NovelToon NovelToon

Menikahi Pria Seribu Tahun

Siapa yang Membebaskan Aku

Daphne memilih menunggu taksi pesanannya di depan pintu museum. Ia tahu jarak yang ditempuhnya untuk pulang cukup jauh. Bahkan mungkin ia harus menghabiskan seluruh jatah uang jajannya untuk membayar biaya taksi. Namun Daphne tidak peduli. Baginya yang terpenting adalah kabur secepatnya dari Museum Lestate.

Sambil menunggu, Daphne membuka maskernya agar tidak sesak napas. Akan tetapi, ia merasakan lengannya dipegang oleh seseorang. Daphne pun menoleh dan beradu pandang dengan seorang laki-laki. Jarak mereka yang hanya beberapa senti, membuat Daphne bisa menatap langsung ke netra sebiru samudera itu.

Untuk beberapa saat, tubuh Daphne membeku. Bola mata pria itu bagaikan lubang spiral yang mampu membuyarkan kesadarannya. Semakin dilihat semakin ia dibuat tak berdaya. Detik berikutnya, Daphne merasa akan pingsan bila saja pria itu tidak menangkap tubuhnya.

“Nona, sadarlah!” ucap pria itu menepuk pipi Daphne.

“Si-apa kau?” tanya Daphne kembali fokus pada kesadarannya.

Pria itu tak lekas menjawab, tetapi malah memperhatikan setiap detail wajah Daphne.

“Kenapa aku tidak bisa mendengarnya lagi?” gumam pria itu seolah bicara pada diri sendiri.

“Lepaskan aku! Kau siapa?” tanya Daphne menegakkan badan.

Ia mendorong tubuh pria itu agar menjauh darinya. Meskipun wajah sang pria sangat tampan, Daphne harus menjaga harga diri. Ia tidak mau dipeluk oleh sembarang pria.

“Aku Duncan. Namamu Daphne, kan?” tanyanya.

Kelopak mata Daphne melebar. Entah dari mana pria asing ini bisa mengetahui namanya padahal mereka belum pernah bertemu. Bisa jadi pria ini adalah seorang cenayang atau indigo.

“Maaf, aku tidak mengenalmu, Tuan. Permisi, aku sedang buru-buru,” ucap Daphne mengibaskan tangan Duncan.

“Tunggu, kau tidak bisa pergi begitu saja. Kau harus bertanggung jawab atas diriku.”

Mendengar perkataan enteng pria itu, Daphne langsung melotot.

“Kuperingatkan, Tuan, jangan macam-macam denganku! Tanggung jawab apa yang kau maksud? Aku bahkan baru melihatmu,” tukas Daphne geram.

“Aku berada di sini karena kau, Nona Daphne. Kau yang telah mengubah jalan hidupku, jadi tetaplah bersamaku,” jawab Duncan tanpa dosa.

“What?! Apa kau ini pasien rumah sakit jiwa? Kenapa bicaramu melantur seperti itu. Aku…haicihh!”

Daphne kembali bersin karena tidak kuat menanggung kejutan yang bertubi-tubi menimpanya. Andai saja saat ini dia berada di atas puncak gunung, sudah pasti Daphne akan melolong bak serigala untuk melampiaskan rasa frustasinya.

“Nona Daphne, aku datang dari museum, bukan dari rumah sakit. Tolong, biarkan aku ikut denganmu. Aku tidak punya tempat tinggal di dunia ini,” ucap Duncan dengan ekspresi memelas.

Daphne memicingkan mata. Dilihat dari penampilannya yang mengenakan kemeja dan celana berwarna hitam, mustahil bila pria ini seorang gelandangan. Daphne pun meningkatkan kewaspadaan. Mungkin saja ia berhadapan dengan seorang maniak yang suka menipu kaum wanita.

“Tuan, pasti Anda salah mengenali orang. Di kota ini ada banyak gadis bernama Daphne. Yang Tuan cari adalah Daphne yang lain.”

“Bukan, itu jelas kau, aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri,” ujar Duncan bersikeras.

“Dengar, aku tidak peduli kau punya rumah atau tidak, Tuan. Itu bukan urusanku,” ketus Daphne semakin hilang kesabaran.

Di luar Daphne pura-pura berani, tetapi di dalam hatinya semakin risau. Daphne takut pria ini akan melukai atau melecehkannya. Beruntung di saat genting, taksi yang dipesannya muncul.

Dengan sekali hentakan kaki, Daphne menginjak sepatu Duncan sekuat tenaga. Kemudian ia berlari secepat kilat, meninggalkan Duncan yang mengaduh kesakitan.

