Chapter 18

Suara alunan musik yang lumayan keras, orang-orang yang berdansa, berbicara, sama sekali tidak mengganggu Tari yang melamun sendiri di tempatnya. Sedari tadi dia hanya diam, melayani pelanggan hanya dengan senyum kecilnya lalu kembali melamun.

"Hei, berhentilah melamun. Manager melihatmu." bisik Marisol. Tari tersadar lalu melakukan kegiatannya yang lain. "Ada apa denganmu? Apa ada masalah? Pasti dengan suami brengsekmu itu lagi."

"Aku tidak apa-apa, Marisol." kata Tari lalu tersenyum.

"Baiklah, aku tidak akan memaksamu bercerita. Tapi berhentilah melamun sebelum kamu di jadikan pelayan malam ini." Marisol memperingatkan.

"Maafkan aku." Tari menggeleng cepat, mencoba menyadarkan dirinya dari lamunan, sepenuhnya. Dia tidak ingin di jadikan pelayan tentu. Sangat tidak nyaman. Terlebih banyak pelanggan yang akan menggodanya atau tiba-tiba memukul bok*ngnya atau memberi tips langsung ke daerah pay*d*ranya. Tari enggan menjadi pelayan lagi.

Pemilik bar adalah pria paruh baya yang sangat baik. Seharusnya bar tutup jam satu malam. Tapi dia membiarkan pekerjanya pulang jam dua belas malam sementara satu jam sisanya, dia mengurusnya sendiri. Tapi berbeda dengan managernya. Seorang pria bertubuh agak gemuk berumur berkisar tiga puluhan. Dia sangat galak dan suka menghukum secara tiba-tiba. Semua orang selalu menghindarinya. Manager itu yang awalnya menolak Tari kembali bekerja disana. Tapi dengan Marisol yang meyakinkan dan pemilik bar yang tahu betul pekerjaan Tari sangat baik, akhirnya Tari bisa kembali.

"Aku pesan minuman yang paling enak." sahut satu orang pelanggan yang baru saja duduk di depan Tari. Tari menoleh dan menghela nafas.

"Mau apa kamu kemari?" tanya Tari.

"Hei, aku pelanggan. Layani aku dengan baik." sahut Randy. Tari mendelik curiga. Randy hanya mengangkat kedua bahunya.

Tari mulai meracik minuman untuk Randy.

"Whoa Dios mío .. Kamu benar manusia? Atau dewa yunani yang jatuh dari negeri di atas sana?" tanya Marisol pada Randy sambil menunjuk langit-langit.

"Uhmmm.... Aku memilih manusia saja nona, jatuh sepertinya.. Sakit dan tidak menyenangkan." kata Renald sambil tersenyum. Tari tertawa geli.

"Kamu mengenalnya?" tanya Marisol pada Tari. Tari mengangguk.

"Iya, sayangnya."

"Sayangnya?? Wah aku sangat tidak diinginkan sekali." keluh Randy.

"Jika dia tidak menginginkanmu, aku saja. Aku menginginkanmu." ucap Marisol cepat.

"Uhmm... Bukannya kamu memiliki kekasih?" tanya Tari heran.

"Sssttt.. Jangan anggap dia. Setidaknya untuk malam ini."

Tari memutar bola matanya dan tertawa kecil sementara Marisol tersenyum manis pada Randy. Tari mendekatkan dirinya pada Marisol lalu berbisik.

"Dia playboy." bisik Tari.

"Sudah sepantasnya. Dia terlalu tampan untuk single." kata Marisol masih dengan senyum manisnya pada Randy.

"Okkkkaaaaayyy.. Baiklah. Terserah padamu saja."

Tari menyerahkan minuman yang di buatnya pada Randy.

"Tenang saja. Aku playboy yang berbeda." ucap Randy lalu meresap minumannya. "Ini enak. Kamu cukup hebat."

"Oke, bagaimana sebenarnya playboy yang berbeda itu?" tanya Tari bingung.

"Para wanita yang mendekatiku, bukan sebaliknya." kata Randy.

"Ahhh..." Tari menganggukkan kepalanya.

"Sungguh sangat percaya diri." Marisol menambahkan.

"Maaf..." satu gadis mendekati meja Randy. Gadis berambut pirang itu tersenyum manis dengan pakaian one piece seksinya. Randy menatap gadis itu. "Apa aku boleh minum bersamamu?" pinta gadis pirang itu dengan suara yang menggoda. Randy menatap Tari dan menaik turunkan alisnya. Mempertegas apa yang dikatakannya benar. Tari berdecak.

"Maaf, tapi aku sedang tidak ingin di temani." kata Randy tegas.

