Menikahi Pria Seribu Tahun
Daphne memilih menunggu taksi pesanannya di depan pintu museum. Ia tahu jarak yang ditempuhnya untuk pulang cukup jauh. Bahkan mungkin ia harus menghabiskan seluruh jatah uang jajannya untuk membayar biaya taksi. Namun Daphne tidak peduli. Baginya yang terpenting adalah kabur secepatnya dari Museum Lestate.
Sambil menunggu, Daphne membuka maskernya agar tidak sesak napas. Akan tetapi, ia merasakan lengannya dipegang oleh seseorang. Daphne pun menoleh dan beradu pandang dengan seorang laki-laki. Jarak mereka yang hanya beberapa senti, membuat Daphne bisa menatap langsung ke netra sebiru samudera itu.
Untuk beberapa saat, tubuh Daphne membeku. Bola mata pria itu bagaikan lubang spiral yang mampu membuyarkan kesadarannya. Semakin dilihat semakin ia dibuat tak berdaya. Detik berikutnya, Daphne merasa akan pingsan bila saja pria itu tidak menangkap tubuhnya.
“Nona, sadarlah!” ucap pria itu menepuk pipi Daphne.
“Si-apa kau?” tanya Daphne kembali fokus pada kesadarannya.
Pria itu tak lekas menjawab, tetapi malah memperhatikan setiap detail wajah Daphne.
“Kenapa aku tidak bisa mendengarnya lagi?” gumam pria itu seolah bicara pada diri sendiri.
“Lepaskan aku! Kau siapa?” tanya Daphne menegakkan badan.
Ia mendorong tubuh pria itu agar menjauh darinya. Meskipun wajah sang pria sangat tampan, Daphne harus menjaga harga diri. Ia tidak mau dipeluk oleh sembarang pria.
“Aku Duncan. Namamu Daphne, kan?” tanyanya.
Kelopak mata Daphne melebar. Entah dari mana pria asing ini bisa mengetahui namanya padahal mereka belum pernah bertemu. Bisa jadi pria ini adalah seorang cenayang atau indigo.
“Maaf, aku tidak mengenalmu, Tuan. Permisi, aku sedang buru-buru,” ucap Daphne mengibaskan tangan Duncan.
“Tunggu, kau tidak bisa pergi begitu saja. Kau harus bertanggung jawab atas diriku.”
Mendengar perkataan enteng pria itu, Daphne langsung melotot.
“Kuperingatkan, Tuan, jangan macam-macam denganku! Tanggung jawab apa yang kau maksud? Aku bahkan baru melihatmu,” tukas Daphne geram.
“Aku berada di sini karena kau, Nona Daphne. Kau yang telah mengubah jalan hidupku, jadi tetaplah bersamaku,” jawab Duncan tanpa dosa.
“What?! Apa kau ini pasien rumah sakit jiwa? Kenapa bicaramu melantur seperti itu. Aku…haicihh!”
Daphne kembali bersin karena tidak kuat menanggung kejutan yang bertubi-tubi menimpanya. Andai saja saat ini dia berada di atas puncak gunung, sudah pasti Daphne akan melolong bak serigala untuk melampiaskan rasa frustasinya.
“Nona Daphne, aku datang dari museum, bukan dari rumah sakit. Tolong, biarkan aku ikut denganmu. Aku tidak punya tempat tinggal di dunia ini,” ucap Duncan dengan ekspresi memelas.
Daphne memicingkan mata. Dilihat dari penampilannya yang mengenakan kemeja dan celana berwarna hitam, mustahil bila pria ini seorang gelandangan. Daphne pun meningkatkan kewaspadaan. Mungkin saja ia berhadapan dengan seorang maniak yang suka menipu kaum wanita.
“Tuan, pasti Anda salah mengenali orang. Di kota ini ada banyak gadis bernama Daphne. Yang Tuan cari adalah Daphne yang lain.”
“Bukan, itu jelas kau, aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri,” ujar Duncan bersikeras.
“Dengar, aku tidak peduli kau punya rumah atau tidak, Tuan. Itu bukan urusanku,” ketus Daphne semakin hilang kesabaran.
Di luar Daphne pura-pura berani, tetapi di dalam hatinya semakin risau. Daphne takut pria ini akan melukai atau melecehkannya. Beruntung di saat genting, taksi yang dipesannya muncul.
Dengan sekali hentakan kaki, Daphne menginjak sepatu Duncan sekuat tenaga. Kemudian ia berlari secepat kilat, meninggalkan Duncan yang mengaduh kesakitan.
