...Aku akan selalu memandang kalian dengan tatapan penuh kebencian. Semua akan aku bunuh jika memberi bayangan kepalsuan. Ingatlah satu hal, penampakan ku ini akan menjadi momok ketakutan di mimpi buruk dan hidup yang kau jalani. Aku mengintai di Telaga berkabut bersama asa, dendam dan air mata....
...--Rambe—...
Keempat Mahasiswa itu berkeliling melihat sejarah di perkampungan. Pak Babat memperkenalkan berbagai tempat, letak garis batas hutan yang tidak boleh di lewati dan Telaga berkabut yang hanya boleh di kunjungi ketika pagi dan siang hari saja. Mereka membawa buku, alat tulis dan kamera sebagai bahan dokumentasi. Seharusnya hari ini ikut membantu para warga mencari anak yang di kabarkan hilang, tapi si mbah mengatakan untuk menunggu kabar tersebut.
Sejarah perkampungan desa berkabut.
Orang-orang masih meyakini adanya roh halus bergentayangan. Pada malam hari, seperti biasa mereka menyiapkan bakaran di depan rumah, sesekali mereka menabur garam bahkan ada juga yang menggantung jimat di depan pintu masuk dan pagar pada halaman. Mereka melewati rumah-rumah warga melihat bekas bakaran dengan pandangan penuh tanda tanya.
“Aku ingin mengatakan bahwa ini adalah perbuatan sirik” bisik Beben.
“Jaga ucapan mu!” ucap Gama.
Sandika berhenti mengikuti bayangan wanita menuju salah satu rumah kosong. Teman-temannya yang lain tidak sadar bahwa dia terpisah dari mereka. Saat pintu rumah kosong itu terbuka, Gulungan angin membanting kembali menutup pintu.
Hantu Gumantong penasaran akan sosok manusia yang membuat Rambe penuh murka, dia menggangu Sandika memainkan tipuan kecil berharap pria itu masuk di dalam perangkapnya. Baju kain kafan selayar hitam menjelma berubah menjadi putih. Sandika tertipu melihat sosok itu yang pernah membantunya di hutan.
“Sandika!” panggil suara asing.
Dia berbalik menjauh mencari gerombolan temannya, Sandika mengikuti berhenti melihat penampakan sedang menyorot mata mengerikan. Dia mengucapkan istighfar di dalam hati, sekujur bulu kuduk merinding lalu pria itu berlari mengingat letak terakhir kali terpisah dengan teman-temannya. Setelah berhasil menemukan mereka, dia mengatur nafas lalu berjongkok mengusap wajah.
“San, kamu dari mana? Pucat banget kamu” kata Arya.
“Aku hanya melihat rumah di bagian sana saja. Ayo kita lanjutkan perjalanan” jawab Sandika.
Meneruskan observasi menuju hutan, pak Babat memberi peringatan sebanyak tiga kali agar mereka jangan keluar dari batas garis terlarang. Rute jalan menuju Telaga berkabut masuk pada jalur kanan yang mengharuskan mereka jika kesana di mulai dari pagi hari. Gama merasakan seperti terpanggil ketika melihat sisi jalur kiri, sosok wanita yang sangat mirip sekali dengan Siti menebarkan senyum manis padanya.
“Gam! Kau lihat apa sih?” tanya Beben.
“Tuh ada cewe cantik banget!”
“Loh katanya cinta mati sama si Siti, lihat cewe cantik langsung lupa!”celetuk Beben menepuk pundaknya.
“Mana ada orang yang tinggal di hutan ini, mungkin kamu salah lihat!” ucap Arya menimpali.
“Anak-anak, Ini sudah memasuki waktu senja, kita harus segera pulang” ucap pak Babat.
...----------------...
Mbah Fatma sudah mempersiapkan makan malam, sosok wanita yang masih tekun mengurus segala kebutuhan rumah tanpa di bantu oleh pekerja sedikitpun. Dia tidak pernah mengeluh, si mbah menata hidangan sederhana itu sedemikian menarik. Makanan yang beralas daun pisang, terhidang lalapan, ikan segar dan nasi harum yang baru saja di angkat dari keroncong. Aroma masakan itu membuat mereka tidak sabar ingin menyantapnya.
Sebelum makan bersama, mereka menunggu mbah Baron dan Herman yang masih berbincang-bincang. Berselang waktu, tampak si mbah membantu Herman berjalan duduk di antara mereka, Sandika langsung berdiri ikut membantu perlahan menyiapkan minuman agar Herman tidak terlalu banyak bergerak.
