NovelToon NovelToon

When The Sky Fall

Chapter 1

"Apa?"

Hanya itu yang bisa Tari katakan. Bahkan kata-kata itu hampir tidak bisa terdengar. Seperti terkena petir di langit yang cerah, kabar itu membuatnya terkejut. Kepulangannya yang seharusnya memberitahukan kabar gembira darinya justru menjadi kabar buruk baginya.

Ibu tirinya menghadangnya dengan sebuah pernyataan tentang pernikahan yang sama sekali tidak dia ketahui dengan orang yang dia tidak kenal. Ini kabar ketiga yang membuatnya terkejut. Dari keinginan ayahnya menikah lagi setelah tiga tahun ibunya meninggal sampai ayah jatuh sakit stroke dan jantung, lalu ini.

"Ini untuk kebaikanmu dan keluarga." sahut Salina, ibu tirinya. Tari masih diam membisu, sementara ayahnya terbaring lemah di kamar. "Dia anak orang kaya, anak baik kok."

"Tapi siapa bu? Tari bahkan nggak kenal."

"Kan nanti bisa kenalan. Gitu aja repot. Lagipula kamu itu sudah dua puluh lima tahun. Sudah cukup umur untuk menikah. Lah ibu yakin cewek seumuran kamu itu udah banyak yang menikah. Sudah! Pokoknya kamu akan menikah. Itu sudah keputusan ayahmu." tegas Salina. Tari berdiri dari duduknya.

"Nggak! Aku nggak akan menikah dengan siapapun. Terlebih dengan orang yang nggak aku kenal!" Tari tidak kalah tegas dari ibu tirinya. Tari beranjak pergi tapi Salina berkata lagi.

"Jadi siapa yang akan melunasi semua hutang ayahmu?" tanya Salina. Pelan, tapi cukup terdengar di telinga Tari. Tari membalikkan tubuhnya dan menatap tidak percaya pada Salina.

"Hutang? Hutang apa bu? Kenapa Tari nggak tahu semua itu?"

"Karena ayahmu itu nggak mau mengatakannya padamu." Salina menghela nafas. "Padahal aku sudah meminta ayahmu buat kasih tahu hal itu sama kamu. Tapi dia menolak, katanya dia nggak mau membebankanmu. Tapi lihatlah! Hutang itu nggak di bayar dan adik-adikmu juga memerlukan uang untuk sekolah mereka!"

"Tari akan cari uang! Nggak perduli meski harus memiliki dua pekerjaan atau nggak ada libur, yang terpenting Tari akan cari uang. Tari juga udah keterima jadi pegawai negeri. Tari juga akan mencari pekerjaan lain."

Kabar itu yang ingin dia sampaikan pada ayahnya. Bahwa dia telah mewujudkan keinginan almarhum ibunya, ingin salah satu anaknya menjadi pegawai negeri. Tapi belum sempat di beri tahukan dia justru di bombardir dengan rencana pernikahannya.

"Lalu kamu pikir itu cukup buat semuanya? Belum lagi biaya ayahmu sakit. Kamu pikir ayahmu itu berobat nggak perlu uang? Ayahmu sudah pensiun jadi asuransi nggak di tanggung perusahaan ayahmu lagi. Jangan melawan! Menikah saja! Untuk apa pekerjaan banyak toh akhirnya juga menikah dan ngurus dapur."

Salina langsung pergi ke kamar meninggalkan Tari begitu saja di ruang tamu. Tari hanya terdiam menunduk. Dia tidak ingin menikah terlebih dengan orang yang sama sekaligus tidak dia kenal, bahkan tidak pernah bertemu.

***

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Tari bersiap kembali ke kota tempat dia bekerja. Sebelum pergi, dia ke kamar ayahnya untuk berpamitan. Tari mengetuk pintu. Setelah di jawab ayahnya, Tari masuk dan mendapati ayahnya terbaring di tempat tidurnya. Ayahnya terpaksa pensiun dini karena penyakitnya dan sekarang hanya bisa terbaring di kasur atau duduk di beranda dengab kursi rodanya.

"Ayah.. Tari pamit dulu ya. Tari harus kembali dan bekerja." Tari tersenyum lalu mencium punggung tangan ayahnya. Saat Tari akan beranjak, ayahnya memegang tangannya. Tari kembali duduk dan menatap ayahnya.

"Apa kamu bersedia?" tanya Hendrawan, ayahnya, dengan suara pelan tapi cukup terdengar di telinga ayahnya. Tapi tahu betul apa yang ayahnya bicarakan.

"Apa Tari harus lakukan semua itu?"

"Kita nggak punya pilihan lain nak. Lagipula suatu saat kamu akan menikah kan? Ayah merestui dengan siapa saja kamu menikah. Ayah minta maaf, seharusnya ayah tidak memaksa. Ayah sebagai kepala keluarga tapi sama sekali tidak berguna." Dari raut wajah ayahnya, Tari melihat kesedihan yang mendalam. Kesedihan yang sama saat ibunya meninggal. "Ayah hanya ingin melihat kamu menikah sebelum ayah meninggal."

"Jangan ngomong begitu ayah. Ayah nggak akan kemana-mana." tegas Tari.

"Bisa kamu pikirkan terlebih dahulu?" tanya Hendrawan. Tari hanya bisa menghela nafas panjang. "Setidaknya temui dia dulu. Lalu kamu putuskan."

"Tidak! Jangan! Harus setuju. Mana bisa kita kasih harapan palsu. Mahar mereka besar. Cukup untuk membayar hutan dan yang lainnya!" sahut Salina dari luar kamar. Salina mendongakkan kepalanya ke dalam kamar tidurnya. "Seharusnya kamu bersyukur, dengan begitu kamu bisa bantu orang tuamu. Dapat pahala. Mau sampai kapan hidup sesuka hatimu terus?!"

