Sebenarnya penampilan pria sempurna di depannya tidak telalu mengganggunya. Tapi senyuman pria itu yang membuatnya takjub, walaupun hanya sejenak. Bukan pertama kali bagi Tari bertemu pria tampan ala-ala dewa yunani kuno seperti pria yang berdiri didepannya ini. Beberapa temannya dan mantan kekasihnya juga tampan. Tapi satu yang bisa Tari simpulkan dari semua teman dan mantannya itu, brengsek. Meskipun tidak semua pria berciri khas seperti pria di depannya ini brengsek, tapi setidaknya semua yang di kenalnya seperti itu.
"Kenalin, ini anak tante yang kedua, Renald." suara tante Dhea membuyarkan lamunan Tari.
"Ahh iya.. Tari." sahut Tari lalu mengulurkan tangannya. Renald menyambut tangan Tari.
"Renald." sahutnya masih dengan senyum manisnya. Setelah menyalami Hendrawan dan Salina, Renald duduk di sebelah tante Dhea.
"Wahhh ganteng banget Renald, ya ampun." sahut Salina dengan bersemangat, seperti mendapatkan jackpot yang besar. Bahkan matanya sudah berbinar. Tari mengerutkan keningnya menatap Salina lalu menggelengkan kepalanya.
"Sepertinya gen ayahnya terlalu banyak di ambil. Untung aja. Coba kalau ikut saya, waduh.. Nggak tahu lagi gimana rupanya." tante Dhea tertawa.
"Ahh nggak mungkin itu. Lah ibu cantik juga. Pasti ya tambah ganteng." Salina tertawa.
"Sudah besar kamu, Ren. Masih ingat om?" tanya Hendrawan.
"Masih, om." sahut Renald.
"Mereka...pernah bertemu?" gumam Tari dalam hati. Tari mengerutkan keningnya.
"Kalau Tari pasti lupa. Soalnya masih kecil banget waktu itu." tante Dhea menambahkan.
"Iya, benar." Hendrawan tertawa.
"Ayo, mari kita makan. Udah jam makan siang ini." ajak Salina. Semua orang mulai berdiri dan menuju ruang makan. Rumah Tari ada dua lantai. Lantai satu kamar ayah ibunya, beserta dapur dan ruang makan, ruang tamu. Sementara lantai dua ada tiga kamar untuk Tari dan adik-adiknya. Meski tidak besar, mereka sangat bahagia selama ini tinggal di sana.
"Maaf ya, seadanya aja." sahut Salina.
"Nggak apa-apa. Ini aja udah enak." puji tante Dhea. Yang sebenarnya adalah ibu tiri Tari memesan catering. Tari yang mengetahui itu hanya diam saja. Dia tidak banyak bicara. Dia enggan jadi sasaran omelan ibu tirinya.
Mereka makan sambil bercerita, bagaimana hidup Renald. Bagaimana Renald berjuang sampai di posisinya saat ini. Renald juga terlihat cocok dengan Hendrawan. Mereka berbicara seperti teman lama yang sudah lama tidak bertemu. Sementara Tari, dia hanya konsentrasi pada makananya. Rasa lapar yang menggerogotinya sedari tadi malam membuatnya tidak perduli pada apa yang di bicarakan semua orang di meja. Dia hanya terus menerus menyendokkan makanan ke mulutnya. Bahkan dia tidak menoleh pada siapapun. Dia hanya menatap makananya. Entah kenapa makanan hari ini sangat enak.
"Tari." panggil tante Dhea. Tari menghentikan makannya lalu menatap tante Dhea.
"Ya, tante?"
"Habis ini kita jalan-jalan yok. Tante udah lama nggak kemari, udah bertahun-tahun. Tante jadi kangen. Temenin tante ya, Ri? Kamu jadi tourguidenya."
Tari mengangguk. "Iya, tante."
Tante dhea tersenyum.
Setelah makan siang, tante Dhea, Tari dan Renald pergi keliling kota. Sebenarnya Salina mau ikut, tapi Hendrawan melarang. Lagipula tidak ada yang menjaga ayah. Si bungsu belum pulang sekolah. Sementara adik Tari yang paling besar kuliah di Yogyakarta. Tari bernafas lega mendapati Salina tidak jadi ikut. Sama sekali tidak leluasa jika Salina ikut. Rasanya seperti ada CCTV berjalan mengikutinya.
