Jalan berlumpur, terjal di tengah derasnya hujan lebat. Pak Denis mengerem mendadak sehingga hampir menabrak pohon yang tumbang di tengah jalan. Pandangan jarak mengemudi yang tidak jelas, dia menepikan kendaraan berharap sang majikan tidak memarahinya.
“Maafkan saya nyonya” ucapnya pelan.
“Lain kali hati-hati pak, saya tidak mau terjadi lagi sesuatu yang menimpa keluarga ini."
“Sekali lagi maafkan saya nyonya.”
“Ya, sekarang cepat kita cari jalan lain.”
“Tapi nyonya, hanya ini jalan satu-satunya kesana.”
Di dalam benak Harun berkecamuk, di dalam perjalan kembali ke Rumah Sakit dia melihat memikirkan lagi cara untuk mengobati Herman. Melepaskan gangguan belenggu setan, merupakan perjuangan yang teramat sulit.
...----------------...
Di tempat lain di rumah Beben, pria itu setiap hari mendapat gangguan. Lingkar kantung mata menghitam, setiap kali memejamkan mata selalu di serang makhluk sampai pada hari ini dia mengalami memar di wajahnya. Setelah kembali, Beben hanya sekali saja datang ke kampus untuk menyerahkan tugas kuliah kepada dosen pembimbing bersama teman-temannya.
Setelah itu dia cuti kuliah selama satu bulan lamanya. Dia menghubungi teman-temannya satu-persatu. Titik kumpul di sebuah kafetaria yang jaraknya dekat dengan kampus pertanian. Beben melambaikan tangan pada Arya dan Sandika, dia Melingak-linguk Herman yang tidak Nampak di antara mereka.
“Loh, kenapa Cuma kalian berdua saja? Herman mana?” tanya Beben.
“Tidak tau, aku sudah menghubunginya berkali-kali tapi nomornya tetap tidak aktif. Huffh, engkau pun sama saja, baru nongol sekarang” ujar Arya.
“Aku sedang ada masalah. Aku merasa penghuni di perkampungan itu masih membuntuti ku” jawab Beben.
“Ya, sejujurnya aku juga demikian! Lebih parahnya karena tidak berani tidur sendirian. Aku terpaksa tidur di samping nenek ku."
Mendengar perkataan Arya maka Sandika dan Beben pun tertawa terbahak-bahak.Mereka belum sempat menanyakan tentang Sandika. Pandangan hanya tertuju pada wanita berambut pendek berlari sambil menangis ke arah mereka. Beben berpura-pura memegang perutnya, dia takut menyampaikan tentang Gama pada wanita itu.
“Eh kamu mau kemana Ben?” tanya Arya.
“Anu, perut ku mules. Aku pamit ke belakang sebentar” jawabnya malah sambil memegang kepala.
Mereka semua tersenyum nyengir menaikkan sedikit bibir melihat Siti. Perempuan itu mengernyitkan dahi, nafasnya masih tersengal-sengal. Dia menunjukkan handphonenya, banyak sekali panggilan darinya yang tidak di angkat Gama. Hingga sampai detik ini, Siti juga tidak melihat pria itu di kosan.
“Kalian tau kemana perginya Gama? Bukankah tugas kuliah sudah selesai?” tanya Siti.
Tidak ada yang berani menjawab pertanyaannya. Arya dan Sandika menunduk, hal itu membuat Siti semakin gelisah. Dia mengguncangkan tubuh keduanya, tangisnya pecah di samping pikirannya yang tidak menentu memikirkan Gama.
“Siti, kami mohon maaf sebelumnya. Tapi berita ini memang tidak bisa di tutupi lagi” ucap Sandika.
“Apa maksud mu San?”
“Ya, kami sangat menyesal tidak bisa menyelamatkannya dan membawanya pulang” kata Arya bersunggut.
“Apa yang terjadi padanya? Cepat katakan!”
“Siti, tenangkan terlebih dahulu diri mu, aku yakin kalau Gama pasti bisa di selamatkan” Sandika menggiringnya supaya duduk di sampingnya.
Dia menceritakan semua yang terjadi di perkampungan itu, terutama di Telaga berkabut. Setelah mengetahuinya, Siti meminta alamat dan terus memaksa agar mereka memberikannya.
Pada hari itu juga, dia pergi bersama Sandik, Arya dan Beben. Air mata Siti tidak berhenti menetes, dia berusaha menopang tubuh dan menegakkan kaki. Rahasia akan penampakan sosok wanita yang sering di bicarakan oleh Gama itu mereka tutup rapat-rapat dari Siti. Namun, apa jadinya jika dia mengetahui sendiri dari kabar para warga?