Salina pergi begitu saja.

"Ibumu memang seperti itu. Dia keras, tapi hatinya sangat baik. Dia mengurus semua urusan rumah dan adik-adikmu." jelas Hendrawan dan sudah jelas membela ibu tirinya. "Pergilah, hati-hati di jalan."

Tari yang tidak berkata apapun sedari tadi hanya tersenyum kecil lalu beranjak pergi. Sebelum keluar kamar, Tari melihat beberapa tas mewah tersusun rapi di sebuah lemari khusus. Tas mewan dan beberapa sepatu. Lalu Tari menatap ayahnya sejenak. Ayahnya tersenyum kecil padanya. Tari membalas senyumannya lalu beranjak pergi. Tari keluar kamar lalu berpamitan pada ibu tirinya.

"Jadilah anak berbakti. Ayahmu itu sakit-sakitan. Kamu harus jadi kepala keluarga sekarang. Nggak bisa seenaknya lagi!" sahut Salina ketus. Tari tidak menjawab, hanya segera pergi dari sana.

***

Setelah dari rumahnya, Tari tetap di desak oleh ibu tirinya. Dia tak henti-hentinya di telepon dan di chat perihal itu. Tari diminta untuk mengambil cuti. Meski sudah bekerja selama tiga tahun, Tari belum sekalipun mengambil cuti. Jadi ibu tirinya mendesaknya mengambil cuti agar dia bisa pulang dan bertemu dengan pria yang di jodohkan untuknya. Setelah semua desakan, akhirnya Tari setuju untuk mengambil cuti dan bertemu dengan pria itu. Dia ingin setidaknya bertemu dengan pria itu. Melihat bagaimana rupanya dan sikapnya. Mungkin saja dia bisa luluh. Karena sampai detik ini, dia benar-benar tidak ingin menikah.

Tari memasukkan bajunya ke dalam koper. Dia berpamitan pada ibu kosnya dan segera pergi ke terminal bus. Dia memutuskan untuk menggunakan bus. Biasanya dia akan menggunakan sepeda motornya untuk pulang pergi dari kota tempat dia bekerja dan rumahnya. Jarak dari kota tempat dia bekerja ke rumahnya sekitar dua hingga tiga jam perjalanan. Karena barang bawannya cukup banyak, Tari memutuskan untuk menggunakan bus saja.

Hari pertemuan tiba. Hari sabtu siang, jam makan siang. Dari pagi-pagi sekali ibu tirinya sibuk. Meski tidak masak sendiri dan memesan catering, ibu tirinya tetap super sibuk. Menghias ruang tamu dan yang lain. Tari ingin membantu tapi ibu tirinya menolak. Dia menyuruh Tari untuk menggunakan lulur dan masker wajah, bahkan memintanya untuk sedikit berolah raga. Tari juga tidak di perbolehkan makan malam dan sarapan. Katanya agar tidak terlihat gemuk. Tari melongo tidak percaya. Tinggi seratus enam puluh lima sentimeter dan berat lima puluh delapan kilo, masih terlihat gemuk?? Tapi Tari senang, dia tidak perlu mendengarkan ocehan ibu tirinya. Dia hanya perlu berdiam diri di kamar sampai jam makan siang.

"Tari, cepat turun." panggil Salina. Meskipun mengenakan earphone, dia masih bisa mendengar jelas suara ibu tirinya memanggil. Dengan malas Tari bangun dari tempat tidur dan mendatangi ibu tirinya. "Loh, kok kamu belum siap sih?! Cepetan sana siap-siap! Sebentar lagi mereka datang. Baju yang rapi dan jangan lupa pakai make up!"

Tari menghela nafas lalu segera kembali ke kamarnya. Dia duduk diam di meja rias selama beberapa menit hingga akhirnya dia mulai memoles sesuatu.

Tak berapa lama, terdengar orang-orang berbicara dari arah ruang tamu. Tari menghentikan kegiatannya.

"Sepertinya mereka udah dateng. Huft! Aku bener-bener nggak mau ngelakuin semua ini." Tari menghela nafasnya lalu kembali bersiap.

Terdengar ketukan dari pintu kamarnya.

"Tari, cepat keluar. Calon mertua dan calon suamimu sudah datang." sahut ibu tirinya dengan suara lembutnya. Tari menghela nafas lalu keluar kamar.

"Lembut kalau ada maunya." gerutu Tari.

Tari melihat di ruang tamu ada satu wanita tampak anggun dengan baju sepanjang lututnya. Wanita paruh baya itu mengikat rambutnya kebelakang dengan rapi. Dia terlihat seperti bangsawan kelas atas. Tapi dia tidak melihat satu sosok laki-laki di sana.

"Tari, kenapa diam saja disana? Kemari." sahut ibu tirinya lembut. Ayahnya juga sudah di sana, duduk di atas kursi rodanya. Wanita itu tersenyum padanya.

"Ya ampun, Tari... Udah besar ya. Dulu tante terakhir liat kamu, kamu itu masih segini." wanita itu mengangkat tangannya setinggi lutut orang dewasa. Tari hanya tersenyum lalu mencium punggung tangan wanita itu.

"Ini adalah tante Dhea, dia sahabat ibu kamu sedari SMP." kata ayahnya memperkenalkan. Tari hanya mengangguk. Dia tidak ingat pernah melihat tante Dhea sebelumnya tapi wajahnya terlihat familiar. Tari duduk tepat di sebelah tante Dhea.

"Sudah umur dua puluh lima tahun ya?" tanya tante Dhea.

"Iya tante."

"Udah kerja atau masih kuliah?"

"Kerja tante."