Sudah semingguan ini Tari menemani tante Dhea dan Renald. Entah sudah berapa banyak tempat dikunjungi. Tari juga jalan hanya berdua dengan Renald. Sikapnya? Romantis, manis, lembut. Jauh dari pikiran Tari tentang keberengsekan jenis pria seperti Renald. Tapi bisa saja kan semua itu hanya topeng. Itu yang terus Tari ingat.
"Mungkin dia sama aja. Maksudku.. Kamu tau kan cowok-cowok begitu, semua sama aja. Ngerasa ganteng trus bisa dapetin cewek di mana aja, siapa aja. Ngerasa kaya trus bisa menyelesaikan apapun dengan uang. Semua bisa di beli." Tari meletakkan minumannya di meja. Hari ini hari bebasnya. Tidak ada kencan, tidak ada jalan-jalan. Dia merasa lega bisa berbicara dengan sahabatnya lagi, Suci.
"Mungkin. Dari semua temen kita yang tampan kan begitu." Suci menganggukkan kepalanya.
"Yang aku heranin, kenapa dia mau disuruh menikah denganku? Dia bisa aja milih sama cewek yang lain, yang lebih cantik dan lebih segalanya. Pasti ada sesuatu."
"Mungkin." Suci meminum minuman jusnya.
"Atau sebenernya dia itu.. Gay?" statement Tari membuat Suci memuntahkan kembali minumnya. "Atau mungkin.. impoten?"
"Astaga Tari.." Suci mengambil tisu lalu membersihkan meja dan rok panjangnya dari tumpahan jus. Suci mengenakan jilbab panjang berwarna hitam, di padankan dengan kaus lengan panjang berwarna biru Navy dan rok panjang berwarna hitam. Sementara Tari, mengenakan jeans tua nya berwarna biru muda dan kaus lengan pendek kebesaran berwarna hijau muda. Tari sejujurnya senang hari ini dia bisa mengenakan jeans lagi. Selama bertemu Renald dan ibunya, Salina menyuruhnya untuk mengenakan dress terusan selutut. Benar-benar tidak nyaman. Mungkin Tari memang ceria dan baik, terutama pada orang sekitarnya. Karena itulah apapun yang Salina lakukan atau inginkan, Tari selalu mengusahakannya. Bukan untuknya, melainkan untuk keluarganya.
"Kamu nggak apa-apa, Ci?" tanya Tari yang terkejut sekaligus geli, melihat Suci menumpahkan minumnya.
"Basah deh. Gara-gara kamu dan Gay impotenmu."
"Kenapa aku lagi?" Tari tertawa. "Aku kan hanya menebak dan berpendapat."
"Jujur deh sama aku. Kamu suka ya sama dia. Hayo ngaku..." Suci tersenyum mengejek.
"Eh kok jadi aku? Ngaco kamu!" Tari menggelengkan kepalanya.
"Lagian kamu, biasanya juga ogah ngegosipin cowok model dia. Tapi dari tadi omongan kamu itu ke dia dia dia aja."
"Aku kan cuma curhat!" Tari melipat kedua tangannya di depan dadanya dan cemberut.
"Bukannya udah curhat dari awal tentang perjodohan nggak masuk akal dan calon suamimu itu. Sampe sekarang masih di bahas aja. Lalu, kamu nerima? Kamu mau nikah sama dia?"
Tari mengangkat kedua bahunya lalu menyandarkan diri di kursi. "Entahlah. Entah kenapa hatiku menolak."
"Tapi gairahmu meningkat, ya kan?"
Tari melempar satu kentang goreng ke arah Suci. "Apaan sih."
Suci tertawa cekikikan. Dia terus mengejek Tari.
***
Waktu cuti Tari sebentar lagi habis. Dia ingin segera kembali ke kota tempat dia bekerja tapi dia justru diminta berhenti bekerja dan segera melangsungkan pernikahannya. Padahal dia belum memutuskan apapun.
"Nggak bu, Tari nggak pernah bilang akan setuju. Tari hanya mengikuti kemauan ayah untuk bertemu dengan mereka!" kata Tari. Tari sudah menjelaskan panjang lebar tapi Salina masih saja pada pendiriannya.
"Kamu itu harus setuju. Kamu suka atau nggak!" kata Salina tidak kalah tegas.
"Tapi ini hidup dan masa depan Tari!"
