Mengincar

“Kelakuan Bondan tidak bisa di maafkan, kita harus membalasnya!”

“Jangan Ben, yang terpenting sekarang kita harus segera membawa Herman terlebih dahulu” ucap Sandika.

Mereka mengangkat Herman menuju ke rumah mbah Baron. Sepanjang perjalanan tertinggal bekas darah Herman, para penghuni ghaib mendengus kegirangan merasakannya. Sementara darah yang sudah tercampur di Telaga menjadi sumber masalah baru untuknya.

“Mbah, tolong Herman mbah!” teriak Gama.

Sandika masuk ke dalam mencari keberadaan mereka, hanya ada mbah Fatma saja yang sedari tadi sibuk memasak. Di dalam rumah yang sederhana itu, si mbah menggunakan kayu bakar dan alat pemasak sederhana. Melihat kehadiran Sandika dengan raut wajah gusar, si mbah meletakkan alat masak di tangannya lalu berjalan mengikuti langkah Sandika.

"Ada apa dengan kalian? mengapa anak ini bisa terluka?" tanya si mbah.

“Semua ini perbuatan Bondan. Mbah, tolong beritahu kami jalan menuju ke puskesmas di daerah ini” ucap Sandika.

“Dasar anak itu!"

"Argghh!" rintih Herman kesakitan.

"Kalian harus menempuh jalan bermil-mil. Disini sangat jarang warga memiliki kendaraan atau ada angkutan umum yang melintas, hanya beberapa dari mereka saja yang memiliki sepeda roda dua.”

“Apa? Jika di biarkan pasti Herman akan mati kehabisan darah. Bagaimana ini teman-teman? ” jerit Beben.

“Bondan sudah menikamnya begitu pula temannya membantu kejahatannya itu. Kalau terjadi sesuatu pada Herman maka dia harus membayar semuanya” ucap Gama.

“Anak itu selalu mencari masalah. Nanti mbah akan memberitahunya pada mbah Baron” kata si mbah Fatma.

“Mbah, bisa kah mbah meracik ramuan seperti yang mbah berikan untuk Arya? Seharusnya pagi ini kami pergi ke puskesmas untuk mengobati luka di kepalanya. Mengingat Arya yang cepat sekali sembuh sehingga ikut pergi ke Telaga” ucap Sandika.

“Kalian kesana tanpa ijin mbah sehingga mendapat musibah seperti ini. Tunggu beberapa menit, mbah akan menumbuk racikan bahan di dapur. Tekan lukanya dengan kain dan usahakan dia tetap sadar.”

Si mbah berjalan membungkuk menyiapkan ramuan di bantu oleh Sandika. Ada sebuah bahan yang tidak lengkap sehingga si mbah memintanya memasuki hutan untuk mencari akar atau daun yang dia maksud. Sandika berlari menggunakan sandal jepit dan sebuah pisau di tangannya, setiap jalan yang dia lalui di beri tanda agar dia tidak tersesat.

Rambe mencium aroma tubuhnya, melihat pria yang menjadi incarannya itu bersiap untuk dia bunuh. Meniup kabut pekat putih, udara dingin di sela pepohonan melambai kencang di udara. Sulur akar menjalan menarik kakinya, tubuhnya terbanting bahan yang telah dia temukan berhamburan. Ranting berjatuhan mengenai tubuhnya, angin menggulung menerbangkan dahan pohon menimpa kaki Sandika.

“Arggh!” jeritnya kesakitan.

Dia tidak bisa memindahkan dahan pohon yang berat itu, suara ringisan melihat kakinya yang terasa semakin sakit. Dari kejauhan suara aneh terdengar di sambut kumpalan kabut putih. Seolah hantu Rambe sudah bersiap merenggut nyawanya. Gema teriakan Sandika kembali saat melihat sosok wanita berpakaian hitam mengulurkan tangan panjang terbang ke arahnya.

“Arggh! Tolong!”

Murga terbang mengibas kabut, dia menerbangkan kain kafan putih miliknya membungkus tubuh Sandika melayang menuju tepi lintas. Amarah Rambe mengetahui pria itu tiba-tiba saja berhasil melarikan diri.

“Siapa yang sudah membantunya?” gumamnya mencari ke setiap sudut hutan.

Murga mengumpulkan dedaunan dan akar yang di cari oleh Sandika, sosok hantu itu secepatnya menghilang sebelum Sandika mengetahui keberadaannya. Di depannya terkumpul kembali bahan yang dia cari tadi di hutan. Di dalam hati penuh mengucapkan rasa syukur dan berterimakasih pada siapapun makhluk yang membantunya tadi.