"Wahhh punya penghasilan sendiri dong. Itu bagus. Karena nggak perlu minta ke orang tua lagi." kata tante Dhea ramah. Tante Dhea sangat ramah, dia bercerita tentangnya dan ibunya sewaktu sekolah. Bagaimana ibunya saat sekolah. Lalu dia berkata mereka berjanji ingin menemui anak-anak mereka. Mungkin jodoh, itu kata tante Dhea.

"Ahh iya, Renald sedang menuju kemari. Tante nggak barengan sama Renald. Soalnya dia habis dari bali, ngecek resort dan hotelnya di bali. Sehabis covid rada sepi katanya. Ada beberapa yang perlu di benahi. Sekarang udah mulai rame pengunjung, jadi perlu di benahi di beberapa tempat." jelas tante Dhea.

"Pasti sibuk banget ya. Jadi nggak enak harus meminta kemari." kata ibu tiri Tari ramah, tidak, sangat ramah.

"Nggak apa-apa. Biarkan saja. Dia terus saja bekerja. Lama kelamaan dia menikah dengan pekerjaannya. Umurnya sudah tiga puluh tahun tapi masih nggak tertarik untuk menikah." tante Dhea menggelengkan kepalanya. Ibu tiri Tari tersenyum.

"Sepertinya anak-anak jaman sekarang itu nggak mau cepat-cepat menikah. Mereka betah sendiri dan bekerja."

"Saya setuju." mereka semua tertawa.

Terdengar suara mobil berhenti di perkarang depan rumah Tari.

"Ahh! Itu pasti Renald." ucap tanye Dhea. Mendengar itu, Tari mulai gugup, entah kenapa. Awalnya dia sudah senang kemungkinan tidak bertemu dengan pria yang dijodohkan padanya. Tapi mendengar pria itu datang, hilang sudah harapannya. Pria itu berdiri di depan pintu. Ibu tiri Tari langsung mempersilahkan pria itu masuk. Pria itu masuk ke dalam rumah setelah membuka sepatu. Pria itu mengenakan celana panjang kain berwana navy dan kemeja putih polos yang sudah di lipat hingga siku. Tari menatap pria itu dari atas sampai bawah. Di terkejut, tidak, sangat terkejut. Dia melihat ciri-ciri pria luar biasa sempurna dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ciri-ciri pria yang disukai banyak wanita. Tampan, kaya dan memiliki tubuh yang bagus. Terlebih sekarang pria itu tersenyum manis padanya! Astaga apa dinding pertahananku akan runtuh?

***

tadariez

Chapter 2

Sebenarnya penampilan pria sempurna di depannya tidak telalu mengganggunya. Tapi senyuman pria itu yang membuatnya takjub, walaupun hanya sejenak. Bukan pertama kali bagi Tari bertemu pria tampan ala-ala dewa yunani kuno seperti pria yang berdiri didepannya ini. Beberapa temannya dan mantan kekasihnya juga tampan. Tapi satu yang bisa Tari simpulkan dari semua teman dan mantannya itu, brengsek. Meskipun tidak semua pria berciri khas seperti pria di depannya ini brengsek, tapi setidaknya semua yang di kenalnya seperti itu.

"Kenalin, ini anak tante yang kedua, Renald." suara tante Dhea membuyarkan lamunan Tari.

"Ahh iya.. Tari." sahut Tari lalu mengulurkan tangannya. Renald menyambut tangan Tari.

"Renald." sahutnya masih dengan senyum manisnya. Setelah menyalami Hendrawan dan Salina, Renald duduk di sebelah tante Dhea.

"Wahhh ganteng banget Renald, ya ampun." sahut Salina dengan bersemangat, seperti mendapatkan jackpot yang besar. Bahkan matanya sudah berbinar. Tari mengerutkan keningnya menatap Salina lalu menggelengkan kepalanya.

"Sepertinya gen ayahnya terlalu banyak di ambil. Untung aja. Coba kalau ikut saya, waduh.. Nggak tahu lagi gimana rupanya." tante Dhea tertawa.

"Ahh nggak mungkin itu. Lah ibu cantik juga. Pasti ya tambah ganteng." Salina tertawa.

"Sudah besar kamu, Ren. Masih ingat om?" tanya Hendrawan.

"Masih, om." sahut Renald.

"Mereka...pernah bertemu?" gumam Tari dalam hati. Tari mengerutkan keningnya.

"Kalau Tari pasti lupa. Soalnya masih kecil banget waktu itu." tante Dhea menambahkan.

"Iya, benar." Hendrawan tertawa.

"Ayo, mari kita makan. Udah jam makan siang ini." ajak Salina. Semua orang mulai berdiri dan menuju ruang makan. Rumah Tari ada dua lantai. Lantai satu kamar ayah ibunya, beserta dapur dan ruang makan, ruang tamu. Sementara lantai dua ada tiga kamar untuk Tari dan adik-adiknya. Meski tidak besar, mereka sangat bahagia selama ini tinggal di sana.

"Maaf ya, seadanya aja." sahut Salina.

"Nggak apa-apa. Ini aja udah enak." puji tante Dhea. Yang sebenarnya adalah ibu tiri Tari memesan catering. Tari yang mengetahui itu hanya diam saja. Dia tidak banyak bicara. Dia enggan jadi sasaran omelan ibu tirinya.

Mereka makan sambil bercerita, bagaimana hidup Renald. Bagaimana Renald berjuang sampai di posisinya saat ini. Renald juga terlihat cocok dengan Hendrawan. Mereka berbicara seperti teman lama yang sudah lama tidak bertemu. Sementara Tari, dia hanya konsentrasi pada makananya. Rasa lapar yang menggerogotinya sedari tadi malam membuatnya tidak perduli pada apa yang di bicarakan semua orang di meja. Dia hanya terus menerus menyendokkan makanan ke mulutnya. Bahkan dia tidak menoleh pada siapapun. Dia hanya menatap makananya. Entah kenapa makanan hari ini sangat enak.

