Cerita waktu

“Kau sudah siap belum Man?” tanya Kiki melingak-linguk waspada.

“Sudah, tinggal sekali pijak saja dia udah jatuh ke lubang ini. Ahahah” jawab Kiki tertawa kencang.

“Sttzz, pelankan suara mu atau ada yang melihat kita!”

Mereka menyusun rencana di saat Bondan terlelap. Tepat di perbatasan hutan terlarang mereka memasang jebakan. Suara pekikan membuat mereka berlari sesekali melihat ke belakang memastikan sosok itu tidak mengikuti. Kaki Man tersangkut batang pohon yang tumbang, kulit koyak di paksa tetap berdiri lalu berlari kembali.

“Woy Ki! Tunggu aku!” teriak Man.

“Haahh, darah manusia” suara Rambe dengan dengusan menjilati sisa darah milik Man.

Mereka berhenti tepat di depan pos siskamling. Orang-orang yang melihat hanya melirik memperlihatkan wajah tidak senang. Di dalam benak mereka masing-masing pasti keduanya akan meminta uang pajak dan bertindak sewenang-wenang mengatasnamanakan perintan si Bondan. Semua orang hanya terdiam sampai Man membuka suara.

“Hei kalian, bantu aku mengobati luka ini! cepat!” ucap Man.

“Lalu cepat buatkan kami dua cangkir kopi panas. Huhh!” ucap Kiki dengan nafasnya yang masih tersengal-sengal.

Orang-orang saling menatap, mereka terpaksa menuruti permintaan dua pria muda yang tidak punya sopan santun itu.

...----------------...

“Herman! Anak ku! Ayo kita pulang” ucap Harun menitihkan air mata.

Sudah berhari-hari dia mencari anak kesayangannya itu. Tapi Herman menahan tangan sang ibu dan mengatakan bahwa dia tidak bisa kembali tanpa teman-temannya. Harunpun menuruti permintaannya untuk membawa semua temannya pulang.

“Tidak semua bu, Gama menghilang” ucap Herman.

“Apa yang terjadi dengannya? Makanya kalau ibu sudah wanti-wanti itu di dengarkan. Untung bukan kamu yang menghilang! Kamu senang ya buat ibu meninggal kalau mendengar berita buruk tentang kamu?”

“Maafkan aku bu” jawab Herman pelan.

Mereka menunggu di tepi hutan bersama pak Denis sedangkan dua body guard lain menjemput di pandu oleh pak Babat. Hari telah gelap, suara-suara aneh mulai bermunculan, bu Harun yang tampak trauma dengan wilayah itu langsung mengeluarkan benda bungkusan hitam. Dia meminta Herman jangan melepaskan benda itu sampai mereka sampai ke kota.

“Aku sudah mendapatkan benda yang mirip seperti ini dari si juru kuncen bu” ucap Herman.

“Pakai punya ibu saja.”

Pak Babat berhasih menemukan sisa temannya, tapi sepertinya Beben masih ragu untuk ikut pulang. Dia tetap berdiri seperti patung melihat ke belakang. Ada satu sahabatnya yang masih tertinggal di tempat itu.

“Ben, ayo cepat! Kita tidak punya banyak waktu” ajak Arya.

“Pak Babat, kami ucapkan terimakasih” ucap Sandika.

“Saya pamit pulang. Kalian hati-hati di jalan dan jangan lupa ikuti petunjuk jalan yang sudah saya beritahu” kata Babat.

“Pak Babat tunggu sebentar” panggil Harun.

Dia keluar dari dalam mobil lalu meletakkan sebuah amplop coklat ke tangannya. Babat membuka isinya, dia sangat terkejut sampai menolak pemberiannya itu. Puluhan lembar uang berwarna merah yang hampir memenuhi ruang di dalamnya.

“Maaf bu, saya tidak bisa menerimanya. Almarhum mbah Baron sudah memberi amanat pada saya untuk membantu mereka” ucap pak Babat.

Bu Harun tersenyum, pria baik itu membuat dia berjalan masuk mengambil sebuah amplop coklat lagi dan kartu namanya. Dia meletakkan di tangan kiri pak Babat sementara amplop coklat satunya lagi masih di tangan kanan.

“Karena ketulusan dan kebaikan bapak pada mereka terutama Herman anak saya, maka terimalah semua ini sebagai ucapan terimakasih saya. Jika bapak menolaknya maka saya akan sangat marah” ucap Harun.

