Menelusuri jejak misteri

Diam-diam dia masih mengamati sosok manusia yang membuatnya penasaran. Murga tidak pernah membayangkan jika benar-benar bisa berhadapan secara langsung dengan manusia yang membuat dirinya ingin melakukan kebaikan. Dia berencana suatu hari nanti ingin membawanya terbang mencapai langit-langit indah yang di penuhi dengan cahaya kunang-kunang. Di bawah bulan yang bersinar di tempat yang selalu dia tuju di dalam kesendirian.

...🍂🍂🍂...

Gama mengambil sebuah toples bekas yang berada di dapur kemudian berlari menuju ke luar. Sosok Murga meniup angin agar kepakan sayap kuku setan tidak masuk ke dalam toples. Gama tetap berusaha menangkap kunang-kunang itu meski terkadang sampai berkali-kali terjatuh. Dia ingin memberikannya kepada Siti. Akan tetapi sepertinya cahaya yang terlihat indah baginya itu tidak dia sadari adalah cahaya berasal dari sinar setan yang hidup di antara kegelapan dan kematian.

“San! Bantu aku menangkap kunang-kunang ini. Aku ingin memberikan pada Siti setelah pulang nanti” ucap Gama.

“Apakah engkau bisa memeliharanya sampai waktunya kita pulang? Di toples itu tidak ada sedikitpun udara yang masuk” kata Sandika.

“Baiklah kalau begitu aku akan melubangi dan menangkap kunang-kunang ini saat mendekati hari kita akan pulang.”

Karena sudah tidak tahan menahan rasa kantuk, Gama meninggalkannya sendirian di luar. Sepanjang malam Sandika memainkan pianika di temani Murga yang jaraknya sedikit jauh darinya. Sandika merasakan ada sosok yang mengintainya, dia melihat penampakan wujud gaun putih yang terbang di atas pohon.

“Sandika” gema suara wanita itu menyebut namanya.

Dia mengikuti arah sosok itu pergi, berbekal pematik di tangannya pria itu memasuki hutan hingga langkahnya berhenti di sebuah Telaga. Tampak kabut putih selalu menyelimuti di atasnya. Samar-samar pandangannya melihat sosok baju putih berambut panjang menatap dirinya dari tepi Telaga bagian kiri dekat di berdiri. Dia berjalan ke sisi bebatuan besar, Sandika mengikuti dari belakang lalu menatap wajahnya yang cantik namun begitu pucat.

“Oy! Sandika! Ngapain engkau malam-malam begini di Telaga sendirian? Ayo pulang!” teriak Beben.

“San, kamu nggak lagi kesurupan kan?” tanya Arya.

Sandika hanya menoleh ke arah mereka lalu membalas dengan lambaian tangan. Namun saat dia membalikkan tubuhnya, sosok wanita yang dia temui tadi menghilang. Beben dan Arya menariknya agar segera kembali ke rumah. Sandika masih menoleh memastikan kembali sosok wanita itu. Sesampainya di rumah, mereka berkumpul di dalam kamar membicarakan mengenai cerita dari si mbah yang Beben dengar dari mengenai hal mistis di perkampungan itu.

Beberapa jam sebelumnya

Nyamuk gajah berhasil menggigit Beben, dia menepuk wajahnya sendiri lalu terbangun menuju ke dapur. Akibat tidak bisa tidur karena gigitan nyamuk terasa sangat gatal, dia memutuskan menyeduh secangkir kopi panas. Tampak mbah Baron ikut masuk ke dapur lalu melihatnya dengan sayup mata setengah mengantuk.

“Mbah mau saya buatkan kopi?” tanya Beben.

“Ya buatkan saja si mbah setengah cangkir cukup satu sendok gula” ucap si mbah duduk di dekatnya.

“Mbah, besok kami sudah mulai menjalankan tugas kuliah. Tujuan pertama kami adalah Telaga dan meneliti sejarah perkampungan ini” ucap Beben.

“Terus terang kami melarang keras para pendatang ataupun mahasiswa lain untuk datang dan berlama-lama menginap disini. Banyak hal mistis dengan segala pantangan yang tidak semua orang bisa menjaganya. Akan tetapi karena kalian sudah memaksa, terlebih lagi kejadian yang menimpa Herman maka si mbah tidak bisa melarang lagi” ucap si mbah.

“Memangnya hal mistis apa yang mbah maksud?” tanya Beben sambil menuangkan air panas di dalam cangkir.

