Halang

“Bagaimana ini? aku sangat khawatir sekali dengan Gama.”

Beben tidak tenang melihat ke luar jendela meskipun wajahnya tersapu air hujan yang terbawa angin.

“Sebaiknya kita berdo’a semoga Gama di lindungi oleh Allah SWT” ucap Sandika.

Mereka menunggu pagi hingga tertidur dengan posisi duduk, bersandar maupun menelungkupkan badan. Seekor kunang-kunang terbang masuk ke dalam kamar mereka. Tanpa sengaja Beben menginjaknya hingga pada pagi hari hewan itu mati menempel pada tumit kaki.

“Hewan apa ini?” tanya Beben mengambilnya lalu memperlihatkan pada Arya.

“Ya ampun! Masa nggak kamu nggak tau, ini namanya kunang-kunang. Makanya kamu jangan tinggal di kota aja Ben. Sesekali jadi manusia goa selagi kamu berada disini” ucap Arya sambil tertawa.

“Huhhh, kau saja sana” jawabnya dengan menekuk wajah.

“Teman-teman, Hari ini aku mau ikut pergi bersama kalian.”

Herman sudah tampak rapi bersiap-siap dengan ransel yang berada di pundaknya .Dia sudah memutuskan untuk mendirikan tenda jika tidak menemukannya. Mereka pergi ke hutan tanpa di temani oleh pak Babat. Beliau sedang sibuk mengurus anaknya yang sakit.

Para mahasiswa itu pergi sambil membawa jimat dan garam. Kecuali Sandika yang meninggalkan benda itu di sudut kamar berbeda dengan Sandika yang tetap pada pendiriannya. Tanpa persetujuan dari di mbah, mereka pergi memasuki hutan.

“Anak-anak nakal itu tidak mendengarkan nasehat ku!’ ucap mbah Baron bernada tinggi.

“Sudah pak jangan marah-marah terus, ingat kalau bapak punya simpanan penyakit. Mereka adalah anak-anak berjiwa muda yang berani dengan tantangan” ucap Fatma tersenyum.

...----------------...

Dari pandangan sekilas hutan rimbun nan tropis terlihat sejuk dan nyaman untuk di jadikan objek wisata. Namun siapa yang menyangka bahwa hutan itu mempunyai cerita misteri sehingga menjadi rahasia umum warga sekitar. Para sekawan berhenti melirik garis terlarang yang terputus, ada jimat yang terjatuh. Mereka juga melihat di kejauhan semak belukar itu tampak rusak, ranting penyangga pohon yang biasanya di tutupi seperti baru di masuki orang.

“Teman-teman, aku rasa si Gama masuk kesini” ucap Beben.

Arya menahan gerakannya ketika dia menuju garis terlarang itu. Tapi dia menepis paksa berlari masuk tanpa memberi garis penanda jalan. Teman-temannya yang lain berteriak memanggil, mereka terpaksa menyusul nya. Arya memberi tanda memasang bekas sayatan pisau huruf X pada setiap batang pohon.

“Beben tunggu!” teriak Herman.

“Ben! Jangan bertindak gegabah!” jerit Sandika.

“Arghhhh!”

Mendengar jeritan Beben, maka Sandika, Herman dan Arya saling secepatnya berlari sambil berpencar ketika memasuki tiga arah cabang jalan yang berbeda.

Nafas memburu mendengar suara aneh dan penampakan sosok berbaju merah di atas pohon. Arya ketakutan, suara jeritannya terdengar oleh Beben. Mereka berlari sampai bertabrakan.

Brughh.

“Setan!” pekik Arya.

“Dimana setannya?” tanya Beben.

“Disana! Huhh aku takut sekali. Eh Ben, dasar kau selalu buat huru-hara! Kau pergi sendiri ke jalur terlarang tanpa bertanya pada kami terlebih dahulu” bentak Arya.

“Maafkan aku, tapi aku yakin sekali di Gama berada di tempat ini.”

Beben mengusap kakinya, ruam kemerahan pada kulit semakin merah. Saat melepaskan sepatu, dia sangat terkejut melihat banyak kunang-kunang mati di dalam. Dia segera membersihkan sepatunya, tapi karena tidak tahan menahan rasa gatal maka dia berjalan tanpa alas kaki.

“Aduh! kenapa semakin lama kaki ku ini sangat gatal!” ucap Beben.

“Kau mengeluh saja! Cepat kita harus segera mencari Sandika dan Herman.”