“Pak, saya Daphne Oliver yang memesan taksi. Tolong berangkat sekarang ke restoran Oliver Kitchen, saya sedang dikejar penguntit,” pinta Daphne segera menutup pintu taksi.

“Baik, Nona,” ucap supir taksi itu menjalankan mobilnya.

***

Di dalam taksi, Daphne tak henti menengok ke belakang. Setelah memastikan Duncan tidak mengikutinya, Daphne menghempaskan tubuh di sandaran kursi. Beban yang menghimpit rongga dadanya terasa lepas seketika. Akhirnya ia berhasil lepas dari pria gila bernama Duncan.

“Pak, benar tidak ada yang mengikuti kita, kan?”

“Tidak ada, Nona, saya selalu mengawasi dari spion. Sebentar lagi kita sampai di restoran.”

Benar saja, tidak kurang dari lima menit, taksi yang mengantarkan Daphne sampai di Oliver Kitchen, restoran milik kakek Daphne. Restoran itu akan menjadi tempat berlindung yang paling aman untuknya.

“Terima kasih, Pak,” ucap Daphne lega.

Dengan penuh semangat, Daphne melangkah ke dalam restoran. Situasi sedang tidak terlalu ramai, hanya ada enam orang yang makan di meja.

“Daphne, tumben kamu datang jam segini,” sapa Noel, salah satu pelayan restoran.

“Noel, di mana Kakek James?”

“Ada di dapur bersama Xin Fei, tidak mau diganggu. Mereka sedang uji coba membuat mie khas Cina.”

Xin Fei adalah koki andalan Kakek James yang berasal dari Negeri Tirai Bambu.

“Aku akan menyusul ke dapur.”

“Eits, tunggu dulu. Bisa bantu aku sebentar, Daphne?” cegah Noel.

“Bantu apa?”

“Perutku melilit sejak tadi. Tolong gantikan aku sebentar untuk melayani tamu. Please,” rayu Noel.

Melihat wajah Noel yang sudah kebelet, Daphne pun tidak tega. Ia membiarkan Noel pergi untuk menuntaskan dorongan yang tertahan. Lagipula belum ada pengunjung baru yang datang ke restoran.

Daphne pun duduk di meja kasir sambil meminum sebotol air mineral. Namun ia hampir tersedak ketika mendengar suara bel yang gemerincing.

“Selamat datang di Restoran Oliver Kitchen,” sapa Daphne membungkukkan badan.

“Aku ingin memesan semua makanan, Nona Daphne.”

“Deg!”

Jantung Daphne serasa melompat keluar saat mendengar suara yang familiar di telinganya. Sontak, ia menegakkan punggung untuk memastikan penglihatannya sendiri.

“Kau lagi? Kenapa kau bisa ada di restoran ini? Aku akan melaporkanmu kepada polisi karena berani menguntitku!” tunjuk Daphne ke wajah Duncan.

“Aku hanya ingin makan di restoran, apa tidak boleh?” tanya Duncan dengan ekspresi polos.

“Tidak boleh, karena kau adalah….”

“Daphne, hentikan!” tegur Kakek James. Pria tua itu berjalan menuju meja untuk menenangkan Daphne.

“Kau harus bersikap sopan kepada tamu. Siapapun yang datang, harus kita layani dengan baik.”

“Tapi, Kek, dia ini….”

Kakek James tidak menghiraukan perkataan Daphne. Dia malah menyambut Duncan dengan sikap yang sangat ramah.

“Silakan duduk, Tuan Muda. Mau pesan apa?” ucap Kakek James kepada Duncan.

“Makanan apa saja yang enak di restoran ini, Pak?” tanya Duncan.

“Oh, sebentar. Daphne, cepat ambil buku menu, Sayang,” perintah Kak James.

“Kek, tapi dia….”

“Sudah, lakukan!”

Karena urat leher kakeknya sudah menonjol, Daphne tidak berani membantah lagi. Terpaksa ia mengambil buku menu dari meja dan menyerahkannya kepada Duncan.

“Tuan Muda, cucu saya akan melayani Anda. Pesan saja semua yang Anda inginkan. Saya jamin makanan di restoran saya enak semua,” kata Kakek James sambil tersenyum lebar, memperlihatkan deretan gigi palsu yang dia pakai.

“Terima kasih, Pak,” ucap Duncan membuka buku menu dengan semangat.

“Layani Tuan Muda ini dengan baik. Kakek akan memasak mie lagi,” ujar Kakek James menepuk bahu Daphne.