"Sayang sekali. Tapi jika kamu berubah pikiran, aku ada di meja sebelah sana." gadis itu menunjuk satu meja di dekat jendela. Di meja itu ada dua wanita lainnya yang melambaikan tangannya pada Randy. Randy hanya menatap sejenak lalu memalingkan wajahnya. Gadis itu pergi meninggalkan Randy. Tari dan Marisol bertepuk tangan.

"Bravo!!"

"Ohh.. Shut up!" ucap Randy lalu tertawa.

"Kenapa kamu menolak?" tanya Tari.

"Sedang tidak ingin."

"Tapi menurutku itu bukan berarti kamu playboy yang berbeda dari yang lain. Es lo mismo!"

"Tentu saja berbeda. Sebelum mengajak mereka kencan aku sudah mengatakan aku tidak ingin hubungan serius. Hanya bersenang-senang." jelas Randy.

"Lalu sampai di tempat tidur?" tanya Marisol penuh selidik.

"Tidak selalu."

"Ohh aku ingin merasakannya. Kehangatan pelukan itu, ciuman itu bahkan saat ditempat tidur, aku--"

"Oke, oke... Hentikan! Obrolan ini sudah benar-benar mulai menjadi inappropriate!" Tari dengan cepat memotong ucapan Marisol. Marisol dan Randy tertawa.

"Oh mi amor.. Calm down.. Kita pria dan wanita dewasa. Tidak masalah membicarakan itu." kata Marisol.

"Aku yang bermasalah. Mencemarkan telingaku yang polos ini. Sekarang pergilah! disana ada pelanggan dan layanilah dengan baik." Tari mendorong pelan tubuh Marisol. "Dan kau! Cepat habiskan itu dan bawa pergilah wajah tampanmu dari sini atau disini akan dipenuhi para gadis. Menyusahkan saja." usir Tari.

Randy menatap tidak percaya. "Sekarang aku yang salah?"

Tari mengangguk. "Hmm.. Go!"

"Baiklah, baiklah.. Aku akan pergi. Aku hanya ingin tahu keadaanmu. Apa kamu baik-baik saja? Apa kakimu penuh lecet?"

Tari mengerutkan keningnya. "Ya, aku baik-baik saja. Dan kakiku, itu urusanku tuan. Untuk apa kamu mengurusi kakiku. Sana pergi!"

"Baru kali ini aku di usir menjadi pelanggan." Randy tertawa.

"Kamu perlu merasakannya untuk pertama kali."

Randy tertawa lagi. "Ini." Randy memberikan uang untuk minumannya.

"Ini terlalu banyak. Minumannya tidak semahal itu. Ini bukan bar-bar mewah yang sering kamu datangi."

"Astaga.. Kau tidak hanya mengusirku tapi kamu juga cerwet padaku." Randy tertawa. "Ambil saja. Sekalian tips untukmu karena membuatku tertawa lagi, hari ini."

"Kamu pikir aku badut??"

"Hmm benar. Mirip sekali."

" Kau--"

Belum selesai Tari mengomelinya, Randy sudah melesat pergi.

"Sepertinya kalian sangat dekat." kata Marisol yang sudah berdiri di dekat Tari.

"Tidak, tidak terlalu dekat. Hanya bertemu beberapa kali." Tari mengambil gelas bekas Randy.

"Di mana kamu bisa menemukan pria setampan itu?"

"Dia teman dekatnya Renald, kau tahu, suamiku."

"Oh Dios mío.. Itu... Benar-benar.. Mengejutkan. Jangan katakan suamimu setampan pria tadi."

"Seper.. tinya?" jawab Tari ragu-ragu.

"Oh astaga... Sekarang aku mengerti kenapa kamu mau menikahinya."

"Ah.. Ti-tidak seperti itu." ucap Tari. Dia melihat Marisol mendelik padanya. "Sedikit?"

"Tidak masalah. Aku yakin aku juga akan sepertimu jika di hadapkan pria setampan itu." Marisol menepuk pundak Tari. Tari sebenarnya tidak menceritakan segalanya pada Marisol. Dia hanya tahu Tari menikahi pria brengsek yang masih mencintai kekasihnya karena dijodohkan. Dia tidak tahu menahu tentang uang ataupun hutang dan alasan Tari berkerja dengan dua pekerjaan.

"Maaf, permisi." sebuah suara membuyarkan lamunan Tari. Tari menatap wanita muda yang berdiri di depannya.

"Ya?"

"Kamu... Istrinya Renald kan?" tanya wanita itu. Tari membulatkan matanya. Dia mematung sejenak.

"Ma-maaf.. Siapa tadi?" Tari berpura-pura tidak mendengar.

"Renald. Renald William." kata wanita itu lagi.

"Maaf tapi.. Saya tidak mengenalnya." kata Tari berbohong. Dia benar-benar gugup.

"Ahh benarkah? Berarti saya salah orang. Maafkan saya. Saya mengira kamu orang lain." ucap wanita itu. Tari tersenyum kikuk.