"Tari." panggil tante Dhea. Tari menghentikan makannya lalu menatap tante Dhea.

"Ya, tante?"

"Habis ini kita jalan-jalan yok. Tante udah lama nggak kemari, udah bertahun-tahun. Tante jadi kangen. Temenin tante ya, Ri? Kamu jadi tourguidenya."

Tari mengangguk. "Iya, tante."

Tante dhea tersenyum.

Setelah makan siang, tante Dhea, Tari dan Renald pergi keliling kota. Sebenarnya Salina mau ikut, tapi Hendrawan melarang. Lagipula tidak ada yang menjaga ayah. Si bungsu belum pulang sekolah. Sementara adik Tari yang paling besar kuliah di Yogyakarta. Tari bernafas lega mendapati Salina tidak jadi ikut. Sama sekali tidak leluasa jika Salina ikut. Rasanya seperti ada CCTV berjalan mengikutinya.

Sudah semingguan ini Tari menemani tante Dhea dan Renald. Entah sudah berapa banyak tempat dikunjungi. Tari juga jalan hanya berdua dengan Renald. Sikapnya? Romantis, manis, lembut. Jauh dari pikiran Tari tentang keberengsekan jenis pria seperti Renald. Tapi bisa saja kan semua itu hanya topeng. Itu yang terus Tari ingat.

"Mungkin dia sama aja. Maksudku.. Kamu tau kan cowok-cowok begitu, semua sama aja. Ngerasa ganteng trus bisa dapetin cewek di mana aja, siapa aja. Ngerasa kaya trus bisa menyelesaikan apapun dengan uang. Semua bisa di beli." Tari meletakkan minumannya di meja. Hari ini hari bebasnya. Tidak ada kencan, tidak ada jalan-jalan. Dia merasa lega bisa berbicara dengan sahabatnya lagi, Suci.

"Mungkin. Dari semua temen kita yang tampan kan begitu." Suci menganggukkan kepalanya.

"Yang aku heranin, kenapa dia mau disuruh menikah denganku? Dia bisa aja milih sama cewek yang lain, yang lebih cantik dan lebih segalanya. Pasti ada sesuatu."

"Mungkin." Suci meminum minuman jusnya.

"Atau sebenernya dia itu.. Gay?" statement Tari membuat Suci memuntahkan kembali minumnya. "Atau mungkin.. impoten?"

"Astaga Tari.." Suci mengambil tisu lalu membersihkan meja dan rok panjangnya dari tumpahan jus. Suci mengenakan jilbab panjang berwarna hitam, di padankan dengan kaus lengan panjang berwarna biru Navy dan rok panjang berwarna hitam. Sementara Tari, mengenakan jeans tua nya berwarna biru muda dan kaus lengan pendek kebesaran berwarna hijau muda. Tari sejujurnya senang hari ini dia bisa mengenakan jeans lagi. Selama bertemu Renald dan ibunya, Salina menyuruhnya untuk mengenakan dress terusan selutut. Benar-benar tidak nyaman. Mungkin Tari memang ceria dan baik, terutama pada orang sekitarnya. Karena itulah apapun yang Salina lakukan atau inginkan, Tari selalu mengusahakannya. Bukan untuknya, melainkan untuk keluarganya.

"Kamu nggak apa-apa, Ci?" tanya Tari yang terkejut sekaligus geli, melihat Suci menumpahkan minumnya.

"Basah deh. Gara-gara kamu dan Gay impotenmu."

"Kenapa aku lagi?" Tari tertawa. "Aku kan hanya menebak dan berpendapat."

"Jujur deh sama aku. Kamu suka ya sama dia. Hayo ngaku..." Suci tersenyum mengejek.

"Eh kok jadi aku? Ngaco kamu!" Tari menggelengkan kepalanya.

"Lagian kamu, biasanya juga ogah ngegosipin cowok model dia. Tapi dari tadi omongan kamu itu ke dia dia dia aja."

"Aku kan cuma curhat!" Tari melipat kedua tangannya di depan dadanya dan cemberut.

"Bukannya udah curhat dari awal tentang perjodohan nggak masuk akal dan calon suamimu itu. Sampe sekarang masih di bahas aja. Lalu, kamu nerima? Kamu mau nikah sama dia?"

Tari mengangkat kedua bahunya lalu menyandarkan diri di kursi. "Entahlah. Entah kenapa hatiku menolak."

"Tapi gairahmu meningkat, ya kan?"

Tari melempar satu kentang goreng ke arah Suci. "Apaan sih."

Suci tertawa cekikikan. Dia terus mengejek Tari.

***

Waktu cuti Tari sebentar lagi habis. Dia ingin segera kembali ke kota tempat dia bekerja tapi dia justru diminta berhenti bekerja dan segera melangsungkan pernikahannya. Padahal dia belum memutuskan apapun.

"Nggak bu, Tari nggak pernah bilang akan setuju. Tari hanya mengikuti kemauan ayah untuk bertemu dengan mereka!" kata Tari. Tari sudah menjelaskan panjang lebar tapi Salina masih saja pada pendiriannya.

"Kamu itu harus setuju. Kamu suka atau nggak!" kata Salina tidak kalah tegas.

"Tapi ini hidup dan masa depan Tari!"

"Hidup? Masa depan katamu? Lalu kamu ingin lepas tangan? Bagaimana hutang ayahmu? Pengobatan ayahmu? Adik-adikmu?!" ucap Salina setengah berteriak. "Ohhh... Jadi kamu ingin melepaskan tanganmu begitu saja, begitu. Bagus sekali. Sangat berbakti!"

