Chapter 15

"Pesanan meja lima!" pekik salah satu koki sambil meletakkan makanan itu di meja yang ada di depannya. Tari mengambil makanan itu dan meletakkannya di meja nomor lima. Di restoran tempatnya bekerja sangat sibuk. Sudah dua minggu semenjak dia pulang ke New York. Sekarang dia bekerja di sebuah restoran di kota New York atas rekomendasi Marisol tentu. Dia pernah bekerja disana sebelumnya dan pindah ke butik tante Na Eun karena dia menyukai fashion. Terlihat dari cara berpakaian Marisol yang berbeda dari lainnya.

Tari kembali mengambil pesanan dari meja lain, mencatatnya di buku kecil yang di bawa lalu kertas catatan itu dia bawa ke dapur. Restoran itu tidak terlalu besar tapi pengunjungnya ramai, membuat Tari sedikit kewalahan saat pertama bekerja. Tapi sekarang dia sudah mulai terbiasa.

Tari tidak bisa kembali ke butik karena orang yang di gantikannya sudah kembali masuk. Tapi dia masih tetap bekerja di bar bersama Marisol.

"Pesanan nomor dua!"

Tari yang sedang menerima pesanan beranjak dari tempatnya tapi teman kerjanya, David, mengisyaratkan bahwa dia yang akan mengambil makanan itu. Tari mengangguk dan tersenyum. Tari kembali menempelkan pasanan tadi di dekat tempat koki memasak. Dia melihat ke arah dapur dan mendapati cucian piring yang menimbun. Tari segera masuk ke dapur, mengenakan sarung tangan karetnya lalu mulai mencuci piring.

Selama pulang ke New York, Tari sama sekali tidak pernah bertemu dengan Renald. Tari mendengar dari Marissa, jika perusahaan Renald sedang dalam masalah dan Renald berusaha untuk mengatasinya. Karena itu dia tidak pulang. Tentu Tari tidak perduli. Dia hanya akan bekerja sekeras mungkin. Mungkin perlu bertahun-tahun untuk mengembalikan uang itu, setidaknya dia mencoba. Dia tidak mau hanya pasrah dengan nasibnya.

"Kamu baik-baik saja?" tanya Marisol saat mereka membereskan bar. "Kamu terlihat kelelahan."

"Aku baik-baik saja. Mungkin tubuhku masih terkejut karena bekerja di restoran. Tapi aku baik-baik saja." jawab Tari. Tari kembali meracik minuman.

Marisol masih memperhatikan Tari. Ya, dia terlihat sangat kelelahan. Pekerjaan di restoran yang menguras tenaganya. Tapi Tari tidak pernah mengeluh tentang itu. Dia bahkan tidak pernah mengeluh tentang apapun. Karena itu Marisol frustrasi ingin tahu apa yang di pikirkan dan di rasakan Tari. Mungkin dia bisa membantu. Tapi bagaimana bisa membantu jika dia tidak tahu apapun.

...***...

Tari bangun pagi seperti biasanya. Hari ini tubuhnya terasa sakit dari kepala hingga kaki. Tapi dia memaksa tubuhnya untuk bergerak dan berangkat kerja. Tari melangkahkan kakinya ke meja makan. Tapi langkahnya berhenti tiba-tiba. Renald ada di sana sedang minum kopi dan menatap ponselnya.

"Dia sudah disini? Tapi ini masih.."

Tari menatap jam tangannya. Masih jam enam tiga puluh tapi dia sudah berada di meja makan? Biasanya dia akan sarapan jam setengah delapan.

"Aneh.. Apa dia baru datang? Ahh apa perduliku!"

Tari berjalan ke meja makan, mengambil sebuah apel dan pergi begitu saja. Semua itu disaksikan oleh Renald yang kini mengerutkan keningnya.

"Apa dia terbiasa tidak sarapan?" tanya Renald pada Anne dan Marissa. Anne menyuruh Marissa agar menyusul Tari.

"Nyonya! Nyonya!" panggil Marissa. Tari menghentikan langkahnya.

"Ada apa denganmu? Apa ada masalah?" tanya Tari. " Dan bukankah sudah aku katakan untuk tidak memanggilku nyonya? Ayolah kita sama-sama tahu aku bukan nyonya disini."

