Telaga Berkabut

Telaga Berkabut

Menapak di tanah lain

Pagi buta, empat pemuda bersiap mengemasi barang-barang mereka. Titik berkumpul di rumah Herman, anak tunggal donator terbesar di kampus gajah Mada. Suara jeritan sang ibu terdengar meski ketiga temannya sudah menunggu di luar. Sosok wanita yang teramat menyayangi anak semata wayang itu seakan tidak rela melepaskan kepergiannya. Dia sampai berniat melepaskan high heels berukuran lima centi lalu melemparkan ke anaknya.

“Herman! Cepat kembalikan lagi semua yang engkau bawa itu seperti semula!” teriak bu Harun.

Hanya Herman yang dia miliki, selepas suaminya meninggal beberapa bulan yang lalu. Harun melotot menyita semua kartu kredit dan uang tunai di dalam dompetnya. Wanita muda itu bertolak pinggang, melotot melemparkan murkanya.

“Herman! Selangkah lagi engkau melangkahkan kaki, maka aku akan mati!” ancam Harun.

“Ibu, aku pergi bukan untuk bersenang-senang. Tugas kuliah menanti agar aku secepatnya lulus Sarjana di tahun depan. Aku berjanji langsung segera menghubungi mu setelah tiba disana” ucap Herman sambil mengusap tangan tangannya.

“Tidak, perasaan ibu tidak tenang melepaskan mu pergi kesana. Menurut informasi yang ibu dapat kalau di tempat itu terkenal dengan keangkerannya.”

“Ibu ayolah, semua temanku sudah menungguku di luar" bujuk Herman memelas.

Dengan berat hati, ibu Harun mengijinkannya. Dia hanya mengembalikan uang tunai ke dalam dompet Herman. Setelah memasukkan kembali semua perlengkapan di ke dalam bagasi mobil. Mereka berpamitan melambaikan tangan hingga pandangan ibu Harun tidak lagi melihat mereka.

Tiba-tiba laju mobil mereka berhenti secara mendadak melihat Sandika yang berdiri di tengah jalan sambil melambaikan tangan. Semula dia tidak ingin ikut pergi menjalankan tugas ini karena sudah pasrah tidak memiliki uang sepeserpun. Akan tetapi setelah mendapatkan uang dari hasil upah kerja serabutan hari, dia segera menyusul teman-temannya untuk bertekad meneruskan kembali kuliah agar bisa segera mencapai cita-citanya. Kehidupan Sandika sangat bertolak belakang dari Herman, dia berjuang sendiri untuk biaya dirinya karena sudah tidak mempunyai keluarga ataupun kerabat dekat.

“Hei Sandika, kenapa tidak sekalian saja kau berlari kencang ke arah mobil ini?” teriak Beben.

“Dasar gila! Engkau seharusnya tidak berdiri di tengah jalan seperti itu! Kau sudah bosan hidup?” ucap Arya.

“Maaf aku terlambat, ada banyak sekali urusan yang harus aku selesaikan” jawab Sandika sambil masuk ke dalam mobil.

Perjalanan panjang memakan waktu selama empat jam. Iringan musik yang kuat di tengah rasa lelah, suasana pepohonan dan perbukitan yang asri membuat semua itu sedikit terobati. Arya masih sibuk melihat tablet ponsel untuk mengukur jarak tempuh dan peta perjalanan serta kompas penunjuk arah, Tiba-tiba dia mengernyitkan dahi.

“Hei gais! Lihat deh! Kok kompas disini berubah-ubah ya!” ucap Arya.

“Ah sudahlah, tuh lihat di ujung jalan ada seorang warga yang berjalan” tunjuk Beben.

Herman menepikan kendaraannya, dia membuka kaca mobil lalu mengeluarkan kepalanya untuk bertanya kepada pria tersebut. Terasa angin berhembus kencang, berbagai suara hewan di sekitar dan penampakan sosok aneh di dekat pohon yang letaknya di dekat pria tersebut.

“Permisi pak. Apakah Perkampungan Telaga berkabut sudah dekat sini?”

Lelaki tua itu hanya menoleh. Sosok pandangan tajam dia hanya bergeming. Sisi lain pandangan melirik ke arah mobil. Dia hanya menggelengkan kepala, wajah amarah terlihat jelas bersama nafas yang menggebu. Sementara itu, Sandika memperhatikan pria yang sedang bersama Herman bukanlah manusia. Sandika memejamkan mata mengucapkan surah pendek lalu memperhatikan kembali sosok makhluk itu.

“Pak!” ucapnya menepuk pundaknya pelan.