“Wahai pria yang berbeda, suatu hari aku pasti bisa bertegur sapa dengan mu. Aku menantikan hari itu” ucap Murga memperhatikan kepergiaannya dari atas pohon.

...----------------...

Beben berlari menuju ke sawah yang letaknya tidak jauh dari rumah si mbah. Tampak si mbah sudah menuju arah pulang bersama para warga lain. Beben langsung mendekatinya dan menceritakan semua perlakuan Bondan dan teman-temannya. Si mbah melotot lalu mempercepat langkah untuk melihat keadaan Herman. Dia meminta tiga orang warga membawa Bondan dan kedua temannya untuk segera menemuinya.

“Bagaimana jika mereka menolaknya mbah?” tanya Kadi.

“Jika dia melawan ku maka aku yang akan kesana sendiri menyeretnya” kata si mbah penuh amarah.

Fatma menekan luka di perut Herman, dia menempelkan racikan ramuan pada lukanya lalu membalutnya dengan kain yang tipis. Herman sesekali menjerit kesakitan, seumur hidup baru kali ini dia mendapatkan pengobatan sederhana. Biasanya ibu Harun selalu memanjakannya bahkan jika dia mengalami luka dan sakit sekecil pun pasti langsung di rawat dengan penanganan yang sangat baik.

“Mbah, apakah Herman akan pulih? Ibunya pasti akan membunuh kami jika terjadi sesuatu pada anak tunggalnya ini” ucap Arya.

“Do’akan saja. Tusukan pisau tidak terlalu dalam sehingga obat ini cepat meresap” jawab Fatma.

Di dalam kamar, Bondan, Kiki dan Man sedang asyik tertawa. Banyak barang mewah yang mereka dapat dari dalam tas Herman. Suara mereka berhenti mendengar teriakan dan ketukan pintu dari luar. Man berjalan membuka pintu melihat kedatangan Kadi dan dua warga lain. Mereka mendorong Man lalu masuk mencari Bondan. Dia dan ketiga temannya di tarik paksa menuju rumah si mbah. Meski sempat melakukan perlawanan, Man membentak ketiganya dengan melayangkan perkataan yang mematahkan kesombongan pria itu.

“Hei pak tua, perlu engkau ingat bahwa aku adalah anak si mbah. Sedikit banyaknya dia pasti akan membela ku! Cepat kau minta maaf pada ku atas perbuatan mu ini!” bentak Bondan.

“Kau jangan besar kepala karena aku mengetahui kau hanya angkat saja! Perlu kau ingat, perbuatan mu itu sudah melanggar hukum! Cepat jalan sebelum aku menyeret mu dengan kawat berduri!” ucap Man membentak lalu mendorongnya agar lebih cepat berjalan.

Untuk memberi efek jera kepada si pelaku, si mbah memasukkan mereka ke dalam penjara selama satu bulan. Tidak ada sidang ataupun proses secara hukum lainnya. Mengetahui hukuman penjara yang dia dapat di samping tanda bukti barang curian maka masa sel di tambah menjadi lima tujuh bulan.

Bondan menangis bersujud di depan Fatma. Wanita itu mengusap rambut anaknya, dia ingin memeluk dan membawanya pulang. Namun mengingat kelakuannya yang selalu membuat keonaran di kampung membuatnya merasa menjadi orang tua yang gagal mendidiknya.

“Bapak dan ibu pamit pulang ya nak” ucap si mbah.

Petang kembali memperlihatkan suasana perkampungan yang sepi dengan berbagai suara hewan malam. Sandika duduk di samping rumah si mbah dengan memainkan pianika sesekali menatap langit. Suara yang di hasilkan merdu menggema terdengar oleh Murga hingga kuku-kuku setan bertebaran berkeliling di depannya. Sandika tersenyum melihat cahaya kunang-kunang kemudian meneruskan memainkan alat musik kesukaannya itu hingga salah satu temannya datang mengagetkannya dari belakang.

“Oi kenapa kamu senyum sendiri?” tanya Gama.

“Tidak apa-apa, aku teringat cahaya indah ini yang membantu kita di dalam hutan” jawabnya.

“Sebentar jangan kemana-mana, aku akan segera kembali” ucap Gama.

Terpopuler

Comments

IG: _anipri

IG: _anipri

pasti Sandika nih reinkarnasi Natsume. wkwkwk

2023-01-06

0

IG: _anipri

IG: _anipri

Sultan kan memang beda kawan

2023-01-06

0

IG: _anipri

IG: _anipri

baca adegan ini aku jadi ingat "Natsume Yuujinchou"

2023-01-06

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!