Dengan wajah cemberut, Daphne memenuhi permintaan kakeknya. Sebenarnya ia ingin sekali menendang laki-laki bernama Duncan itu. Apalagi Duncan memasang wajah polos, seolah tidak berdosa sama sekali.

Untuk mengusir Duncan, Daphne segera membuka maskernya.

“Mau pesan apa, Tuan Duncan? Hidungku gatal sekali. Aku sedang pilek dan…haicihhh!”

Daphne sengaja mengelap cairan bening di hidungnya untuk membuat Duncan jijik.

“Maaf ya. Kalau kau takut tertular, lebih baik tinggalkan restoran ini.”

“Tenang saja, Nona, aku tidak akan terkena virus, bakteri, atau penyakit apapun. Aku tidak pernah jatuh sakit,” ucap Duncan penuh keyakinan.

“Tolong catat pesananku, Nona. Steak ikan, spaghetti, ayam panggang dengan mashed potato, sup daging domba, capcay Cina, lemonade, jus apel, pie strawberry. Itu pesananku,” lanjut Duncan.

Mata Daphne langsung melotot.

“Kau sedang bercanda? Mau pesan sebanyak ini?”

“Aku tidak bercanda. Aku lapar sekali, Nona. Siapkan saja semua yang aku pesan,” balas Duncan.

Dengan mengepalkan tangan, Daphne segera beranjak ke dapur untuk menyampaikan pesanan Duncan. Ia hanya bisa duduk sambil menunggu kakeknya dan sang koki menyelesaikan masakan. Kemudian dengan hati dongkol, Daphne menghidangkan makanan dan minuman di atas meja Duncan.

“Terima kasih. Makanan ini kelihatan lezat,” ucap Duncan meneguk salivanya.

Daphne tidak menjawab dan memilih berlalu dari hadapan lelaki penguntit itu.

Dari mejanya, mata Daphne tak lepas mengawasi Duncan. Ia merasa penasaran apakah Duncan bisa menghabiskan makanan dan minuman sebanyak itu seorang diri. Daphne bahkan sampai memasang timer di ponselnya untuk mengukur kemampuan Duncan.

Di luar dugaan, pria itu ternyata makan dengan sangat lahap, bahkan seperti orang yang sudah berpuasa selama satu tahun.

‘Ya ampun, dia bisa memakan habis semuanya dalam waktu delapan menit? Sebenarnya dia itu manusia atau bukan? Apa dia tidak punya rasa kenyang?’

pikir Daphne geleng-geleng kepala.

Sementara Duncan bersendawa karena terlalu kekenyangan. Ia mengelus perutnya sambil bersandar pada kursi.

‘Sepertinya aku makan terlalu berlebihan. Semoga saja jantungku tidak berhenti. Tetapi makanan manusia di restoran ini jauh lebih enak daripada masakan Hugo,’

gumam Duncan.

Masih meresapi rasa makanannya, Duncan terkejut karena kedatangan Daphne yang tiba-tiba.

“Tuan Duncan, sepertinya kau sangat menikmati makanan di restoran kami. Tidak ada satu pun yang tersisa,” tunjuk Daphne ke meja makan.

Senyum sinis tersungging di bibir Daphne. Dengan gaya jumawa, Daphne menyerahkan selembar kertas kepada Duncan.

“Sekarang saatnya kau harus membayar tagihannya.”

Duncan melihat kertas tagihan itu dengan alis yang tertaut. Namun sesaat kemudian, dia malah meremas kertas itu dan menyerahkan kembali kepada Daphne.

“Apa yang kau lakukan?! Kau mau kabur tanpa membayar makanan?” tanya Daphne berkacak pinggang. Darahnya serasa naik ke ubun-ubun karena kelakukan Duncan.

“Maaf, aku tidak punya uang untuk membayarnya, Nona Daphne. Tetapi aku bersedia menjadi pelayanmu untuk menebus makanan ini. Aku akan melakukan apapun yang kau perintahkan,” jawab Duncan.

Berikut visual dari tokoh utama :

Duncan Kliev, 1000 tahun, setengah vampir setengah manusia

Daphne Oliver, 22 tahun, gadis cantik yang ceroboh, punya penyakit sinus, keturunan pemburu vampir.

Vladimir Kliev, 1500 tahun, kakak tiri Duncan, pangeran vampir yang ambisius dan ingin menjadi raja.

Apa Bedanya Pria dan Wanita

Marah, terkejut, dan bingung, itulah yang dirasakan Daphne. Kepalanya lama-lama bisa meledak jika ia terus-menerus menghadapi pria tidak waras ini.

