Berlalunya semusim

Melewati detik yang bergulir, kesehatan si mbah malah semakin memburuk dan sakit-sakitan. Herman meminta ijin kepada teman-temannya untuk kembali ke kota untuk mengambil uang dan beberapa keperluan obat-obatan untuk membantu mbah Fatma.

Sementara di sisi lain, si juru kuncen menyampaikan hal penerus tetua kampung adalah anak angkat si mbah. Menimbang si Bondan masih berada di balik jeruji, maka mereka meminta ijin kepada mbah Fatma dan Herman agar mencabut gugatan dan tuntutan kepadanya.

“Tidak bisa segampang membalikkan telapak tangan setelah semua hal yang dia lakukan pada Herman!” bentak Beben.

“Hei pak tua, aku sudah sangat muak dengan gelagat mu yang sok mengatur itu! Sekarang engkau berbalik arah mengatur pria jahat itu bebas begitu saja!” bentak Arya.

Si juru kuncen melotot, sedikit lagi dia menyemburkan mantra berniat membungkam mulutnya. Akan tetapi Herman melerai pertikaian itu. Dia mengangguk setuju akan perkataan si juru kuncen. Kini bukan saatnya mementingkan rasa ego di tengah krisis kejadian besar yang terjadi. Menyadari semua ini harus segara di selesaikan, Herman menyampaikan agar secepatnya segera memproses Bondan.

“Memangnya apa hubungan si Bondan dengan pengganti ketua di kampung ini? dia saja tidak bisa jadi seroang yang berperan sebagai pengayom warga!” ujar pak Edi.

Beberapa pendapat warga lain menentang dan menyetujui perkataan itu. Mbah Fatma berjalan membungkuk meminta agar mereka tenang dan mendengarkan permintaannya. Seolah nafas sudah setengah terputus. Dia menyatukan kedua tangan di depan dada lalu berdiri di tengah-tengah mereka. Kata ucapan terimakasih yang berkali-kali dia ucapkan atas semua bantuan para warga kampung.

“Saya mohon agar bapak dan ibu setuju agar Bondan sebagai pengganti si mbah. Kita tidak bisa memiliki pilihan lain, anggap lah ini sebagai permintaan terakhir dari saya” ucap si mbah.

Nafasnya kembali semakin tersengal-sengal, dia tumbang kembali pingsan. Sandika memeriksa denyut nadi si mbah terasa sudah berhenti. Demi mengabulkan keinginan terakhir mbah Fatma, mereka semua terpaksa mengeluarkan Bondan pada hari itu juga dari penjara. Dia tidak berubah sedikitpun meskipun sudah menjalani hukuman. Topeng kejahatan di tutupi menyambut rasa bahagia di jemput pulang.

“Bondan, mbah Fatma sudah berpulang ke rahmatullah. Bahkan engkau jadi anak belum mengucapkan kata maaf padanya” ucap pak Edi.

“Apa? Ibu ku sudah meninggal? Hiks” Bondan hanya menepis sedikit air matanya yang menetes.

Anak durhaka itu mengucap syukur di dalam hati, dia sudah memikirkan cara untuk mendapatkan harta warisan dari orang tua angkatnya. Terlebih lagi mengetahui dia akan menjadi pengganti ketua kampung, sosok Bondan mengangkat dagunya lebih tinggi setelah tiba di perkampungan kembali.

Para pelayat yang datang disana banyak menyorot mata ketidak sukaan padanya begitupun Beben dan teman-temannya yang lain.

...----------------...

Bulan purnama penuh pada gerimis malam, Telaga berkabut putih mengeluarkan kepala dan tulang tengkorak di atas permukaan air. Para hantu siluman keluar terbang menunggu mangsa di dalam balutan gangguan dan godaan dalam berbagai cara apapun. Sosok Rambe, hantu terganas sudah tidak sabar menikmati hawa murni atau darah segar manusia.

“Semua ini di mulai oleh seorang manusia yang tidak tahan dengan hawa nafsunya. Ahahah, di samping itu mereka sudah berani masuk di batas wilayah yang tidak boleh terjamah” ucap Rambe lalu terbang mengeluarkan kuku tajamnya.

Jeritan seorang wanita sedang kesakitan minta tolong, dia memegang perut besarnya sambil menyeret jalan keluar pintu. Suaminya sudah keluar beberapa menit lalu, ketika wanita itu membuka pintu di sambut oleh seorang wanita tua yang memakai baju kebaya dengan tusuk konde ular yang terselip di sanggulnya. Dia membopong ke atas kasur lalu menutup pintu rapat-rapat.

