Chapter 6

Tari terpaksa ijin bekerja. Dia memutuskan cukup tiga hari dia akan merawat Renald. Setelah itu terserah Renald. Dia tidak mau ambil pusing. Siang hari setelah kedatang dokter, Tari membawa masuk nampan berisi bubur yang telah di buat khusus untuk Renald dengan segelas air putih. Renald menoleh sejenak lalu membalikan tubuhnya membelakangi Tari.

"Makan dulu." sahut Tari. Renald tidak bergeming. "Hei, kamu dengar aku?"

"Aku tidak lapar. Pergilah. Jangan ganggu aku." sahut Renald tanpa membalikkan tubuhnya.

"Wahhh seandainya bisa, aku akan pergi. Tapi sekali lagi, aku tidak mau menjadi tertuduh jika terjadi sesuatu padamu." kata Tari dingin.

"Kalau begitu serahkan saja pada pelayan."

Tari tertawa mengejek. "Seandainya ada yang mau, aku tidak akan susah-susah kemari dan kasih kamu makan. Merepotkan! Salahkan tempramenmu itu!" Tari berdecak. "Duduk dan makan. Semakin cepat kamu makan, semakin cepat aku pergi dari kamar ini. Aku tahu kamu tidak ingin melihatku. Aku juga sama. Jadi jangan cerewet."

Renald menghela nafas kasar. Dia membalikkan tubuhnya lalu berusaha duduk. Tapi tangannya bergetar saat mencoba duduk. Tubuhnya masih terlihat lemas. Tari menghela nafas. Dia meletakkan nampannya di atas nakas lalu duduk di samping Renald. Dia membantu Renald untuk duduk. Dia meletakkan bantal di belakang Renald agar Renald bisa duduk dengan santai. Tari mengambil buburnya. Dia menyendok buburnya lalu meniupnya. Setelah agak dingin dia suapkan ke Renald. Terus begitu berulang-ulang tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Tari menyuapi Renald makan tiga kali sehari. Dia selalu memeriksa suhu tubuh Renald bahkan saat tengah malam. Dia juga menyeka tubuh Renald dengan kain hangat. Tubuh Renald yang six pack dan dada bidangnya tidak membuat Tari tersipu. Setidaknya dia berusaha untuk tidak tersipu. Dia sudah memutuskan untuk berhenti menyukainya jadi dia membangun dinding yg tebal dan tinggi agar perasaanya tetap di dalam.

Tepat tiga hari, panas di tubuh Renald tidak lagi kembali. Biasanya panas tubuhnya akan naik dan turun. Tapi ini sudah normal seharian. Jadi besok Tari bisa kembali bekerja.

Sebelum tidur, setelah makan malam, Tari kembali akan menyeka tubuh Renald. Tapi Renald menolak. Dia ingin berendam air panas. Tari menyiapkan semua keperluan mandi Renald. Air panas di bathtub dan sabun busa. Tari membantu Renald membuka seluruh bajunya hingga tersisa boxernya. Tari berusaha memalingkan wajahnya, tidak ingin melihat apapun. Tari memapah Renald ke kamar mandi dan masuk ke dalam bathtub, tanpa berkata apapun.

"Wahh aku benar-benar menjadi pelayan pribadinya sekarang." gerutu Tari dalam hati saat dia menunggu diluar kamar mandi. "Untung aja sampe malam ini aja. Huh! Siapa yang mau bersamanya lebih lama lagi!"

Selesai mandai Tari masih membantunya mengenakan pakaian. Risih? Sangat. Rasanya ingin memakinya agar dia bisa lebih cepat mengenakan pakaiannya jadi dia bisa segera pergi. Terlebih jika tetap melihat pemandangan yang menggoda di depannya. Tubuh keras, six pack dan dada bidangnya, terlalu menggoda. Tapi mungkin karena Tari sudah muak padanya, jadi saat dia melihat pemandangan itu, dia bukan tersipu, justru ingin memaki.