"Tari tidak pernah bilang begitu. Tari bisa mencicilnya dari--"

"Gajimu yang kecil itu?!" potong Salina. "Kamu pikir dengan semua biaya yang harus di bayar itu cukup?! Kamu itu pintar! Sarjana! Seharusnya kamu bisa berpikir kalau itu nggak cukup. Hah! Aku tahu sedari awal saat ngeliat kamu pertama kali. Sama sekali nggak berbakti. Orang tuamu susah payah membiayain kamu sekolah sampe jadi sarjana, ini balasanmu?! Kamu tega liat kedua adikmu putus sekolah begitu aja?! Sementara kamu sudah sarjana?! Egois sekali!" Salina membuang wajahnya dan melipat kedua tangannya di depan dadanya.

"Tari tidak pernah berkata seperti itu bu.." Tari meneteskan air matanya. Dia ingin sekali memberontak, berkata kasar pada ibu tirinya yang terus saja mendesak, memaksa. Tapi demi ayahnya, dia diam saja dan menahan diri. Dia tahu ayahnya mendengarkan semua ini dari dalam kamar.

"Buktinya, lihatlah! Kamu melakukannya. Mahar mereka, uang mereka, akan bisa menyelesaikan semuanya! Kamu tidak perlu repot. Lagian, calon suami kamu itu orang kaya. Dia sendiri orang kaya, orangtuanya juga kaya. Kamu nggak akan hidup miskin dengan dia! Apa lagi yang kamu pikirkan?! Kamu bisa bantu keluargamu dan kamu akan hidup bergelimang harta!"

"Ibu benar-benar akan menjualku? Jika aku menikah dengannya, berarti ibu dan ayah menjualku." bibir Tari bergetar saat dia mengucapkan kata-kata itu.

"Menjual katamu? Wah luar biasa. Kami ingin kamu membantu keluargamu dan menjadi anak yang berbakti tapi kamu justru membuatnya seperti kami, aku dan ayahmu, jadi orang jahat!" Salina menatap tidak percaya. Dia merasa di tuduh.

"Tapi masih banyak cara untuk menjadi anak berbakti!"

"Benar, tapi untuk saat ini, detik ini, cara ini yang paling bagus. Ibu nggak mau tau. Pernikahanmu sudah di atur. Seminggu lagi. Tidak ada pesta, hanya penghulu, karena keadaan ayahmu. Kamu akan menikah, suka atau tidak."

Salina pergi ke dapur begitu saja meninggalkan Tari di ruang tamu. Tari menangis. Dia ingin melarikan diri, dia ingin bersikeras menolak. Tapi jika dia pergi, jika dia menolak, bagaimana dengan ayah dan adik-adiknya?

Dari dalam kamar ayahnya meneteskan air mata. Dia tidak bisa berbuat banyak untuk melindungi putri satu-satunya.

***

Ucapan Salina tentu bukan sekedar ancaman, karena seminggu setelahnya, Tari benar-benar menikah. Mereka hanya mengundang penghulu dan beberapa saksi. Tari menggelar acara akad nikah di rumahnya karena ayahnya yang tidak bisa berpergian. Sehari setelah Tari dan Salina bertengkar hebat, ayahnya drop. Bahkan sampai di larikan ke rumah sakit. Dokter berkata, ayahnya tidak boleh dikejutkan oleh sesuatu yang membuatnya stress. Karena penyakitnya bisa kambuh.

Tari duduk di depan meja rias. Wajahnya sudah full make up, di rias oleh perias pengantin. Dia sudah siap. Sudah beberapa kali Tari menahan air matanya agar tidak keluar dan merusak riasannya. Tapi rasanya sulit. Pernikahan di gelar hanya dengan beberapa keluarga dari Tari saja. Beberapa adik dan kakak dari ayah dan ibu kandung Tari datang. Ayah dan ibu Renald tentu juga datang.

"Jadi... Mau bulan madu dimana?" tanya Salina pada Renald malamnya setelah pernikahan.

"Hmm... Di tunda dulu, bu. Soalnya saya lagi ada urusan. Jadi kami akan pulang ke New York dulu." kata Renald dengan senyuman di wajahnya. Renald menatap Tari yang duduk diam di sebelahnya. "Nggak apa-apa kan kita tunda dulu?" Renald bertanya pada Tari.

Tari mengangguk. "Hmm... Nggak apa-apa."

Sampai detik ini pun Renald masih bersikap baik dan perhatian padanya. Dia selalu mengajak Tari berbicara lebih dulu, dia juga selalu tersenyum manis padanya. Tari semakin berpikir, mungkin dugaannya salah. Mungkin dia adalah jenis yang langka.

Keesokan harinya, setelah pernikahaan, Tari dan Renald pamit pergi. Mereka harus ke New York, tempat Renald tinggal. Renald harus menyelesaikan pekerjaannya. Setelah berpamitan pada seluruh keluarga, mereka langsung berangkat. Renald seperti biasanya, mengutamakan Tari terlebih dahulu. Membukakan pintu untuknya dan tak lupa dia mencium kening Tari saat Tari menangis karena meninggalkan keluarganya. Sepanjang perjalanan menuju bandara saja, Renald terus memegang tangannya.

Setelah menempuh perjalanan berjam-jam di dalam pesawat, akhirnya Tari bisa berdiri dan melemaskan kakinya. Sebenarnya Tari bersemangat karena dia akan keluar negeri. Dia belum pernah keluar negeri sebelumnya. Tapi dia sudah membuat passport. Dia berencana ingin pergi ke Korea Selatan untuk liburan. Dia mengumpulkan semua gajinya untuk itu. Tapi ternyata dia harus menikah dan pergi ke negara yang lain. Tapi itu tidak masalah kan? Baginya yang terpenting dia ke luar negeri dan dia tidak sendirian. Dia bersama suami sah nya. Sah secara agama dan negara. Tari mengira dia dan Renald akan segera melakukan hubungan badan malam itu juga. Tapi Renald justru mengatakan dia tidak akan menyentuh Tari, karena dia berkata dia mengerti jika Tari lelah dan sedih. Dari itu semua, membuat kekaguman dan kesukaannya pada suaminya semakin bertambah.