“Bu, mari saya bantu. Saya dukun beranak yang di panggil oleh pak Kam” ucap wanita itu menyeringai.

Dia mengusap perut Partik, senyuman di sudut bibir menetes air liur yang tidak bisa terelakkan. Partik sudah setengah mati kesakitan namun tampak si wanita tua itu terus-menerus mengusap hingga mengeluarkan gigi taring runcing. Suara jeritan melihat sosok di hadapan berubah menjadi hantu siluman yang mengerikan. Suara teriakan minta tolong terbenam di dalam rasa sakitnya.

Bunyi decapan darah meremukkan tulang muda dari sosok bayi yang di renggut oleh si hantu siluman Rambe. Dia sangat puas menikmati sisa darah dari sela rahang sela kering yang terbuka lalu terbang menghilang menembus langit-langit kamar. Partik menangis pilu lalu menutup mata dengan kondisi tubuh yang mengenaskan. Suaminya yang baru saja tiba bersama dukun beranak kampung tampak terjatuh lemas melihat keadaan Partik.

Si dukun beranak menjerit lalu berlari meminta pertolongan. Keramaian pada malam itu menjadi keresahan bercampur ketakutan para warga yang melihatnya. Ada yang menyebutnya sebagai bencana, sosok makhluk memangsa yang tidak pernah lagi terdengar dan hadir selama bertahun-tahun kini kembali menampakkan wujud.

“Bagaimana ini? kita harus memukul kentungan dan memeriksa masing-masing jimat” ucap pak Kadi.

“Sebaiknya kita bagi tugas saja, biar aku yang meminta warga lain membantu pak pak Kam mengurus jasad istrinya” kata Tedi dengan wajah panik.

Gemetar para wanita yang memandikan jenazah Partik. Perutnya tidak berhenti mengalir darah segar meskipun waktu sudah melewati tengah hati. Kapan tebal sudah masuk untuk menutup di samping aroma anyir sangat menyengat.

Ustadz Musta meminta warga agar memaafkan segala kesalahan Partik semasa hidupnya dan mendo’akan semoga almarhumah di lapangkan alam kuburnya. Siraman taburan bunga dan air Al-kautsar,pak Kam menangis memeluk batu nisan Partik.

...----------------...

“Aku turut prihatin dengan musibah yang di alami oleh keluarga pak Kam. Aku mendengar bahwa bayinya di makan oleh sosok hantu siluman Telaga berkabut” kata Beben sambil berkemas memasukkan barang-barangnya.

“Husshh, aku enggan membahas tentang tempat berhantu itu. Kini yang terpenting kita harus pergi dari rumah almarhum si mbah sebelum Bondan mengusir kita” ujar Arya.

“Kita menginap saja di rumah warga lain. Hari ini adalah hari terakhir observasi, semoga kita bisa langsung pulang” kata Sandika menerangkan.

Bondan dengan angkuhnya hanya melipat kedua kaki dan tangan menunggu mereka keluar rumah. Tidak ada senyum dan tegur sapa yang terlintas saat satu-persatu menatapnya. Bondan melengos menunggu semua Mahasiswa itu memenuhi kewajibannya karena telah tinggal di rumahnya.

“Bondan, kami mengucapkan beribu terimakasih telah mengijinkan kami menjalankan tugas kuliah dan di beri tempat menginap di rumah si mbah” kata Sandika lalu mengulurkan tangan menunggu balasan jabatan tangannya.

“Ya. Tapi apakah kalian tidak melupakan sesuatu?” tanya Bondan.

“Apa maksud mu Bon?” Beben mendekatinya.

“Sudahlah jangan pura-pura tidak tau. Kalian harus membayar biaya selama satu bulan disini!” tekanan nada tinggi yang mengingatkan Herman saat dia di tikam Bonda waktu itu.

“Bondan! Kau sudah keterlaluan!” Herman mengepalkan tangan mendaratkan pukulan tepat di wajahnya.

Terpopuler

Comments

IG: _anipri

IG: _anipri

hmm, ada serangan kata

2023-01-25

0

Kelas Ribut

Kelas Ribut

next 😱

2023-01-15

0

Kacang 🟢hjiau rasa coklat

Kacang 🟢hjiau rasa coklat

╱╱┏╮╱╱╱╱╱╱╱╱╱╱
╱╱┃┃╱╱┳╱┓┳╭┛┳┓
▉━╯┗━╮┃╱┃┣┻╮┣╱
▉┈┈┈┈┃┻┛┛┻╱┗┗┛
▉╮┈┈┈┃▔▔▔▔▔▔▔▔
╱╰━━━╯

2023-01-15

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!