Sandika dan lainnya melerai pertikaian itu. Mereka menarik paksa Herman tapi dia tetap enggan beranjak dari posisinya. Dia masih mengingat semua perlakuan pria arogan itu. Bahkan dengan rasa tidak tahu malu dirinya meminta uang di samping pernah mencuri uang milik Herman. Pria yang kikir itu masuk ke dalam rumah dengan membanting pintu.
“Dasar kau pria gila!” bentak Beben.
Mereka pun menuju ke hutan di sela pikiran Herman yang masih bercabang. Ingin rasanya dia kembali lagi ke kota dan mengambil uang untuk menutup mulut besar si Bondan.
Memasuki hutan yang sudah sedikit mereka hafal rutenya, sisa pelajar itu mendirikan tenda perkemahan di tengah hutan. Ada jimat yang menggantung terikat di tali yang tersambung dari pohon ke pohon. Si juru kuncen memberikan mereka petunjuk penjagaan diri sebelum kesana. Tapi tetap saja Sandika enggan menerima apapun yang di berikan olehnya.
“Aku rasa pilihan tempat ini cukup menarik, sangat dekat Telaga berhantu. Kenapa kita sekalian saja berkemah di pinggirnya?” tanya Beben menyipitkan mata melihat Sandika.
“Maafkan aku, kita terpaksa secepatnya mendirikan tenda dan mengisi lembar tugas lainnya” kata Sandika sibuk menyalakan api unggun.
Senja belum hadir tapi api sudah di nyalakan, aga bakaran asapnya sebagai tanda titik kumpul mereka kembali setelah berpencar di dalam hutan. Tinggal Sandika yang masih berada di sekitar tenda, dia melihat dari kejauhan wajah pucat Gama.
Dia berlari ke tempat itu, sosok Gama berjalan menuntun ke arah Telaga Berkabut. Pandangan Sandika tidak terlalu jelas melihat akibat tertutupi kabut. Suara panggilan menyebut nama Gama menggema bersahutan sampai terdengar sosok Rame.
“Manusia itu seolah menantang ku! Dia berani datang kesini seperti menantang ku!” Rambe terbang mengintai Sandika yang sedang berdiri mematung di dekat air.
Dia memejamkan mata, mengucapkan surah-surah pendek di dalam hati. Rasa panas membakar bagai air mendidih. Dari dalam air muncul Rambe terbang tepat di belakangnya, Sandika merasakan ada makhluk halus maka langsung meneruskan bacaan ayat pendek di dalam hati.
“Aku akan kembali” bisikan suara makhluk halus itu lalu menghilang.
Dia tidak menemukan tanda-tanda adanya Gama. Sandika melangkah mendekat ke dalam air lalu memasukkan tangannya. Air yang sangat dingin dan berlumut, dari bawah banyak mata ghaib mengintai melihatnya. Tangannya sedikit lagi di tarik jika Murga tidak segera hadir membuka kabut putih sebagai penuntun agar pria itu segera pergi.
“Cepat pergi lah kau Sandika, aku tidak bisa berlama-lama menahan mu disini” ucap Murga memperlihatkan diri di dekatnya.
Sandika masih bertahan memperhatikan sosok hantu pembawa kunang-kunang itu seolah membantunya. Dia melihat di belakang sosok tersebut muncul sosok lain yang bentuk wajahnya sangat mengerikan. Penampakan lain berlanjut dengan wujud yang berbeda-beda.
“Sandika! Cepat pergi!” gema suara teriakan Murga.
Menggunakan tangan mistisnya, dia memanjangkan tangan itu melebihi tiga meter lebih untuk mendorong Sandika menjauh dari Telaga. Semula Sandika berpikir bahwa sosok hantu yang menolongnya akan di serbu para makhluk lain, maka dia kembali berlari ingin menyelamatkannya.
“Aku merasakan tidak ada tanda-tanda kejahatan padanya. Dia sudah berkali-kali menolong ku” gumam Sandika.
“Pergi!” gema suara yang sudah tidak terdengar asing di telinganya.
Ketika dia sampai di Telaga berkabut, tidak terlihat sosok baju putih itu. Malah dia di serbu oleh para makhluk dengan tarikan dan cakaran mengenai kaki dan tangannya. Membacakan lafaz surah secara terputus-putus karena tidak tahan menahan rasa sakit. Seketika suara jeritan mereka lalu menghilang dengan kemunculan si juru kuncen.