Pria itu buru-buru meninggalkannya seolah langkah kilat menghilang di balik kabut yang mulai mengelilingi wilayah sekitar. Alangkah terkejutnya Herman mengetahui punggung si pria tadi terluka membusuk di dalam kulit penuh belatung yang menggeliat. Herman berlari masuk ke dalam mobil membanting pintu dengan keras lalu menutup kaca rapat-rapat. Di tengah mengemudi kendaraan, pikirannya kacau tidak tenang terdiam seribu bahasa dengan tangan masih bergetar.

“Kamu kenapa Her? Seperti orang yang habis melihat setan gitu. Apakah bapak tadi sudah memberi petunjuk jalan dengan jelas?” tanya Beni menyelidik.

“Hei Herman kenapa kau diam saja! hati-hati jangan terlalu kencang mengemudi!“ suara keras Arya mengagetkannya.

Herman tanpa sadar telah mengemudikan laju kendaraannya begitu kencang. Mengemudi kendaraan tidak seimbang di tengah jalan yang licin mengakibatkan dia membanting stir ke sebelah kanan sampai menabrak pohon besar. Hampir saja mobil mereka masuk ke dalam jurang jika tidak terhalang oleh pepohonan. Suara teriakan mereka dari dalam, mereka berusaha keluar dari mobil sambil menekan kepala yang penuh luka.

“Kamu kok nggak hati-hati sih Her! Padahal aku udah ngomel mengingatkan seperti emak lu!” ucap Arya melotot.

“Benar sekali! Aku belum mau mati! Aku harus menikah dengan si Siti tahun depan!” bentak Gama.

“Sudah, sekarang kita bawa masing-masing lalu segera mendirikan tenda sebelum petang” kata Sandika.

Mereka menyusuri hutan, berjalan selama berjam-jam tapi tidak Nampak satupun ada perkampungan atau Telaga berkabut. Arya menekan kepalanya lalu berhenti dengan posisi berjongkok. Tampak darah mengalir deras sampai dia tidak sadarkan diri.

Teman-teman yang melihatnya sangat terkejut, Sandika merobek ujung bajunya lalu membalut bentuk simpul ikatan menekan luka pada kepala Arya. Mereka membawa Arya meneruskan perjalanan dengan langkah gusar dan panik. Belum ada lahan atau posisi yang strategis untuk mendirikan tenda.

Langit mendung, suasana kabut putih perlahan awan mengeluarkan butir rintik air hujan. Menjelang petang di dalam hutan belantara tidak mengurungkan niat Sandika untuk menjalankan ibadah. Dia selalu membawa sajadah di dalam tasnya, pria itu mendongakkan kepala lalu menampung air hujan untuk mengambil air wudhu.

Sandika membentangkan sajadah di dekat pepohonan yang sedikit rimbun. Para teman-temannya itu menunggunya melaksanakan ibadah sambil menatap ke sekeliling. Salah satu sosok berbaju putih mengamati gerak-gerik mereka dari atas pohon. Tatapan mata terlalu tajam melihat Sandika, sosok lain pun muncul melihat para pria itu lalu mengikuti langkah salah satunya yang meninggalkan rombongan.

“Aku kebelet nih” ucap Beben menekan perutnya.

Dia berjongkok semak-semak sambil menatap sekitar. Setengah mati dia berusaha secepat mungkin menyelesaikan urusan sakit perutnya yang bergejolak itu. Dari tadi dia tidak tenang mendengar suara aneh dan hembusan nafas panas yang mengenai lehernya. Ben mencari daun lebar dan menuangkan air mineral di dalam botol yang sudah dia persiapkan kemudian bergegas berlari. Kakinya di tarik oleh sebuah tangan panjang berkuku, dia menjerit sambil menendang berusaha melepaskan.

“Arghh! Tolong!” teriak Ben.

“Herman, Gama kalian tunggu disini saja menjaga Arya. Biar aku saja yang melihat Ben” ucap Sandika berlari setelah selesai melaksanakan ibadah.

Tubuh Ben seperti terasa terkunci, kaki kirinya mengeras kesakitan tidak bisa di gerakkan. Sandika perlahan menghembuskan surah pendek kaki Sandika lalu menekan kuat kakinya. Perlahan rasa panas bercampur sakit yang dia rasa menghilang.

“Coba perlahan kau gerakkan kaki mu” ucap Sandika.

Terpopuler

Comments

IG: _anipri

IG: _anipri

jadi Sandika pria ya, kukira wanita. wkwkwk

2023-01-06

0

IG: _anipri

IG: _anipri

bukannya nyawa malah nikah yang dipikirin. wkwkwk

2023-01-06

0

IG: _anipri

IG: _anipri

ingat, ucapan adalah doa

2023-01-06

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!