“Sebelumnya kita harus melihat keadaaan Herman. Aku baru saja mendapat kabar dari bu Harun bahwa dia masuk Rumah sakit” ucap Sandika.
“Ya kalau begitu kita pergi kesana sekarang.”
Di depan pintu sudah ada dua body guard yang berjaga, sementara di dalam ruangan sudah berdiri dua suster dan seorang penjaga. Sandika dan lainnya berdiri diantara Herman, mereka memperhatikan wajah cekung, pucat tatapan kosong lurus ke depan. Sandika mengucapkan istighfar, dia membacakan ayat An-Nas di telinganya.
“Hentikan San” ucapnya pelan.
“Kenapa bisa begini Her?” Beben.
Belum terhitung satu hari dia berada disitu tapi keadaan semakin memburuk. Arya yang tidak tahan melihat keadaan Herman, berjalan keluar menahan tangisnya. Banyak pikiran yang timbul akan kaitan di perkampungan yang angker itu. Dia mengingat lagi kesalahan apa yang telah di perbuat oleh Herman sehingga menjadi seperti itu.
“Seingat ku kalau si Herman tidak pernah membicarakan penampakan atau hal ghaib lainnya” gumamnya.
“Arya, ayo kita pergi” ajak Beben.
“Ya sebentar, aku mau pamitan ke Herman.”
...----------------...
Mereka menuju kosan masing-masing untuk mengambil barang-barang dan segala keperluan. Berkumpul di depan halte bus jam empat tepat. Wajah-wajah kusam tidak semangat terlihat di wajah para pria itu. Hanya Sandika yang sedikit tersenyum, dia mengingat penampakan kunang-kunang yang selalu mendekatinya.
“San, ayo!” ajak Arya.
Mereka naik bus selama berjam-jam, di sisi lain Siti tidak tenang memperhatikan jalan. Kabut tebal mulai menutupi jalan, bus terpaksa berhenti karena jalanan yang curam bebatuan. Para penumpang beristirahat di pinggiran jalan. Siti tidak ikut keluar, dia menunggu bus melajukan kembali kendaraannya. Seluruh isi hati dan pikiran hanya ada nama Gama. Wanita itu meminta pada pak supir agar segera melanjutkan kembali perjalanan.
“Maaf non, melihat cuaca yang semakin ekstrim tampaknya bus akan berputar arah” ucap pak supir.
Jarak yang harus di tempuh menuju kampung itu sekitar lima belas menit dengan berjalan kaki. Karena terbilang cukup dekat maka para penumpang lain menyetujui bus berputar arah dan mereka melanjutkan perjalanan sendiri.
“Sini biar aku saja yang membawa tas mu” ucap Sandika meraih tas milik Siti.
“Terimakasih.”
Langkah kecil mereka di iringi hujan lebat dan cahaya kilat petir. Sementara orang-orang yang juga berjalan menuju kesana bagai lenyap di telan kabut putih. Mereka sedari tadi tidak menyadari bahwa para penumpang itu adalah penumpang ghaib yang sengaja ikut pulang setelah bersama mereka.
“Eh tunggu deh, aku baru sadar sedari tadi para penumpang wajahnya pucat semua. Bener nggak Ben?” ujar Arya.
“Ya aku juga melihat gelagat aneh mereka. Arggh! Lari!” Beben menunjuk ke arah belakang.
Penampakan sosok pria tua pembawa cangkul yang pernah mereka temui kembali menampakkan wujud. Arya menarik Siti dan Sandika berlari lalu ikut bersembunyi di salah satu pohon besar. Sosok pria itu sudah tidak tampak lagi, namun suara memekik di sekitar hutan membuat Siti ketakutan menutup kedua telinganya sambil menjerit.
“Arghh!”
“Siti! Tenang lah!” ucap Arya.
Mereka sudah basah kuyup, Sandika mengajak meneruskan langkah walau banyak gangguan menghadang di sepanjang perjalanan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
👑Ria_rr🍁
semangat up-nya kk thor
2023-02-15
0
Hanum Anindya
ralat kak, bukan ayat An Nas tapi surat An Nas kak, 😊🙏
2023-01-20
0
micika
untung emang si siti ketemu orang baik. shabat pacal nya yang bertanggung jawab ikut membantu
2023-01-20
0