Sepert biasa, wajahnya yang aneh melotot seolah menakut-nakuti orang, urat di mata terlihat jelas. Dia mengasapi keliling tubuh Sandika lalu menariknya pergi. Sempat dia berpikir bila di waktu tadi adalah akhir hidupnya berperang melawan setan dan menjadi mayat.
“Pak, sejujurnya aku tak suka benda-benda itu” ucap Sandika sambil berjalan mengikutinya dari belakang.
“Kau suka atau tidak tapi inilah kenyataan yang harus kau hadapi. Masih beruntung aku mencari kalian hari ini atas saran dari pak Babat. Dia mengatakan bahwa penyampaian amanah almarhum si mbah harus di sampaikan dalam menjaga para Mahasiswa itu sampai kembali pulang” ucap si juru kuncen.
“Si mbah begitu baik, bahkan setelah dia tiada juga masih bisa memikirkan kami” kata Sandika mengusap wajahnya.
...----------------...
Malam bertabur bintang, nyala api di tengah perkemahan tetap terasa tidak nyaman akan gangguan penampakan dan suara aneh di hutan. Arya, Herma dan Beben sudah masuk ke dalam tenda, mereka tampak kelelahan sampai mendengkur keras membuat Sandika tetap terjaga.
Dia mengeluarkan pianika lalu meniup suara tangga nada musik sesekali menatap langit. Sosok Murga mendengar di dekat pohon perkemahan. Tatapannya di sambut oleh Sandika, dia berhenti memainkan musik mengikuti langkah Murga.
Rambut panjang lurus sampai ke mata kaki, putih wajahnya di balut gaun putih bersih membentang menyeret tanah. Aroma tubuh wangi khas bunga, sosok hantu itu berhenti di balik batu raksasa yang bersebelahan dengan Telaga Berkabut.
“Siapa kau sebenarnya? Kenapa aku merasa sangat dekat dengan mu?” tanya Sandika.
Mendengar perkataan Sandika, angin yang terasa hampa dan tidak pernah di rasa itu seperti kembali hadir dalam dunianya. Sosok Murga tersenyum lebih mendekat lalu menunggu pria yang di hadapannya menggapai tangannya yang pucat pasih. Perlahan Sandika meraih tangannya, dia pun tersenyum mendongakkan wajah di terangi cahaya rembulan yang bersinar terang.
“Sandika, aku adalah penggalan mimpi mu yang tidak nyata. Aku tidak pernah berharap apapun bahkan sampai hari ini bertemu langsung dengan mu ini sebuah keberuntungan bagi ku” ucap Murga.
Dari kejauhan terdengar suara Rambe, sosok Murga membawa Sandika kembali ke perkemahannya lalu menghilang meninggalkan kabut putih. Rambe memanggil Murga menuju ke lembah berhantu di dekat tepi Telaga Berkabut.
“Murga! Kau tidak mendengar perkataan ku?” Rambe memekik keras.
“Kakak, ijinkan aku melihat wajahnya yang teduh, dia bukan sosok manusia jahat yang seperti kakak bayangkan.”
“Murga! Aku tidak ingin kehilangan mu! kau adalah adik ku!”
“Dia tidak akan menyakiti ku, jangan ganggu dia kak! Percayalah pada ku.”
Murga terbang meninggalkannya, sosok Rambe menjerit mengeluarkan suara lengkingan mengerikan. Para warga yang mendengar langsung bersembunyi di bawah tempat tidur mereka, bahkan para penjaga pos secepatnya memukul kentungan berharap para warga waspada. Beberapa warga lain berbondong-bondong berkumpul gerakan posisi saling berjaga.
Jika ada si mbah pasti mereka sudah di beri aba-aba tentang langkah yang harus dia ambil demi ketentraman dan kenyamanan warga. Berbeda jika berharap dengan Bondan, mereka ingin mengatakan telah menyesal memilih pengganti ketua kampung sesuai saran si juru kuncen.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Ada pelangi
ingin teriak 😫
2023-01-23
0
👑Ria_rr🍁
ada ya manusia berprilaku setan kaya Bondan
2023-01-18
0
Nafa
udah bersentuhan tangan terasa panas tapi si murga tetep memaksakan kehendaknya
2023-01-16
0