Pagi buta, empat pemuda bersiap mengemasi barang-barang mereka. Titik berkumpul di rumah Herman, anak tunggal donator terbesar di kampus gajah Mada. Suara jeritan sang ibu terdengar meski ketiga temannya sudah menunggu di luar. Sosok wanita yang teramat menyayangi anak semata wayang itu seakan tidak rela melepaskan kepergiannya. Dia sampai berniat melepaskan high heels berukuran lima centi lalu melemparkan ke anaknya.
“Herman! Cepat kembalikan lagi semua yang engkau bawa itu seperti semula!” teriak bu Harun.
Hanya Herman yang dia miliki, selepas suaminya meninggal beberapa bulan yang lalu. Harun melotot menyita semua kartu kredit dan uang tunai di dalam dompetnya. Wanita muda itu bertolak pinggang, melotot melemparkan murkanya.
“Herman! Selangkah lagi engkau melangkahkan kaki, maka aku akan mati!” ancam Harun.
“Ibu, aku pergi bukan untuk bersenang-senang. Tugas kuliah menanti agar aku secepatnya lulus Sarjana di tahun depan. Aku berjanji langsung segera menghubungi mu setelah tiba disana” ucap Herman sambil mengusap tangan tangannya.
“Tidak, perasaan ibu tidak tenang melepaskan mu pergi kesana. Menurut informasi yang ibu dapat kalau di tempat itu terkenal dengan keangkerannya.”
“Ibu ayolah, semua temanku sudah menungguku di luar" bujuk Herman memelas.
Dengan berat hati, ibu Harun mengijinkannya. Dia hanya mengembalikan uang tunai ke dalam dompet Herman. Setelah memasukkan kembali semua perlengkapan di ke dalam bagasi mobil. Mereka berpamitan melambaikan tangan hingga pandangan ibu Harun tidak lagi melihat mereka.
Tiba-tiba laju mobil mereka berhenti secara mendadak melihat Sandika yang berdiri di tengah jalan sambil melambaikan tangan. Semula dia tidak ingin ikut pergi menjalankan tugas ini karena sudah pasrah tidak memiliki uang sepeserpun. Akan tetapi setelah mendapatkan uang dari hasil upah kerja serabutan hari, dia segera menyusul teman-temannya untuk bertekad meneruskan kembali kuliah agar bisa segera mencapai cita-citanya. Kehidupan Sandika sangat bertolak belakang dari Herman, dia berjuang sendiri untuk biaya dirinya karena sudah tidak mempunyai keluarga ataupun kerabat dekat.
“Hei Sandika, kenapa tidak sekalian saja kau berlari kencang ke arah mobil ini?” teriak Beben.
“Dasar gila! Engkau seharusnya tidak berdiri di tengah jalan seperti itu! Kau sudah bosan hidup?” ucap Arya.
“Maaf aku terlambat, ada banyak sekali urusan yang harus aku selesaikan” jawab Sandika sambil masuk ke dalam mobil.
Perjalanan panjang memakan waktu selama empat jam. Iringan musik yang kuat di tengah rasa lelah, suasana pepohonan dan perbukitan yang asri membuat semua itu sedikit terobati. Arya masih sibuk melihat tablet ponsel untuk mengukur jarak tempuh dan peta perjalanan serta kompas penunjuk arah, Tiba-tiba dia mengernyitkan dahi.
“Hei gais! Lihat deh! Kok kompas disini berubah-ubah ya!” ucap Arya.
“Ah sudahlah, tuh lihat di ujung jalan ada seorang warga yang berjalan” tunjuk Beben.
Herman menepikan kendaraannya, dia membuka kaca mobil lalu mengeluarkan kepalanya untuk bertanya kepada pria tersebut. Terasa angin berhembus kencang, berbagai suara hewan di sekitar dan penampakan sosok aneh di dekat pohon yang letaknya di dekat pria tersebut.
“Permisi pak. Apakah Perkampungan Telaga berkabut sudah dekat sini?”