"Tidak masalah." ucapnya sambil mencoba mengendalikan dirinya dari kegugupannya.

"Sudah aku katakan kan. Dia bukan istrinya Renald." ucap pria pasangan wanita tadi. Mereka masih berdiri di dekat Tari jadi Tari masih bisa mendengar.

"Aku hanya memastikannya. Berarti aku salah." kata wanita itu.

"Renald itu kaya, tidak mungkin istrinya bekerja di tempat ini. Lagipula bukankah istrinya cantik. Dia cantik juga tapi kurasa.. Tidak mirip." tambah pria itu. Wanita itu mengangguk.

"Hmm.. Kau benar. Ayo kita pergi."

Pria dan wanita tadi pergi meninggalkan bar. Tari bernafas lega. Kakinya benar-benar lemas. Jantungnya memacu dengan cepat. Rasanya dia baru saja kehilangan satu nyawanya.

"Bukannya baru semalam pesta itu? Kenapa sudah ada yang mengenaliku? Ini gila! Aku harus apa? Pakai masker? Ya, sepertinya aku harus pakai masker sementara. Berpura-pura sakit. Mungkin mereka tidak akan mengingatku jika sudah agak lama."

Tari mengangguk pasti. Dia sudah memantapkan keputusannya. Dia benar-benar terkejut ada orang yang mengenalinya. Dia sudah seperti selebriti dadakan tadi. Ini benar-benar gila!

...***...

Renald duduk diam di meja makan. Dia sesekali meneguk kopinya tapi sama sekali tidak menyentuh roti panggangnya. Pikirannya sedari kemarin teralihkan. Tari membayar hutangnya. Selama ini Tari bekerja untuk membayar hutangnya. Kata-kata itu terus berputar di kepalanya.

"Dia bisa menyimpan uang dalam jumlah lumayan, sebenarnya pekerjaan apa yang dia lakukan? Apa dia memiliki pekerjaan lain?"

"Tuan." panggilan Alfred membuyarkan lamunan Renald.

"Ya?"

"Ini sudah hampir jam delapan pagi." kata Alfred mengingatkan.

"Ahh benar. Aku harus pergi." Renald berdiri dan mengenakan jasnya.

"Anda tidak makan tuan?"

"Aku tidak lapar. Aku akan meminta Alex membelikan makanan jika aku lapar. Aku pergi dulu." Renald melangkah keluar dari ruang makan.

"Renald!" Veronica berlari kecil ke arah Renald lalu memeluknya.

"Kenapa kamu kemari pagi-pagi sekali?" tanya Renald tanpa membalas pelukan Veronica.

"Karena aku merindukanmu." ucap Veronica sambil mengeratkan pelukannya.

"Aku harus bekerja, Ve."

Veronica melepaskan pelukannya dan menatap Renald. "Tidak bisakah kamu libur satu hari saja? Kita berkencan seharian.. Hm?"

"Tidak bisa. Ada proyek baru yang sedang aku kerjakan. Aku tidak bisa meninggalkannya." kata Renald.

"Kamu memiliki banyak pegawai. Alex termasuk yang kompeten. Kamu bisa meninggalkannya selama satu hari. Hm? Ya? Please.. Aku merindukanmu.. Aku membutuhkanmu.." bujuk Veronica. Veronica menggenggam tangan Renald.

"Sudah aku katakan aku tidak bisa. Nanti saja, setelah proyek ini selesai."

Veronica melepas tangan Renald kasar.

"Kamu dan pekerjaanmu. Menyebalkan sekali! Bahkan aku minta waktu sehari saja kamu tidak bisa! Jika begini terus, sebaiknya kita putus saja!" Veronica meninggikan suaranya. Dia terlihat sangat kesal.

"Tapi kita memang sudah putus, kau ingat?"

Veronica terkejut. "Ahh... Itu... Baiklah. Kalau begitu ceraikan dia, kembalilah padaku dan menikah denganku."

Renald menghela nafas. "Kita akan membahasnya nanti, oke?"

Renald berbalik dan beranjak pergi.

"Tidak, kamu sudah berjanji padaku!"

Renald menghentikan langkahnya dan menghela nafas kasar lalu berbalik.

"Aku sudah berusaha menepati janjiku tapi kamu yang belum menepatinya sampai detik ini. Dan aku mohon.. Nanti saja, oke? Aku harus pergi."

"Kamu tidak ingin menceraikannya kan?! Atau jangan-jangan kamu jatuh cinta padanya?!"

Tuduhan padanya membuatnya meradang. Dia banyak pikiran dan pekerjaan, tapi pagi-pagi dia harus dihadapkan dengan ini? Rahang Renald mengeras. Dia berbalik dan pergi tanpa memperdulikan panggilan Veronica. Dia lebih memilih pergi daripada meneruskan argumen tidak masuk akal itu.

