Sehitam asa

“Bagaimana ini? Sandika dan Gama belum juga kembali. Kepala ku kini semakin terasa sakit dan pusing” ucap Arya panik.

“Stthhh! Jangan menambah suasana semakin kacau! Sandika pasti akan kembali” bisik Beben menutup mulutnya.

Cahaya kuku setan masih bertebaran mengikuti kemanapun langkah Sandika pergi. Menyadari semua keanehan itu atas bantuan dari salah satu makhluk yang semula mengintainya. Sandika mengurungkan niat untuk membakarnya dengan bacaan ayat kursi. Sosok baju putih itu menghilang begitu pula cahaya kunang-kunang yang semula menerangi mereka.

“Gawat! Gelap sekali!” ucap Gama.

Suara kentungan dari kejauhan, bunyi ramai suara warga kampung menyorot cahaya obor ke arah mereka. Gama melambaikan tangan dia berpikir telah terlepas dari beban derita di malam itu, tapi ternyata para warga begitu marah kepada mereka hingga hampir menyeret keduanya secara kasar dan tidak manusiawi.

“Arggh!” jerit Gama merontah-rontah.

“Gama! Jangan melawan atau mereka melakukan hal lebih gila lagi” ucap Sandika.

Para warga membawa mereka menjauh dari Telaga. Sesampainya di tepi hutan, salah satu warga memberikan obor di tangan Sandika. Salah satu pria tua mendorong mereka untuk segera berjalan. Sandika menarik lengan Gama lalu melangkah pergi meninggalkan para warga. Saat jarak letak sudah sangat jauh, keduanya kembali memasuki hutan. Akan tetapi Gama memutar haluan merampas obor dan berlari kembali ke tepi lintas jalan.

“Gama! Apa yang engkau lakukan? Cepat berikan obor itu pada ku!” teriak Sandika.

Tanpa menghiraukan panggilan temannya itu, Gama terus berlari gelagapan hingga obor di tangannya pun padam. Dia tidak bisa melihat dengan jelas sampai tersandung sebuah batu yang hampir membentur kepalanya. Sandika mencari Gama kembali, dia bertekad pada malam itu bisa berkumpul kembali dengan semua teman-temannya. Sorot mata merah yang mengganggu, lemparan biji-bijian di selingi lengkingan suara tawa. Gama berteriak minta tolong, dia meringkik ketakutan.

“Sandika!” teriak Gama.

...----------------...

“Sepertinya dua anak tadi kembali memasuki hutan. Bagaimana ini mbah?” tanya Tedi.

“Biar aku beri pelajaran saja mereka.”

Bondan berjalan masuk ke dalam hutan, mbah Baron meminta Tedi menyusulnya agar jangan melakukan hal yang bukan-bukan dan memintanya agar segera membawa kedua pemuda tadi menghadap dirinya.

Gelagat ayunan kain kafan gaun selayar putih di lirik oleh Rambe. Dia mengeluarkan kembali kuku setan dan taring panjang, semua hal kekhawatiran Nampak nyata setelah melihat Murga tanpa henti mendekati manusia yang sudah dia wanti-wanti itu.

“Murga menjauh lah dari manusia itu!” teriak Rame.

Sosok hantu si rambut panjang itu meninggalkan kembali kunang-kunang sebelum pergi meninggalkan Sandika. Dia terbang mengikuti Rambe menuju ke sebuah tempat dimana mereka tinggal. Rame mengutuk manusia yang berani mendekati saudaranya. Dia pernah memiliki duka pahit mengenai rahasia sebuah cinta dan penghianatan semasa hidupnya dahulu. Rambe tidak ingin hal itu terulang kepada para saudaranya dan mendapatkan kutukan di telaga tempat bersemayam tulang tengkorak mereka.

“Murga! Cepat beritahu aku apa tujuan mu membantu pria itu?” tanya Rame mengeraskan suara keras menggelegar.

“Aku hanya kasihan dengannya saja. Kakak, aku melihat dia sebagai sosok pria yang berbeda” jawab Murga.

“Sekali lagi jika aku melihat kau bersamanya maka aku akan langsung membunuhnya!” ucap Rame melebarkan kain kafan hitam miliknya lalu menghilang.

...----------------...

“Sandika tunggu aku!” teriak Gama berhasil menemukannya.

"Kenapa kau tega seperti itu?"

"Maafkan aku Sandika" ucap Gama penuh rasa penyesalan.