Lelaki tua itu hanya menoleh. Sosok pandangan tajam dia hanya bergeming. Sisi lain pandangan melirik ke arah mobil. Dia hanya menggelengkan kepala, wajah amarah terlihat jelas bersama nafas yang menggebu. Sementara itu, Sandika memperhatikan pria yang sedang bersama Herman bukanlah manusia. Sandika memejamkan mata mengucapkan surah pendek lalu memperhatikan kembali sosok makhluk itu.
“Pak!” ucapnya menepuk pundaknya pelan.
Pria itu buru-buru meninggalkannya seolah langkah kilat menghilang di balik kabut yang mulai mengelilingi wilayah sekitar. Alangkah terkejutnya Herman mengetahui punggung si pria tadi terluka membusuk di dalam kulit penuh belatung yang menggeliat. Herman berlari masuk ke dalam mobil membanting pintu dengan keras lalu menutup kaca rapat-rapat. Di tengah mengemudi kendaraan, pikirannya kacau tidak tenang terdiam seribu bahasa dengan tangan masih bergetar.
“Kamu kenapa Her? Seperti orang yang habis melihat setan gitu. Apakah bapak tadi sudah memberi petunjuk jalan dengan jelas?” tanya Beni menyelidik.
“Hei Herman kenapa kau diam saja! hati-hati jangan terlalu kencang mengemudi!“ suara keras Arya mengagetkannya.
Herman tanpa sadar telah mengemudikan laju kendaraannya begitu kencang. Mengemudi kendaraan tidak seimbang di tengah jalan yang licin mengakibatkan dia membanting stir ke sebelah kanan sampai menabrak pohon besar. Hampir saja mobil mereka masuk ke dalam jurang jika tidak terhalang oleh pepohonan. Suara teriakan mereka dari dalam, mereka berusaha keluar dari mobil sambil menekan kepala yang penuh luka.
“Kamu kok nggak hati-hati sih Her! Padahal aku udah ngomel mengingatkan seperti emak lu!” ucap Arya melotot.
“Benar sekali! Aku belum mau mati! Aku harus menikah dengan si Siti tahun depan!” bentak Gama.
“Sudah, sekarang kita bawa masing-masing lalu segera mendirikan tenda sebelum petang” kata Sandika.
Mereka menyusuri hutan, berjalan selama berjam-jam tapi tidak Nampak satupun ada perkampungan atau Telaga berkabut. Arya menekan kepalanya lalu berhenti dengan posisi berjongkok. Tampak darah mengalir deras sampai dia tidak sadarkan diri.
Teman-teman yang melihatnya sangat terkejut, Sandika merobek ujung bajunya lalu membalut bentuk simpul ikatan menekan luka pada kepala Arya. Mereka membawa Arya meneruskan perjalanan dengan langkah gusar dan panik. Belum ada lahan atau posisi yang strategis untuk mendirikan tenda.
Langit mendung, suasana kabut putih perlahan awan mengeluarkan butir rintik air hujan. Menjelang petang di dalam hutan belantara tidak mengurungkan niat Sandika untuk menjalankan ibadah. Dia selalu membawa sajadah di dalam tasnya, pria itu mendongakkan kepala lalu menampung air hujan untuk mengambil air wudhu.
Sandika membentangkan sajadah di dekat pepohonan yang sedikit rimbun. Para teman-temannya itu menunggunya melaksanakan ibadah sambil menatap ke sekeliling. Salah satu sosok berbaju putih mengamati gerak-gerik mereka dari atas pohon. Tatapan mata terlalu tajam melihat Sandika, sosok lain pun muncul melihat para pria itu lalu mengikuti langkah salah satunya yang meninggalkan rombongan.
“Aku kebelet nih” ucap Beben menekan perutnya.