"Maafkan aku nyo-- nona. Tuan... Tuan meminta anda untuk sarapan."

"Aku sudah sarapan. Ini." Tari memperlihatkan apel yang sudah dimakannya setengah.

"Tapi itu bukan--"

"Tidak! Ini sarapanku. Bilang padanya aku sudah sarapan. Aku pergi." Tari kembali melangkah sambil melambaikan tangannya pada Marissa.

Marissa dengan cepat kembali ke meja makan dan memberitahukan Renald tentang ucapan Tari.

"Jadi maksudmu... Apel itu adalah sarapannya? Bukan lima apel tapi satu buah apel?" tanya Renald. Marissa tidak menjawab. Hanya menunduk. Renald menghela nafas kasar. "Ganti menu sarapannya mulai besok dan harus sudah tersedia jam enam tiga puluh tepat!" Renald melempar kain serbetnya di meja lalu pergi. Marissa dan Anne saling menatap. Mereka tahu bukan menu sarapan yang menjadi masalah tapi kehadiran Renald. Biasanya Tari selalu sarapan dulu sebelum pergi. Entah itu susu atau roti, atau hanya sekedar telur ceplok dan beacon, atau kadang Tari masak nasi goreng. Tapi hari ini hanya sebuah apel. Tentu masalahnya bukan di menu kan?

Keesokan harinya juga sama, Renald sudah ada di meja makan di jam yang sama. Tari berpikir mungkin dia harus kembali mengubah jam sarapannya menjadi jam enam tepat seperti dulu. Dulu saat masih kerja di butik, dia sarapan jam enam tepat karena lokasi butiknya agak jauh dari rumah. Sekarang lokasi restoran lebih dekat.

Tari terpaksa mengambil apel lagi lalu pergi.

"Tunggu." suara bariton Renald terdengar jelas ditelinga Tari, membuatnya menghentikan langkahnya.

"Mau apa lagi orang ini!" Tari mendengus.

"Kamu harus sarapan." kata Renald. Tari masih berdiri membelakanginya.

"Kenapa dia sekarang mengurusi sarapanku?!"

Tari menghela nafas lalu berbalik. Dia menunjukkan apel pada Renald. "Ini sarapanku." ucap Tari. Saat dia ingin membalikkan tubuhnya, Renald berbicara lagi.

"Apa ada orang sarapan hanya dengan sebuah apel?" tanya Renald lagi.

"Ada. Aku. Ini." Tari kembali mengacungkan apelnya lalu pergi.

Renald menghela nafas. "Dia sungguh keras kepala." gumamnya.

...***...

"Ini barang yang anda minta tuan Calleger dan fail yang anda minta sudah saya email." kata wanita cantik yang berdiri di depan meja Alex. Alex hanya menoleh pada wanita itu satu detik lalu kembali ke laptopnya. Padahal wanita itu sudah berusaha untuk menarik perhatian Alex. Wanita itu menarik turun atasan yang di kenakan hingga bagian atas pay*d*r*nya tampak bulat sempurna dan dia juga telah menyibak rambutnya kebelakang, agar pay*d*r*nya terlihat jelas.

"Terima kasih, nona Lambert dan kamu boleh pergi." kata Alex tanpa menatap wanita itu. Wanita itu pergi dengan kekesalan di wajahnya.

"Sepertinya memang benar, dia itu gay!"

Itulah yang banyak di percayai semua orang kantor. Alex adalah gay. Alex gay? Tentu saja tidak. Dia normal, bahkan sangat normal. Dia hanya berhenti mencari kekasih sejak lima tahun silam. Pekerjaannya yang menggila membuatnya sulit untuk bisa memiliki kekasih. Dia memiliki bos yang gila kerja, pemarah, kaku dan... Sulit di tebak. Dia mencoba bertahan pada hubungannya silam, tapi dia mendapati kekasihnya berselingkuh dengan pria lain. Well dia tidak bisa menyalahkan kekasihnya dan tidak ingin menyalahkannya. Dia menyalahkan dirinya yang selalu sibuk yang membuat kekasihnya kesepian. Karena itu dia menolak untuk memiliki kekasih lagi.

Alex berdiri dan mengetuk pintu ruang kerja Renald.

"Masuk." kata Renald. Alex membuka pintu. Dia berjalan mendekati meja kerja Renald.

