Engkau boleh mengatakan aku adalah sebuah kegelapan menelan kebahagiaan jiwa yang tenang. Boleh jadi setelah engkau membalas tatapan ku ini masa hari buruk akan datang mengganggu. Tapi tidak setelah bertemu sosok yang berbeda dari mu wahai Sandika.
...---Murga---...
Sosok hantu berbaju putih menggerai rambut panjang yang basah setelah dia basuh di Telaga tempat kesukaannya. Di bawah sinar rembulan meredup malam panjang ini, Murga menggiring kuku setan kembali ke sarangnya. Dia memikirkan sosok pria itu, mengintai kembali dimana letak pria yang dia temui di dalam hutan.
“Siapa gerangan engkau wahai pria yang sedang aku pikirkan?” suara Murga berbisik terbawa angin di udara.
Malam panjang bagi kelima pemuda yang sedang tidur beralas tikar. Nyamuk gajah hinggap di kulit mereka membuat gerakan saling menendang hingga Sandika memutuskan untuk pindah ke ruangan tengah. Sepanjang malam mereka mendengar berbagai suara aneh dari luar, terutama lengkingan suara kuntilanak di susul aungan serigala yang bersahutan.
“Ben, aku nggak bisa tidur nih! Serem banget suara itu!” bisik Herman.
“Loh kemana si Sandika?” tanya Gama.
Sementara Arya sudah tertidur pulas setelah di beri minuman ramuan dan obat pada luka di kepalanya dari mbah Fatma. Gama mencari Sandika yang sedang merebahkan tubuh seperti orang sedang melamun. Dia melambaikan tangan di depannya, melihat Gama yang sedang mengganggu lamunannya itu membuat Sandika bergerak duduk sambil menghela nafas panjang.
“Kenapa engkau pindah kesini?” tanya Gama.
“Aku tidak bisa tidur. Engkau sedari tadi menendang ku” kata Sandika.
“Maafkan aku San, terutama kelakuan ku yang meninggalkan mu di tepi hutan. Sejujurnya aku sudah tidak betah disini. Lihatlah, di tempat ini tidak ada sinyal. Siti pasti akan marah dan memutuskan ku” ucap Gama menekuk wajahnya.
“Sudah jangan di pikirkan. Aku selalu mendoakan engkau segera bersama si Siti. Kalau engkau mau besok aku akan meminta mbah Baron mencarikan bus untuk mengantar mu pulang” ucap Sandika.
“Tidak, Herman pasti akan membunuh ku. Semua biaya perjalanan dan tugas ini sampai selesai sudah dia yang menanggungnya. Ngomong-ngomong aku penasaran kenapa kunang-kunang itu seperti membantu kita.”
“Aku juga berpikir demikian. Mungkin saja hal itu disebut sebuah keberuntungan” jawab Sandika.
Mereka berdua mengobrol hingga terlelap, perlahan sayup-sayup Sandika membuka mata mendengarkan suara alarm sholat shubuh di layar ponselnya. Dia berjalan menuju sumur di belakang rumah si mbah. Dari salah satu pepohonan terdengar suara ranting berjatuhan bersama suara burung gagak mengitari dirinya.
Sorot mata merah Rambe mengintai, dia memberi tanda aroma tubuh Sandika melalui hewan setan itu. Murga mengetahui perbuatan yang di lakukan oleh Rambe. Setelah Rambe terbang menghilang maka dia pun menghujani tubuh Sandika dengan reruntuhan ranting dan dedaunan. Gangguan ghaib yang di rasakan Sandika membuat dia terhambat melaksanakan ibadah. Dia terpaksa harus membersihkan diri dan kembali mengambil air wudhu.
Fajar menjemput penyemangat jiwa dari lelah semalam, semilir udara sejuk di perkampungan yang masih asri dan terbebas dari polusi udara. Sandika dan teman-temannya melakukan olahraga di depan rumah si mbah dengan senyuman dan candaan. Tapi, seketika suasana itu berubah saat Bondan datang membawa beberapa warga ke rumah si mbah. Tampak hidungnya sudah di perban, Herman pun menyiapkan energi kembali untuk menghajarnya jika pria kasar itu kembali mencari masalah.
“Mbah Baron, mereka harus kita usir dari kampung ini!” teriak Bondan.
“Benar mbah, usir mereka!” teriak para warga.
