Chapter 4

Setelah pernyataan itu Tari memilih berdiam diri di kamar. Hatinya terlalu sakit meskipun hanya melihat wajahnya. Dia merutuki dirinya sendiri karena kebodohannya. Seharusnya dia sudah tahu, seharusnya dia sudah bisa menebak, pria seperti Renlad memiliki ciri khas yang sama, brengsek. Mungkin tidak semua, ya mungkin. Tapi sejauh ini yang dia kenal semua pria seperti Renald, tampan, kaya, populer, semuanya brengsek. Seharusnya dia sudah bisa mengantisipasinya. Tapi dengan bodohnya dia malah jatuh lebih dalam dengan perasaannya. Akhirnya disinilah dia, berdiam diri di kamarnya merutuki kebodohannya.

Beep!

Satu chat masuk. Dia sudah bisa menebak dari siapa chat itu. Tari membuka chat yang masuk. Seperti dugaannya, ibu tirinya.

"Aku nggak akan bosan buat kasih tau kamu, jadilah istri yang baik. Kamu itu bawa nama keluargamu. Jangan bikin malu! Ingat ayahmu!"

Tari menghela nafas. Alih-alih mengabarkan keadaan ayahnya, Salina justru selalu mengingatkan Tari bagaimana dia harus bersikap. Dia menutup ponsel bututnya dan melemparkannya begitu saja di kasur. Dia merasa tidak adil tapi dia tidak bisa melakukan apapun yang akan menyakiti keluarganya.

Tok tok tok

Suara ketukan pintu terdengar. Tapi Tari hanya diam saja. Tidak menyahut ataupun mempersilahkan masuk.

Tok tok tok

Suara ketukan pintu terdengar untuk kedua kalinya.

"Nyonya, ini saya, Marisaa." sahut suara di balik pintu.

"Masuklah Marissa." kata Tari akhirnya. Perlahan pintu terbuka. Marissa, salah satu pelayan pribadinya masuk ke dalam. Umur Marissa sekitar dua puluh tiga tahun. Dia sudah cukup lama bekerja di rumah itu. Ibunya juga pelayan di rumah itu tapi ibunya mendadak meninggal karena kecelakaan, sementara ibunya memiliki kontrak untuk bekerja di rumah itu selama lima tahun. Jadi Marissa menggantikan ibunya bekerja. Tari pernah bertanya apa dia pernah ingin bekerja yang lain. Marissa berkata dia senang bekerja disini. Gajinya bagus dan pekerjaannya tidak sulit. Karena itu saat kontraknya habis dia ingin kembali bekerja disini.

"Ada apa Marissa?" tanya Tari yang masih duduk di tempat tidurnya. Marissa berdiri di dekatnya.

"Apa nyonya tidak ingin makan?" tanya Marissa. Marissa sangat perhatian pada Tari. Dia tahu apa yang saat ini di alami Tari. Dia sangat prihatin tapi juga tidak bisa berbuat banyak. Renald terkenal dengan tempramennya. Tari menggeleng.

"Tidak, aku tidak lapar."

"Tapi dari semalam nyonya tidak makan. Sekarang sudah sore, setidaknya makanlah sedikit." bujuk Marissa.

"Tidak, aku sungguh tidak lapar. Uhmm... Anggap saja aku sedang berdiet."

"Tapi anda sedang tidak berdiet."

"Kata siapa? Aku sedang berdiet. Lihatlah, aku tidak makan."

"Lalu untuk apa nyonya berdiet? Bahkan tubuh anda tidak gemuk." Marissa menatap Tari dengan wajah polosnya. Dia mengerutkan keningnya.

"Disini pekerjaanku hanya makan dan tidur. Lemakku sudah menumpuk. Lihatlah." Tari menggoyangkan lengannya.

"Tapi anda baik-baik saja, nyonya. Jika anda gemuk bagaimana dengan nyonya Mcmuffins-- ups." Marissa terkejut dengan kata-katanya lalu menutup mulut dengan kedua tangannya. Tari tertawa.

"Wahhh sekarang kamu melakukan body shaming juga?"

"Saya tidak-- tap-tapi saya---" Marissa menunduk lemas. Tari semakin tertawa geli.

"Aku hanya bercanda, Marissa. Tenang saja, rahasiamu aman."

Marissa menghela nafas. "Nyonya..."

"There, there Marissa. Aku menyuruhmu untuk membujuk nyonya makan, bukan bergosip tentang tubuh orang lain." Anne, pelayan pribadi Tari yang satunya lagi masuk kedalam kamar. Anne jauh lebih tua dari Tari dan Marissa. Umurnya sekitar lima puluh tahunan. Rambutnya selalu di sisir rapi ke atas menyerupai sanggul kecil. Rambutnya beberapa sudah berwarna abu-abu. Berbeda dengan Marissa. Marissa memiliki rambut coklat ikal yang bagian atas selalu di ikat sementara bagian bawah di biarkan tergerai. Marissa berasal dari meksiko sementara Anne dari inggris.