Mereka masuk ke sarang hantu, sosok-sosok mengintai menunggu hawa murni, darah dan daging segar sebagai santapan. Mereka menunggu salah satunya tergoda, di sisi lain Gumamtong menghampiri Rambe yang sibuk mengintai segala pergerakan mereka.

“Sekarang saja santap mereka, aku sudah tidak sabar lagi” ucap Rambe.

“Hei hantu yang penuh dengan hawa nafsu buas, engkau jangan pernah melupakan hal-hal batasan kita. Ingatlah pesan Murga ada benarnya. Mereka tidak akan brutal berbalik menyerang akan menghancurkan kita dengan amarah. Jika kita langsung menghabisi orang-orang maka kita juga akan celaka” Kata Gumamtong lalu pergi terbang meninggalkannya.

Senja datang mengabarkan malam, menerbangkan serpihan dedaunan kering yang masih basah dari sisa hutan semalam. Di dalam hutan yang gelap, mereka masih di incar dan di goda oleh sosok Rambe.

Pada malam hari, cahaya mata hantu lebih terang menyala menatap tajamnya. Saat akan menyalakan api, tiba-tiba bakaran padam tertiup angin. Sampai pada tiupan tiga kali, api yang tidak kunjung menyala itu di sambut suara lengkingan tawa menggema sangat kuat.

“Suara apa itu Ben?” tanya Arya.

“Aku tidak tau!”

“Ihihihhh” lengking tawa hantu Rambe menampakkan wujudnya.

Arya dan Beben menunjukkan jimat mereka ke arah atas langit lalu melempar garam. Mereka berlari pontang-panting tanpa tentu arah, sesekali terjatuh bahkan Beben sampai terinjak akar berduri. Dia mencabut paksa duri pada kakinya, kini kakinya terasa sakit, perih bercampur rasa gatal. Arya membantunya berlari, darah yang menetes itu hidup oleh Rambe. Di terbang mengibaskan kain selayar merahnya, wajah seakan memangsa mengeluarkan cakaran kuku tajam.

“Beben, awas!” jerit Arya.

Mereka terjatuh ke dalam jurang, wajah pucat pasih sekitar dahi penuh luka. Keduanya saling tertimpa, berusaha bangkit berdiri kembali berteriak minta tolong.

...----------------...

“Sandika! Sandika! Kemari lah” sosok Rambe menggangunya.

Pria itu menoleh melihat wujud sosok makhluk halus menyorot tajam. Sandika mengucapkkan istighfar lalu membacakan surah pendek. Sapuan angin terasa panas di tengkuknya, dia kembali melanjutkan perjalanan di terangi cahaya pematik kecil di tangan.

Serpihan cahaya kunang-kunang bertebaran mengiri perjalanannya. Sosok Murga terbang mengikuti berjarak sedikit lebih jauh. Sandika merasakan ada makhluk halus mengikuti, dia berhenti menoleh ke belakang. Seolah pria itu hafal sosok makhluk pembawa kunang-kunang yang selalu membantunya itu. Di terangi cahaya kuku setan di sepanjang jalan. Sandika berhenti di salah satu batang pohon lalu duduk mengeluarkan pianika nya. Dawai suara musik indah yang selalu sosok Murga tunggu akhirnya terdengar kembali. Dia mulai menampakkan wujudnya berjalan di samping kiri Sandika tanpa menoleh sedikitpun.

Sandika melihat sosok itu, walau sekujur bulu kuduknya merinding tapi dia tetap memainkan alat musiknya sambil memperhatikan wujudnya. Sosok hantu berambut panjang, gaun panjang menyeret tanah, wajah putih yang kini berhenti di salah satu pohon berjarak tiga meter darinya. Sandika perlahan menujunya, sedikit rasa merinding di abaikan memperhatikan sosok wajah hantu di hadapan.

Murga menyambut tatapannya itu, dia menebar senyuman lalu pergi menghilang di balik kegelapan. Rasa panas ternyata di rasa dengan suhu tubuh pria yang sudah mengganggu kehidupannya itu. Hidup di dua alam yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya kematian merenggut nyawanya secara sadis.

“Sandika” nama itu terpanggil di benaknya berkali-kali.

Terpopuler

Comments

👑Ria_rr🍁

👑Ria_rr🍁

iling we iling jangan jelalatan muluk

2023-01-16

0

IG: _anipri

IG: _anipri

sekalian cosplay jadi Tarzan Ben. wkwkwk

2023-01-14

0

IG: _anipri

IG: _anipri

Aminn!

2023-01-14

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!