Chapter 5

Sudah beberapa hari Tari tidak melihat Renald di rumah itu. Terakhir dia kemari bersama Veronica lalu pergi bersamanya.

"Ahh apa perduliku. Aku yakin dia bersamanya. Aku benar-benar nggak nyangka aku harus menikah dengan-- ugghhh!!" Tari mengacak rambutnya.

Pagi-pagi sekali dia sudah pergi ditemani Marissa. Ini pertama kalinya dia keluar rumah semenjak di New York. Dia tidak tahu jalan karena itu Marissa menemaninya. Semalam dia mengirimkan uang ke ibu tirinya. Dia masih memiliki tabungan dari hasil kerjanya di Indonesia sebelum menikah. Dia mengumpulkan uang itu dari kerja magang saat kuliah, bekerja full time setelah wisuda sampai menikah tanpa cuti. Dia mengumpulkan uang itu untuk berlibur, tapi dalam semalam dia harus merelakannya. Tari memutuskan mengirimkan uang secara berkala. Karena dia tahu dengan pasti, Salina akan meminta lagi dan lagi. Sementara dia tidak bisa meminta sepeserpun dari Renald. Selain karena tidak memungkinkan, Tari juga tidak mau menambah panjang daftar hutangnya pada Renald.

Jadi hari ini, dengan beralasan ingin berjalan-jalan, dia akan mencari kerja. Semalam dia sudah berbicara dengan teman asal korea selatannya, Park Na Eun, yang memiliki bibi tinggal dan bekerja di New York. Bibinya memiliki butik dan kebetulan mencari orang menggantikan pegawainya yang cuti hamil. Tari langsung menyanggupi tentu.

Tari berjalan-jalan di pertokoan di kota New York. Dia bahkan ke Times Square, Central Park, Patung Liberty sampai Gedung Empire State. Mereka juga berkeliling menggunakan bus wisata. Di tempat terakhir, dia berkunjung ke butik bibinya Na Eun. Marissa mengira mereka akan berbelanja.

"Ini nyonya." Marissa menyerahkan kartu berwarna hitam pada Tari. Tari menatap kartu itu sejenak lalu menatap Marissa.

"Apa itu?"

"Kartu kredit, nyonya."

"Milik?"

"Madam Anne memberikan pada saya. Katanya tuan Renald yang memberikannya pada madam Anne untuk anda berbelanja nyonya." jelas Marissa.

"Apa?"

Tari terdiam menatap kartu itu.

"Apa ini? Tanggung jawab suami? Aku rasa tidak. Kasihan? Hah! Yang benar saja."

"Aku tidak memerlukannya. Simpan saja." kata Tari akhirnya. Dia berjalan menuju resepsionis.

"Permisi, saya ingin bertemu dengan nyonya Park." sahut Tari pada resepsionis.

"Apa sudah ada janji?" tanya resepsionis itu.

"Sudah."

"Nama anda?"

"Tari, teman dari Park Na Eun."

Resepsionis itu mencari sesuatu di komputernya. Tak lama dia mengangguk.

"Silahkan ke atas, nona. Kantor nyonya Park ada di atas."

"Terima kasih." Tari menatap Marissa. "Tunggu aku disini, Marissa. Aku tidak akan lama."

"Baik, nyonya."

Tari menaiki tangga kecil. Kantor bibi Park ada di lantai dua. Tari melihat pintu bertuliskan Laura Park. Tari mengetuk pintunya.

"Masuk."

Tari membuka pintu dan masuk ke dalam.

"Selamat sore bu. Nama saya Tari."

"Ahh benar. Teman Na Eun ya?"

"Benar, bu."

"Silahkan duduk sini. Na Eun sudah banyak cerita."

Tari duduk di depan meja kerja ibu Laura. Ibu Laura terlihat cantik dan anggun dengan blousenya yang berwarna pastel lembut. Rambut pendeknya di sisir rapi.

"Terima kasih sudah menerima saya."

"Justru aku merasa senang. Jurusan kuliahmu coock dengan pekerjaan. Kapan kamu bisa mulai? Besok bisa?"

"Bisa bu, dengan senang hati."

"Bagus."

"Jal butagdeulibnida." Tari berdiri dan mengulurkan tangannya. Ibu Laura berdiri dan menyambut uluran tangannya.

"Ne, jal butagdeulibnida. Wahh bahasa koreanya bagus. Logatnya bagus, tidak terlihat logat orang asing."