Dia berjongkok semak-semak sambil menatap sekitar. Setengah mati dia berusaha secepat mungkin menyelesaikan urusan sakit perutnya yang bergejolak itu. Dari tadi dia tidak tenang mendengar suara aneh dan hembusan nafas panas yang mengenai lehernya. Ben mencari daun lebar dan menuangkan air mineral di dalam botol yang sudah dia persiapkan kemudian bergegas berlari. Kakinya di tarik oleh sebuah tangan panjang berkuku, dia menjerit sambil menendang berusaha melepaskan.
“Arghh! Tolong!” teriak Ben.
“Herman, Gama kalian tunggu disini saja menjaga Arya. Biar aku saja yang melihat Ben” ucap Sandika berlari setelah selesai melaksanakan ibadah.
Tubuh Ben seperti terasa terkunci, kaki kirinya mengeras kesakitan tidak bisa di gerakkan. Sandika perlahan menghembuskan surah pendek kaki Sandika lalu menekan kuat kakinya. Perlahan rasa panas bercampur sakit yang dia rasa menghilang.
“Coba perlahan kau gerakkan kaki mu” ucap Sandika.
Gelap menjelang memaparkan rona jingga di sela suasana yang mencekam. Bercak kemerah-merahan itu masih terlihat samar di sela kabut putih di dalam hutan.
Aroma darah yang mengalir hangat pada tubuh manusia. Tercium oleh para makhluk yang mengintai membuntuti gerak gerak para pemuda tersebut. Sampai saat ini mereka belum menemukan telaga ataupun perkampungan yang seharusnya mereka tuju.
Seolah mereka masih berputar-putar di dalam hutan, karena hari semakin gelap maka Sandika meminta teman-temannya segera mendirikan tenda di dekat salah satu pohon yang sedikit rimbun.
“San, apa engkau yakin disini tempat yang cocok untuk kita bermalam?” tanya Beben.
“Aku tidak bisa memastikan disini aman. Tapi tidak ada lagi pilihan lain karena kita harus segera menyalakan api unggun untuk menghindari hewan liar di hutan” jawab Sandika.
“Baiklah kalau begitu kita harus secepatnya mendirikan tenda dan mencari kayu bakar” ucap Herman.
“Aku akan menyusul setelah mencari sinyal. Calon istri ku Siti pasti sangat khawatir karena sudah berjam-jam aku tidak memberinya kabar” kata Gama berjalan menjauh sambil mengangkat ponselnya.
“Huhh dasar! Aku doa’kan kau tidak jadi menikah dengannya!” celetuk Beben menyeringai.
“sudah-sudah jangan ribut! Biar aku saja yang membantu memasang tenda” ucap Sandika.
Beben mengangguk setuju, dia masih memasang posisi berjaga setelah di ganggu oleh makhluk halus. Kakinya terasa pegal sesekali tekan sendiri, dia menoleh ke arah Arya yang tampak sedang bercengkrama dengan seseorang di dekat pohon besar. Perlahan Beben mendatangi lalu menepuk pundaknya pelan.
“Kamu ngomong sama siapa?” tanya Beben penasaran.
Tidak ada seorangpun di depannya, Arya menunjuk ke sisi kanan lalu kembali bercengkrama tanpa memperdulikan dirinya. Wajah sangat serius, berselang beberapa menit berlalu dia pun menoleh ke arah Ben sambil tertawa.
“Ahahah! Kena kau!” Arya tertawa penuh kemenangan setelah berhasil menipu Beben.
Raut ekspresi amarah yang sudah bisa di tutupi lagi. Beben secara refleks memukul luka di kepala Arya begitu kuat hingga darah kembali bercucuran membasahi wajahnya.
“Argghh! Sakit! Tolong!” jerit Arya kesakitan.
Mendengar suara jeritan Arya, semua teman-temannya berlari pontang-panting mencarinya. Tapi setelah mengetahui penyebabnya merekapun mengabaikannya walau lukanya sudah tampak serius. Begitu pula dengan Sandika yang kembali mendirikan tenda.