Tari polos? Tidak, tentu tidak. Dia sudah bisa bersikap dewasa. Dia hanya selalu menahan diri demi keluarganya. Baginya keluarganya yang terpenting, karena itu dia tidak pernah memiliki kekasih semenjak ibunya meninggal. Usai menyelimuti Renald, Tari beranjak pergi.

"Kamu... Bekerja dimana?" tanya Renald membuat langkah Tari terhenti. Tari menghela nafas lalu berbalik.

"Sudah aku katakan itu bukan urusanmu." ucap Tari dingin dan langsung pergi. Renald mengerutkan keningnya dan menatap kepergian Tari.

Renald mengambil tab nya di atas nakas. Dia tahu dia masih harus beristirahat tapi dia membuat perjanjian dengan dokternya dia akan beristirahat penuh selama tiga hari tapi selepas itu, dia akan bekerja, sembuh atau tidaknya dia. Karena itu dia membiarkan Tari merawatnya. Dia berpikir lebih baik Tari ketimbang orang lain. Karena itu selama tiga hari dia menurut. Bahkan Alex, sekretarisnya di larang untuk datang.

Renald memeriksa tagihan kartu kreditnya. Tidak ada pengeluaran, sama sekali. Dia memeriksa kartu kredit yang dia berikan pada Anne agar jika Tari ingin berbelanja apapun itu, bisa menggunakan kartu itu. Tapi nihil. Tidak ada pengeluaran sama sekali. Renald memijat keningnya. Apa ada yang salah?

...***...

Pagi-pagi sekali Tari sudah sarapan dan pergi. Dia tidak ingin terlambat. Sudah tiga hari dia ijin, dia merasa tidak enak pada teman dan bosnya. Dia tentu pergi lebih pagi agar tidak bertemu Renald. Dia tidak ingin moodnya hancur pagi-pagi karena bertemu Renald.

Sambil membawa jas di tangannya, Renald keluar kamar dan membetulkan dasinya. Dia kembali bekerja hari ini. Alex, sekretaris dan asisten pribadinya sudah menunggu di ruang tengah dekat tangga. Alex mengenakan stelan jas juga. Rambut coklatnya di sisir rapi ke samping.

"Selamat pagi pak." sapa Alex. Renald mengangguk.

"Sepertinya kamu ingin aku pecat, ya?" kata Renald tiba-tiba. Alex terkejut.

"Maaf pak, tapi apa saya melakukan kesalahan?" tanya Alex bingung.

"Sudah aku katakan jangan formal padaku saat hanya ada kita berdua. Aku tidak suka. Kamu juga temanku." ucap Renald dan menatap tajam Alex, mencoba mengintimidasinya.

"Ahhh itu.. Oke, baiklah." Alex yang tidak terintimidasi menjawab santai.

"Dari semua orang hanya kamu yang tidak terintimidasi dengan tatapanku."

"Bukan tidak terintimidasi tapi sudah terbiasa. Bahkan itu sudah tidak menakutkan lagi."

Renald tertawa. Alex menyerahkan tablet pada Renald berisi jadwalnya hari ini. Renald lebih suka melihat sendiri daripada di bacakan.

"Tuan, sarapan sudah siap." kata Alfred.

"Tidak hari ini. Aku akan makan di kantor saja. Aku ada rapat pagi ini. Alex akan membelikan untukku." ucap Renald lalu mengenakan jasnya. "Ahh benar. Panggil Anne untukku."

"Baik tuan." Alfred segera pergi ke dapur.

"Aku ingin kamu memeriksa kartu kredit yang aku berikan pada dia. Mungkin bermasalah." kata Renald pada Alex sambil masih melihat tab nya.

"Dia? Siapa?"

"Wanita yang baru aku nikahi." ucap Renald masih tanpa menatap Alex.

"Istrimu." koreksi Alex.

