Gelap menjelang memaparkan rona jingga di sela suasana yang mencekam. Bercak kemerah-merahan itu masih terlihat samar di sela kabut putih di dalam hutan.
Aroma darah yang mengalir hangat pada tubuh manusia. Tercium oleh para makhluk yang mengintai membuntuti gerak gerak para pemuda tersebut. Sampai saat ini mereka belum menemukan telaga ataupun perkampungan yang seharusnya mereka tuju.
Seolah mereka masih berputar-putar di dalam hutan, karena hari semakin gelap maka Sandika meminta teman-temannya segera mendirikan tenda di dekat salah satu pohon yang sedikit rimbun.
“San, apa engkau yakin disini tempat yang cocok untuk kita bermalam?” tanya Beben.
“Aku tidak bisa memastikan disini aman. Tapi tidak ada lagi pilihan lain karena kita harus segera menyalakan api unggun untuk menghindari hewan liar di hutan” jawab Sandika.
“Baiklah kalau begitu kita harus secepatnya mendirikan tenda dan mencari kayu bakar” ucap Herman.
“Aku akan menyusul setelah mencari sinyal. Calon istri ku Siti pasti sangat khawatir karena sudah berjam-jam aku tidak memberinya kabar” kata Gama berjalan menjauh sambil mengangkat ponselnya.
“Huhh dasar! Aku doa’kan kau tidak jadi menikah dengannya!” celetuk Beben menyeringai.
“sudah-sudah jangan ribut! Biar aku saja yang membantu memasang tenda” ucap Sandika.
Beben mengangguk setuju, dia masih memasang posisi berjaga setelah di ganggu oleh makhluk halus. Kakinya terasa pegal sesekali tekan sendiri, dia menoleh ke arah Arya yang tampak sedang bercengkrama dengan seseorang di dekat pohon besar. Perlahan Beben mendatangi lalu menepuk pundaknya pelan.
“Kamu ngomong sama siapa?” tanya Beben penasaran.
Tidak ada seorangpun di depannya, Arya menunjuk ke sisi kanan lalu kembali bercengkrama tanpa memperdulikan dirinya. Wajah sangat serius, berselang beberapa menit berlalu dia pun menoleh ke arah Ben sambil tertawa.
“Ahahah! Kena kau!” Arya tertawa penuh kemenangan setelah berhasil menipu Beben.
Raut ekspresi amarah yang sudah bisa di tutupi lagi. Beben secara refleks memukul luka di kepala Arya begitu kuat hingga darah kembali bercucuran membasahi wajahnya.
“Argghh! Sakit! Tolong!” jerit Arya kesakitan.
Mendengar suara jeritan Arya, semua teman-temannya berlari pontang-panting mencarinya. Tapi setelah mengetahui penyebabnya merekapun mengabaikannya walau lukanya sudah tampak serius. Begitu pula dengan Sandika yang kembali mendirikan tenda.
“Semua ini salah mu!” ucap Arya menyeka darahnya sendiri.
“Bukan kah engkau yang mencari masalah? Aku pikir kamu sedang berbicara dengan setan tadi!” seru Beben.
Mereka mendirikan tiga tenda yang saling berhadapan dengan api unggun di tengah-tengahnya. Air panas, seduhan mie instan dan tali yang di ikat pada tiap-tiap pohon melingkar di lapisi sebuah lonceng sebagai sinyal jika ada hewan liar yang memasuki area tenda.
“Her, engkau sudah menabur garam di sekeliling tenda mu kan?” tanya Sandika.
“Belum, sepertinya tidak mungkin ada hewan melata atau ular yang berani masuk ke tenda ku yang mahal ini” ucap Herman begitu angkuh.
“Terserah mu saja. Eh dari tadi aku belum melihat Gama, pergi kemana dia?
“Ya benar, terakhir kali aku melihatnya ke arah sana” Arya menunjuk ke sisi utara.
Mereka pun segera berpencar mencari Gama dengan membawa obor. Sandika menyarankan agar tidak tersesat supaya memberi tanda pada setiap perjalanan. Baru beberapa mil berlalu, akibat tidak tahan dengan suasana hutan yang menyeramkan membuat Herman dan Beben berlari kocar-kacir menuju ke tenda. Begitupun Arya sedari tadi sudah menutup tendanya rapat-rapat hingga menggigil menekuk lututnya.
“Gama! Dimana kau?” teriak Sandika.
