“Beben! Sandika! Arya!” teriak Herman.
Dia sudah bermandikan keringat, lukanya kembali terasa perih. Sayup-sayup dari kejauhan terlihat cahaya kecil bertebaran. Dia berlari mendekat melihat sosok berbaju putih terbang meninggalkannya. Dia memanggil Sandika yang tampak berdiri membelakangi. Tepukan mendarat di pundak, Sandika membalikkan tubuh lalu menariknya berjalan.
“Apa kau melihatnya? Sosok baju putih tadi?” tanya Herman.
“Ya, dia tidak mengganggu ku. Sebaiknya kita segera mencari yang lain dan mencari cara untuk keluar dari hutan ini” ucap Sandika.
Cahaya kunang-kunang masih membantu seolah memandu jalan hingga mereka sampai kembali di perbatasan sisi kiri daerah terlarang. Setelah itu hewan tersebut meredupkan cahaya sehingga Sandika kembali menghidupkan pematik miliknya.
“San, bagaimana dengan yang lain?” tanya Herman.
“Sebaiknya kita sekarang meminta bantuan warga.”
Di pos Siskamling, para warga memasang wajah penuh marah kepada keduanya. Terutama mbah Baron yang sudah mewanti-wanti tapi kembali lagi masalah besar menghadang dan semakin rumit. Beberapa orang menggelengkan kepala, ada yang melipat tangan di depan dadanya lalu bahkan ada pula sampai berpamitan untuk permisi pulang dengan si mbah.
“Kami angkat tangan mbah, biar ini menjadi pelajaran untuk mereka” ucap salah satu warga.
“Maafkan kami mbah” Sandika.
“Ya mbah, semua ini salah saya yang memaksakan kehendak. Tolong maafkan saya” kata Herman penuh rasa penyesalan.
“Ya sudah si mbah maafkan. Untuk para warga yang lain, si mbah tidak mau memaksa, kalian yang mau ikut boleh bergabung sekarang dengan mempersiapkan obor masing-masing” kata mbah Baron.
Mendengar orang yang di tetua kan di kampung itu, banyak para warga yang ikut membantu. Mereka mempersiapkan jimat dan gaman sebelum masuk ke dalam hutan ke garis wilayah terlarang. Si mbah memanggil juru kuncen hutan. Sosok pria tua memakai topi blankon lengkap dengan ikat pinggang yang terbuat dari sisik ular tergantung keris di sampingnya.
Dua wadah berisi kemenyan di letakkan di depan pintu masuk garis terlarang. Si juru kuncen membacakan mantra, terlihat bola matanya ke atas dan tubuhnya bergetar hebat. Orang-orang yang melihat ketakutan karena gerakan pria itu tidak kunjung berhenti. Para sosok hantu terbang mengitari menerbangkan kain kafan dengan tetesan darah.
Ini adalah hutan terlarang yang seharusnya di jauhi, sebab para hantu seolah sudah mengincar orang-orang yang yang masuk menerobos hutan secara paksa. Mereka sudah melakukan perbatasan tapi tetap saja orang-orang masih berani bahkan melakukan hal pemujaan atau perbuatan tercela lainnya. Rambe tidak terima akan kehadiran mereka, amarahnya menjadi-jadi melihat si pria blangkon mengucapkan mantra.
“Kami minta ijin masuk kesini wahai penghuni wilayah garis hutan terlarang” ucap si juru kuncen.
Dia memberikan sesajian di atas keranjang yang berisi bunga, kemenyan dan puntung rokok. Saat sosok Rambe akan menyerang mengeluarkan cakar, Gumamtong terbang menghalangi lalu membawanya pergi. Angin kencang yang sempat menggulung tempat itu hampir menyapu bersih para warga.
“Lepaskan aku!”
“Rambe, juru kunci itu sudah meminta ijin terlebih lagi dia adalah manusia penyampai segala hal yang di minta para warga. Jika kau membunuhnya maka kita tidak bisa mendapatkan keuntungan dan hawa murni manusia yang akan menjadi korban.”
Perlahan juru kunci dan para warga lain berjalan memasuki tempat itu, pandangan mata menyala mengintai di balik pepohonan yang gelap. Mereka sesekali terkejut gelagapan, gangguan aneh muncul terkadang kaki mereka seperti ada yang menarik terasa seperti kulit kasar, berbulu dan dingin.