"Ren--"

"Vero!!" panggil Alfred yang melihat Veronica ingin menyusul Renald.

"Paman... Lihatlah Renald. Dia tidak memperdulikanku!"

"Pulanglah. Paman mohon.." ucap Alfred lalu kembali ke ruang makan.

"Tapi-- ughh.. Kenapa dengan semua orang!!" Veronica berteriak dan menghentakkan kakinya di lantai.

...***...

Setelah makan siang bersama para investor, Renald berencana akan ke kantor Randy. Karena kali ini proyek yang dia kerjakan, bekerja sama dengan Randy. Randy adalah arsitek yang terkenal. Dia banyak merancang dan membangun bangunan besar seperti Mall atau gedung pencakar langit. Dia juga memiliki bisnis real estat yang di rancang sendiri. Renald ingin mampir ke kantor Randy karena Randy tidak bisa datang saat makan siang tadi karena ada rapat. Jadi Renald memutuskan untuk mendatanginya.

Menuju kantor Randy mengingatkannya pada restoran tempat Tari bekerja. Restoran itu searah dengan kantor Randy.

"Alex, apa kamu tahu dimana restoran tempat Tari bekerja?" tanya Renald.

"Tahu. Kenapa?"

"Antarkan aku kesana." pinta Renald membuat Alex mengerutkan keningnya.

"Untuk apa?"

"Antarkan saja. Ada yang ingin aku pastikan." ucapnya.

"Baiklah."

Tak berapa lama kemudian, Alex menepikan mobilnya. Alex menunjuk sebuah gedung bercat putih tepat samping gang kecil di dekat mobil mereka parkir. Renald keluar dari mobilnya. Alex ingin menemaninya tapi Renald menolak.

Renald mendekati restoran itu. Tapi tiba-tiba langkahnya terhenti. Dia melihat satu sosok yang di kenal sedang duduk di tangga di gang kecil belakang restoran. Tari. Tari tampak sedang makan sesuatu. Renald melihat jam tangannya.

"Masih jam satu, berarti masih jam makan siang. Kenapa dia makan disana?" batin Renald.

Renald berjalan mendekat. Tiba-tiba pintu belakang restoran terbuka. Keluar dua gadis dari sana.

"Tari. Makan gimbap lagi?" tanya salah satu gadis. Tari yang mulutnya penuh gimbap mengangguk dan tersenyum.

"Jangan makan itu terus. Sesekali makanlah bersama kita. Burger dan hotdog disana enak." ajak gadis yang lain.

"Tidak, terima kasih. Aku makan gimbap saja."

"Makan terlalu banyak gimbap lama kelamaan kamu akan menjadi gimpab." kedua gadis itu berserta Tari tertawa geli. "Kalau begitu kami pergi dulu."

"Hati-hati." kata Tari lalu kembali makan gimbapnya.

Renald kembali ke mobilnya lalu pergi begitu saja. Diperjalanan pikirannya terus saja memikirkan ucapan gadis tadi.

"Dia makan gimbap setiap hari? Itu tidak mungkin."

...***...

Beberapa hari ini Renald selalu mampir ke restoran tempat Tari bekerja saat makan siang. Bukan untuk makan siang disana melainkan dia ingin memastikan apa yang di dengarnya tempo hari itu salah. Tapi setelah dia menyaksikan sendiri beberapa kali, dia baru percaya. Dia juga sampai membayar salah satu gadis yang bekerja bersama Tari agar memberitahukan apa saja yang Tari makan setiap hari untuk makan siang.

Setiap hari Tari selalu makan gimpab untuk makan siang, atau kadang hanya nasi dan sosis yang dia bawa dari rumah. Cuaca masih cukup dingin tapi dia selalu makan di belakang restoran. Makan malamnya, dia hanya makan makanan sisa atau mi instan atau kadang tidak makan. Itu semua demi menghemat uang.

"Dia sebenarnya bodoh atau apa?! Ada apa sebenarnya dengannya?!" teriak Renald tiba-tiba saat di mobil, membuat Alex terkejut. Tapi Alex tidak mengatakan apapun. Dia tahu siapa yang di maksud Renald. Yang lebih membuat Renald meradang adalah Kenapa dia begitu marah saat mengetahui hal itu? Dan kenapa dia begitu perduli?

...***...

Terpopuler

Comments

Dewi Andayani

Dewi Andayani

Koq lama ya Thor utk up nya

2023-01-31

0

Dewi Andayani

Dewi Andayani

Hayo Tari....Jgn mau menyerah...
Buat Thor, semangat ya💪💪💪

2023-01-29

1

Kiranisane23 34

Kiranisane23 34

semangat tor upnya💪💪💪

2023-01-29

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!