"Ya, terserah saja. Periksa, mungkin ada kesalahan. Aku tidak melihat ada pengeluaran sama sekali."

"Mungkin saja dia tidak menggunakannya."

"Kau bercanda? Dia wanita. Wanita selalu saja berbelanja apapun yang mereka suka. Tidak mungkin ada wanita yang tidak menghabiskan uang."

"Tuan." panggil Anne yang sudah berdiri di dekatnya.

"Ahh Anne. Aku mau tanya. Kartu kredit yang aku berikan padamu untuk di berikan ke nyonya, apa sudah kamu berikan?"

"Sudah tuan. Tapi nyonya menolak."

"Menolak katamu?" Renald terkejut.

"Iya tuan. Nyonya menolak. Nyonya meminta saya untuk menyimpannya."

"Apa dia pernah menggunakannya?"

"Setahu saya tidak tuan. Nyonya bahkan tidak pernah memegang kartu itu. Kartu itu selalu bersama saya."

Ucapan Anne barusan membuat Renald mengerutkan keningnya. Seorang wanita? Tidak berbelanja? Terlebih menggunakan uang gratis?

"Baiklah, kamu bisa pergi. Tetap pegang kartu itu, mungkin saja dia akan menggunakannya."

"Baik tuan." Anne membungkuk hormat lalu pergi.

"Sudah kukatakan kan? Mungkin saja dia tidak menggunakannya." sahut Alex.

"Justru itu aneh."

"Kau yang aneh. Jangan menyamakan semua wanita. Ayo kita pergi, atau kita akan terlambat."

"Hmm ayo."

...***...

Di butik Tari di sambut hangat. Ya, dia benar-benar menyukai bekerja disana. Setidaknya hal buruk yang terjadi padanya belakangan ini, terbayar dengan teman-teman yang baik. Tapi semua orang jadi tahu jika Tari sudah menikah. Sebenarnya dia tidak ingin memberitahukan semuanya itu. Karena menurutnya itu percuma. Untuk apa menceritakan pria yang tidak perduli padanya.

Beep!

Satu pesan masuk ke ponselnya. Emily memeriksa sekeliling. Tidak ada pengunjung jadi dia bisa langsung membukan chat di ponselnya.

"Kak, aku cuma mau kasih tau. Ayah masuk rumah sakit. Ayah kena serangan jantung. Ibu melarangku kasih tau kakak. Tapi menurutku kakak harus tau. Jangan beritahukan ibu ya kak. Jaga diri kakak."

Tari panik. Tubuhnya bergetar. Wajahnya terlihat pucat.

"Tari, are you okay?" tanya Olive yang melihat perubahan wajah Tari.

"Aku baik-baik saja, terima kasih. Bisa gantikan aku sebentar? Aku harus menelepon."

"Yeah, tentu."

Tari pergi menuju belakang butik. Di belakang butik ada gang kecil. Tari mengatur nafasnya yang berat. Dia memencet nomor ibunya.

Tuuut

Tuuut

"Apa? Kenapa kamu menelepon?"

"Bu, apa benar ayah masuk rumah sakit?"

"Pasti adikmu lagi. Ayahmu baik-baik aja. Udah nggak usah urusin. Kamu tinggal kirim aja uang buat ayahmu di rumah sakit."

"Apa ayah sakitnya parah?"

"Nggak perlu tau. Kamu cukup kirim uang aja."

"Bu.."

"Udah. Aku tutup."

"Tari akan ke Indonesia, besok."

"Tidak, tidak perlu. Jangan berani-berani kamu kemari!"

"Tapi kenapa?"

"Jika kamu berani kemari, aku akan pergi meninggalkan ayah dan adikmu! Jika kamu tidak mau aku pergi, jangan kemari. Kirim aja uang untuk pengobatan ayahmu! Nggak usah aneh-aneh, sok ingin pulang segala. Uang kamu udah cukup. Kirim lebih banyak dari biasanya. Jika kamu berani kemari, lihat aja."