"Terima kasih bu. Saya permisi."

"Ahh benar. Masuk jam delapan pagi pulang jam lima sore. Bisa?"

"Bisa bu. Permisi."

"Ya, hati-hati."

Tari keluar kamar dengan perasaan senang. Betapa tidak, meski pekerjaan yang dia dapat sebagai penjaga toko pakaian, dia tidak perduli. Yang terpenting bisa mendapat pekerjaan. Sangat mudah lagi. Tidak perlu bersusah payah seharian mencari. Tari sangat bersyukur soal itu.

...***...

Merasa hancur dan terhina, membuatnya menjadi pribadi yang berbeda. Dia menjadi dingin dan acuh tak acuh pada sekitarnya. Semua orang di rumah itu tahu siapa dia sebenarnya. Hanya istri di atas kertas. Bukan nyonya sebenarnya. Terlebih dia sudah beberapa kali memergoki Renald bercinta dengan perempuan itu, Veronica. Yang membuatnya merasa paling terhina adalah tatapan Veronica yang seakan mengejeknya.

Dia tahu dia tidak berhak meminta cerai, terutama dengan uang yang sudah di terima keluarganya. Jadi dia bekerja untuk mengembalikan sedikit demi sedikit. Tari berpikir, dia memiliki tempat untuk tidur dan makan secara gratis, jadi bisa mengurangi pengeluarannya. Sekarang hanya tinggal mencari satu pekerjaan lagi. Ya, dia mencari dua pekerjaan. Dia benar-benar ingin segera melunasi hutang dan tidak ingin berada dirumah itu lebih lama. Dia tidak ingin terus menyaksikan adegan panas dan mesra itu lagi. Sudah cukup.

Semua orang menatap Tari dengan tatapan beragam. Ada yang merasa iba, ada yang mengejeknya, bahkan ada yang tidak perduli. Tapi Tari tidak mau mengambil pusing dengan semua itu. Dia juga sudah berubah. Dia tidak lagi tersenyum dan menatap mereka dengan ramah. Hanya pada Anne dan Marissa saja. Karena sedari awal hanya mereka berdua yang perduli dan menjaganya.

"Nyonya. Apa nyonya sungguh-sungguh akan bekerja?" tanya Marissa malamnya. Tari yang sedang mengetik laptopnya di beranda kamarnya menghentikan kegiatannya.

"Hmm... Aku akan kerja."

"Jadi nona menipuku? Nona berkata nona ingin berjalan-jalan di kota, tapi justru mencari pekerjaan." tanya Melissa yang sudah bermuka masam. Tari menatapnya.

"Aku tidak menipumu. Aku memang ingin jalan-jalan mengenal kota ini. Tanpa berjalan-jalan pun aku sudah mendapatkan pekerjaan. Jadi aku tidak menipumu."

"Lalu kenapa nona tidak ingin berjalan-jalan di antar supir?"

Tari menghadap Marissa.

"Pertama, aku tidak akan puas menyaksikan keindahan seluruh kota dari dalam mobil. Jika menggunakan transportasi umum tentu berbeda. Yang kedua, aku ingin menghapal jalan menuju tempat kerjaku."

Marissa kembali cemberut. "Saya bisa di marahin tuan jika tuan tahu."

"Dia tidak perlu tahu. Lagipula dia tidak akan tahu. Kamu tahu betul apa aku baginya. Jadi dia tidak akan perduli." Tari kembali mengetik laptopnya.

"Apa nyonya baik-baik saja? Maksudku... Para pekerja disini. Mereka memperlakukan nyonya--"

"Aku tidak perduli pada mereka, Marissa." potong Tari dengan masih terus mengetik di laptopnya. "Biarkan saja mereka. Yang terpenting kamu dan Anne masih di sisiku."

"Tentu saja. Kami mengenal nyonya jauh lebih baik dari pada mereka."

"Karena itu. Kalian yang terpenting bagiku. Bukan mereka."

"Tapi... Apa anda benar-benar akan baik-baik saja? Saya khawatir."

Tari menatap Marissa dan tersenyum. Pelayan di depannya ini yang membuatnya bertahan dirumah itu. Dia dan Anne. Anne sudah seperti ibu baginya dan Marissa, teman ceritanya. Marissa selalu bergosip tentang pekerja lain dengannya. Jadi dia mengerti jika mereka mengkhawatirkannya.