Karena sudah tidak bisa menahan emosi, Daphne akhirnya menarik kerah kemeja Duncan. Sungguh ia tidak peduli bila harus berkelahi dengan pria.

“Jangan mencari alasan! Bayar sekarang atau aku akan menghajarmu sampai babak belur.”

Duncan tidak merespon. Matanya malah terlihat semakin sayu seperti orang yang hendak tertidur.

“Hei, jangan pura-pura tidur! Aku akan menyeretmu ke kantor polisi,” bentak Daphne.

“Nona Daphne, aku memang tidak menyimpan uang manusia. Aku….”

Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, tubuh Duncan mendadak luruh seperti bunga yang layu. Matanya terpejam rapat, sedangkan bibirnya terlihat sangat pucat. Daphne pun terperanjat dan segera menahan tubuh Duncan agar tidak jatuh ke bawah.

“Tuan Duncan, bangun! Bangun, jangan membuatku takut!” seru Daphne menepuk pipi Duncan yang dingin.

‘Astaga, dia benar-benar pingsan. Apa aku terlalu keras memarahinya? Bagaimana kalau dia sampai mati dan aku dianggap sebagai pembunuhnya,’

batin Daphne kalut.

Karena tidak tahu apa yang harus dilakukan, Daphne berteriak memanggil semua orang di restoran.

“Kakek, Noel, Xin Fei, tolong aku!”

“Ada apa ini? Kenapa kau berteriak, Daphne? Untung jantungku sehat, kalau tidak aku bisa mati mendadak,” tanya Kakek James datang tergopoh-gopoh.

“Kek, pria ini pingsan setelah aku memarahinya. Denyut nadinya tidak terasa. Aku takut dia mati,” ucap Daphne dengan suara serak.

“Kenapa kau memarahi pelanggan kita? Dasar gadis tidak tahu aturan!” ucap Kakek James memukul lengan Daphne dengan tongkatnya.

“Dia tidak mau membayar makanan, Kek. Karena itu, aku mengancamnya.”

“Tuan James, lebih baik kita bawa pria ini ke rumah sakit supaya mendapat penanganan. Takutnya dia alergi dengan salah satu bahan masakan kita,” celetuk Xin Fei.

“Betul, Tuan James. Kalau terjadi sesuatu kepadanya, kita bisa dituntut ke pengadilan,” timpal Noel.

Kakek James berpikir sejenak. Ia tidak mau ikut-ikutan panik seperti pegawainya yang masih bau kencur.

“Daphne, bawa saja Tuan Muda ini ke rumah kita dan rawat dia sampai sadar.”

Sontak mata Daphne membola seolah hendak keluar dari kelopaknya.

“Kakek menyuruhku membawa orang aneh ini ke rumah kita?”

“Iya, demi kebaikan restoran kita. Jika kita membawa Tuan Muda ke rumah sakit, biayanya pasti besar. Belum lagi nama Oliver Kitchen akan tercoreng karena ada pengunjung yang pingsan setelah makan. Gosip seperti ini cepat sekali beredar. Kalau sudah begitu, tidak akan ada orang yang mau mengunjungi restoran kita. Atau lebih buruknya pemerintah kota akan menutup restoran ini dan menginterogasi kita satu per satu. Kalian semua mau jadi pengangguran sekaligus narapidana?” tantang Kakek James memicingkan mata.

Daphne, Noel, dan Xin Fei langsung menggeleng ketakutan.

“Tidak, Kek. Baiklah, aku akan membawanya pulang ke rumah kita,” jawab Daphne patuh.

“Gadis pintar. Berusahalah untuk membuat Tuan Muda ini sadar. Lakukan apa saja yang penting dia sehat kembali,” titah Kakek James.

“I-iya, Kek.”

Dengan wajah masam, Daphne meminta bantuan Noel dan Xin Fei untuk membawa Duncan ke dalam taksi. Mereka membaringkan Duncan di kursi belakang, sedangkan Daphne duduk di samping supir taksi.

“Daphne, aku doakan kau berhasil membangunkan sang pangeran tidur,” seru Noel melambaikan tangan.

***

“Terima kasih, Pak. Ini tambahan dari saya,” ucap Daphne memberikan uang kepada supir taksi yang membantunya membopong Duncan ke sofa.

“Sama-sama, Nona.”

Usai supir taksi itu pergi, Daphne bergegas ke kamarnya. Ia ingin mencari sesuatu yang sekiranya bisa dipakai untuk membangunkan Duncan.

Ketika sedang mencari-cari, tatapan Daphne tertuju ke botol minyak angin beraroma mint. Ia biasa memakai minyak itu untuk melegakan hidung yang tersumbat.