"Tapi saya tidak-- baiklah nyonya Anne. Saya salah, saya minta maaf." Marissa tertunduk.

"Tidak, tidak ada yang salah disini. Dia hanya membujukku untuk makan." Tari mencoba menengahi.

"Mencoba membujuk anda bukan berarti harus mengejek tubuh orang lain. Dia bersalah nyonya jadi jangan membelanya." kata Anne tegas. Tari tidak berkata apa-apa lagi. Anne memang tegas tapi dia sangat baik. "Pergilah. Kerjakan tugasmu."

"Baik nyonya." Marissa pergi keluar kamar.

"Apa itu tidak terlalu keras untuknya?" tanya Tari pada Anne setelah kepergian Marissa.

"Dia berkata ingin menjadi pelayan profesional. Lebih baik di mulai dari sikapnya. Dia harus bisa membedakan pekerjaan dan pribadi. Perlakuan terhadap bos dan teman."

"Anda terlalu serius."

"Saya tahu nyonya. Saya selalu seperti ini sedari dulu. Jadi... Anda akan makan kan?"

"Ahhh benar.. Tentang itu."

"Jangan katakan anda sedang diet. Meski diet sekalipun bukan berarti tidak makan sama sekali. Anda harus makan nyonya."

"Nanti malam. Oke? Makan malam. Aku janji aku akan makan. Ini sudah sore, terlalu terlambat untuk makan siang dan terlalu dini untuk makan malam."

"Baiklah, makan malam. Anda bisa berjanji pada saya."

"Tentu."

"Baiklah, saya permisi nyonya."

Anne berpamitan dan keluar kamar. Setidaknya ada Marissa dan Anne yang baik padanya disini jadi dia tidak terlalu kesepian.

...***...

Keesokan malamnya setelah makan malam, Tari mendengar suara mobil Renald yang baru saja datang. Dilema ingin menyambut atau tidak. Akhirnya Tari memutuskan untuk langsung naik ke lantai dua ke kamarnya. Belum sampai tangga, dia sudah melihat Renald masuk ke dalam rumah dengan menggandeng tangan Veronica. Rasa marah Tari mulai bergejolak lagi. Tangannya mengepal menahan rasa kesal dan marahnya. Terlebih Renald langsung masuk ke dalam kamarnya dengan membawa Veronica bersamanya. Letak kamar Renald berada di depan dekat pintu masuk, sementara ruang kerjanya di seberang kamarnya. Sebelum masuk ke kamar, Veronica melihat Tari lalu tersenyum penuh arti. Seperti sengaja membuatnya kesal. Bahkan Alfred, kepala pelayan kepercayaan Renald juga tersenyum bangga pada Veronica yang ternyata adalah keponakannya.

"Apa-apaan itu? Mereka besengkokol mengejekku? Aku tahu dia tidak menyukaiku tapi apa dia juga harus seperti itu?"

Tari berdiri dalam diam cukup lama sampai Marissa menegurnya.

"Nyonya? Apa anda baik-baik saja?"

Tari hanya diam.

"Tidak mungkinkan mereka melakukan itu? Disini? Saat aku ada disini? Tidak mungkin... Pasti itu tidak mungkin.."

"Nyonya?" tegur Marissa lagi.

Tari akhirnya melangkah tapi tidak ke lantai dua melainkan ke kamar Renald. Anne dan Marissa saling menatap satu sama lain. Tari berdiri di depan pintu kamar Renald. Tangannya satu sudah berada di knop pintu. Tapi dia belum memutar knopnya. Hati dan pikirannya mulai berperang di dalam dirinya. Dia terus mengatakan pada dirinya tidak mungkin Renald bercinta dengan wanita itu di rumah ini, tapi dia tidak berani membuka pintu. Dia takut jika yang di takutkannya benar adanya. Bibir Tari bergetar. Dia gugup. Tari menutup matanya dan mengatur nafasnya. Saat sudah mulai tenang dan mantap, dia membuka matanya dan hendak memutar knopnya. Tapi belum terbuka dia mendengar suara erangan dan des*h** yang semakin lama semakin kuat. Suara des*h** tidak hanya dari suara Veronica tapi dari suara Renald. Ya, ketakutan Tari akhirnya terjadi. Tari yang hendak membuka pintu, akhirnya melepaskan tangannya dari knopnya. Tak terasa air matanya jatuh begitu saja tanpa di perintah.

"Apa ada yang bisa saya bantu?"