“Pak, saya Daphne Oliver yang memesan taksi. Tolong berangkat sekarang ke restoran Oliver Kitchen, saya sedang dikejar penguntit,” pinta Daphne segera menutup pintu taksi.
“Baik, Nona,” ucap supir taksi itu menjalankan mobilnya.
***
Di dalam taksi, Daphne tak henti menengok ke belakang. Setelah memastikan Duncan tidak mengikutinya, Daphne menghempaskan tubuh di sandaran kursi. Beban yang menghimpit rongga dadanya terasa lepas seketika. Akhirnya ia berhasil lepas dari pria gila bernama Duncan.
“Pak, benar tidak ada yang mengikuti kita, kan?”
“Tidak ada, Nona, saya selalu mengawasi dari spion. Sebentar lagi kita sampai di restoran.”
Benar saja, tidak kurang dari lima menit, taksi yang mengantarkan Daphne sampai di Oliver Kitchen, restoran milik kakek Daphne. Restoran itu akan menjadi tempat berlindung yang paling aman untuknya.
“Terima kasih, Pak,” ucap Daphne lega.
Dengan penuh semangat, Daphne melangkah ke dalam restoran. Situasi sedang tidak terlalu ramai, hanya ada enam orang yang makan di meja.
“Daphne, tumben kamu datang jam segini,” sapa Noel, salah satu pelayan restoran.
“Noel, di mana Kakek James?”
“Ada di dapur bersama Xin Fei, tidak mau diganggu. Mereka sedang uji coba membuat mie khas Cina.”
Xin Fei adalah koki andalan Kakek James yang berasal dari Negeri Tirai Bambu.
“Aku akan menyusul ke dapur.”
“Eits, tunggu dulu. Bisa bantu aku sebentar, Daphne?” cegah Noel.
“Bantu apa?”
“Perutku melilit sejak tadi. Tolong gantikan aku sebentar untuk melayani tamu. Please,” rayu Noel.
Melihat wajah Noel yang sudah kebelet, Daphne pun tidak tega. Ia membiarkan Noel pergi untuk menuntaskan dorongan yang tertahan. Lagipula belum ada pengunjung baru yang datang ke restoran.
Daphne pun duduk di meja kasir sambil meminum sebotol air mineral. Namun ia hampir tersedak ketika mendengar suara bel yang gemerincing.
“Selamat datang di Restoran Oliver Kitchen,” sapa Daphne membungkukkan badan.
“Aku ingin memesan semua makanan, Nona Daphne.”
“Deg!”
Jantung Daphne serasa melompat keluar saat mendengar suara yang familiar di telinganya. Sontak, ia menegakkan punggung untuk memastikan penglihatannya sendiri.
“Kau lagi? Kenapa kau bisa ada di restoran ini? Aku akan melaporkanmu kepada polisi karena berani menguntitku!” tunjuk Daphne ke wajah Duncan.
“Aku hanya ingin makan di restoran, apa tidak boleh?” tanya Duncan dengan ekspresi polos.
“Tidak boleh, karena kau adalah….”
“Daphne, hentikan!” tegur Kakek James. Pria tua itu berjalan menuju meja untuk menenangkan Daphne.
“Kau harus bersikap sopan kepada tamu. Siapapun yang datang, harus kita layani dengan baik.”
“Tapi, Kek, dia ini….”
Kakek James tidak menghiraukan perkataan Daphne. Dia malah menyambut Duncan dengan sikap yang sangat ramah.
“Silakan duduk, Tuan Muda. Mau pesan apa?” ucap Kakek James kepada Duncan.
“Makanan apa saja yang enak di restoran ini, Pak?” tanya Duncan.
“Oh, sebentar. Daphne, cepat ambil buku menu, Sayang,” perintah Kak James.
“Kek, tapi dia….”
“Sudah, lakukan!”
Karena urat leher kakeknya sudah menonjol, Daphne tidak berani membantah lagi. Terpaksa ia mengambil buku menu dari meja dan menyerahkannya kepada Duncan.
“Tuan Muda, cucu saya akan melayani Anda. Pesan saja semua yang Anda inginkan. Saya jamin makanan di restoran saya enak semua,” kata Kakek James sambil tersenyum lebar, memperlihatkan deretan gigi palsu yang dia pakai.
“Terima kasih, Pak,” ucap Duncan membuka buku menu dengan semangat.
“Layani Tuan Muda ini dengan baik. Kakek akan memasak mie lagi,” ujar Kakek James menepuk bahu Daphne.
