Mendekat

Di dalam rumah yang tampak sepi itu, Harun meneteskan air mata. Dia menunda jadwal keberangkatan menuju luar kota untuk mengurus perusahaan. Kamar yang mewah itu acak-acakan, dia sangat merindukan keluarga kecilnya. Harun memeluk bingkai foto lama terlihat gambar kenangan bersama suami dan anaknya.

Entah mengapa hatinya hari ini tidak tenang, mata sembab tangisan tidak bisa berhenti berderai. Tisu basah sudah berserakan dimana-mana, dia menangis senggugukan lalu meraih ponsel.

Nomor Herman yang tidak bisa di hubungi membuat dia semakin gusar. Dia ingat sekali, anaknya itu akan memberi kabar ketika sudah sampai disana. Namun, Sudah melewati beberapa hari dia menunggu kabar anak semata- wayangnya itu.

“Bi Inah! Bi!” panggil Harun.

“Ya non?”

“Bi Inah, cepat panggil pak Denis untuk mempersiapkan mobil.”

Dia memutuskan untuk menyusul menuju wilayah tersebut. Persiapan berkemas membawa beberapa barang dan segala keperluan. Pada malam yang larut perjalanan panjang sesekali melihat google map sebagai petunjuk arah. Tiba-tiba koneksi internet pada layar terputus, pak Deni kebingungan ketika saat kendaraan berhenti pada persimpangan jalan.

“Non, tidak ada sinyal di daerah ini. Jalan mana yang harus kita pilih?” tanya pak Denis.

“Haduh! Coba bapak putar arah. Tadi saya lihat ada perumahan saat melewati jalan turun-turunan” ucap Harun.

“Baik non.”

Pak Denis berpikir bahwa dia tidak melihat ada rumah yang di katakan bu Harun. Sudah sekitar lima belas menit, Harun memperhatikan hanya terlihat barisan pepohonan. Cahaya menyorot pada persimpangan jalan yang tadi mereka lalu. Seolah mereka kembali ke titik awal sebelum berputar haluan. Harun mengernyitkan dahi, sekarang dia baru menyadari tempat yang di tuju terbukti sesuai dengan cerita yang beredar.

Pagi hari tidak seindah bukit cakrawala yang membentang luas semenarik mata memandang. Harun menekan kepalanya yang pusing, dia tidak bisa terlelap sekilas menatap jalan buntu. Mereka memutuskan untuk kembali. Dia semula tidak terlalu enggan percaya akan hal mistis kini menuju ke alamat yang pernah di berikan oleh salah satu pegawai perusahaan.

“Akhirnya bisa keluar dari wilayah ini. Aku sempat berpikir akan tersesat dan menjadi manusia jalanan” gumam Harun.

...----------------...

Tugas kampus terbengkalai, jumlah mereka berkurang dan kejadian demi kejadian menimpa setiap hari. Sandika, Herman, Arya dan Beben berdiskusi untuk mencari solusi terbaik atas semua masalah mereka. Hidup harus terus berjalan, sekolah tidak akan menunggu tugas yang tergantung atau para wisudawan menunda hasil prestasinya untuk kepentingan masalah pribadi seseorang.

“Langkah awal adalah menyelesaikan tugas observasi ini dalam tempo yang sesingkat-singkatnya kemudian setelah kita menemukan kabar dari Gama, baru lah kita segera kembali pulang” ucap Sandika.

“Tapi aku dengar dari si juru kuncen bahwa Gama sudah di ambil oleh penghuni ghaib di tempat itu” ujar Beben.

“Aku enggan mempercayai perkataannya!” tegas Sandika.

“Kalau menurut ku, aku setuju dengan yang engkau katakan tadi San. Tapi bagaimana kita menjalankan kembali tugas sedangkan pak Babat masih sibuk membantu si mbah dan warga lainnya” kata Herman.

“Aku akan menyampaikan hal ini kepada si mbah setelah kalian semua setuju dengan pendapatku.”

...----------------...

...Sandika, aku memanggil-manggil bayang mu di dalam pelupuk mata yang tidak lagi aku lihat semusim di persimpangan waktu. Arunika pernah berjanji jika aku bisa terbang lebih tinggi di dalam dua dunia setelah memaksakan wujud ini mendekati mu....

...Sosok hantu yang tidak pernah mengganggu warga dan sangat jarang memperlihatkan wujudnya itu kini mendekat pada seorang pria yang setiap harinya selalu di tunggu....