“Semua ini salah mu!” ucap Arya menyeka darahnya sendiri.
“Bukan kah engkau yang mencari masalah? Aku pikir kamu sedang berbicara dengan setan tadi!” seru Beben.
Mereka mendirikan tiga tenda yang saling berhadapan dengan api unggun di tengah-tengahnya. Air panas, seduhan mie instan dan tali yang di ikat pada tiap-tiap pohon melingkar di lapisi sebuah lonceng sebagai sinyal jika ada hewan liar yang memasuki area tenda.
“Her, engkau sudah menabur garam di sekeliling tenda mu kan?” tanya Sandika.
“Belum, sepertinya tidak mungkin ada hewan melata atau ular yang berani masuk ke tenda ku yang mahal ini” ucap Herman begitu angkuh.
“Terserah mu saja. Eh dari tadi aku belum melihat Gama, pergi kemana dia?
“Ya benar, terakhir kali aku melihatnya ke arah sana” Arya menunjuk ke sisi utara.
Mereka pun segera berpencar mencari Gama dengan membawa obor. Sandika menyarankan agar tidak tersesat supaya memberi tanda pada setiap perjalanan. Baru beberapa mil berlalu, akibat tidak tahan dengan suasana hutan yang menyeramkan membuat Herman dan Beben berlari kocar-kacir menuju ke tenda. Begitupun Arya sedari tadi sudah menutup tendanya rapat-rapat hingga menggigil menekuk lututnya.
“Gama! Dimana kau?” teriak Sandika.
Suaranya menggema bersahutan, sorot mata merah menyala di balik semak belukar dan gelapnya malam sedang menatap dirinya. Hantu Rambe berbaju merah mengeluarkan cakaran terbang mengarah ke Sandika. Pria itu merasakan ada sesuatu yang akan menyerang, dia menepis cakaran kuku setan itu lalu berlari kencang bersembunyi di antara bebatuan.
“Ihihihhh” tawa hantu baju merah yang sudah tidak sabar merenggut darahnya.
“Rambe, apa yang sedang kau lakukan? Kita tidak bisa membunuh manusia begitu saja sebelum dia terbukti melakukan kesalahan” ucap Gumatong.
“Tapi aku melihat di waktu yang akan datang bahwa diantara kalian saudara ku akan terluka akibat pria itu!” bantah hantu Rambe melotot.
“Jangan kau lupakan asal mu pernah menjadi manusia” bisik Gumatong lalu menghilang.
Di sisi lain, hantu berbaju putih hanya melihat mereka hingga keduanya pergi meninggalkan pemuda itu. Sosok berambut panjang itu membuntuti Sandika, dia mengetahui apa yang pria itu cari. Hantu itu memberikan sebuah tanda jaket milik Gama yang dia letakkan di dahan pohon arah tempat dia berdiri.
“Sandika” panggilnya.
Sosok hantu itu menghilang, Sandika mendengar suaranya lalu melihat sebuah jaket yang dia kenal adalah milik Gama. Tepat beberapa jarak dari pohon, dia menemukan Gama sedang tertidur sambil memeluk sebuah kepala tengkorak.
“Gam bangun! Gama!” pekik Sandika tepat di telinganya.
“Apa? Aku sedang asik memeluk Siti!” ucapnya sambil tersenyum.
“Gama! Sadar!” teriak Sandika tanpa henti mengguncangkan tubuhnya.
Setelah benar-benar membuka mata, alangkah terkejutnya dia melihat kepala tengkorak yang berada di tangannya. Gama melemparkan benda itu lalu menarik Sandika berlari menjauh. Arah jalan yang berbeda dari tenda. Begitu erat tarikannya membuat mereka tersesat dan kehilangan bekas tanda menuju tenda.
“Astaga Gam! Tarikan kamu kencang banget. Aku sampai pontang-panting berlari tidak bisa menghentikan mu. Lihatlah, kini kita dua yang menghilang dari gerombolan” ucap Sandika.
