When The Sky Fall
"Apa?"
Hanya itu yang bisa Tari katakan. Bahkan kata-kata itu hampir tidak bisa terdengar. Seperti terkena petir di langit yang cerah, kabar itu membuatnya terkejut. Kepulangannya yang seharusnya memberitahukan kabar gembira darinya justru menjadi kabar buruk baginya.
Ibu tirinya menghadangnya dengan sebuah pernyataan tentang pernikahan yang sama sekali tidak dia ketahui dengan orang yang dia tidak kenal. Ini kabar ketiga yang membuatnya terkejut. Dari keinginan ayahnya menikah lagi setelah tiga tahun ibunya meninggal sampai ayah jatuh sakit stroke dan jantung, lalu ini.
"Ini untuk kebaikanmu dan keluarga." sahut Salina, ibu tirinya. Tari masih diam membisu, sementara ayahnya terbaring lemah di kamar. "Dia anak orang kaya, anak baik kok."
"Tapi siapa bu? Tari bahkan nggak kenal."
"Kan nanti bisa kenalan. Gitu aja repot. Lagipula kamu itu sudah dua puluh lima tahun. Sudah cukup umur untuk menikah. Lah ibu yakin cewek seumuran kamu itu udah banyak yang menikah. Sudah! Pokoknya kamu akan menikah. Itu sudah keputusan ayahmu." tegas Salina. Tari berdiri dari duduknya.
"Nggak! Aku nggak akan menikah dengan siapapun. Terlebih dengan orang yang nggak aku kenal!" Tari tidak kalah tegas dari ibu tirinya. Tari beranjak pergi tapi Salina berkata lagi.
"Jadi siapa yang akan melunasi semua hutang ayahmu?" tanya Salina. Pelan, tapi cukup terdengar di telinga Tari. Tari membalikkan tubuhnya dan menatap tidak percaya pada Salina.
"Hutang? Hutang apa bu? Kenapa Tari nggak tahu semua itu?"
"Karena ayahmu itu nggak mau mengatakannya padamu." Salina menghela nafas. "Padahal aku sudah meminta ayahmu buat kasih tahu hal itu sama kamu. Tapi dia menolak, katanya dia nggak mau membebankanmu. Tapi lihatlah! Hutang itu nggak di bayar dan adik-adikmu juga memerlukan uang untuk sekolah mereka!"
"Tari akan cari uang! Nggak perduli meski harus memiliki dua pekerjaan atau nggak ada libur, yang terpenting Tari akan cari uang. Tari juga udah keterima jadi pegawai negeri. Tari juga akan mencari pekerjaan lain."
Kabar itu yang ingin dia sampaikan pada ayahnya. Bahwa dia telah mewujudkan keinginan almarhum ibunya, ingin salah satu anaknya menjadi pegawai negeri. Tapi belum sempat di beri tahukan dia justru di bombardir dengan rencana pernikahannya.
"Lalu kamu pikir itu cukup buat semuanya? Belum lagi biaya ayahmu sakit. Kamu pikir ayahmu itu berobat nggak perlu uang? Ayahmu sudah pensiun jadi asuransi nggak di tanggung perusahaan ayahmu lagi. Jangan melawan! Menikah saja! Untuk apa pekerjaan banyak toh akhirnya juga menikah dan ngurus dapur."
Salina langsung pergi ke kamar meninggalkan Tari begitu saja di ruang tamu. Tari hanya terdiam menunduk. Dia tidak ingin menikah terlebih dengan orang yang sama sekaligus tidak dia kenal, bahkan tidak pernah bertemu.
***
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Tari bersiap kembali ke kota tempat dia bekerja. Sebelum pergi, dia ke kamar ayahnya untuk berpamitan. Tari mengetuk pintu. Setelah di jawab ayahnya, Tari masuk dan mendapati ayahnya terbaring di tempat tidurnya. Ayahnya terpaksa pensiun dini karena penyakitnya dan sekarang hanya bisa terbaring di kasur atau duduk di beranda dengab kursi rodanya.
"Ayah.. Tari pamit dulu ya. Tari harus kembali dan bekerja." Tari tersenyum lalu mencium punggung tangan ayahnya. Saat Tari akan beranjak, ayahnya memegang tangannya. Tari kembali duduk dan menatap ayahnya.
"Apa kamu bersedia?" tanya Hendrawan, ayahnya, dengan suara pelan tapi cukup terdengar di telinga ayahnya. Tapi tahu betul apa yang ayahnya bicarakan.
"Apa Tari harus lakukan semua itu?"