‘Ah, pakai ini saja. Siapa tahu dia akan sadar.’

Dengan langkah mantap, Daphne membawa minyak angin itu ke ruang tamu. Ia membuka penutupnya lalu mendekatkan botol kecil itu ke hidung Duncan. Daphne menunggu dalam keheningan, tetapi Duncan tidak menunjukkan reaksi apapun.

‘Dia tidak bangun juga. Apa kucoba mengoleskan minyak ini di bawah hidungnya?’

Tanpa keraguan, Daphne menuang sebagian minyak ke jemarinya. Namun aroma mint yang menyengat malah mengusik indera penciuman Daphne. Tanpa bisa dicegah, ia bersin berkali-kali di hadapan Duncan. Daphne baru berhenti bersin tatkala mendengar namanya dipanggil oleh seseorang.

“Nona Daphne….”

Sontak, Daphne membuka mata dan tercengang melihat Duncan yang sudah duduk di hadapannya. Belum hilang rasa terkejutnya, Duncan langsung memegang kedua bahu gadis itu.

“Terima kasih, Nona Daphne. Kau telah menyelamatkan aku. Cup cup….”

Tanpa aba-aba, Duncan mengecup kedua pipi Daphne secara bergantian.

Wajah Daphne menegang. Dengan sekali ayun, dia hendak melayangkan tamparan keras kepada pria di hadapannya ini. Namun Duncan dengan sigap menepis tangan Daphne.

“Kenapa kau memukulku, Nona?” tanya Duncan keheranan.

“Karena kau bersikap kurang ajar kepadaku. Apa ibumu tidak pernah mengajarkan bagaimana bersikap sopan terhadap wanita? Pria tidak boleh mencium wanita tanpa izin!” bentak Daphne murka.

Duncan menaikkan setengah alisnya sambil menatap Daphne penuh tanda tanya.

“Tapi aku pernah mencium nenekku dan dia tidak marah.”

Detik ini juga, Daphne rasanya ingin menerkam Duncan. Entah pria ini memang polos atau hanya berpura-pura bodoh untuk menipu wanita.

“Apa kau tidak tahu perbedaan antara nenekmu denganku? Jangan-jangan kau juga tidak paham perbedaan antara pria dan wanita,” desis Daphne geram.

“Aku memang tidak mengerti apa perbedaan mendasar pria dan wanita. Bisa kau jelaskan kepadaku beserta dengan contohnya, Nona,” tanya Duncan mendekatkan wajahnya.

Pipi Daphne semakin memerah seperti kepiting rebus. Dari jarak dekat, wajah Duncan justru semakin tampan seperti Dewa Apollo yang turun dari langit.

“Cari saja sendiri di internet,” ujar Daphne mendorong tubuh Duncan sambil menahan napas.

“K-kenapa kamu bisa pingsan seperti orang mati?” tanya Daphne mengalihkan pembicaraan.

Duncan menggaruk kepalanya sambil tersenyum tipis.

“Tadi aku memang mati suri. Itu terjadi karena aku terlalu banyak memakan makanan manusia,” kata Duncan dengan enteng.

***

Seorang pria gempal bertubuh pendek nampak tergesa-gesa melewati gerbang utama. Namun ia dihadang oleh dua pria berjubah hitam.

“Untuk apa kau kemari, Hugo?” tanya salah satu pria yang bermata hijau zamrud.

“A-aku harus bertemu dengan Yang Mulia Ratu. Ada hal mendesak yang harus aku laporkan,” kata Hugo terbata-bata.

“Yang Mulia sedang istirahat, tidak bisa diganggu.”

“Tapi ini tidak bisa ditunda,” jawab Hugo bersikukuh.

“Biarkan Hugo masuk!”

Terdengar suara menggelegar yang memutus perdebatan itu. Secara refleks, mereka semua membungkukkan badan kepada sosok wanita bergaun merah yang berjalan mendekati gerbang.

Ketika wanita itu mengangkat telapak tangan, Hugo langsung tertarik ke arahnya.

“Ada apa, Hugo?”

“Ma-af, Yang Mulia Ratu, saya ingin melaporkan kalau Tuan Muda…hilang.”

Wajah wanita yang cantik jelita itu mendadak berubah menjadi bengis. Dengan kekuatan magisnya, ia mengangkat tubuh Hugo hingga melayang tinggi ke atas.

“Bagaimana mungkin cucuku bisa hilang? Aku sudah menyegel kastil dengan mantra paling kuat.”