Klik!

Salina menutup telponnya. Tari menangis sejadinya di belakang butik. Dia benar-benar merasa bersalah meninggalkan ayahnya. Dia ingin sekali pergi. Tapi dia takut, ancaman ibunya akan terjadi.

...***...

Suara ribut orang berbicara dan lantunan musik mendominasi bar tempat Tari bekerja. Tari sudah mahir meracik minuman meskipun dia tidak merasakannya. Dia selalu meminta Marisol untuk mencicipi racikan minuman buatannya. Tari cukup cepat belajar. Jika dia sudah bertekad, dia akan menekuninya apapun yang terjadi. Awalnya pemilik bar enggan mempekerjakan Tari di bagian racikan minuman karena kurang berpengalaman. Awalnya Tari akan di tempatkan sebagai pelayan tapi dengan kerja kerasnya, Tari bisa mahir dengan cepat.

Tari meletakkan satu minuman pada pria paruh baya yang duduk di depannya lalu membersihkan meja tempat dia meracik tadi.

"Kamu sudah baik-baik saja?" tanya Marisol.

"Hmm aku baik."

"Aku penasaran, sebenarnya ada apa denganmu? Well aku tahu itu urusanmu tapi aku merasa khawatir. Kamu seperti akan pingsan tadi."

"Aku baik-baik saja, Marisol."

"Jika butuh teman untuk bercerita. Aku siap." Marisol menepuk pelan lengan Tari sambil berlalu. Meskipun kehidupan rumah tangganya mengenaskan tapi dia diberikan teman yang sangat baik. Marisol dan Olive selalu menjaganya. Marisol cantik dengan rambut keriting coklat dan mata hazel lembutnya. Kulitnya coklat eksotis. Dia memiliki kekasih berasal dari Meksiko juga, Teo. Tubuh Marisol sedikit lebih pendek dari Tari.

"Jadi apa yang akan kamu lakukan?" tanya Marisol lagi saat mereka sudah menutup bar. Mereka berdiri di pinggir jalan, mencari taksi untuk Tari. Sementara Marisol akan di jemput kekasihnya. Tari memutuskan untuk menceritakan semua pada Marisol. Mungkin jika dia bercerita pada seseorang, bebannya akan berkurang.

"Apalagi. Kirim uang saja. Hanya itu."

"Mi amor.. Kasihan sekali kamu. Apa kamu perlu meminta bantuan Teo untuk memberi pelajaran pada suamimu itu? Teo itu gangster. Tenang saja dia akan membantumu."

Tari tertawa kecil. "Tidak, tidak perlu. Dia tidak memiliki perasaan untukku, sekarang aku juga. Hanya tinggal melunasi semua hutangku. Itu saja. Maafkan aku, aku sudah menceritakan semua ini. Setidaknya aku ingin ada tempat untukku bercerita. Rasanya ingin gila menyimpan semuanya sendiri."

"Con un placer. Dengan senang hati. Aku justru senang kamu cerita. Jangan pernah menyimpannya sendiri. Tidak baik untukmu." Marisol memeluk Tari. "Ahh! Itu taksi. Kau yakin tidak ingin di antar Teo saja?"

"Tidak, aku tidak ingin merepotkan. Aku pulang dulu. Bye..." Tari masuk ke dalam taksi.

Marisol melambaikan tangannya sampai Tari menghilang dari pandangannya.

"Kasihan sekali..." ucap Marisol sepeninggal Tari.

"Siapa yang kasihan?" tanya Teo membuat Marisol tersentak.

"Astaga kamu mengejutkanku. Qué sucede contigo?!" pekik Marisol lalu memukul tubuh Teo.

"Está bien, deja de pegarme. Lo siento, okay?"

"Menyebalkan!"

Teo menggandeng tangan Marisol pergi.

...***...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!