Tari menoleh dan mendapati Alfred sudah berdiri di sampingnya dengan tatapan datar. Tidak ada rasa keprihatinan, empati atau apapun. Hanya datar. Tanpa menjawab, Tari bergegas pergi menuju kamarnya.

...***...

Hari-hari menyiksa terus datang seakan tidak memberikan Tari istirahat, bahkan untuk bernafas. Renald berkali-kali membawa Veronica ke rumah. Mereka makan bersama, berenang bersama, atau hanya sekedar duduk minum wine. Dan Tari harus menyaksikan itu. Mereka bahkan berani berciuman sampai melakukan oral **** ditempat yang terlihat orang lain. Semua karyawan di sana melihat mereka. Tari bahkan tidak sengaja melihat mereka bercinta saat berjalan-jalan di sekitar rumah. Tari benar-benar hancur. Semua orang yang bekerja di rumah itu sekarang tahu jika Tari hanya istri di atas kertas dan hanya sebatas hiasan di rumah itu.

Renald benar-benar semakin menggila. Dia jarang pulang ke rumah. Tapi jika pulang selalu membawa Veronica. Tari dan Veronica sempat bertemu di dapur tengah malam saat Tari ingin mengambil air minum untuk di kamarnya. Veronica hanya mengenakan kemeja Renald yang tampak kebesaran ditubuhnya dan Tari bisa melihat jika dia tidak mengenakan bra ataupun cel*n* dal*m. Awalnya setelah mendapati Veronica juga berada di dapur, dia ingin mengurungkan niatnya untuk mengambil air minum, tapi Veronica memergokinya saat akan pergi.

"Kenapa diam di sana? Tidak takut denganku kan? Aku bukan hantu." ucap Veronica dengan senyuman di wajahnya. Tari menghela nafas lalu berjalan mengambil air minum. Veronica memperhatikan Tari dari atas sampai bawah berulang-ulang. Tari mengetahui itu tapi dia tidak perduli.

"Ahh! Benar! Kamu pasti mengira aku hantu karena aku mengenakan kemeja putih ini kan? Aku juga heran kenapa kemeja ini putih sekali padalah ini kemeja favorit Renald. Dia sering mengenakannya. Di tambah sudah terkena lipstikku di sana sini seharusnya tidak seputih bersih ini kan?" Veronica menuang wine ke gelasnya. "Aku juga ingin mengenakan pakaianku. Tapi sayangnya... Pakaianku kotor." Veronica mencondongkan tubuhnya ke Tari lalu berbisik. "Terkena sp*rm*."

Tari menatap Veronica. "Permisi, selamat malam." sahutnya lalu pergi.

"Ahh tunggu!"

Tari menghentikan langkahnya lalu berbalik menatap Veronica.

"Kamu tidak marahkan kami bercinta atau melakukan hal lain? Kamu kan hanya pengganti, hanya tameng. Jadi tidak mungkin marah, benarkan?"

Tari mengangguk lalu tersenyum kecil. "Tentu, tentu saja."

Tari berbalik dan segera pergi. Dia benar-benar tidak ingin berada disana walau hanya sedetik. Mungkin hatinya sudah beku atau mungkin dia sudah terbiasa, entahlah, yang jelas dia sudah tidak perduli apapun yang mereka lakukan.

Seakan tidak cukup penderitanya oleh Renald, Salina, ibu tirinya juga ikut membuatnya tersiksa. Pasalnya Salina meminta uang lagi padanya. Awalnya Tari tidak menghiraukannya tapi semakin tidak perduli justru Salina semakin gencar mengejar. Dia akan terus mengirimi chat bahkan menelponnya. Alasannya adalah pengobatan ayahnya.

"Tapi aku tahu Renald memberi uang yang sangat banyak, lalu kenapa masih kurang?" tanya Tari. Dia benar-benar tidak bisa percaya uang sebanyak itu habis begitu saja.

"Hei anak nggak tau diri! Kamu pikir yang perlu uang itu ayahmu aja? Gimana dengan adik-adikmu? Egois sekali mentang-mentang dapat suami kaya, kamu!"

"Bukan egois bu--"

"Suami kamu itu kaya, tinggal minta aja apa susahnya sih? Jangan bego banget jadi orang deh."

"Ibu pikir mudah?"

"Ibu nggak mau tau. Kalo kamu nggak mau kasih, kamu urus sendiri ayah dan adik-adikmu. Ibu udah nggak mau lagi. Untung aku mau ngurusi ayahmu yang nggak bisa ngasih nafkah itu. Bisa-bisanya aku juga yang harus biayai. Tau diri kenapa?"

Salian menutup telponnya. Salina menuntutnya tanpa tahu apa yang telah terjadi padanya. Aku harus bagaimana?

...***...

tadariez

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!