“Sa-ya juga tidak tahu, Yang Mulia. Sepulang dari mengambil bahan makanan, saya mencari Tuan Muda di seluruh kastil, tetapi saya tidak dapat menemukannya. Saya khawatir Tuan Muda sudah…keluar dari lukisan,” ucap Hugo dengan suara gemetar.

Cinta Berakhir Malapetaka

Mata Ratu Claudia nampak merah menyala, seolah ada api yang hendak menyembur keluar untuk membumi-hanguskan sekitarnya. Hugo yang masih melayang di udara ketakutan setengah mati. Ia khawatir Ratu Claudia akan menghabisinya hingga menjadi debu.

"Ampun, Ratu, saya bersalah karena tidak menjaga Tuan Muda dengan baik. Mohon Ratu bersedia memberikan waktu kepada saya untuk mencari Tuan Muda."

"Diam, Hugo! Kau pikir pelayan sepertimu punya kemampuan untuk menemukan Duncan? Kau tidak layak diampuni!" bentak Ratu Claudia. Ia menarik Hugo lebih tinggi lalu menghempaskannya tiba-tiba ke bawah.

Tubuh pria malang itu pun membentur lantai dengan keras. Jika ia seorang manusia biasa, pastilah tulang-tulangnya akan remuk atau patah menjadi beberapa bagian.

"Ratu, ampuni saya," pinta Hugo dengan suara bergetar.

Ratu Claudia berjalan mendekati Hugo lalu menjepit dagu pelayannya yang sedang terkapar di lantai.

"Mengingat jasa-jasamu dalam membesarkan Duncan, aku tidak akan menghabisimu. Tapi kau harus mendekam di penjara bawah tanah sampai cucuku ditemukan."

"Te...rima kasih, Yang Mulia," jawab Hugo gelagapan. Paling tidak ia masih diberi kesempatan untuk hidup oleh sang penguasa.

Ratu Claudia melangkah menjauhi Hugo lalu bertepuk tangan tiga kali. Tak berselang lama, seorang pria bertubuh tinggi besar masuk dan memberi hormat kepada sang ratu.

"Salam, Yang Mulia Ratu," ucap pria itu membungkukkan badan.

"Bawa Hugo ke penjara bawah tanah. Kurung dia sampai batas waktu yang aku tetapkan."

"Baik, akan saya laksanakan."

Pria itu pun mengangkat tubuh Hugo dengan satu tangan layaknya memungut boneka kapas. Kemudian ia memanggul tubuh Hugo yang tak berdaya di pundaknya.

"Kau harus merenungkan kesalahanmu selama berada di sana, Hugo," ujar Ratu Claudia sebelum pria pendek itu menghilang dari pandangannya.

Usai Hugo dibawa ke penjara, Ratu Claudia memerintahkan para pengawal agar tidak mengizinkan seorang pun mengganggunya. Kemudian ia masuk ke dalam kamar dan menutup pintu rapat-rapat. Wajahnya yang semula dingin dan tegas, kini berubah penuh kecemasan.

'Di mana kamu sekarang, Duncan?'

gumam Ratu Claudia

Wanita ribuan tahun yang awet muda itu lantas duduk bersila di atas permadani merah. Ia memejamkan mata, menghela dan menghembuskan napas beberapa kali sebelum menyatukan kedua telapak tangannya.

Ratu Claudia memusatkan energinya di satu titik fokus untuk merambah ke dunia metafisika. Dengan kemampuan telepatinya, wanita itu mampu menjelajah secara batin tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu.

'Duncan, aku memanggilmu....'

Dalam meditasinya, Ratu Claudia membayangkan wajah Duncan. Ia memanggil-manggil cucunya itu agar batin mereka terhubung satu sama lain. Namun anehnya setelah mencoba berkali-kali, ia selalu gagal terkoneksi dengan Duncan.

'Ada apa ini? Kenapa ada penghalang yang tidak bisa kutembus? Mustahil kalau kekuatanku mulai berkurang.'

Merasa kian cemas, Ratu Claudia beralih mengerahkan kemampuannya untuk melepas jiwa. Ia pun masuk ke peristiwa sebelum Duncan menghilang, untuk mengetahui apa yang terjadi.

Melalui sukmanya, Ratu Claudia melihat sejumlah anak muda yang sedang berkunjung ke museum. Kemudian ia menjelajah lebih dalam, berpindah ke lukisan kastil tempat Duncan berada.

Sontak mata Ratu Claudia terbelalak saat melihat siluet seorang gadis yang berdiri di depan lukisan itu. Instingnya mengatakan bahwa gadis itu memiliki hubungan hubungan dengan menghilangnya Duncan.