"Kita nggak punya pilihan lain nak. Lagipula suatu saat kamu akan menikah kan? Ayah merestui dengan siapa saja kamu menikah. Ayah minta maaf, seharusnya ayah tidak memaksa. Ayah sebagai kepala keluarga tapi sama sekali tidak berguna." Dari raut wajah ayahnya, Tari melihat kesedihan yang mendalam. Kesedihan yang sama saat ibunya meninggal. "Ayah hanya ingin melihat kamu menikah sebelum ayah meninggal."
"Jangan ngomong begitu ayah. Ayah nggak akan kemana-mana." tegas Tari.
"Bisa kamu pikirkan terlebih dahulu?" tanya Hendrawan. Tari hanya bisa menghela nafas panjang. "Setidaknya temui dia dulu. Lalu kamu putuskan."
"Tidak! Jangan! Harus setuju. Mana bisa kita kasih harapan palsu. Mahar mereka besar. Cukup untuk membayar hutan dan yang lainnya!" sahut Salina dari luar kamar. Salina mendongakkan kepalanya ke dalam kamar tidurnya. "Seharusnya kamu bersyukur, dengan begitu kamu bisa bantu orang tuamu. Dapat pahala. Mau sampai kapan hidup sesuka hatimu terus?!"
Salina pergi begitu saja.
"Ibumu memang seperti itu. Dia keras, tapi hatinya sangat baik. Dia mengurus semua urusan rumah dan adik-adikmu." jelas Hendrawan dan sudah jelas membela ibu tirinya. "Pergilah, hati-hati di jalan."
Tari yang tidak berkata apapun sedari tadi hanya tersenyum kecil lalu beranjak pergi. Sebelum keluar kamar, Tari melihat beberapa tas mewah tersusun rapi di sebuah lemari khusus. Tas mewan dan beberapa sepatu. Lalu Tari menatap ayahnya sejenak. Ayahnya tersenyum kecil padanya. Tari membalas senyumannya lalu beranjak pergi. Tari keluar kamar lalu berpamitan pada ibu tirinya.
"Jadilah anak berbakti. Ayahmu itu sakit-sakitan. Kamu harus jadi kepala keluarga sekarang. Nggak bisa seenaknya lagi!" sahut Salina ketus. Tari tidak menjawab, hanya segera pergi dari sana.
***
Setelah dari rumahnya, Tari tetap di desak oleh ibu tirinya. Dia tak henti-hentinya di telepon dan di chat perihal itu. Tari diminta untuk mengambil cuti. Meski sudah bekerja selama tiga tahun, Tari belum sekalipun mengambil cuti. Jadi ibu tirinya mendesaknya mengambil cuti agar dia bisa pulang dan bertemu dengan pria yang di jodohkan untuknya. Setelah semua desakan, akhirnya Tari setuju untuk mengambil cuti dan bertemu dengan pria itu. Dia ingin setidaknya bertemu dengan pria itu. Melihat bagaimana rupanya dan sikapnya. Mungkin saja dia bisa luluh. Karena sampai detik ini, dia benar-benar tidak ingin menikah.
Tari memasukkan bajunya ke dalam koper. Dia berpamitan pada ibu kosnya dan segera pergi ke terminal bus. Dia memutuskan untuk menggunakan bus. Biasanya dia akan menggunakan sepeda motornya untuk pulang pergi dari kota tempat dia bekerja dan rumahnya. Jarak dari kota tempat dia bekerja ke rumahnya sekitar dua hingga tiga jam perjalanan. Karena barang bawannya cukup banyak, Tari memutuskan untuk menggunakan bus saja.
Hari pertemuan tiba. Hari sabtu siang, jam makan siang. Dari pagi-pagi sekali ibu tirinya sibuk. Meski tidak masak sendiri dan memesan catering, ibu tirinya tetap super sibuk. Menghias ruang tamu dan yang lain. Tari ingin membantu tapi ibu tirinya menolak. Dia menyuruh Tari untuk menggunakan lulur dan masker wajah, bahkan memintanya untuk sedikit berolah raga. Tari juga tidak di perbolehkan makan malam dan sarapan. Katanya agar tidak terlihat gemuk. Tari melongo tidak percaya. Tinggi seratus enam puluh lima sentimeter dan berat lima puluh delapan kilo, masih terlihat gemuk?? Tapi Tari senang, dia tidak perlu mendengarkan ocehan ibu tirinya. Dia hanya perlu berdiam diri di kamar sampai jam makan siang.
"Tari, cepat turun." panggil Salina. Meskipun mengenakan earphone, dia masih bisa mendengar jelas suara ibu tirinya memanggil. Dengan malas Tari bangun dari tempat tidur dan mendatangi ibu tirinya. "Loh, kok kamu belum siap sih?! Cepetan sana siap-siap! Sebentar lagi mereka datang. Baju yang rapi dan jangan lupa pakai make up!"