"Ini kunci mobil yang anda minta. Mobilnya sudah ada di parkiran." Alex meletakkan kunci itu di meja.

"Hmm.. Terima kasih. Ahh!! Antarkan saja ke rumahku. Suruh Alan."

"Baik pak." Alex kembali mengambil kunci itu dan beranjak pergi.

"Alex." panggil Renald.

"Ya pak?" Alex berbalik dan menatap Renald.

"Katakan padaku. Apa ada orang sarapan hanya dengan satu buah apel?" tanya Ranald.

"Ada, jika dia sedang diet."

Renald mengerutkan keningnya. "Diet? Tubuh sekurus itu?"

"Sebenarnya siapa yang anda maksud?" tanya Alex.

"Oh itu--"

"Hai Ren!!" sebuah pekikkan kecil membuat kedua pria tampan itu menoleh.

"Ve?" Renald tampak terkejut. "Sedang apa kamu kemari?"

"Saya permisi dulu pak." Alex pamit.

"Byee Alex.. Kamu semakin tampan saja." goda Veronica. Alex hanya terseyum dan berjalan melewati Veronica. Veronica berjalan manis menuju Renald yang masih duduk di kursinya.

"I miss you, baby." Veronica mencoba memeluk Renald. Renald menahan tangan Veronica.

"Kau bau alkohol dan kita putus Ve, kau ingat? Kau yang memutuskanku." ucap Renald dengan nada suara yang lembut. Tidak terlihat seperti pria yang telah putus dari kekasihnya.

"Ughh kau sangat tidak menyenangkan. Kau membosankan, kau tahu itu!" ucap Veronica kesal lalu duduk di sofa tamu. "Kita selalu putus dan nyambung. Itu bahkan bukan hal baru."

"Aku harus bekerja, Ve. Aku ada rapat."

"Kau dan pekerjaanmu! Sulit sekali dipisahkan. Kamu bahkan tidak bertanya kenapa aku mabuk pagi-pagi." Veronica melipat kedua tangannya di depan dadanya dan melipat kakinya.

"Lalu katakan, secepatnya. Aku sibuk." kata Renald tanpa melihat Veronica. Dia membaca tulisan di atas kertas yang dia pegang.

"Keluargaku. Mereka menyebalkan. Selalu meminta uang padaku. Aku seperti menjadi sapi perah saja. Hei, apa kau dengar aku?!"

"Aku dengar Ve. Aku tidak melihatmu tapi telingaku masih berfungsi sempurna. Dan pergi saja dari rumah itu. Cari rumah sendiri. Apartemen? Apa susahnya? Kita sudah pernah membahas ini."

"Tapi kamu tahu aku tidak bisa melakukan itu. Mereka keluargaku satu-satunya dan aku anak pertama. Jadi.. Kapan kamu akan menikahiku?"

Renald berdiri dari duduknya. Dia mengambil jasnya lalu mengenakannya sambil berkata

"Pertama suruh adikmu bekerja. Dia sudah berumur dua puluh tujuh tahun tapi dia masih menganggur dan hanya bisa bersenang-senang. Aku paham jika ayahmu, dia sudah tua. Tapi tidak adikmu."

"Tapi dia--"

"Kedua, kamu yang tidak mau aku nikahi, kamu ingat? Kamu yang menolakku. Dan ketiga, aku harus rapat. Pergilah, aku akan lama."

Renald beranjak pergi dari kantornya.

"Kamu tidak akan mengambil kartukan, karena kita putus?"

Renald menghentikan langkahnya dan menatap Veronica.

"Kamu bisa menggunakannya dan hematlah. Jangan manjakan keluargamu terus menerus." katanya lalu kembali berjalan. Veronica tersenyum lalu mengikuti Renald keluar kantornya.

"Aku mencintaimu, Renald!!" pekiknya. Renald hanya menggelengkan kepalanya.

"Mau kemana?" tanya Randy yang baru saja datang.

"Rapat. Kenapa?"

"Mau bahas projek baru."

"Akan aku hubungi setelah rapat." Renald menepuk pelan lengan Randy dan berjalan melewatinya. Randy hanya mengangguk.

"Hai Ran..." sapa Veronica. Dia berjalan mendekati Randy.

"Aku tidak melihatmu di sana. Aku pergi." kata Randy dan berbalik tapi Veronica memegang lengannya.