Merasa marah sekaligus penasaran, Ratu Claudia mencoba melihat wajah gadis itu. Namun ada semacam tabir yang menghalangi matanya. Dengan kekuatan penuh, Ratu Claudia berusaha menembusnya. Alih-alih berhasil, sukma Ratu Claudia justru terpental kembali ke dalam raganya.

'Oh, ada apa denganku?'

gumam Ratu Claudia mengusap rongga dadanya yang terasa nyeri.

Ratu Claudia membuka matanya lantad bangkit berdiri. Ia perlu beristirahat sebentar untuk memulihkan diri. Setelah ribuan tahun, ini adalah kali pertama ia gagal melakukan meditasi.

Sambil terduduk di tepi tempat tidur, Ratu Claudia teringat akan tragedi masa lalu dalam keluarganya. Benarkah kutukan yang menimpa putranya akan terulang kembali kepada cucunya? Tidak, ia harus mencegah semua itu sebelum terlambat.

'Brandon, bantu aku untuk menemukan putramu. Jangan sampai kutukan itu menimpa Duncan,'

lirih Ratu Claudia.

Sampai kapan pun, ia tidak akan melupakan peristiwa pahit di mana Brandon, putra kebanggaannya, harus menerima hukuman mati. Yang lebih menyakitkan lagi, hukuman mati itu diberikan oleh suaminya sendiri.

***

"Apa sekarang kau menyesali kesalahanmu, Brandon? Kau telah mencoreng nama baik keluarga kerajaan dengan menikahi keturunan manusia pemburu vampir," tanya Lord Anthony sambil menatap tajam putranya. Mata biru sang raja yang biasanya seterang langit, berubah gelap seperti badai yang mengamuk di tengah lautan.

Sembari bersimpuh di depan pengadilan, Brandon berucap dengan nada getir.

"Aku tidak pernah menyesali apa yang terjadi, karena aku sangat mencintai Ariadna. Hanya dia yang bisa mencairkan kebekuan hatiku. Berkat Ariadna, hidup abadiku tidak sia-sia."

"Plaakkk!"

Satu tamparan keras mendarat di wajah tampan Brandon. Sambil menggeram untuk meluapkan amarahnya, Lord Anthony menuding putranya itu di depan majelis kerajaan.

"Kau benar-benar pengkhianat! Kau bahkan tidak memikirkan perasaan Zetta, istri pertamamu. Aku menyesal sudah memiliki putra sepertimu, Brandon!"

"Maafkan aku, Yang Mulia Raja. Aku sudah mempermalukanmu dan menyakiti hati Zetta. Tapi sejak awal kami dijodohkan, aku memang tidak pernah mencintai Zetta," jawab Brandon dengan suara parau.

Urat leher Lord Anthony menegang. Tangannya terkepal erat-erat, bersiap mengeluarkan seberkas sinar mematikan. Mengetahui kemarahan suaminya yang tak terbendung, Ratu Claudia langsung berlari memeluk Brandon. Ia tak ingin terjadi pertumpahan darah antara suami dan anaknya.

"Brandon, cepat minta ampun pada ayahmu dan majelis vampir. Tinggalkan wanita manusia itu dan kembalilah kepada kami."

Cairan hangat meleleh dari sudut mata Brandon. Ia tidak pernah menyesali cintanya kepada Ariadna, hanya saja ia tahu bahwa akhir hidupnya sudah dekat.

"Aku tidak bisa, Yang Mulia Ratu. Istriku sedang mengandung dan aku tidak akan pernah meninggalkannya."

Bagai terkena sambaran petir, wajah Ratu Claudia dan Lord Anthony memucat seketika. Tak menyangka bila mereka akan memiliki cucu dari seorang manusia.

"Minggir, Claudia! Aku harus menghabisi anak tidak tahu diri ini sekarang juga!" bentak Lord Anthony penuh kemurkaan.

"Jangan, Anthony, aku mohon," pinta Ratu Claudia berlinang air mata.

Sementara Brandon memandang ibunya dengan tatapan sendu.

"Yang Mulia Ratu, aku memang pantas menerima hukuman mati. Sebelum aku menjadi abu, aku hanya minta satu hal kepadamu, tolong lindungi istri dan anakku. Jangan biarkan ada yang menyakiti mereka."

"Brandon...." lirih Ratu Claudia tak mampu berkata-kata.

"Berjanjilah, Ibu," ulang Brandon.

Ratu Claudia pun mengangguk, meskipun jantungnya serasa tertusuk pasak tajam.

"Aku berjanji akan menjaga mereka untukmu."