Herman maju selangkah, dia sudah bersiap memberi pelajaran kepada pria provokator itu. Namun Sandika menahannya dengan pandangan ketidaksetujuan. Mbah Fatma keluar sambil membawa spatula, dia mengangkat benda itu ke atas lalu melotot mendekati Bondan.
“Sudah hentikan! Mereka akan berada di kampung ini untuk sementara waktu dan jangan ganggu anak-anak ini atau aku akan memberi perhitungan pada mu!” ucap Fatma.
“Apa engkau tidak dengar Bondan? Kalian sebaiknya bubar dan jangan cari perkara baru!” bentak mbah Baron.
“Tapi mbah! Kedatangan mereka pasti akan menimbulkan kekacauan!” ucap Bondan.
...----------------...
Kemenangan berhasil mengambil hati si pemilik rumah dan pemegang kendali atas perkampungan itu. Sandika dan keempat teman-temannya menuju ke Telaga. Udara dingin, di sekitar telaga di selimuti kabut putih berselip cahaya sinar matahari pagi. Herman mengurungkan niat untuk berenang disana, dia menarik kembali pelampung dan kaca mata hitamnya. Berbeda dengan Beben yang sudah terjun bebas masuk ke dalam air.
Dia berteriak minta tolong, Sandika pun buru-buru melompat membantu meraih tangannya. Begitu pun Gama yang ikut masuk membantu. Tapi ternyata hal itu hanya sebuah lelucon yang di buat oleh Beben agar para teman-temannya menikmati air yang sangat dingin di tempat itu.
“Ahahah! Akhirnya kalian percaya kalau aku akan tenggelam!” seru Beben.
“Huh dasar kau!” bentak Gama memukulnya.
Di bawah air, para hantu penunggu Telaga berkabut melihat gerak-gerik mereka. Salah satunya menunggu darah yang tumpah untuk mereka renggut dan di jadikan koleksi tumpukan tulang tengkorak di dasar air. Karena mereka merasakan air yang semakin dingin, satu persatu mereka menyelesaikan pemandiannya.
“Berenang di Telaga ini bagai mandi di dalam bongkahan es salju!” ucap Beben menggigil mengeringkan tubuhnya.
“Bukan kah engkau yang mempunyai ide gila tadi?” bentak Herman.
“Hei kalian jangan rebut! Kita harus menjaga sikap dan perkataan di tempat ini. Aku tidak mau jika kita mendapat masalah” ucap Sandika.
“Apakah engkau akan menyebutnya Hantu atau setan?“ tanya Gama meliriknya.
“Ya, kita tidak bisa memungkirinya. Setiap wilayah pasti ada penunggunya,aku berharap kita datang dan pulang dengan selamat.”
Dari balik pepohonan di ujung jalan menuju Telaga, Bondan beserta dua orang lainnya memperhatikan mereka. Langkah kecil Baron mencuri salah satu tas milik mereka berlari sambil tertawa. Tas ransel berwarna merah milik Herman. Seperti mendapatkan harta karun, Bondan dan teman-temannya tercengang melihat isi di dalamnya.
“Banyak sekali uangnya!” seru Kiki tersenyum.
“Cepat keluarkan semua barang-barang yang berharga dan buang tas itu!” perintah Bondan.
Mereka membagi rata hasil curian lalu kembali lagi ke Telaga berniat mengambil tas lainnya. Akan tetapi ketika mereka sampai , tidak tampak para rombongan disana. Dari arah belakang, Herman menendang kaki Bondan. Dia melipat kedua tangan dengan lemparan wajah marah padanya.
“Hei Baron sedang apa kalian disini? Apakah kau yang mencuri tas ku?” tanya Herman.
“Sialan! Kau sudah berani menyentuh dan menuduhku yang bukan-bukan.
Teman-teman, hajar dia!” perintah Bondan.
Herman di serang oleh Kiki dan Man, mereka membawa senjata tajam sehingga Sandika dan temannya yang lain kewalahan membantunya. Perut Herman tertusuk pisau lalu dia tergelincir masuk ke dalam Telaga. Suara jeritan mengerikan pun melengking di udara, Bondan dan kedua temannya langsung berlari ketakutan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
IG: _anipri
mau but kraby paty kah?
2023-01-06
0
IG: _anipri
masa hantu itu suka sama Sandika sih? kaya nggak logis aja gitu
2023-01-06
0
🌞🏖️Summer🌞🏖️
murga. tidak kah engkau hantu yang sedang menipu sandika?
2022-12-31
0