"Aku baik-baik saja. Justru aku senang bisa bekerja. Aku tidak perlu menyaksikan semua hal yang menjijikkan itu dan aku juga tidak perlu memikirkan semua itu. Fokusku adalah bekerja mendapatkan uang untuk membayar hutangku. Win Win solution. Jadi aku baik-baik saja." Tari menepuk pelan lengan Marissa. Dari tatapannya, Tari tahu Marissa benar-benar khawatir padanya.

...***...

Tari berangkat kerja pagi-pagi sekali. Jika biasa dia sarapan jam setengah delapan, kini jam enam dia sudah di dapur dan menyiapkan sarapannya. Pelayan lain tentu panik melihat Tari menyiapkan sarapannya sendiri sementara koki belum datang. Terutama Anne dan Marissa. Tapi Tari tidak perduli dan tetap melakukannya.

Marissa telah memberinya secarik kertas berisi kendaraan umum apa saja dan rute mana. Tari menggunakan kereta bawah tanah yang lebih cepat. Dan benar saja, sebelum jam delapan dia sudah sampai di butik. Dia memperkenalkan dirinya pada karyawan lain lalu membersihkan toko. Karyawan lain juga mengajarinya beberapa hal.

"Apa sulit?" tanya Marisol, teman kerjanya saat istirahat siang.

"Tidak. Aku baik-baik saja."

"Wahh bagus kita memiliki teman kerja baru yang pintar, rajin dan cekatan." puji Olivia

"Aku tidak sebaik itu." ucap Tari.

"Oh gurl, tentu tidak. Tapi sangat baik. Kamu bahkan melakukan semuanya dihari pertama. Itu luar biasa." kta Olivia.

"Oliv! Berhentilah berbicara dengan menyumpah. Bisa saja Tari tidak terbiasa."

"Hei, nona. Beginilah cara bicaraku. Jangan mengajariku cara berbicara. Aku ini wanita kulit hitam yang normal." protes Olivia.

"Lalu memangnya kenapa kamu berkulit hitam. Aku tidak menyinggung rasmu. No tiene nada que ver con ello."

"Lihatlah gadis ini. Selalu memasukan bahasa alien itu."

"Alien katamu? Ini bahasa spanyol! española!"

"As*hol*?"

"Kau--"

"Oke, oke hentikan. Kalian tidak akan bertengkar di hari pertamaku kan? Please? Setidaknya sampai aku terbiasa."

"Oh gurl, kamu pasti akan terbiasa. Aku tidak meragukan itu."

"Okay... Yeah, sure." Tari tertawa kecil. "Apa kalian selalu seperti ini?"

"Ya, mereka selalu seperti itu." kata Cindy yang menjaga kasir. Olivia merupakan wanita berkulit hitam, Marisol berasal dari meksiko dan Cindy gadis kulit putih biasa. Dia terlihat nerd dengan kaca mata dan sikapnya yang pemalu. Tari mengangguk mengerti.

"Tari, kamu dibagian depan ya nanti." kata Marisol.

"Tapi aku rasa aku belum bisa. Aku baru masuk."

"Marisol benar. Wajahmu jauh lebih cantik dari kami semua. Jadi bagus jika kamu yang menyambut tamu."

"Jadi maksudmu aku tidak cantik?" tanya Marisol. Dia sudah berkacak pinggang.

"Always so sensitive." ucap Olivia sambil berlalu. Marisol hanya bergumam tidak jelas. Tari tersenyum geli. Tari merasa lega mereka tidak bertanya hal pribadi saat pertama dia masuk.

Tari merasa nyaman bekerja disana dan para pekerja lain juga sangat ramah dan baik. Tari mengatakan butuh pekerjaan lain. Marisol menawarinya pekerjaan di sebuah bar. Dia juga bekerja di sana. Tugasnya hanya meracik minuman merangkup pelayan. Awalnya Tari ragu, karena belum pernah meracik minuman keras sebelumnya. Terlebih dia tidak pernah minum minuman beralkohol sebelumnya. Tapi Marisol berkata di akan mengajarinya karena dia bertugas meracik minuman juga. Dia lebih senang ada teman yang dia kenal daripada anak baru. Akhirnya Tari setuju.

Pekerjaan di bar lebih melelahkan karena harus lebih aktif. Dia juga pulang cukup malam, jam dua belas malam yang mengharuskannya menggunakan taksi.

...***...

Tari sudah bekerja selama dua bulan. Dia bekerja dengan baik. Bahkan Renald pun tidak tahu sama sekali dia bekerja. Tari juga yakin meski dia tahu, dia tidak akan perduli.