“”Bagaimana luka mu Her?” tanya Sandika.
“Sudah jauh lebih baik, aku bahkan sudah bisa berjalan dan menikmati makanan dengan bebas kembali. Terimakasih aku ucapkan pada mbah dan kalian semua” jawab Herman tersenyum.
“Syukurlah, mari kita makan. Bismillahirohmanirohim” ucap mbah Baron.
Di malam terang rembulan, Sandika memainkan alunan suara musik harmonika untuk mengisi kekosongan jiwanya yang mulai tampak bimbang. Dia merindukan orang tuanya yang sudah tiada, setelah berkumpul dan bertemu si mbah. Seolah dia merasakan kehangatan keluarga baru yang sangat menyayangi dia dan teman-temannya. Murga ikut mendengar dawai indah kesukaan yang selalu dia tunggu dari pria itu.
Tiba-tiba suara kentungan meramaikan panggilan para warga keluar menuju pos siskamling. Sandika dan para teman-temannya berlari kesana melihat Gemi sudah di temukan. Wajah anak itu terlihat pucat, bibirnya terkelupas dan sekujur tubuhnya basah kuyup. Gemi kembali dengan utuh tanpa kurang satu apapun.
“Dimana anak itu di temukan pak?” tanya Beben.
“Kami mendengar suara tangisannya saat mencari kau bakar di hutan” ucap dua orang warga.
“Alhamdulillah, anak ku selamat!” ucap Ika sambil menangis.
Kawanan pria itu kembali ke rumah si mbah berjalan perlahan sambil menghirup udara pedesaan yang masih terasa segar di malam hari. Tapi tetap saja pandangan mereka tidak terlepas melihat kegiatan warga di depan halaman mereka yang seperti sedang melakukan sesuatu.
Di balik alam lain, dua pembicaraan serius saling menarik seorang anak manusia. Rambe sengaja menculiknya untuk memberikan kepada para warga untuk tidak melupakan kejadian berdarah di Telaga Berkabut. Seolah tempat itu terlupakan bahkan budaya sesajian menghilang di ganti dengan jimat dan benda pengusir roh halus.
Gumatong tidak andil dalam pertikaian itu, dia adalah sosok saudara kedua yang hanya menunggu hasil siapa pemenangnya. Dia suka memanfaatkan situasi, kini Gumatong menyimpan kata nama Sandika mendengar perdebatan pada keduanya.
“Apakah kau sudah mengabaikan tulang tengkorak di dalam sana?” tanya Rambe bernada tinggi.
“Tapi kak, engkau tidak boleh memisahkan anak dari ibunya. Kasihani lah dia, dia hanya anak kecil” ucap Murga.
“Kau memang lemah! Terlalu percaya dengan manusia yang sudah membunuh mu!” bentak Rambe.
“Kembali kan anak itu kak!”
Murga tidak memperdulikan Rambe yang sudah siap menghirup hawa murni anak manusia itu. Dia mengambil paksa membawa sampai ke permukaan air. Tepat di telaga berkabut, anak itu menangis menjerit ketakutan.
...----------------...
Mimpi Sandika
Berlari di dalam hutan, ada tiga sosok mengejar mengeluarkan suara-suara aneh memekik telinga. Sosok berwajah mengerikan terbang salah satunya mengeluarkan gigi taring menarik tubuhnya hingga terbanting. Sandika tetap berusaha untuk bangkit, dia bersembunyi diantara batang pohon yang tumbang. Sosok hantu lain yang mengikuti menyeringai menarik kakinya terbang hingga tubuhnya terluka terkena dahan dan ranting pohon.
“Argghh!” jeritnya.
Biji bola matanya terlepas di tarik sosok lain, kedua makhluk mengerikan itu menancapkan gigi taring di di lehernya. Teriakannya membangunkan teman-temannya, dia mengucapkan istighfar lalu mengusap wajah. Rasa sakit di dalam mimpi terasa hingga di alam sadarnya. Sandika memegang lehernya begitu perih dan kaku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
👑Ria_rr🍁
kapok, akibat mata keranjang tu😏
2023-01-16
0
luth
laki hidung belang
2023-01-09
0
luth
tewas kan!!! makanya jadi laki-laki jangan hidung belang!!
2023-01-09
0