Tari melongo tidak percaya pada yang di lihatnya. Dia sudah turun dari mobil dan berdiri di depan sebuah mansion yang luar biasa besar dan megah.

"Dia tinggal di rumah sebesar ini? Sendirian?!"

Tari benar-benar menatap tidak percaya. Dia baru pertama kali melihat rumah sebesar itu. Renald berjalan merewatinya. Dia hanya menatap Tari sejenak lalu masuk ke dalam. Tari berlari kecil mengikuti Renald. Di dalam dia sudah di sambut oleh satu pria yang sudah berumur dan dua wanita, yang satu paruh baya yang satu terlihat seumuran dengannya. Tari terseyum pada mereka semua. Mereka hanya menunduk hormat. Renald menatap Tari.

"Dengarkan aku baik-baik. Anne dan Marissa akan melayanimu apapun yang kamu inginkan. Jadi jangan merengek kepadaku." sahut Renald dingin. Sedari turun dari pesawat, sikap Renald berubah. Dia seperti menjadi orang lain. Tari menyadari itu tapi dia terus menepisnya. Dia berpikir, mungkin karena jetlag atau karena kesibukannya.

"Lalu.. Kamar.." kata Tari cepat saat dia melihat Renald akan pergi.

"Ahh... Kamarmu di atas, lantai dua. Kamarku di bawah sini." Renald menunjuk sebuah ruangan tertutup.

"Kenapa kamarnya berbeda? Kita kan sudah--"

"Kamu pikir kita akan tidur bersama, satu kamar?" Renald mendengus. "Jangan bercanda." Renald beranjak pergi ke kamarnya.

"Tapi kita--"

"Ahh!!" Renald membalik tubuhnya dan menatap Tari. "Kamu bisa melakukan apa saja dirumah ini. Makan, minum, tidur, mengajak temanmu berpesta, tapi satu hal. Jangan pernah menggangguku, jangan pernah mendekatiku. Aku suamimu itu benar, tapi hanya di atas kertas saja, bukan sebenarnya." Renald mengatakan itu dengan tatapan dingin dan suara datarnya. Dia lalu kembali menuju kamarnya meninggalkan Tari yang membeku dia tempatnya.

***

tadariez

Chapter 3

Sudah sebulan lebih Tari menikah dengan Renald. Renald selalu bersikap dingin padanya. Bahkan kadang dia tidak pulang ke rumah selama beberapa hari. Saat sarapan saja, jika Tari ikut makan, Renald akan segera pergi dari sana. Renald tidak pernah sekalipun menatapnya bahkan menegurnya meskipun hanya untuk hal sepele. Dia akan menyuruh kepala pelayan terpercayanya, Alfred, untuk menyampaikan apapun yang Renald ingin Tari lakukan. Tari semakin frustasi. Dia ingin tetap menjadi istri yang baik untuk Renald. Mengerjakan semua tugasnya sebagai istri. Tapi semakin Tari mendekat, Renald akan semakin menjauh. Tari bingung apa sebenarnya salahnya. Setiap hari dia selalu mencoba mengingat apapun, apa saja yang menurutnya menjadi pemicu perubahan Renald. Dia terus menyalahkan dirinya.

Sampai suatu saat Renald tiba-tiba mendatanginya sepulang kerja. Dia memintanya untuk berganti pakaian karena dia ingin mengajak Tari ke suatu tempat. Tentu saja tanpa berpikir apapun, Tari langsung setuju. Bagaimana tidak, Renald memintanya dengan nada lembutnya, bahkan dia menatap Tari dengan tatapan yang sama saat mereka pertama bertemu dulu. Tari menjadi bersemangat tentu.

Tari menuruni tangga dengan semangat. Dia bahkan berlari kecil. Renald menunggunya di bawah tangga. Renald mendengar Tari datang dan berbalik. Dia tampak terkejut dan menatap Tari dari atas sampai bawah. Terlihat kekecewaan di matanya.

"Kamu.. Akan pergi mengenakan itu?" Renald menunjuk pakaian yang di kenakan Tari. Tari mengenakan celana jeans berwarna putih dan kemeja biru muda yang terlihat kebesaran.

"Apa ada yang salah dengan pakaianku?" Tari memperhatikan pakaiannya. Renald mendengus kesal.

"Tunggu disini." Renald beranjak pergi menuju kamarnya lalu tak lama kembali lagi. Dia membawa sebuah pakaian di tangannya. "Pakai ini."

Tari menerima pakaian itu dan memperhatikannya. Sebuah gaun one piece berwarna hitam tanpa lengan.

"Tapi pakaianku baik-baik saja."

"Lihat pakaianku! Apa cocok dengan apa yang kamu kenakan?" Renald meninggikan sedikit suaranya. "Apa kamu akan menentangku?"

Melihat Renald tampak marah, Tari menjadi tidak enak. Renald sudah mau mengajaknya pergi, bahkan dia menegurnya tapi mengenakan pakaian yang diinginkan Renald saja dia tidak bisa. Tari akhirnya mengangguk lalu berjalan menuju kamarnya. Beberapa menit kemudian Tari turun kembali dengan mengenakan gaun yang di berikan Renald. Gaun itu pas ditubuhnya, bahkan terlihat ketat. Panjang gaun itu di atas lututnya, membuat pahanya terlihat. Tari terus menerus menarik turun gaunnya. Renald menatapnya sejanak.