“Hantu di Telaga berkabut dan berbagai penampakan di hutan.”

Sontak Beben terkejut, tanpa sadar air panas menyiram jemarinya hingga dia menjerit kesakitan. Si mbah melotot melihat Beben lalu menarik tangannya ke dalam wadah yang berisi air dingin.

“ceroboh sekali kau” ucap si mbah.

“Perlu kau ingat, besok pak Babat pemandu jalan akan membimbing kalian menyusuri daerah kampung ini. Kalian harus kembali pulang sebelum petang karena para hantu itu bisa menyesatkan” nasehat si mbah kepadanya.

“Ya mbah, Terimakasih banyak.”

...----------------...

“Begitulah yang aku dengar dari si mbah, melihat Sandika tidak ada di kamar maka aku langsung membangunkan si Arya untuk menemani ku mencari mu” ucap Beben.

“Kenapa engkau ke Telaga di tengah malam begini?” tanya Arya.

“Aku hanya mencari angin saja. Sudah ayo kita istirahat, besok kita akan memulai aktivitas baru” ajak Sandika.

Pagi hari yang mendung, udara yang dingin menyambut pagi terselubung aura ghaib di perkampungan itu. Suara jeritan seorang wanita membuat para warga berkerumun di dekat rumah si mbah. Ika menangis memanggil nama Gemi yang menghilang di hutan.

“Tolong! Bantu kami mencari Gemi! Hiks, hiks” ucap Ika serak suara parau menangis pilu.

Darma suaminya masih berada di hutan mencarinya. Sandika dan teman-temannya yang lain memperhatikan lalu Beben mendekati dengan pandangan yang serius.

“Bu, kami akan membantu mencari anak ibu. Bagaimana ciri-cirinya?” tanya Beben.

“Anak laki-laki saya berumur delapan tahun. Terakhir kali dia bermain bersama teman-temannya memakai kaos berwarna hijau. Tolong temukan Gemi. Hiks” ucap Ika.

“Tenang, para warga sudah saya utus untuk kesana. Kalian para Mahasiswa pendatang belum hafal wilayah hutan dan daerah ini. Tunggu pak Babat datang sebagai pemandu jalan” kata mbah Baron.

Situasi yang rumit itu membuat keresahan para warga akan cerita kelam mengenai Telaga berkabut. Banyak yang mengatakan bahwa Gemi sudah sembunyikan oleh hantu arwah penasaran. Sambil menunggu pak Babat, mereka berpamitan pada Herman yang masih lemas di atas tempat tidur. Terlihat keadaannya sedikit membaik. Mbah Fatma benar-benar merawatnya dengan setulus hati, pagi ini herman sudah di suguhkan bubur hangat dan minuman ramuan herbal hangat darinya.

“Terimakasih banyak atas semua kebaikan si mbah kepada kami” ucap Sandika.

“Benar mbah, boleh kah kami menjadi cucu si mbah?” ucap Beben melirik sambil meliriknya.

“Ya silahkan saja, asal engkau tidak menyesal mempunyai paman seperti Bondan” kata si mbah.

Mendengar perkataan si mbah, Sandika, Arya dan Gama pun tertawa terbahak-bahak. Mereka membayangkan jika Beben dan Bondan menjadi satu keluarga yang saling mencakar atau bertengkar setiap waktu.

“Ben, apakah engkau sudah siap memanggil pria itu dengan sebutan paman? Ahahah” sindir Arya.

Beben hanya manyun cemberut lalu mengalihkan pandangan melihat Herman. Beberapa menit kemudian, pak Babat datang mengajak mereka pergi. Buku dan pulpen sudah siap di tangan mereka masing-masing, mereka berpamitan kepada si mbah lalu berjalan mengikuti pak Babat sambil memperhatikan aktivitas warga kampung.

“Bagaimana kabar anaknya ibu Ika? Aku kasihan dengannya” ucap Arya.

“Kita bisa mencarinya nanti saat sampai di hutan, yang terpenting kita jangan sampai terpisah dari gerombolan” kata Sandika.

“Jangan lupa pesan si mbah agar kita pulang sebelum petang” sambung Beben.

Terpopuler

Comments

Tim dunia lain

Tim dunia lain

ayo kita pergi saja tuan putri. aku akan membahagiakan mu.. asiikk

2023-01-08

0

kopi pahit

kopi pahit

up

2023-01-08

0

IG: _anipri

IG: _anipri

ayo lanjut dong Thor. seru nih cerita, aku suka!

2023-01-07

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!