Sosok yang lenyap

Harapan hari ini semoga lebih baik dari hari sebelumnya. Herman mendapatkan banyak pelajaran berharga memetik hikmah pelajaran hidup. Dia mulai melakukan olahraga ringan di samping halaman si mbah.

Melihat si mbah duduk di bangku panjang sedang memetik sayur dari batang, Herman membantu mengambil beberapa batang daun mengikuti cara gerakan si mbah.

"Tidak usah, biar si mbah saja"

"Tidak apa-apa mbah, saya juga sedang bersantai"

Herman menghidupkan api tungku bakaran. Dia sedikit sesak bahkan sampai terbatuk-batuk mengipas api agar tetap menyala. Mengangkat panci yang sudah tanak nasi dan sayuran yang matang.

...----------------...

Gama yang penasaran akan penampakan sosok wanita yang mirip dengan Siti di hutan. Pria itu seolah enggan memperdulikan larangan yang di berikan. Dia mengendap-endap masuk menerobos pembatas di sambut suara burung gagak terbang Mengerumuninya.

"Ahhh! hewan sialan!" umpatnya mengobrak-abrik semak yang menutupi jalan.

Di hadapannya muncul penampakan hantu berwajah hitam, keriput menggeliat belatung keluar dari rongga hidung. Karena terlalu terlalu terkejut, dia tergelincir jatuh ke jurang. Tangannya sempat berpegangan pada akar pohon besar. Suara teriakannya terdengar oleh hantu Rambe, peluang hantu itu sudah tidak sabar menikmati hawa murni manusia. Saat terbang menghampiri, dia melihat Gumantong sedang mengincar seseorang.

"Tolong! tolong!" teriak Gama berusaha mengerahkan tenaga agar bisa naik.

Dari atas, dia sudah di sambut sosok wanita yang mirip dengan Siti. Wajah bahagia Gama memeluk erat wanita itu. Dia membalas mengusap pelan punggung Gama sambil berbisik menggoda.

"Abang, abang tidak apa-apa?"

"Aku mencari mu, kenapa kau bisa ada disini?"

"Abang, sudah beberapa hari ini aku tersesat. Tubuh ku gerah sekali, mau kah abang menemani ku mandi?"

"Siti, kau kah itu?"

"Ya, anggap lah aku Siti yang engkau cinta" ucap sosok di balik hantu Gumantong.

Gama menggapai tangan si wanita cantik, terbuai dengan bujuk rayu dan kata-kata indah dari hantu Gumantong. Di tepi danau, Gama melepaskan pakaiannya, dia masuk ke dalam air mengikuti dorongan dari sosok wanita cantik yang mirip dengan Siti. Suara jeritan di dalam air yang tidak terdengar, lenyap bersama tubuhnya.

Gumantong membenamkan tulang tengkoraknya setelah puas menghirup hawa murni dan menikmati darah daging pria itu.

Hujan di hari itu kembali turun, langit mengabarkan cuaca buruk. Nyanyian lengkingan suara para hantu menggema di udara. Beberapa warga sering mendengarnya, ada yang menutup telinga lalu bersembunyi dibawah kolong tempat tidur mereka. Bahkan ada yang sampai demam tinggi ketakutan mendengar suara tersebut.

...----------------...

Sandika menuju ke sumur berniat mengambil air wudhu. Murga melihat dari pepohonan, sosok pemuda yang selalu dia tunggu di pergantian pagi dan petang. Sandika merasa ada yang mengawasinya, dia mempercepat niatnya lalu melaksanakan sholat di sepertiga malam secara khusyuk.

Di dalam tasbih dan zikirnya yang panjang, terlintas di pandangannya melihat sosok hantu berbaju putih tadi. Wajahnya masih samar tertutup oleh kabut putih. Sandika meneruskan zikir namun terhenti mendengar dari kejauhan suara Gama yang sedang minta tolong.

Kini tasbih berzikir itu benar-benar terhenti saat suara ketukan pintu mengagetkannya. Sandika berjalan membuka akan tetapi tidak ada satu orang pun yang datang. Dia kembali menutup pintu, suara ketukan kedua kalinya membuat dia membuka sambil mengucapkan Bismillah.

Muncul Gama menatapnya dengan wajah pucat dan datar. Sekujur tubuhnya basah kuyup, Tatapan mata seperti orang buta, pupil tidak bergerak meski Sandika menggerakkan tangan melambai di depannya.

“Gama, kau dari mana? Kenapa hujan-hujanan keluar tanpa memberitahu kami?” tanya Sandika.

“Siapa tamu yang hadir nak?” tanya mbah Fatma.

“Ini mbah, si Gama barus aja pulang”

Saat dia menoleh, Gama sudah tidak ada di depan pintu. Sandika melingak-linguk namun dia menghilang bagai di telan malam. Si mbah ikut melihat keluar rumah, dia menyuruh Sandika mengambil garam dan bekas bakaran api yang sudah di sediakan di dapur. Sandika berlari mengambilkannya, si mbah menuang sedikit garam ke bakaran lalu meletakkannya di depan pintu.

“Ayo cepat masuk, itu tadi pasti bukan si Gama” ucap si mbah.

Sandika terkejut melihat Gama tidak ada di kamar, dia membangunkan semua teman-temannya. Pada malam itu juga, mereka meminta ijin pada si mbah untuk mencari Gama. Herman tidak di ijinkan untuk ikut, dia minta tinggal di samping itu menjaga mbah Fatma yang tinggal sendiri di rumah.

Arya, beben dan Sandika keluar membawa obor menemui si mbah Baron yang berada di pos siskamling. Saat mendengar kabar Gama menghilang, si mbah dan para penjaga siskamling lain memutuskan untuk berpencar mencari dengan berbekal segala jimat dan bakaran garam yang mereka yakini para setan dan hantu tidak menyukainya.

“San, kenapa kau tidak membawa garam atau jimat ini?” tanya Beben.

“Tidak, cukuplah aku berlindung kepada Allah” ucap Sandika.

Hujan semakin deras, suara aneh mencekam menambah suasana menjadi sangat angker. Suara panggilan warga memanggil nama Gama. Mereka membakar garam saat memasuki hutan dan di tepi Telaga. Sedikit lagi Beben ikut tergoda akan penampakan sosok wanita cantik di sisi kiri garis terlarang hutan. Dia di sadarkan oleh Sandik ketika kakinya sudah satu langkah ke tempat itu.

“Ben, kau mau kemana? Tetap lihat petunjuk jalan yang benar!” ujar Sandika.

Hujan tidak kunjung reda, angin kencang dan petir membuat para warga memutuskan untuk menunda pencarian. Cahaya pada obor api yang padam membuat pandangan mereka sulit melewati kegelapan. Orang-orang mulai kembali ke rumah mereka masing-masing. Terkecuali Sandika, Beben dan Arya masih berada di tengah hutan.

“Aku masih ingin mencari Gama, dia adalah sobat terbaik ku” ucap Beben.

Mereka bertiga meneruskan langkah melawan badai walau menggigil kedinginan. Arya yang sudah tidak kuat lagi langsung lemas hampir tidak sadarkan diri. Beben dan Sandika membantunya tegak perlahan meneruskan perjalanan.

“Ben, lihat si Arya sudah mau pingsan. Apakah kita tetap melanjutkan pencarian ini?” tanya Sandika.

“Bagaimana jika kau saja yang bawa pulang si Arya” ucap beben.

“Kamu jangan gila! Di cuaca seperti ini kau seolah menantang maut!” ucap Sandika bersuara lantang.

Mereka pun pulang dengan raut wajah yang kecut. Mbah Fatma menyediakan air hangat lalu meminta mereka untuk tetap tenang. Begitu pula mbah Baron yang memberikan jimat baru agar mereka simpan sampai keluar dari perkampungan. Benang merah, hitam dan putih terlilit dengan simpul bundelan.

“Ikat ini di pinggang atau lengan kalian” kata mbah Baron.

“Terimakasih mbah.”

“Aku jadi penasaran kemana perginya si Gama! Atau jangan-jangan dia di bawa penghuni lain?” ucap Herman.

“Jangan bicara seperti itu!” bentak Beben.

“Aku ingat betul kalau dia sering mengigau menyebut nama siti yang lain” kata Arya.

“Si mbah sudah memperingatkan kalian agar berhati-hati. Suka atau tidak suka kalian harus mengikuti aturan dan tradisi di kampung ini demi keselamatan kalian sendiri.”

Terpopuler

Comments

👑Ria_rr🍁

👑Ria_rr🍁

alamak si makhluk tak kasat mata ngebet sama manusia sholeh

2023-01-16

0

ophelia🌬

ophelia🌬

lama up lempar sendal

2023-01-13

0

Geni

Geni

mbah fat mau makan masakannya juga dong🐱

2023-01-13

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!