"Ayo pergi." katanya lalu berjalan menuju pintu. Anna dan Marissa tersenyum pada Tari. Marissa mengacungkan jempolnya. Tari tersenyum canggung. Dia benar-benar tidak nyaman dengan pakaian yang dia kenakan.

Dalam perjalanan, Renald dan Tari sama-sama membisu. Tari tidak ingin berbicara lebih dulu. Dia tidak ingin merusak suasana. Mereka sampai di satu tempat. Tari keluar dari mobil dan berdiri di depan sebuah bangunan yang terlihat seperti.. Klub malam?

Tari menatap pakaian yang di kenakannya. Dia mengerti kenapa dia diminta mengenakan pakaian itu. Tangan Tari tiba-tiba di tarik oleh Renald. Dia membawa Tari masuk ke dalam klub malam itu. Di dalam banyak orang yang menari dan berpesta. Renald menggandeng Tari masuk ke lift. Renald memencet nomor lima. Lift bergerak naik. Renald belum juga melepas pegangan tangannya. Tari menyadari itu dan tersenyum simpul. Pintu lift terbuka. Renald mengajak Tari ke suatu ruangan. Di lantai itu tidak terlihat seperti klub malam lagi. Lebih terlihat seperti restoran kelas atas. Dengan musik klasik yang dimainkan secara live. Beberapa orang yang makan disana mengenakan pakaian yang sangat formal. Dalam hati Tari bernafas lega, dia tidak mengenakan pakaian pertamanya tadi.

Renald membuka pintu suatu ruangan dan di sambut beberapa orang di ruangan itu. Ada tiga pria dan tiga wanita. Ruanganya cukup luas dengan sofa yang sangat nyaman. Di tengah ada meja cukup besar yang sudah terisi berbagai macam makanan. Tari tahu ruangan itu khusus VVIP dari fasilitas yang ada.

"You're late." kata salah satu pria disana. Pria itu mengenakan stelan jas tapi tidak mengenakan dasi. Kancing atasnya terbuka. Rambut pirangnya disisir rapi ke samping.

"Sorry. Have to change dress first." kata Renald lalu duduk di sofa paling ujung lalu menarik tangan Tari agar duduk di sebelahnya.

"Dress? What dress?"

"Berhentilah cerewet James. Yang terpenting dia sudah datang." sahut satu pria lagi. Kali ini pria berambut coklat yang mengenakan stelan jas juga. Dasi berwarna biru navynya sedikit memiliki corak yang mencolok. Pria itu menatap Tari. "Tari, right?"

Tari tersenyum kecil lalu mengangguk.

"Aku Ted, ini istriku Helena."

Wanita bernama Helena tersenyum dan melambaikan tangannya.

"Yang cerewet disana itu James dan tunangannya, Deb." Ted menunjuk James dan wanita cantik di sebelahnya. "Dan disana ada Randy dan.. Uhm.. Entah siapa tadi aku lupa. Dia selalu membawa wanita berbeda." Ted menunjuk satu pria duduk paling ujung. Pria itu terlihat berbeda dari yang lain. Penampilannya cuek dan terkesan badboy.

"Oh ayolah.. Jangan membuatku terlihat buruk." protes Randy.

"Kamu memang buruk."

Randy hanya mengangguk lalu mengisap rokoknya lagi.

"Kamu bisa berbahasa inggris?" tanya Ted. Sebelum Tari menjawab, Ted sudah berkata lagi. "Tapi tenang saja, kami semua bisa bahasa indonesia. Kecuali tunangan James dan wanita bersama Randy, entah siapa."

Mereka mempersilahkan Tari makan dan menawarkan untuk memesan apapun yang Tari suka. Dari sekilas pun terlihat, mereka berada di kelas yang jauh berbeda dari Tari. Dari cara bicara mereka, pakaian mereka bahkan sikap mereka. Karena itu Tari hanya diam. Sesekali dia ikut tertawa saat dia mengetahui apa yang mereka bicarakan. Bukan Tari tidak bisa berbahasa inggris, tapi Tari tidak tahu hal apa yang mereka bicarakan. Dunia mereka terlalu berbeda.

Tiba-tiba ada satu wanita masuk ke dalam. Wanita itu sangat cantik dengan rambut coklat terang panjangnya yang di tata hanya di satu sisi. Wanita itu mengenakan dress ketat berwarna silver dengan rok yang sangat pendek. Siluet tubuhnya

benar-benar tampak dengan gaun itu. Sesaat wanita itu masuk, tiba-tiba ruangan itu hening. Wanita itu tersenyum pada semua orang yang ada di sana.

"Hi guys." kata wanita itu dengan senyuman manisnya. Wanita itu lalu menoleh pada Renald dan tersenyum, senyum yang menggoda. "Hai Ren."

Renald hanya diam menatap wanita itu. Dia terlihat tidak begitu tertarik. Wanita itu menoleh pada Tari.

"Kamu pasti... Tari. Hai, aku Veronica." Veronica mengulurkan tangannya pada Tari. Tari menyambut tangannya.

"Tari."

"Jadi kalian datang berdua?" tanya Veronica pada Renald. Renald menarik pinggang Tari agar mendekat padanya. Tari sengaja duduk agak jauh dari Renald. Tapi Renald justru membuat mereka menempel sekarang. Tari cukup terkejut dengan gerakan tiba-tiba itu.

"Tentu saja. Kami suami istri." sahut Renald dingin.

Tari memperhatikan semua orang yang diam. Mereka bahkan tidak bersuara sedikit pun.

"Apa aku bisa bicara denganmu?" pinta Veronica dengan nada manja. Awalnya Tari merasa aneh dengan prilaku wanita di depannya ini, tapi dia mencoba menepisnya.