“Terimakasih non, terimakasih banyak” ucap pak Babat.

Setelah perdebatan panjang untuk membujuk Beben, akhirnya mereka pun pulang. Perjalanan menuju kota terbilang memakan waktu berjam-jam. Sepanjang perjalanan mereka mencium aroma amis bercampur kemenyan.

“Ben, apa kau mencium sesuatu?” tanya Arya.

“Ya aku juga” ucap Beben.

“Sudah kita berdo’a saja di dalam hati” kata Sandika.

Arya, herman dan bu Harun tampak sudah tertidur pulas. Sepanjang perjalanan, mereka medengar suara aneh bersahutan. Semakin lama suara itu jelas terdengar, begitu juga pak Denis membuat dia tidak fokus megemudi. Tanpa sengaja dia menabrak seorang anak kecil yang menyebrang jalan. Rute jalan hutan yang belum sampai ke kota itu pun berhenti.

“Ada apa pak?” tanya Harun.

“Maaf bu, saya tidak sengaja menabrak anak kecil” ucap pak Denis.

Mereka semua keluar dari mobil untuk melihat anak tersebut. Akan tetapi mereka tidak menemukan anak itu, sekalipun darah bekas tabrakan. Herman melihat sosok lain terbang ke arah pepohonan, dia berjalan ke pohon itu lalu mengucapkan surah pendek di dalam hati. Penampakan anak kecil memakai gaun berwarna hitam tertawa cekikikan menatapnya. Di balik sosok jelmaan yang tidak lain adalah Gumamtong.

Tidak biasanya dia mengganggu para pelintas jalanan. Kejadian langka ini di saksikan oleh Murga yang memantau dari kejauhan. Dia bersiap menghalangi Gumamtong jika melakukan hal buruk pada Sandika. Mesin mobil yang tidak bisa menyala, ramai suara aneh mengganggu. Harun membuka layar ponsel untuk memanggil anggotanya agar berganti mobil namun sinyal terputus begitu saja.

“Bu, kita jalan kaki saja. Bukan kah jalan ke kota di depan sana? Nanti aku akan menggendong ibu” ucap Herman.

“Tidak! Kau jangan bercanda di tengah situasi sulit seperti ini!”

Murga tidak bisa membantu mereka, dia terbang lebih menjauh saat merasakan Sandika tidak henti mengucapkan ayat pendek pada Gumamtong. Harun mengambil jimat dari tangan Herman lalu melemparkannya ke jalanan. Seketika mesin menyala, mereka semua kembali masuk ke dalam mobil. Di dalam sana ada yang masih tertinggal, Sandika yang terlihat berdiri menghadap salah satu pohon.

“San, kau sedang apa?” tanya Arya.

“Aku sedang membaca do’a, sosok yang kita tabrak tadi sepertinya mau mengganggu mengikuti kita” jawab Sandika.

“Jangan buat aku jadi takut! Kita pulang saja.”

Sepanjang perjalanan yang tidak tenang merasakan gangguan dan penampakan. Hingga sampailah mereka memasuki kota. Seolah semua gangguan iitu tiba-tiba menghilang. Wajah bahagia menghiasi bu Harun dan lainnya. Dia meminta pak Denis berhenti di pusat perbelajaan. Mobil terparkir di bagian lantai dua, mereka menunggu bu Harun berbelanja. Ada dua body guard yang berjaganya di belakang begitu pula Herman yang mengikuti di sampingnya.

“Kenapa kita tidak langsung pulang saja bu?” tanya Herman.

“Teman-teman mu pasti haus dan lapar, terlebih lagi ibu mau membelikan Sandika beberapa kebutuhan pangan. Dia anak rantau yang sebatang kara, apakah kau tidak merasa keberatan?” tanya Harun.

Semula pria berhati dingin dan angkuh itu tidak pernah ikut merasakan hal keprihatinan hidup. Banyak hal pelajaran yang dia petik dari kehidupan di perkampungan. Herman menggelengkan kepala, dia setuju dengan ibunya. Selesai berbelanja, Harun membagikan masing-masing kantung plastik yang berisi makanan dan minuman. Mereka di antar satu-persatu ke rumah masing-masing.

Terpopuler

Comments

AD Daffa kodim1

AD Daffa kodim1

author favorit

2023-01-17

0

lala

lala

bagaimana kelanjutan istrinya pak Kam? masalahnya di biarin gitu aja?

2023-01-17

0

anan

anan

hadir🧞‍♀️

2023-01-17

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!