Tari menghela nafas lalu segera kembali ke kamarnya. Dia duduk diam di meja rias selama beberapa menit hingga akhirnya dia mulai memoles sesuatu.
Tak berapa lama, terdengar orang-orang berbicara dari arah ruang tamu. Tari menghentikan kegiatannya.
"Sepertinya mereka udah dateng. Huft! Aku bener-bener nggak mau ngelakuin semua ini." Tari menghela nafasnya lalu kembali bersiap.
Terdengar ketukan dari pintu kamarnya.
"Tari, cepat keluar. Calon mertua dan calon suamimu sudah datang." sahut ibu tirinya dengan suara lembutnya. Tari menghela nafas lalu keluar kamar.
"Lembut kalau ada maunya." gerutu Tari.
Tari melihat di ruang tamu ada satu wanita tampak anggun dengan baju sepanjang lututnya. Wanita paruh baya itu mengikat rambutnya kebelakang dengan rapi. Dia terlihat seperti bangsawan kelas atas. Tapi dia tidak melihat satu sosok laki-laki di sana.
"Tari, kenapa diam saja disana? Kemari." sahut ibu tirinya lembut. Ayahnya juga sudah di sana, duduk di atas kursi rodanya. Wanita itu tersenyum padanya.
"Ya ampun, Tari... Udah besar ya. Dulu tante terakhir liat kamu, kamu itu masih segini." wanita itu mengangkat tangannya setinggi lutut orang dewasa. Tari hanya tersenyum lalu mencium punggung tangan wanita itu.
"Ini adalah tante Dhea, dia sahabat ibu kamu sedari SMP." kata ayahnya memperkenalkan. Tari hanya mengangguk. Dia tidak ingat pernah melihat tante Dhea sebelumnya tapi wajahnya terlihat familiar. Tari duduk tepat di sebelah tante Dhea.
"Sudah umur dua puluh lima tahun ya?" tanya tante Dhea.
"Iya tante."
"Udah kerja atau masih kuliah?"
"Kerja tante."
"Wahhh punya penghasilan sendiri dong. Itu bagus. Karena nggak perlu minta ke orang tua lagi." kata tante Dhea ramah. Tante Dhea sangat ramah, dia bercerita tentangnya dan ibunya sewaktu sekolah. Bagaimana ibunya saat sekolah. Lalu dia berkata mereka berjanji ingin menemui anak-anak mereka. Mungkin jodoh, itu kata tante Dhea.
"Ahh iya, Renald sedang menuju kemari. Tante nggak barengan sama Renald. Soalnya dia habis dari bali, ngecek resort dan hotelnya di bali. Sehabis covid rada sepi katanya. Ada beberapa yang perlu di benahi. Sekarang udah mulai rame pengunjung, jadi perlu di benahi di beberapa tempat." jelas tante Dhea.
"Pasti sibuk banget ya. Jadi nggak enak harus meminta kemari." kata ibu tiri Tari ramah, tidak, sangat ramah.
"Nggak apa-apa. Biarkan saja. Dia terus saja bekerja. Lama kelamaan dia menikah dengan pekerjaannya. Umurnya sudah tiga puluh tahun tapi masih nggak tertarik untuk menikah." tante Dhea menggelengkan kepalanya. Ibu tiri Tari tersenyum.
"Sepertinya anak-anak jaman sekarang itu nggak mau cepat-cepat menikah. Mereka betah sendiri dan bekerja."
"Saya setuju." mereka semua tertawa.
Terdengar suara mobil berhenti di perkarang depan rumah Tari.
"Ahh! Itu pasti Renald." ucap tanye Dhea. Mendengar itu, Tari mulai gugup, entah kenapa. Awalnya dia sudah senang kemungkinan tidak bertemu dengan pria yang dijodohkan padanya. Tapi mendengar pria itu datang, hilang sudah harapannya. Pria itu berdiri di depan pintu. Ibu tiri Tari langsung mempersilahkan pria itu masuk. Pria itu masuk ke dalam rumah setelah membuka sepatu. Pria itu mengenakan celana panjang kain berwana navy dan kemeja putih polos yang sudah di lipat hingga siku. Tari menatap pria itu dari atas sampai bawah. Di terkejut, tidak, sangat terkejut. Dia melihat ciri-ciri pria luar biasa sempurna dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ciri-ciri pria yang disukai banyak wanita. Tampan, kaya dan memiliki tubuh yang bagus. Terlebih sekarang pria itu tersenyum manis padanya! Astaga apa dinding pertahananku akan runtuh?
***
tadariez
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments