Tari menatap ponselnya. Dia melihat jumlah uang di tabungannya lalu menghela nafas. Uangnya hampir habis untuk pengobatan ayahnya. Tari tidak masalah tentu, selama itu untuk pengobatan ayahnya. Hanya saja dia takut jika Salina meminta lagi. Sementara dia harus membayar hutangnya agar terbebas dari Renald. Awalnya dia berencana untuk menggunakan uang tabungannya, lalu mencari sisanya tapi rencananya gagal total.
Tari bersiap pergi bekerja. Setelah sakit, anehnya Renald selalu pulang ke rumah. Kadang lewat tengah malam tapi dia selalu pulang. Sebelumnya dia jarang sekali pulang. Dan semua itu membuat Tari sangat tidak nyaman. Dia terus bermain kucing-kucingan karena tidak ingin bertemu dengan Renald. Terlebih saat dia libur.
Setiap jam enam Tari turun dan membuat sarapannya. Biasanya dia akan langsung turun ke dapur, sekarang di harus mengendap-endap dan memperhatikan sekitar. Dia heran, sebenarnya dia salah apa sampai harus mengendap-endap begitu? Menyebalkan!
Setelah sarapan dia langsung pergi dengan secepat kilat melalui kamar Renald. Dia benar-benar tidak ingin bertemu dengannya. Biasanya Renald akan lari pagi di jam itu.
"Hei!"
Tari tersentak. Dia membeku di tempatnya. Renald sudah berdiri di belakangnya. Tari kenal betul suara itu. Jadi tanpa dia berbalik sekalipun, dia tahu itu Renald. Tapi... Hei?? Apa-apaan itu? Apa dia tidak punya nama? Tari menggerutu dalam hati. Tari mendengus lalu memasang wajah dinginnya dan berbalik. Tari menatap Renald tanpa berkata apapun.
"Bersiaplah, jam sembilan kita berangkat." kata Renald lalu berlalu begitu saja meninggalkan Tari yang bengong.
"Hah? Apa-apaan itu?"
Tari berbalik lalu segera pergi sambil menggerutu. Tiba-tiba seseorang menarik tangannya, memaksanya untuk berbalik dan menatap orang itu.
"Kamu mau kemana? Bukannya sudah aku katakan kita akan berangkat jam sembilan?" sahut Renald dengan nada suara sedikit tinggi. Tari yang masih terkejut, terdiam di tempatnya sejenak. Beberapa tukang kebun dan supir yang berada di sana memperhatikan mereka. Renald masih menatapnya tanpa melepaskan tangannya. Tari mengangkat tangannya yang di pegang Renald.
"Lepaskan." ucapnya. Renald langsung melepaskan tangan Tari. "Lain kali kalau berbicara itu, yang jelas."
Renald berdecak. "Sungguh merepotkan! Besok ulang tahun nenekku. Semua keluarga harus datang. Kamu ingatkan kamu harus berakting menjadi istri yang baik di depan semua keluargaku? Jangan macam-macam dan lakukan saja."
Renald pergi meninggalkan Tari. Tari tertawa kecil dan menatap Renald tidak percaya.
"Dia benar-benar seenaknya. Menyebalkan sekali!"
Mau tidak mau Tari terpaksa ijin bekerja, lagi. Tapi karena Tari merasa tidak enak Tari merasa bimbang.
"Apa aku resign aja ya? Tapi sayang banget. Udah bisa dapatin dengan mudah kerjaan. Jaman sekarang dimana bisa dapat kerja mudah. Huft aku harus bagaimana?" Tari mengacak rambutnya. Dia terus mondar mandir di halaman depan rumah. Sedari tadi dia belum masuk ke rumah.
"Nyonya, maaf tapi bukankah anda harus bersiap?" Marissa yang melihat Tari sedang kebingungan, mendekatinya. "Apa ada masalah nona?"
"Pekerjaanku. Aku tidak mungkin ijin lagi dan jelas tidak bisa cuti karena belum bekerja selama satu tahun. Sementara aku tidak bisa tidak ikut, aku harus bagaimana Marissa?" Tari berjongkok sambil memeluk kakinya.
"Pekerjaan bisa di cari lagi, nyonya. Anda tidak boleh bermasalah dengan tuan Renald."
Tari menghela nafas.
"Ayolah nyonya, kita bersiap." bujuk Marissa. Tari mengangguk lalu pergi bersama Marissa.
...***...
Tari tiba di kota London lalu menuju ke kota York, inggris. Itu adalah kampung halaman ayahnya Renald. Ayahnya berkebangsaan Inggris sementara ibunya berasal dari Indonesia. Tari berhenti di satu mansion yang bahkan lebih besar dari mansion milik Renald di New York. Beberapa orang membantu mengangkat koper Tari dan Renald. Tari merasa gugup, entah kenapa. Selama ini dia berpikir kesehariannya hanya akan ada Renald, rumahnya, pekerjaannya dan kota New York tentu. Tapi lihatlah dia sekarang. Berdiri tepat di sebuah mansion megah dan akan bertemu keluarga besar Renald. Renald menyerahkan lengannya agar Tari bisa mengalungkan tangannya. Tari terpaksa melakukannya. Dia harus berpura-pura pernikahannya bahagia.
Masuk ke dalam mansion membuat Tari terpukau dengan isi mansion itu. Sangat mewah dan elegan. Tari melihat tante Dhea tersenyum sambil menatap Tari.
"Selamat datang di York, Tari." tante Dhea memeluk Tari hangat. "Bagaimana kabarmu? Baik?"
Tari tersenyum dan mengangguk. "Baik tante. Kabar tante gimana?"
"Kok tante. Ibu. Kan tante udah jadi mertua kamu, gimana sih kamu." tante Dhea tertawa. "Sudah sana naik dulu ke atas, istirahat dan bersih-bersih. Kalian pasti capek. Nanti malam kita makan bersama."
"Renald kekamar dulu, mom." ucap Renald lalu beranjak pergi. Di mansion itu Renald dan Tari terpaksa tidur dalam satu kamar untuk menjaga sandiwara mereka.
Makan malam keluarga menjadi sangat alot. Benar-benar seperti bukan makan malam keluarga. Tidak ada keceriaan, yang ada hanya rasa canggung. Bahkan Tari terus di bombardir tentang pertanyaan soal kehamilan dan subur tidaknya dia. Tari tentu bingung bagaimana menjawab semua itu. Dia bahkan belum pernah bercinta dengan Renald. Yang membuat makan malam itu menegang adalah saat Renald tiba-tiba berdiri lalu menarik tangan Tari untuk pergi dari sana padahal makan malam belum selesai. Ternyata Renald juga sangat terganggu dengan semua pertanyaan itu.
...*****...
Pagi-pagi sekali Tari sudah bangun. Dia berkeliling mansion yang sangat besar itu. Entah sudah berapa lama di berkeliling. Rasanya tidak selesai sedari tadi. Atau mungkin dia tersesat?
"Tari."
Sebuah panggilan menghentikan langkah Tari. Tari menoleh.
"Ibu sudah mencari kamu kemana-mana. Dari mana saja?" tanya Dhea, ibu mertuanya.
"Uhmm... Jalan-jalan tan--mom."
"Apa sudah selesai?"
"Uhmmm... Entahlah. Saya tidak tahu. Sepertinya saya tersesat."
Dhea tertawa geli. "Kalau begitu, sudahi saja dan ayo kita kekamarmu. Gaunmu sudah ada di kamar." Dhea menarik tangan Tari agar mulai berjalan ke kamar.
"Gaun? Gaun apa bu?"
"Apa kamu lupa tujuanmu kemari?"
"Ulang tahun nenek."
"Benar. Hari ini adalah ulang tahun nenek. Akan ada pesta yang akan di hadiri oleh tamu-tamu penting. Tidak mungkin kamu akan mengenakan pakaian itu kan?" Dhea menunjuk pakaian yang di kenakan Tari saat ini. Celana Jeans slim fit biru tua dengan sweater coklat muda.
"Nenek Renald bangsawan disini, bergelar Dutchess. Jadi yang hadir pasti para bangsawan, parlemen bahkan keluarga kerajaan. Jadi kamu harus mengenakan pakaian yang pantas. Ibu juga terkena culture shock saat pertama kali masuk ke rumah ini. Budaya, tata krama, makanan, semua berbeda. Terlebih mertuaku adalah seorang bangsawan. Harus banyak berhati-hati. Jadi..." Dhea berhenti dan menatap Tari. "Aku harap kamu bisa bertahan dengan sikap dan perkataan mereka seperti tadi malam. Ibu sungguh minta maaf tidak bisa membelamu. Renald punya sejarah pemberontakan di rumah ini. Bahkan semua anakku. Karena itu tidak ada satupun anakku yang tinggal disini. Tidak seperti adik iparku. Aku harap kamu mengerti."
Tari tersenyum dan mengangguk. "Tentu saja, bu. Tari mengerti."
"Terima kasih. Ayo masuk."
Tari terkejut saat masuk ke dalam kamar. Deretan gaun pesta sudah memenuhi kamarnya. Beberapa perhiasan dan sepatu.
"Sekarang pilihlah. Yang menurutmu nyaman untuk kamu kenakan." kata Dhea. Tari masih terdiam dengan keterkejutannya. "Bantu nyonya memilih, kamu mengerti? Layani dia dengan baik." kata Dhea pada satu pelayan di sana.
"Baik nyonya."
"Ibu pergi dulu. Masih harus mengatur yang lain. Pilihlah, Claire akan melayanimu."
Tari hanya bisa mengangguk dan menatap ibu mertuanya. Apa yang harus aku lakukan?
...***...
Setelah pertimbangan yang matang, Tari memilih long dress satin berwarna biru muda. Sangat cantik dan pas ditubuhnya. Gaunnya juga tidak terlalu terbuka. Bagian dada tertutup hingga lengan atas dan bagian bawah yang lebar. Tari memutuskan untuk menggerai rambutnya yang hitam panjang. Dia hanya merapikannya saja. Dia terlalu gugup dan terus meremas gaunnya. Dia terlihat berbeda dari biasanya. Dengan riasan mempercantik wajahnya.
Tari berjalan menuju tempat di gelarnya acara itu. Dia menunggu Renald yang entah di mana. Dari pagi dia tidak melihatnya dan seharusnya dia di perkenalkan di pesta itu karena Tari anggota baru keluarga dan itu sudah menjadi tradisi di keluarga itu. Jadi dia harus masuk ke ruangan pesta bersama Renald. Tapi sudah setengah jam dia menunggu, Renald tidak kunjung datang. Jadi Tari memutuskan untuk tidak menunggu lagi dan segera berbaur di pesta. Tentu dia tidak jadi diperkenalkan di depan seluruh tamu. Tari berjalan sendiri. Dia bingung apa yang harus dia lakukan. Dia tidak mengenal siapapun di sana.
Tak lama dia mendapati Renald sedang berdansa dengan seorang wanita. Bahkan dari jauhpun Tari tahu siapa wanita itu,Veronica. Mereka berdansa dengan sangat mesra. Seperti hanya mereka berdua di pesta itu. Sesekali mereka tertawa. Renald sekali lagi meninggalkannya di tempat asing, sendirian.
Tari berjalan keluar mansion. Dia tidak ingin berada di pesta itu. Dia ingin mencari udara segar di luar. Sambil mengangkat roknya agar bisa berjalan bebas, Tari menuju sebuah danau buatan yang terletak di dekat mansion. Di danau itu ada beberapa bangku taman. Tari duduk di salah satunya. Dia menatap danau dalam diam dan membiarkan angin malam menyentuh kulitnya lembut.
"Apa kamu tidak kedingingan?" tanya satu orang. Tari menoleh ke arah suara. Dia melihat Randy, teman dekat Renald berjalan ke arahnya. Tari hanya diam menatapnya. "Hei, apa kamu tidak dengar?"
Randy melepas jas yang di kenakannya lalu menggantung jas itu di pundak Tari. Tari yang terkejut dengan cepat melepas jas itu lalu mengembalikannya.
"Aku baik-baik saja, terima kasih." ucap Tari.
"Benarkah? Cuaca disini benar-benar dingin dan kamu terlihat kedinginan. Pakai saja." Randy kembali menggantung jas itu di pundak Tari lalu duduk di sebelahnya. "Kenapa kamu duduk sendirian disini?"
"Hmmm menikmati suasana malam?"
"Disini? Sekarang? Bukankah sedang ada pesta?" Randy menatap heran. Randy sangat tampan dengan rambut gaya messy hairnya.
"Bagaimana denganmu? Bukankah sedang ada pesta?" Tari bertanya tanpa menjawab pertanyaan Randy.
"Aku tidak suka pesta formal seperti itu." Randy menatap danau di depannya. "Membosankan."
"Ahhh tentu saja. Pria seperti kalian tentu lebih senang berpesta di klub malam bersama para wanita dari pada pesta formal yang dihadiri para orang tua." celetuk Tari tanpa di saring. Randy menatap Tari sejenak lalu tersenyum.
"Bisa di katakan seperti itu."
"Dengan siapa kali ini?"
"Sendirian. Aku tidak membawa gadis."
"Ahhh benar. Pesta formal. Tidak mungkin membawa gadis. Pasti membosankan."
"Apa kau mengejekku sekarang, nona?" tanya Randy. Tari melirik Randy yang sedang menatapnya. Tari mengangkat kedua bahunya.
"Tidak, hanya berkata kenyataaan."
Randy tertawa kecil. "Sudah aku duga. Kamu berbeda."
Tari mengerutkan keningnya. "Apa maksudnya itu?"
Randy berdiri dan bersiap pergi. "Kamu berbeda dari para gadis bodoh yang pernah di jadikan Renald sebagai pelampiasannya. Pakai saja jasnya."
Randy berjalan menjauhi Tari tanpa memberi kesempatan Tari untuk mengatakan apapun.
"Haa... Jadi aku bukan korbannya yang pertama? Tapi kenapa aku yang harus menikah dengannya? Menyebalkan sekali!!"
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
lovely
udah go a way aja tari dari suami macam s reynal
2023-01-24
0
ZeysLe3on
semangat ~
2023-01-16
0
Wandi Fajar Ekoprasetyo
semangat Thor.....
2023-01-16
0