“Aku sudah mati ketakutan, apa kita sebaiknya kita putar arah saja?” ucap salah satu warga.
Kaki gentar bergetar lemas sampai tidak sanggup berjalan lagi, mereka bagai makan buah simalakama tidak berani melanjutkan langkah atau kembali pulang. Mbah Baron, warga dan para Mahasiswa berpencar mencari Gama.
Mereka berteriak memanggil sampai memukul keuntungan berharap pria itu mendengar. Sudah berjam-jam mereka mencari, berputar-putar akan tetapi tidak menemukannya juga.
“Apa langkah selanjutnya yang akan kita ambil mbah?” ucap seorang warga.
“Sekarang kita ke Telaga” ajak si mbah.
Rute rawan bahaya menerjang, orang-orang menerangi sekitar Telaga melihat air yang tampak tenang. Tidak ada tanda-tanda jejak Gama atau hal mencurigakan lain. Hawa kantuk mulai menerjang, para warga dan lainnya mulai tampak kelelahan. Si mbah menggiring mereka kembali pulang, si juru kuncen berterimakasih pada penghuni wilayah itu yang memberikan ijin dan tidak mengganggu mereka.
“Gama dimana kau?’ gumam Beben.
“Sandika!” panggilan suara sosok makhluk menggema di udara.
Kali ini mereka tampak seperti berputus asa, tidak ada sekalipun tanda mengenai Gama. Di sela sujud panjang, Sandika memohon petunjuk kepada Yang Maha Kuasa agar di beri petunjuk mengenai Gama. Malam yang panjang menanti kabar, Beberapa orang yang tinggal disana masih tetap membantu mencarinya.
“San, tolong aku!” gema suara yang mirip dengan Gama.
...----------------...
“Bagaimana ini pak? Apakah sudah terlihat anak laki-laki itu?” tanya si mbah.
“Belum, tapi yang pasti dia berapa di sekitar Telaga.”
Si juru kuncen dan si mbah masih berdiskusi semalam suntuk memikirkan nasib Gama. Pria itu melepas topi blangkon lalu melakukan ritual terlihat mulutnya komat-kamit membaca mantra. Hal ini memang sangat lari dengan aqidah, hal ini sama saja meminta selain pada Tuhan Yang Maha Esa. Mereka sudah terjebak di dalam kepercayaan memanggil makhluk lain untuk meminta bantuan menggunakan mata setan.
Namun, bagaimana jika berbicara dengan ilmu kejawen? Seolah si juru kuncen menggabungkan ilmu kejawen dan ilmu sihir pemanggil setan untuk kepentingan pribadinya sebagai juru kunci menyambung media komunikasi kepada jin. Hal yang belum terangkum disini, masih perlu pendalaman mengasah lebih dalam mengenai keanehan dan seluk beluk manusia yang menggunakan berbagai cara di dalam kesesatan.
Si juru kuncen membaca mantra, dia mengasapi sebutir telur di atas bakaran api arang yang sudah di tauri kemenyan. Tujuh kali putaran, dia melotot setengah kerasukan terlihat gerakannya yang aneh mengerikan. Hampir saja si mbah akan mengguncangkan tubuhnya, namun ketika melihat dia kembali normal maka dia kembali mengamati gerakan si mbak dengan seksama.
Telur tadi di pecahkan di atas wadah kosong, terlihat isinya penuh dengan cacing, belatung bahkan tumpukan lintah. Si mbah terkejut sampai gerakan tangannya refleks membuang isi wadah mengerikan itu. Kini perasaan cemas melanda, di dalam pikirannya sudah tidak menentu membayangkan hal yang terjadi.
“Nasib buruk telah menimpa anak itu, dia terjebak selamanya disana” ucap si juru kuncen.
“Apa dia sudah tidak bisa di selamatkan lagi? Kasian anak itu pak.”
“Aku melihat bahkan tubuhnya sudah habis di lahap penghuni tempat itu. Tengkoraknya saja mustahil untuk di temukan”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
IG: _anipri
kasihan Gama
2023-01-21
0
IG: _anipri
musyrik
2023-01-21
0
IG: _anipri
ternyata makhluk halus tuh malah makin ganggu kalau dibikin jampi².
2023-01-21
0