"Mau kemana?"

"Kembali ke kantorku. Aku banyak pekerjaan." kata Randy sedikit dingin.

"Kamu juga sama membosankannya. Bagaimana jika kita bersenang-senang? Ayolah... Dulu kamu senang bersenang-senang denganku." goda Veronica.

"Tidak, aku tidak mau." Randy menepis tangan Veronica.

"Ayolah... Jangan dingin padaku...hm?" bujuk Veronica. Randy tersenyum.

"Tidak, terima kasih. Bersenang-senang denganmu itu... Membosankan." Randy kembali berjalan meninggalkan Veronica yang bermuka masam. Kedua pria tampan yang di godanya menolaknya. Dia tidak pernah mendapat penolakan sebelumnya. Menyebalkan!

...***...

Hari-hari yang sama terus saja terjadi saat sarapan. Sepertinya Renald memang menginginkan Tari untuk diet di pagi hari. Tari kembali mengambil apel dan langsung pergi.

"Tunggu." suara bariton Renald kembali menghentikan langkah Tari.

"Ugghhh mau apa lagi sih manusia kecoak ini?!"

Tari mendengus kesal lalu menoleh. Dia terkejut mendapati Renald sudah berdiri di sebelahnya.

"Lah? Kenapa dia tiba-tiba ada disini?"

Tari menatap Renald dari atas ke bawah secara bergantian.

"Ini." Renald menyodorkan segelas susu pada Tari. Tari menatap gelas itu sejenak lalu menatap Renald.

"Kenapa dengan itu?"

"Apa kamu tidak tahu ini harus di apakan?" tanya Renald.

"Bu-- maksudku untuk apa aku harus mi--"

Renald mengambil tangan Tari lalu meletakkan gelas itu di tangannya.

"Minum saja." pintanya.

"Setelah minum aku bisa pergi kan? Tanpa di panggil lagi? Huh! Merepotkan sekali!"

Tari meminum susu itu sampai habis tanpa jeda.

"Sudahkan?" katanya sambil mengelap mulutnya.

"Berhentilah bekerja." kata Renald tiba-tiba. Tari terkejut.

"Hah? Apa?"

"Apa hobimu membuat orang mengatakan sesuatu berulang kali?"

"Kenapa aku harus berhenti?" tanya Tari bingung. Dia merasa tidak melakukan kesalahan dan tidak pernah merepotkannya dengan pekerjaannya. Lalu dia disuruh berhenti?

"Karena itu akan merusak namaku." alasan Renald membuat Tari bengong. Dia bilang apa?

"Ahh tunggu, apa hubungannya namamu dengan aku bekerja, tepatnya?"

"Bagaimana jika kolegaku, bisnis partnerku, atau temanku melihatmu? Apa tidak merusak namaku itu namanya?"

"Tunggu, teman yang mana? Tiga temanmu itu? Bukannya mereka tahu keadaan kita? Lagipula, kolega? Bisnis parner? Mereka bahkan tidak mengenalku! Pernah melihatku saja tidak. Jika aku berdiri di tengah-tengah mereka, mereka tidak akan mengenaliku sebagai istri atas kertasmu!"

Renald membulatkan matanya dan mengeraskan rahangnya. Wanita di depannya ini sungguh keras kepala.

"Berhenti saja dari pekerjaanmu!" Renald beranjak pergi.

"Hei!" Tari berlari kecil mengejar Renald dan berdiri tepat di depannya. "Terlepas dari apa alasanku bekerja, itu adalah urusan pribadiku, privasiku. Aku tidak pernah mengurusi dan ikut campur urusan pribadimu. Jadi jangan pernah ikut campur urusanku. Kamu tidak berhak. Terlebih dengan segala alasan omong kosongmu itu!"

Tari berbalik dan pergi. Dia tidak ingin berargumentasi dengan semua omong kosong yang di katakan Renald.

...***...

Terpopuler

Comments

iyel

iyel

tari 👍👍👍👍👍

2023-02-24

0

Dewi Andayani

Dewi Andayani

Saya suka karakter Tari yg tegas dan mandiri...
Up yg banyak ya Thor...please

2023-01-26

2

Newbie

Newbie

semoga bisa crazy up ya author 😂

2023-01-26

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!