"Hidup? Masa depan katamu? Lalu kamu ingin lepas tangan? Bagaimana hutang ayahmu? Pengobatan ayahmu? Adik-adikmu?!" ucap Salina setengah berteriak. "Ohhh... Jadi kamu ingin melepaskan tanganmu begitu saja, begitu. Bagus sekali. Sangat berbakti!"
"Tari tidak pernah bilang begitu. Tari bisa mencicilnya dari--"
"Gajimu yang kecil itu?!" potong Salina. "Kamu pikir dengan semua biaya yang harus di bayar itu cukup?! Kamu itu pintar! Sarjana! Seharusnya kamu bisa berpikir kalau itu nggak cukup. Hah! Aku tahu sedari awal saat ngeliat kamu pertama kali. Sama sekali nggak berbakti. Orang tuamu susah payah membiayain kamu sekolah sampe jadi sarjana, ini balasanmu?! Kamu tega liat kedua adikmu putus sekolah begitu aja?! Sementara kamu sudah sarjana?! Egois sekali!" Salina membuang wajahnya dan melipat kedua tangannya di depan dadanya.
"Tari tidak pernah berkata seperti itu bu.." Tari meneteskan air matanya. Dia ingin sekali memberontak, berkata kasar pada ibu tirinya yang terus saja mendesak, memaksa. Tapi demi ayahnya, dia diam saja dan menahan diri. Dia tahu ayahnya mendengarkan semua ini dari dalam kamar.
"Buktinya, lihatlah! Kamu melakukannya. Mahar mereka, uang mereka, akan bisa menyelesaikan semuanya! Kamu tidak perlu repot. Lagian, calon suami kamu itu orang kaya. Dia sendiri orang kaya, orangtuanya juga kaya. Kamu nggak akan hidup miskin dengan dia! Apa lagi yang kamu pikirkan?! Kamu bisa bantu keluargamu dan kamu akan hidup bergelimang harta!"
"Ibu benar-benar akan menjualku? Jika aku menikah dengannya, berarti ibu dan ayah menjualku." bibir Tari bergetar saat dia mengucapkan kata-kata itu.
"Menjual katamu? Wah luar biasa. Kami ingin kamu membantu keluargamu dan menjadi anak yang berbakti tapi kamu justru membuatnya seperti kami, aku dan ayahmu, jadi orang jahat!" Salina menatap tidak percaya. Dia merasa di tuduh.
"Tapi masih banyak cara untuk menjadi anak berbakti!"
"Benar, tapi untuk saat ini, detik ini, cara ini yang paling bagus. Ibu nggak mau tau. Pernikahanmu sudah di atur. Seminggu lagi. Tidak ada pesta, hanya penghulu, karena keadaan ayahmu. Kamu akan menikah, suka atau tidak."
Salina pergi ke dapur begitu saja meninggalkan Tari di ruang tamu. Tari menangis. Dia ingin melarikan diri, dia ingin bersikeras menolak. Tapi jika dia pergi, jika dia menolak, bagaimana dengan ayah dan adik-adiknya?
Dari dalam kamar ayahnya meneteskan air mata. Dia tidak bisa berbuat banyak untuk melindungi putri satu-satunya.
***
Ucapan Salina tentu bukan sekedar ancaman, karena seminggu setelahnya, Tari benar-benar menikah. Mereka hanya mengundang penghulu dan beberapa saksi. Tari menggelar acara akad nikah di rumahnya karena ayahnya yang tidak bisa berpergian. Sehari setelah Tari dan Salina bertengkar hebat, ayahnya drop. Bahkan sampai di larikan ke rumah sakit. Dokter berkata, ayahnya tidak boleh dikejutkan oleh sesuatu yang membuatnya stress. Karena penyakitnya bisa kambuh.
Tari duduk di depan meja rias. Wajahnya sudah full make up, di rias oleh perias pengantin. Dia sudah siap. Sudah beberapa kali Tari menahan air matanya agar tidak keluar dan merusak riasannya. Tapi rasanya sulit. Pernikahan di gelar hanya dengan beberapa keluarga dari Tari saja. Beberapa adik dan kakak dari ayah dan ibu kandung Tari datang. Ayah dan ibu Renald tentu juga datang.
"Jadi... Mau bulan madu dimana?" tanya Salina pada Renald malamnya setelah pernikahan.
"Hmm... Di tunda dulu, bu. Soalnya saya lagi ada urusan. Jadi kami akan pulang ke New York dulu." kata Renald dengan senyuman di wajahnya. Renald menatap Tari yang duduk diam di sebelahnya. "Nggak apa-apa kan kita tunda dulu?" Renald bertanya pada Tari.