Tari mengambil tas pundaknya lalu keluar kamar dan menuju ke dapur. Belum sampai ke dapur, Marissa tergopoh-gopoh mendatanginya.

"Nyonya..." Marissa terlihat khawatir.

"Ada apa? Apa ada masalah?"

"Tu-tuan Renald... Tuan Renald.."

Mendengar nama Renald Tari langsung merasa kesal. "Ada apa dengannya?"

"Sepertinya dia sakit."

"Lalu apa hubungannya denganku? Ada Alfred yang menjaganya. Tidak perlu di sampaikan kepadaku." Tari berjalan kembali. Marissa berlari mengejar dan berhenti tepat di depan Tari. Tari semakin kesal. "Ada apa denganmu sebenarnya?"

"Tuan Alfred sedang tidak ada. Dia.. Cuti selama dua minggu karena anaknya sakit parah."

Tari menatap Marissa tidak percaya. "Lalu aku harus apa? Bawa saja dia ke dokter atau panggil saja dokternya kemari. Apa susahnya?"

"Tapi.. Tapi kami tidak tahu apa tuan Renald benar-benar sakit."

Tari mengerutkan keningnya. "Apa maksudmu?"

"Sedari kemarin, tuan Renald tidak keluar kamar. Saat dia datang malam sebelumnya, keadaannya tidak terlihat bagus. Lalu kemarin tidak keluar kamar sampai saat ini." Marissa menundukkan kepalanya.

"Lalu kenapa tidak ada yang memeriksanya?"

"Ti-tidak ada yang berani masuk ke kamar tuan Renald, nyonya."

"Dimana Anne?"

"Madam Anne juga tidak ada. Baru kembali besok."

Tari mengusap wajahnya kasar. Paginya jadi buruk karena ini. Tari berjalan menuju kamar Renald. Awalnya dia ragu dan gugup. Tapi jika terus seperti itu, dia akan terlambat bekerja.

Tari memutar knop dan membuka pintunya sedikit lalu mengintip ke dalam. Kamar Renald gelap, gorden belum terbuka. Tari melihat ke arah tempat tidurnya. Dia melihat Renald sedang tidur disana. Terdengar erangan kecil dari Renald membuat Tari menutup kembali pintunya.

"Dia sakit atau sedang melakukan..." Tari menatap Marissa. "Apa aku harus melakukannya?"

Marissa hanya mengangguk. Begitu juga dua pelayan lainnya. Tari menghela nafas kasar lalu kembali membuka pintunya.

"Aku harus bekerja jadi aku harus menyelesaikan ini."

Tari masuk ke dalam kamar dan berjalan perlahan menuju tempat tidur. Dia melihat Renald tidur dengan selimut menutupi tubuhnya. Tari merasa gugup, sangat gugup.

"Ren.." panggilnya pelan. Tidak ada jawaban. "Ren?"

Tetap tidak ada jawaban. Tari menggoyang pelan tubuh Renald sambil memanggil namanya.

"Ren..." tapi Renald tetap tidak menjawab. Hanya terdengar erangan kecil. Tari meletakkan telapak tangannya di dahi Renald.

"Panas sekali..." gumamnya. Dia segera berjalan menuju Marissa. "Kamu tahu nomor telepon dokter pribadi Renald?"

"Tahu nyonya."

"Telpon sekarang. Dan kamu." Tari menunjuk satu pelayan lain. "Ambilkan aku air hangat dan kain bersih untuk mengompres tubuhnya."

"Baik nyonya"

Tari kembali masuk ke dalam kamar dan memeriksa Renald.

"Kenapa panas sekali?" Dia merentangkan tubuh Renald yang sedari tadi memiringkan tubuhnya. Tubuh Renald menggigil. Tari menutupi tubuhnya dengan selimut lalu membuka semua gorden agar matahari bisa masuk ke dalam. Tak lama datang satu pelayan membawa satu baskom kecil berisi air hangat beserta kain bersih. Tari meletakkan baskom itu di nakas dan langsung mengkompres kepala Renald. Dia mengelap pelan wajah dan leher Renald lalu meletakkan kain itu di dahinya.

"Dokter Stefan akan segera kemari nyonya." kata Marissa.

"Bagus."

Tari melihat jam tangannya. Sudah pukul tujuh pagi. Dia tidak akan sempat sarapan. Setidaknya sampai dokter itu datang, batin Tari.