...-Murga-...

Mendung menyemai di kala keduanya kini saling bertatapan. Sandika melihat lagi sosok hantu pembawa kunang-kunang itu, dia tidak mengalihkan pandangan ketika si hantu siluman berbaju putih Murga semakin mendekat.

“Sandika” panggilan Murga.

Langkah mengikuti sosok penampakan menuju ke Telaga berkabut. Murga menggiring ke bebatuan raksasa, keduanya berhenti melayangkan tatapan tersirat manik mata Sandika memperhatikan sangat lama. Murga tersenyum, dia menunduk perlahan tangannya yang dingin dan pucat menyentuh tangan Sandika.

“Sandika, aku melihat Mu sebagai sosok yang berbeda. Bilakah masanya aku bisa kembali menjadi setengah manusia, aku tidak akan pernah melupakan kebahagiaan di hari ini” ucap Murga perlahan tersenyum.

Sosok pria itu hanya terdiam, dia merasakan sosok hantu itu tidak ingin melukai atau membelenggu dirinya. Mereka masih saling menggenggam sampai terdengar suara teriakan dari salah satu temannya. Sandika menoleh menjawab panggilan Arya, lalu sosok wanita ghaib tadi menarik tangan dan menghilang dalam sekejab saja.

“Oi, Sandika! Kau dimana?” teriak Arya kembali.

Arya melihatnya tiba-tiba hadir dari balik pohon rimbun kemudian dia menarik temannya itu agar menjauh dari pinggir Telaga. Mereka kembali ke rumah si mbah secepat kilat, Arya menarik paksa tangan Sandika bahkan sampai membiarkan beberapa alat tulisnya terjatuh karena sangat tergesa-gesa. Dari depan halaman rumah si mbah sudah banyak orang-orang yang datang. Bendera kuning terpasang. Daun pandan yang di iris dan berbagai perlengkapan untuk orang yang meninggal. Suara tangis mbah Fatma memeluk jasad mbah Baron.

“Innalilahi wa’innailaihi rojiun.”

Sandika mengusap punggung si mbah, dia ikuta berbela sungkawa atas kepergian mbah Baron. Rintik hujan menetes tidak bisa lagi di tutupi oleh para Mahasiswa yang berada di dekatnya. Rasa penyesalan mendalam menyalahkan diri mereka sendiri karena seolah kedatangan mereka yang membawa musibah di kampung itu. Seseorang yang di tetua kan di kampung primitif itu sudah tiada membuat para warga menjadi khawatir mengingat cara kepergiannya yang tragis.

Beberapa saat lalu selesai menemui si juru kuncen, pria tua yang tampak sehat di usia senjanya itu menghembuskan nafas terakhir dengan mata melotot dan tampak bekas cekikan pada lehernya. Banyak yang mengatakan bahwa si mbah terkena gangguan ghaib akibat menyalahi aturan dan syarat yang di katakan dari si juru kuncen. Ada lagi yang berpendapat bahwa si mbah mendapatkan serangan ghaib karena memaksa mengambil salah satu pelajar yang sudah tidak bisa di selamatkan lagi.

Mbah Fatma jatuh tidak sadarkan diri, keadaannya terlihat sangat kritis maka Sandika meminta bantuan para warga sekitar untuk membawanya ke balai kesehatan.

Sepeda angin untuk membawa si mbah melewati jalan berbatu hanya akan memperlambat waktu. Mereka beramai-ramai membawanya dengan tandu. Teman-teman Sandika yang lain ikut menemani sesekali membalas tatapan para warga tampak marah dengan mereka.

“Hey anak kota, aku sarankan secepatnya kalian angkat kaki dari kampung ini!” ucap pak Edi yang sudah tidak tahan menahan amarahnya.

“Sudah tahan diri mu! si juru kuncen ada di belakang kita” bisik pak Kam.

Para warga mempertanyakan di dalam benak mengapa pria bertopi blangkon itu muncul disana. Ada bakaran asap yang menyala pada wadah yang dia pegang di tangan kirinya.

Terpopuler

Comments

IG: _anipri

IG: _anipri

ku ikut berbela sungkawa ya kawan

2023-01-25

0

IG: _anipri

IG: _anipri

lah, Harun perempuan toh

2023-01-25

0

👑Ria_rr🍁

👑Ria_rr🍁

rupanya dia tukang merangkai kata² mutiara🤭

2023-01-18

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!