Tari mengangguk. "Hmm... Nggak apa-apa."
Sampai detik ini pun Renald masih bersikap baik dan perhatian padanya. Dia selalu mengajak Tari berbicara lebih dulu, dia juga selalu tersenyum manis padanya. Tari semakin berpikir, mungkin dugaannya salah. Mungkin dia adalah jenis yang langka.
Keesokan harinya, setelah pernikahaan, Tari dan Renald pamit pergi. Mereka harus ke New York, tempat Renald tinggal. Renald harus menyelesaikan pekerjaannya. Setelah berpamitan pada seluruh keluarga, mereka langsung berangkat. Renald seperti biasanya, mengutamakan Tari terlebih dahulu. Membukakan pintu untuknya dan tak lupa dia mencium kening Tari saat Tari menangis karena meninggalkan keluarganya. Sepanjang perjalanan menuju bandara saja, Renald terus memegang tangannya.
Setelah menempuh perjalanan berjam-jam di dalam pesawat, akhirnya Tari bisa berdiri dan melemaskan kakinya. Sebenarnya Tari bersemangat karena dia akan keluar negeri. Dia belum pernah keluar negeri sebelumnya. Tapi dia sudah membuat passport. Dia berencana ingin pergi ke Korea Selatan untuk liburan. Dia mengumpulkan semua gajinya untuk itu. Tapi ternyata dia harus menikah dan pergi ke negara yang lain. Tapi itu tidak masalah kan? Baginya yang terpenting dia ke luar negeri dan dia tidak sendirian. Dia bersama suami sah nya. Sah secara agama dan negara. Tari mengira dia dan Renald akan segera melakukan hubungan badan malam itu juga. Tapi Renald justru mengatakan dia tidak akan menyentuh Tari, karena dia berkata dia mengerti jika Tari lelah dan sedih. Dari itu semua, membuat kekaguman dan kesukaannya pada suaminya semakin bertambah.
Tari melongo tidak percaya pada yang di lihatnya. Dia sudah turun dari mobil dan berdiri di depan sebuah mansion yang luar biasa besar dan megah.
"Dia tinggal di rumah sebesar ini? Sendirian?!"
Tari benar-benar menatap tidak percaya. Dia baru pertama kali melihat rumah sebesar itu. Renald berjalan merewatinya. Dia hanya menatap Tari sejenak lalu masuk ke dalam. Tari berlari kecil mengikuti Renald. Di dalam dia sudah di sambut oleh satu pria yang sudah berumur dan dua wanita, yang satu paruh baya yang satu terlihat seumuran dengannya. Tari terseyum pada mereka semua. Mereka hanya menunduk hormat. Renald menatap Tari.
"Dengarkan aku baik-baik. Anne dan Marissa akan melayanimu apapun yang kamu inginkan. Jadi jangan merengek kepadaku." sahut Renald dingin. Sedari turun dari pesawat, sikap Renald berubah. Dia seperti menjadi orang lain. Tari menyadari itu tapi dia terus menepisnya. Dia berpikir, mungkin karena jetlag atau karena kesibukannya.
"Lalu.. Kamar.." kata Tari cepat saat dia melihat Renald akan pergi.
"Ahh... Kamarmu di atas, lantai dua. Kamarku di bawah sini." Renald menunjuk sebuah ruangan tertutup.
"Kenapa kamarnya berbeda? Kita kan sudah--"
"Kamu pikir kita akan tidur bersama, satu kamar?" Renald mendengus. "Jangan bercanda." Renald beranjak pergi ke kamarnya.
"Tapi kita--"
"Ahh!!" Renald membalik tubuhnya dan menatap Tari. "Kamu bisa melakukan apa saja dirumah ini. Makan, minum, tidur, mengajak temanmu berpesta, tapi satu hal. Jangan pernah menggangguku, jangan pernah mendekatiku. Aku suamimu itu benar, tapi hanya di atas kertas saja, bukan sebenarnya." Renald mengatakan itu dengan tatapan dingin dan suara datarnya. Dia lalu kembali menuju kamarnya meninggalkan Tari yang membeku dia tempatnya.
***
tadariez
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
Wandi Fajar Ekoprasetyo
lah ko jd berubah gitu sih ..... duh..... kasian banget dong tari,jauh² d bawa keluar negri tp ga bahagia
2023-01-15
1