Mereka berdua di bantu oleh kunang-kunang menemukan jalan menuju tenda. Begitu mereka sampai, dari arah belakang tenda Herman telah muncul dua orang warga yang tadi mereka temui di dekat telaga. Sorot mata tajam salah satu pria bertubuh gemuk mengepal tangan. Pria di sampingnya terlihat menghalangi gerakan si pria berotot itu sambil menggelengkan kepala.

“Hei anak muda, bukankah kami sudah meminta mu untuk pergi dari tempat ini?” bentak Bondan.

“”Kami hanya tidak ingin kalian celaka. Terutama bermalam di hutan, sebaiknya kalian ikut kami ke rumah mbah Baron” ajak Tedi.

“Tunggu apalagi? Cepat kemasi barang-barang kalian!” kembali Bondan membentak.

Mereka di giring menuju rumah mbah Baron, di sepanjang perjalanan sesekali suara aneh mengganggu. Bak angin segar melihat perkampungan seolah sudah bisa meneruskan langkah agar secepatnya bisa mengurus segala keperluan tugas mereka. Ketika memasuki tempat itu raut wajah mereka berubah melihat suasana kampung yang sepi bagai tidak berpenghuni.

“Kemana perginya semua orang?” tanya Herman.

“Jangan banyak tanya! Cepat jalan!” ucap Bondan.

Saat mereka sampai di rumah mbah Baron, seorang wanita tua berjalan membungkuk meletakkan sebuah piring di atas meja yang berisi potongan kue berwarna kuning. Kemudian dia dengan cepat kembali lagi membawa sebuah nampan yang berisi beberapa gelas. Sandika membantunya meletakkan di atas meja. Wanita tua itu mengusap punggung Sandika lalu menggiring duduk di sampingnya.

“Dia adalah istri ku fatma” ucap si mbah.

“Kenal mbak nama saya Sandika. Dia Gama, Arya, Beben dan Herman. Kami datang dari kota untuk menyelesaikan tugas praktek kuliah dalam jangka waktu satu bulan saja. Jika mbah berkenan, kami mohon ijin untuk menginap disini” ucap Sandika menyatukan kedua tangan di depan dadanya dengan sopan.

“Tidak bisa! Kalian harus segera pulang!” ucap si mbah.

“Bapak, sudah larut malam begini. Biarkan mereka menginap di rumah kita” ucap Fatma.

“Apa kalian tuli? Cepat pergi dari kampung ini!” ucap Bondan dengan nadanya yang tinggi.

Herman yang tidak tahan dengan sikap lelaki itu langsung meninju wajahnya. Cincin batu akik miliknya membuat hidung pria itu terluka. Perkelahian pun tidak bisa di elakkan, Sandika dan temannya yang lain berusaha memisahkan hingga si mbah menjungkir balikkan meja dengan penuh amarah.

"Kurang ajar kau!" balas Bondan.

“Cukup! Hentikan!” teriak si mbah.

Diskusi panjang, amarah yang masih tertahan serta pro dan kontra masih terlihat di depan teras rumah si mbah. Setelah si mbah memutuskan untuk bersedia membantu mereka, Bondan berpamitan pulang sambil melotot jarinya menunjuk ke arah Herman dan Sandika.

“Pasti kalian akan menyesal!” ucapnya lalu pergi.

Kelima pria itu membersihkan benda dan peralatan yang berantakan akibat ulah mereka. Tiba-tiba Arya menekan kepalanya lalu tidak sadarkan diri. Lukanya tampak serius, Fatma mengobatinya dengan ramuan tradisional. Dia membuka kain yang mengikat kepalanya, menabur serbuk tumbukan dedaunan lalu membalut luka dengan kain perca.

“Kalian beristirahatlah, besok bawa dia ke puskesmas” ucap Fatma.

“Terimakasih banyak mbah” kata Sandika.

Ukuran kamar yang terbilang cukup luas untuk sebuah rumah yang terbuat dari bambu. Sandika merapikan barang-barangnya lalu merebahkan tubuh di dekat jendela sambil memandang langit. Dia teringat akan sosok yang berkali-kali membantunya ketika di hutan. Membayangkan makhluk yang tidak terlalu menyeramkan baginya membuat dia penasaran akan wujud asli pembawa kunang-kunang tersebut. Sandika menutup mata berharap bisa bertemu dan mengucapkan terimakasih kepadanya.

Terpopuler

Comments

IG: _anipri

IG: _anipri

tak kira itu khodam Sandika, ternyata mungkin memang makhluk gaib yang ingin membantu Sandika karena kebaikan yang dia rasakan pada diri Sandika

2023-01-06

0

IG: _anipri

IG: _anipri

makanya jangan bertindak sendiri dan gegabah

2023-01-06

0

Sanggar seni

Sanggar seni

ngesad

2022-12-30

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!