Suaranya menggema bersahutan, sorot mata merah menyala di balik semak belukar dan gelapnya malam sedang menatap dirinya. Hantu Rambe berbaju merah mengeluarkan cakaran terbang mengarah ke Sandika. Pria itu merasakan ada sesuatu yang akan menyerang, dia menepis cakaran kuku setan itu lalu berlari kencang bersembunyi di antara bebatuan.
“Ihihihhh” tawa hantu baju merah yang sudah tidak sabar merenggut darahnya.
“Rambe, apa yang sedang kau lakukan? Kita tidak bisa membunuh manusia begitu saja sebelum dia terbukti melakukan kesalahan” ucap Gumatong.
“Tapi aku melihat di waktu yang akan datang bahwa diantara kalian saudara ku akan terluka akibat pria itu!” bantah hantu Rambe melotot.
“Jangan kau lupakan asal mu pernah menjadi manusia” bisik Gumatong lalu menghilang.
Di sisi lain, hantu berbaju putih hanya melihat mereka hingga keduanya pergi meninggalkan pemuda itu. Sosok berambut panjang itu membuntuti Sandika, dia mengetahui apa yang pria itu cari. Hantu itu memberikan sebuah tanda jaket milik Gama yang dia letakkan di dahan pohon arah tempat dia berdiri.
“Sandika” panggilnya.
Sosok hantu itu menghilang, Sandika mendengar suaranya lalu melihat sebuah jaket yang dia kenal adalah milik Gama. Tepat beberapa jarak dari pohon, dia menemukan Gama sedang tertidur sambil memeluk sebuah kepala tengkorak.
“Gam bangun! Gama!” pekik Sandika tepat di telinganya.
“Apa? Aku sedang asik memeluk Siti!” ucapnya sambil tersenyum.
“Gama! Sadar!” teriak Sandika tanpa henti mengguncangkan tubuhnya.
Setelah benar-benar membuka mata, alangkah terkejutnya dia melihat kepala tengkorak yang berada di tangannya. Gama melemparkan benda itu lalu menarik Sandika berlari menjauh. Arah jalan yang berbeda dari tenda. Begitu erat tarikannya membuat mereka tersesat dan kehilangan bekas tanda menuju tenda.
“Astaga Gam! Tarikan kamu kencang banget. Aku sampai pontang-panting berlari tidak bisa menghentikan mu. Lihatlah, kini kita dua yang menghilang dari gerombolan” ucap Sandika.
“Maafkan aku! Aku kaget sekali!” jawabnya sambil mengatur nafas.
Dari balik pepohonan, manik mata Sandika menangkap sosok berbaju putih sedang melihatnya. Dia langsung menghilang menerbangkan angin menjatuhkan ranting pepohonan. Gama ketakutan setengah mati sampai dia memeluk Sandika. Sontak saja pria itu mendorong kuat lalu meneruskan langkah berjalan meski pandangan kabur berusaha mencari jalan.
Sosok hantu berambut panjang itu tetap mengikuti arah mereka pergi. Dia meniup kuku-kuku setan sehingga perlahan Sandika mengetahui jalan mana yang harus dia pilih. Sedikit lagi mereka terjun bebas ke dalam jurang, Sandika mengetahui bantuan cahaya kunang-kunang itu berasal dari sosok makhluk ghaib yang sedang mengikutinya.
Dari kejauhan mereka mendengar suara percikan air, langkah mereka mendekat keduanya berlari menyibak dedaunan dan akar-akaran yang menutupi tempat itu.
Senyum lebar bertengger pada Gama dan Sandika, di malam yang larut mereka menemukan tempat yang di tuju. Tanpa rasa ragu lagi, Gama memastikan di hadapannya bukanlah sebuah ilusi belaka. Dia mendekat ke telaga, merasakan dinginnya air lalu membilas wajahnya sambil tersenyum.
“Akhirnya kita menemukan Telaga ini!” seru Gama.
“Ya, engkau benar. Tapi aku tidak melihat sama sekali ada perkampungan disini” ucap Sandika penuh curiga.
“Ah sudahlah, biarkan aku membersihkan diri setelah memeluk tengkorak tadi. Jangan pergi kemanapun sebelum aku selesai bro.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Jasmine
aroma darah
2025-03-09
0
IG: _anipri
Gama bikin ngakak
2023-01-06
0
IG: _anipri
Siti katanya😅
2023-01-06
0