Tak lama Renald terbangun. Dia terkejut melihat Tari di sampingnya.

"Sedang apa kamu disini?" tanyanya sambil menepis tangan Tari yang sedang menahan kain di dahi Renald.

"Aku juga tidak suka disini tapi aku harus disini. Kamu sakit dan tidak ada yang berani kemari karena temperamenmu." kata Tari dengan ekspresi datarnya.

"Lalu kamu berani?" Renald menatap tajam Tari. Meski dengan keadaan sakit, tatapannya masih sangat tajam.

"Demi kemanusiaan tentu. Aku tidak mau dituduh menelantarkanmu lalu kamu mati." Tari kembali memasang kain di dahi Renald.

"Bukannya kamu senang jika aku mati?" Renald kembali menepis kainnya.

"Oh itu hari paling bahagia dalam hidupku. Aku akan bebas dari suami sepertimu." Tari memberikan air kembali di kainnya karena Renald terus menepisnya.

"Lalu pergi. Jangan perduli denganku."

"Wahh Aku juga mau melakukan itu. Tapi setidaknya aku memiliki rasa kemanusiaan itu. Rasa kasihan itu. Hanya sampai doktermu datang. Jadi jangan mengeluh dan menepis kain ini. Ini sudah kesekian kalinya! Huh! Menyebalkan sekali! Sungguh merepotkan!" Tari meletakkan kain itu lagi di dahinya. Renald menatap Tari. Ya, dia menyadari perbedaan itu. Tari menjadi orang yang berbeda. Tari bahkan enggan menatap wajahnya

Tiga puluh menit kemudian dokter datang. Dokter itu memeriksa tubuh Renald. Bahkan mengambil darahnya untuk di cek di laboratorium.

"Kami masih harus menunggu hasil tes darah tapi dugaan saya, tuan terkena tipus dan juga kelelahan." kata dokter Stefan.

"Lalu apa sarannya dokter?" tanya Tari lebih dulu saat Renald juga akan bertanya.

"Saya sarankan untuk menginap di rumah sakit agar--"

"Tidak, tidak, tidak! Jangan rumah sakit. Aku tidak mau!" tolak Renald.

"Tapi tuan William. Keadaan anda butuh penanganan khusus agar cepat pulih."

"Lakukan saja disini jangan di rumah sakit. Dokter bisa memberi cairan infus disini."

Dokter Stefan menghela nafas. "Baiklah, jika itu yang tuan mau. Tapi harus ada yang merawat dan mengawasi tuan. Tuan tidak boleh terlambat makan dan minum obat. Apa anda bisa nyonya? Saya akan memberitahu kapan saja minum obat." dokter itu menatap Tari.

"Saya?" Tari menunjuk dirinya sendiri. Dokter Stefan mengangguk.

"Iya, anda. Anda istri tuan William jadi anda bisa mengawasinya dengan mudah."

"Tidak! Saya menolak dokter." ucap Renald.

"Saya juga menolak. Sepenuhnya." Tari ikut menolak. Dokter Stefan menatap Renald dan Tari secara bergantian.

"Kalau begitu anda harus ke rumah sakit. Saya akan menelpon ambulance."

"Ti-tidak. Saya tidak mau dokter. Cukup di rumah saja. Saya bisa menyewa jasa perawat."

"Alangkah lebih baiknya jika nyonya yang merawat."

"Saya sibuk bekerja dok, tidak akan sempat." tolak Tari. Dia tidak akan mau berdekatan lagi dengan Renald apalagi merawatnya. Dia belum gila.

"Kamu bekerja?" tanya Renald yang terlihat terkejut.

"Bukan urusanmu"

"Uhmmm... Bukankah kalian suami istri?" tanya dokter Stefan. Dia tahu Renald sudah menikah dan dia belum pernah melihat Tari sebelumnya terlebih Tari berani berada di dekat Renald karena dia tahu tidak ada pelayan yang berani dekat Renald kecuali Alfred. Jadi dia berpendapat Tari adalah istrinya. Tari dan Renald sama-sama tidak menjawab.

"Mari nyonya, biar saya jelaskan tentang obatnya."

Tari memelas. "Haruskah?" Tari dengan enggan mengikuti dokter itu keluar kamar. Kenapa harus aku?

...****...

Terpopuler

Comments

lovely

lovely

aduh ngos2an bacanya banyak yg gue skip 🥴

2023-01-23

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!