"Apa kamu tidak lihat aku bersama istriku?"

"Ayolah.. Sebentar saja... Um?" suara Veronica semakin manja. Bahkan dia sudah memegang tangan Renald. Tari benar-benar bingung sekarang. Dia menatapnya Renald dan Veronica bergantian. Renald menghela nafas kasar. "Ayolah Ren..."

Renald akhirnya berdiri dan mengikuti wanita yang menariknya pergi entah kemana. Tari ingin menghentikan mereka, tapi entah mengapa dia tidak melakukan itu.

Semua orang saling menatap lalu menatap Tari yang sedang menatap kedua tangannya. Helena duduk di sebelah Tari lalu bertanya segala macam, seperti mengalihkan perhatiannya. Tari hanya menjawabnya seadanya tentu. Dia masih memproses yang terjadi tadi.

Setelah beberapa lama, Renald belum juga kembali. Tari melihat jam tangannya. Sudah hampir tengah malam, tapi Renald tidak juga kembali. Dia ingin sekali pulang. Apa dia meninggalkannya? Bersama wanita itu? Terlalu banyak pertanyaan di kepalanya tanpa dia bisa menjawabnya.

"Uhmm.. Tari, apa kamu mau kami panggilkan taksi?" tanya Helena.

"Taksi? Tapi... Bagaimana Renald?"

"Sepertinya dia pergi. Mungkin ada pekerjaan mendadak. Dia sering seperti itu. Ini sudah hampir tengah malam. Kami ingin pergi ke klub lain. Atau mungkin.. Kamu mau ikut?"

Tari menghela nafas. Renald benar-benar meninggalkannya. Tega sekali.

"Aku akan naik taksi saja." jawab Tari akhirnya.

"Kalau begitu kami bantu panggilkan. Ayo."

Sepeninggal Renald, teman-temannya memang bersikap baik padanya. Tapi Tari baru bertemu dengan mereka dan dia bahkan tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Membuatnya sangat sulit beradaptasi.

Mereka semua sudah di luar klub. Helena mencarikan taksi untuk Tari di pinggir jalan sementara Tari hanya diam menunduk.

"Tari, masuklah." kata Helena setelah berhasil mencarikan taksi. Tari tersenyum lalu masuk ke dalam taksi.

"Terima kasih." sahut Tari. Helena mengangguk lalu berlari kecil menuju suaminya Ted.

"Where are you going, miss?" tanya supir taksi itu.

"Wait a minute." Tari membuka ponselnya, dia lupa alamat mansion Renald. Setelah mencari tapi tidak juga ketemu. Tari berencana untuk bertanya pada Helena yang masih berdiri di depan klub. Posisi taksi Tari agak jauh dari klub.

"Wait a moment sir, i'll ask my friend."

Tari membuka pintu mobil sedikit sambil melihat ke arah Helena. Tari terkejut. Dia melihat Renald juga di sana, tertawa bersama teman-temannya. Lalu satu wanita mengalungkan lengannya di leher Renald. Wanita itu Veronica. Sedetik berikutnya Renald dan Veronica berciuman dengan intens. Tari terkejut dan menutup mulutnya dengan tangannya. Yang memperparah adalah teman-temannya tidak perduli Renald yang sudah beristri mencium wanita lain di depan mereka.

Tari masuk kembali ke mobil dan menutup pintunya.

"Miss?" panggil supir taksi itu.

"J-just-just go sir, i'll tell you later." sahut Tari dengan suara bergetar. Taksi itu mulai pergi meninggalkan klub. Tari menangis dalam diam.

Sesampai dirumah, Tari tidak langsung berganti pakaian. Dia hanya duduk di tangga, menunggu Renald pulang. Baru pukul empat pagi terdengar suara mobil datang. Renald masuk dengan keadaan mabuk. Dia melihat Tari yang berdiri menatapnya. Renald langsung menuju ke kamarnya.

"Kamu meninggalkanku.. Untuk pergi bersama wanita itu?" tanya Tari. Renald menghentikan langkahnya.

"Hmm."

Hanya itu jawaban Renald lalu berjalan lagi. Tari mendatanginya dan mencegah Renald masuk ke kamarnya.

"Aku istrimu Renald dan kamu meninggalkan aku demi wanita lain? Di depan teman-temanmu?"

Renald menatap Tari. "Ya, itu benar. Lalu apa?"

"Ren, kita sudah menikah!! Bagai--"

"Sudah aku katakan kan padamu. Harus berapa kali aku katakan? kita menikah hanya di atas kertas!"

"Lalu kenapa kamu setuju untuk menikahiku? Kamu bisa saja menikah dengan wanita itu!" Tari meninggikan suaranya.

"Kamu ingin tahu kenapa aku menikahimu? Baiklah, dengarkan baik-baik. Aku mencintai wanita itu, dia cinta dalam hidupku dan cinta pertamaku. Karena suatu hal aku tidak bisa menikahinya. Jadi aku butuh tameng dan tameng itu adalah kamu. Aku menikahimu agar bisa jadi tamengku, agar aku bisa dengan bebas bersama dengan kekasihku sementara semua orang tahu aku memiliki keluarga yang bahagia. Ayolah, aku yakin kamu bisa berakting menjadi istri yang baik di depan semua orang."

"Kamu benar-benar gila."

"Gila? Aku rasa tidak. Itu sepadan kan dengan jumlah uang yang aku bayar ke keluargamu. Aku membayar sangat mahal untuk menikahimu. Jadi karena sangat mahal." Renald memegang dagu Tari. "Lakukan tugasmu dengan baik. Kamu mengerti?"

Renald tersenyum lalu melepaskan tangannya dari dagu Tari dengan kasar dan segera masuk kamarnya. Tari berlari ke kamarnya dan menangis.

***

tadariez

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!