Dengan wajah cemberut, Daphne memenuhi permintaan kakeknya. Sebenarnya ia ingin sekali menendang laki-laki bernama Duncan itu. Apalagi Duncan memasang wajah polos, seolah tidak berdosa sama sekali.
Untuk mengusir Duncan, Daphne segera membuka maskernya.
“Mau pesan apa, Tuan Duncan? Hidungku gatal sekali. Aku sedang pilek dan…haicihhh!”
Daphne sengaja mengelap cairan bening di hidungnya untuk membuat Duncan jijik.
“Maaf ya. Kalau kau takut tertular, lebih baik tinggalkan restoran ini.”
“Tenang saja, Nona, aku tidak akan terkena virus, bakteri, atau penyakit apapun. Aku tidak pernah jatuh sakit,” ucap Duncan penuh keyakinan.
“Tolong catat pesananku, Nona. Steak ikan, spaghetti, ayam panggang dengan mashed potato, sup daging domba, capcay Cina, lemonade, jus apel, pie strawberry. Itu pesananku,” lanjut Duncan.
Mata Daphne langsung melotot.
“Kau sedang bercanda? Mau pesan sebanyak ini?”
“Aku tidak bercanda. Aku lapar sekali, Nona. Siapkan saja semua yang aku pesan,” balas Duncan.
Dengan mengepalkan tangan, Daphne segera beranjak ke dapur untuk menyampaikan pesanan Duncan. Ia hanya bisa duduk sambil menunggu kakeknya dan sang koki menyelesaikan masakan. Kemudian dengan hati dongkol, Daphne menghidangkan makanan dan minuman di atas meja Duncan.
“Terima kasih. Makanan ini kelihatan lezat,” ucap Duncan meneguk salivanya.
Daphne tidak menjawab dan memilih berlalu dari hadapan lelaki penguntit itu.
Dari mejanya, mata Daphne tak lepas mengawasi Duncan. Ia merasa penasaran apakah Duncan bisa menghabiskan makanan dan minuman sebanyak itu seorang diri. Daphne bahkan sampai memasang timer di ponselnya untuk mengukur kemampuan Duncan.
Di luar dugaan, pria itu ternyata makan dengan sangat lahap, bahkan seperti orang yang sudah berpuasa selama satu tahun.
‘Ya ampun, dia bisa memakan habis semuanya dalam waktu delapan menit? Sebenarnya dia itu manusia atau bukan? Apa dia tidak punya rasa kenyang?’
pikir Daphne geleng-geleng kepala.
Sementara Duncan bersendawa karena terlalu kekenyangan. Ia mengelus perutnya sambil bersandar pada kursi.
‘Sepertinya aku makan terlalu berlebihan. Semoga saja jantungku tidak berhenti. Tetapi makanan manusia di restoran ini jauh lebih enak daripada masakan Hugo,’
gumam Duncan.
Masih meresapi rasa makanannya, Duncan terkejut karena kedatangan Daphne yang tiba-tiba.
“Tuan Duncan, sepertinya kau sangat menikmati makanan di restoran kami. Tidak ada satu pun yang tersisa,” tunjuk Daphne ke meja makan.
Senyum sinis tersungging di bibir Daphne. Dengan gaya jumawa, Daphne menyerahkan selembar kertas kepada Duncan.
“Sekarang saatnya kau harus membayar tagihannya.”
Duncan melihat kertas tagihan itu dengan alis yang tertaut. Namun sesaat kemudian, dia malah meremas kertas itu dan menyerahkan kembali kepada Daphne.
“Apa yang kau lakukan?! Kau mau kabur tanpa membayar makanan?” tanya Daphne berkacak pinggang. Darahnya serasa naik ke ubun-ubun karena kelakukan Duncan.
“Maaf, aku tidak punya uang untuk membayarnya, Nona Daphne. Tetapi aku bersedia menjadi pelayanmu untuk menebus makanan ini. Aku akan melakukan apapun yang kau perintahkan,” jawab Duncan.
Berikut visual dari tokoh utama :
Duncan Kliev, 1000 tahun, setengah vampir setengah manusia
Daphne Oliver, 22 tahun, gadis cantik yang ceroboh, punya penyakit sinus, keturunan pemburu vampir.
Vladimir Kliev, 1500 tahun, kakak tiri Duncan, pangeran vampir yang ambisius dan ingin menjadi raja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
Jonathan Simamora
lanjotttt
2023-06-09
0
Vya Kim
lanjut
2023-03-26
0
mama Al
oh ini tentang vampir
2023-01-28
0