“Maafkan aku! Aku kaget sekali!” jawabnya sambil mengatur nafas.
Dari balik pepohonan, manik mata Sandika menangkap sosok berbaju putih sedang melihatnya. Dia langsung menghilang menerbangkan angin menjatuhkan ranting pepohonan. Gama ketakutan setengah mati sampai dia memeluk Sandika. Sontak saja pria itu mendorong kuat lalu meneruskan langkah berjalan meski pandangan kabur berusaha mencari jalan.
Sosok hantu berambut panjang itu tetap mengikuti arah mereka pergi. Dia meniup kuku-kuku setan sehingga perlahan Sandika mengetahui jalan mana yang harus dia pilih. Sedikit lagi mereka terjun bebas ke dalam jurang, Sandika mengetahui bantuan cahaya kunang-kunang itu berasal dari sosok makhluk ghaib yang sedang mengikutinya.
Dari kejauhan mereka mendengar suara percikan air, langkah mereka mendekat keduanya berlari menyibak dedaunan dan akar-akaran yang menutupi tempat itu.
Senyum lebar bertengger pada Gama dan Sandika, di malam yang larut mereka menemukan tempat yang di tuju. Tanpa rasa ragu lagi, Gama memastikan di hadapannya bukanlah sebuah ilusi belaka. Dia mendekat ke telaga, merasakan dinginnya air lalu membilas wajahnya sambil tersenyum.
“Akhirnya kita menemukan Telaga ini!” seru Gama.
“Ya, engkau benar. Tapi aku tidak melihat sama sekali ada perkampungan disini” ucap Sandika penuh curiga.
“Ah sudahlah, biarkan aku membersihkan diri setelah memeluk tengkorak tadi. Jangan pergi kemanapun sebelum aku selesai bro.”
“Bagaimana ini? Sandika dan Gama belum juga kembali. Kepala ku kini semakin terasa sakit dan pusing” ucap Arya panik.
“Stthhh! Jangan menambah suasana semakin kacau! Sandika pasti akan kembali” bisik Beben menutup mulutnya.
Cahaya kuku setan masih bertebaran mengikuti kemanapun langkah Sandika pergi. Menyadari semua keanehan itu atas bantuan dari salah satu makhluk yang semula mengintainya. Sandika mengurungkan niat untuk membakarnya dengan bacaan ayat kursi. Sosok baju putih itu menghilang begitu pula cahaya kunang-kunang yang semula menerangi mereka.
“Gawat! Gelap sekali!” ucap Gama.
Suara kentungan dari kejauhan, bunyi ramai suara warga kampung menyorot cahaya obor ke arah mereka. Gama melambaikan tangan dia berpikir telah terlepas dari beban derita di malam itu, tapi ternyata para warga begitu marah kepada mereka hingga hampir menyeret keduanya secara kasar dan tidak manusiawi.
“Arggh!” jerit Gama merontah-rontah.
“Gama! Jangan melawan atau mereka melakukan hal lebih gila lagi” ucap Sandika.
Para warga membawa mereka menjauh dari Telaga. Sesampainya di tepi hutan, salah satu warga memberikan obor di tangan Sandika. Salah satu pria tua mendorong mereka untuk segera berjalan. Sandika menarik lengan Gama lalu melangkah pergi meninggalkan para warga. Saat jarak letak sudah sangat jauh, keduanya kembali memasuki hutan. Akan tetapi Gama memutar haluan merampas obor dan berlari kembali ke tepi lintas jalan.
“Gama! Apa yang engkau lakukan? Cepat berikan obor itu pada ku!” teriak Sandika.
Tanpa menghiraukan panggilan temannya itu, Gama terus berlari gelagapan hingga obor di tangannya pun padam. Dia tidak bisa melihat dengan jelas sampai tersandung sebuah batu yang hampir membentur kepalanya. Sandika mencari Gama kembali, dia bertekad pada malam itu bisa berkumpul kembali dengan semua teman-temannya. Sorot mata merah yang mengganggu, lemparan biji-bijian di selingi lengkingan suara tawa. Gama berteriak minta tolong, dia meringkik ketakutan.