"Terima kasih, Yang Mulia Ratu."

Melihat adegan itu, Lord Anthony semakin murka. Ia pun memerintahkan para pengawal untuk membawa istrinya meninggalkan ruang pengadilan.

"Bawa Ratu Claudia pergi!"

"Anthony, biarkan aku di sini menemani Brandon," ucap Ratu Claudia berusaha memberontak.

"Claudia, jika kau masih bersikeras, maka kau akan melihat kematian Brandon di depan matamu!"

Lord Anthony mengurung istrinya dengan mantra sihir, sehingga Ratu Claudia tidak mampu bergerak. Kemudian ia memutar tubuhnya untuk menghadap kepada majelis vampir.

"Hari ini, aku sebagai pemimpin klan vampir sudah mengambil keputusan atas putraku, Brandon. Karena dia melanggar hukum utama, dengan menjalin hubungan terlarang dengan musuh klan vampir, aku akan menjatuhkan hukuman mati kepadanya. Aku sendiri yang akan melakukan hukuman itu."

Para anggota majelis mengangguk sebagai tanda persetujuan. Lord Anthony lalu menghadap kepada Brandon. Putranya itu memejamkan mata, sudah pasrah dengan kematian yang akan segera menjemputnya.

"Lakukanlah, Yang Mulia, aku siap," tutur Brandon.

Tanpa berucap, Lord Anthony meletakkan telapak tangan kanannya di kepala Brandon. Detik selanjutnya, cahaya terang laksana api muncul dari jemarinya. Makin lama api tersebut semakin besar dan perlahan membakar kepala Brandon.

Brandon merasakan kobaran api tersebut kian menjalar di seluruh tubuhnya. Sebelum ia lenyap tak bersisa, Brandon mengucapkan pesan terakhir kepada Ariadna melalui kekuatan batinnya.

'Ariadna, jagalah putra kita baik-baik. Aku mencintai kalian.'

"Tidakkkk!" teriak Ratu Claudia histeris. Lututnya terasa goyah saat menyaksikan putra semata wayangnya berubah menjadi abu. Ia ingin berlari, tetapi tak sanggup karena tubuhnya ditahan oleh mantra Lord Anthony.

"Anthony, kau ayah yang kejam, tidak berperasaan!" teriak Ratu Claudia pilu.

Lord Anthony tidak menjawab. Ia masih membeku di tempatnya berdiri sambil memandangi abu dari jasad putranya. Tak terasa air matanya pun luruh.

Ada rasa penyesalan yang begitu besar menghinggapi dirinya. Sebagai seorang ayah ia tidak tega melakukan semua ini, tetapi di sisi lain ia adalah pemimpin klan vampir yang harus menegakkan keadilan.

Dengan hati hancur, Lord Anthony maju ke depan. Ia kembali berbicara kepada majelis vampir.

"Aku sudah melakukan tugas terakhirku sebagai raja. Mulai hari ini, aku bukan lagi pemimpin klan vampir."

"Apa maksud Anda, Yang Mulia?" tanya Marcus, salah satu anggota majelis.

"Aku akan mengasingkan diri di dunia gelap untuk selamanya. Aku menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada istriku, Ratu Claudia. Dia akan menjadi penguasa untuk sementara, sampai salah satu cucu laki-laki kami bisa menggantikannya."

"Tapi Yang Mulia...."

Lord Anthony tidak menghiraukan protes dari anggota majelis. Ia berjalan menghampiri sang istri lalu mengenakan cincin lambang kekuasaan raja di jari manis Ratu Claudia.

"Maafkan aku, Claudia. Kau pasti membenciku karena aku sudah menghabisi Brandon. Perlu kau tahu, aku juga sangat menyayanginya. Karena itu, aku ingin melakukan penebusan dengan menjalani hukumanku sendiri di dunia gelap."

"Anthony, kau tidak boleh pergi," kata Ratu Claudia berusaha mencegah suaminya.

"Keputusanku sudah bulat, Claudia. Aku serahkan tanggung jawab untuk menjaga klan vampir ke tanganmu. Lakukanlah juga pesan terakhir dari putra kita. Selamat tinggal, Claudia."

Ratu Claudia tidak dapat berbuat apa-apa saat melihat tubuh sang suami yang memudar, lalu perlahan lenyap tanpa jejak. Ia pun jatuh terduduk di lantai sembari meraung dengan keras. Tak menyangka jika malapetaka sebesar ini akan menimpanya. Dalam sekejap, ia kehilangan dua orang yang paling berharga dalam hidupnya, yaitu suami dan anaknya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!