bang Win dan Kang Utep menghampiri kami.

"Aman?" tanya Kang Utep.

"Aman, Kang," jawab Remi.

"Report singkat dulu yuk di ruang meeting, biar besok bisa dilaporin ke Kang Saija," kata Kang Utep. "Masih bisa 'kan Win?"

Bang Win melihat jam dinding dan mengangguk. Matanya sempat menatapku dengan pandangan yang menyiratkan agar aku tidak jauh-jauh darinya.

Tepat ketika kami dan beberapa penyiar lainnya sudah berkumpul di ruang meeting, lampu tiba-tiba padam.

"Aduh, gawat!" seru Kang Utep. Aku bisa mendengar nada kesal dalam suaranya. "Anjlok euy, nyalain dulu bentar deh," ia berdiri sembari menyalakan senter di ponselnya.

"Eh, UPS di studio masing-masing pada berfungsi kan?" tanyanya pada kami yang segera direspon anggukan, sebelum meninggalkan ruangan bersama Bang Win.

Sembari menunggu lampu menyala, beberapa dari penyiar pindah ke ruang tamu resepsionis. Karena banyak yang pindah ke sana, aku, Gia, Remi serta Adul pun ikut keluar.

Klotak!

Suara dari arah pantry membuatku dan beberapa penyiar sontak menoleh. Terlihat bayangan hitam keluar dari sana dan masuk ke kamar penyimpanan alat musik.

"Kang Utep bukannya cepet nyalain listrik, malah diem di pantry," ucap Adul.

Tok tok tok tok tok tok tok!

Tepat ketika Adul selesai bicara. Terdengar ketukan-ketukan di jendela.

Awalnya, ketukan berasal dari jendela di ruang meeting yang memang dekat dengan tempat kami duduk. Lama kelamaan, hampir di tiap jendela terdengar suara ketukan yang berlangsung terus menerus.

"Itu apa?" tanya Rizky dengan suara tertahan, menunjuk ke arah langit-langit.

Dengan penerangan seadanya dari beberapa ponsel yang menyala, mataku melihat jelas sosok gadis pribumi berambut acak-acakan sedang merayap di langit-langit.

"Astagfirullah!" seru beberapa penyiar yang saling mendekatkan diri. Kami semua membeku di posisi masing-masing, dan masih terus menatap ke arah sosok tersebut, ketika dari arah belakang, terdengar langkah kaki yang perlahan mendekat.

Atmosfer mencekam terasa pekat hingga menyesakkan napas dan membuat kami tidak ada yang berani mengeluarkan suara sedikitpun. Bayangan hitam mulai terlihat berdiri di ambang pintu yang menghubungkan ruangan kami dengan ruangan belakang yang awalnya adalah teras. Jantungku hampir melompat dari tempatnya setelah menyadari sosok bayangan hitam itu tidak memiliki kepala. Samar-samar, terdengar suara seorang pria, menyanyikan sebuah lagu dalam bahasa Belanda.

Hallo, Bandoeng! (Halo Bandung)

"Ja moeder, hier ben ik" ("Ya ibu, aku di sini")

"Dag lieve jongen," zegt zij, met een snik ("Salam dari cucumu," katanya dengan menahan tangis)

Hallo, hallo "Hoe gaat het ouwe vrouw?" (Halo, halo. "Apa kabar, Bu?")

Dan zegt ze alleen "Ik verlang zo erg naar jou" (Kemudian dia berkata "Aku sangat merindukanmu")

•••

"Jongenlief," vraagt ze, "hoe gaat het

Met je kleine, bruine vrouw" ("Anakku sayang," katanya. "Bagaimana kabar istrimu")

"Best hoor," zegt hij, en wij spreken ("Baik-baik," kemudian dia berkata)

"Elke dag hier over jou" ("Setiap hari kami membicarakan ibu")

"En m'n kleuters zeggen 's avonds" ("Juga anak-anak kami setiap malam selalu berdoa")

"Voor 't gaan slapen 'n schietgebed" ("Sebelum mereka tidur")

"Voor hun onbekende opoe" ("Untuk nenek yang belum mereka kenal")

"Met 'n kus op jouw portret" ("Mereka pun mencium potretmu")

Nyanyian itu terasa menghipnotis. Dengan mataku, aku melihat tubuh beberapa penyiar kehilangan kesadaran sebelum pada akhirnya mereka terbangun, lalu berteriak dan menangis secara bersamaan.

Terpopuler

Comments

Andini Andana

Andini Andana

vote meluncur thor 💞

2023-01-10

6

Andini Andana

Andini Andana

Ya Allah serem pisan iiih.. pas banget matlam, etan nya pd nongol semua, pd pen kenalan 😳😱
baru tau thor kl lagu Halo Halo Bandung dinyanyikan ulang oleh org Belanda..

2023-01-10

7

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!