“Sandika!” teriak Gama.
...----------------...
“Sepertinya dua anak tadi kembali memasuki hutan. Bagaimana ini mbah?” tanya Tedi.
“Biar aku beri pelajaran saja mereka.”
Bondan berjalan masuk ke dalam hutan, mbah Baron meminta Tedi menyusulnya agar jangan melakukan hal yang bukan-bukan dan memintanya agar segera membawa kedua pemuda tadi menghadap dirinya.
Gelagat ayunan kain kafan gaun selayar putih di lirik oleh Rambe. Dia mengeluarkan kembali kuku setan dan taring panjang, semua hal kekhawatiran Nampak nyata setelah melihat Murga tanpa henti mendekati manusia yang sudah dia wanti-wanti itu.
“Murga menjauh lah dari manusia itu!” teriak Rame.
Sosok hantu si rambut panjang itu meninggalkan kembali kunang-kunang sebelum pergi meninggalkan Sandika. Dia terbang mengikuti Rambe menuju ke sebuah tempat dimana mereka tinggal. Rame mengutuk manusia yang berani mendekati saudaranya. Dia pernah memiliki duka pahit mengenai rahasia sebuah cinta dan penghianatan semasa hidupnya dahulu. Rambe tidak ingin hal itu terulang kepada para saudaranya dan mendapatkan kutukan di telaga tempat bersemayam tulang tengkorak mereka.
“Murga! Cepat beritahu aku apa tujuan mu membantu pria itu?” tanya Rame mengeraskan suara keras menggelegar.
“Aku hanya kasihan dengannya saja. Kakak, aku melihat dia sebagai sosok pria yang berbeda” jawab Murga.
“Sekali lagi jika aku melihat kau bersamanya maka aku akan langsung membunuhnya!” ucap Rame melebarkan kain kafan hitam miliknya lalu menghilang.
...----------------...
“Sandika tunggu aku!” teriak Gama berhasil menemukannya.
"Kenapa kau tega seperti itu?"
"Maafkan aku Sandika" ucap Gama penuh rasa penyesalan.
Mereka berdua di bantu oleh kunang-kunang menemukan jalan menuju tenda. Begitu mereka sampai, dari arah belakang tenda Herman telah muncul dua orang warga yang tadi mereka temui di dekat telaga. Sorot mata tajam salah satu pria bertubuh gemuk mengepal tangan. Pria di sampingnya terlihat menghalangi gerakan si pria berotot itu sambil menggelengkan kepala.
“Hei anak muda, bukankah kami sudah meminta mu untuk pergi dari tempat ini?” bentak Bondan.
“”Kami hanya tidak ingin kalian celaka. Terutama bermalam di hutan, sebaiknya kalian ikut kami ke rumah mbah Baron” ajak Tedi.
“Tunggu apalagi? Cepat kemasi barang-barang kalian!” kembali Bondan membentak.
Mereka di giring menuju rumah mbah Baron, di sepanjang perjalanan sesekali suara aneh mengganggu. Bak angin segar melihat perkampungan seolah sudah bisa meneruskan langkah agar secepatnya bisa mengurus segala keperluan tugas mereka. Ketika memasuki tempat itu raut wajah mereka berubah melihat suasana kampung yang sepi bagai tidak berpenghuni.
“Kemana perginya semua orang?” tanya Herman.
“Jangan banyak tanya! Cepat jalan!” ucap Bondan.
Saat mereka sampai di rumah mbah Baron, seorang wanita tua berjalan membungkuk meletakkan sebuah piring di atas meja yang berisi potongan kue berwarna kuning. Kemudian dia dengan cepat kembali lagi membawa sebuah nampan yang berisi beberapa gelas. Sandika membantunya meletakkan di atas meja. Wanita tua itu mengusap punggung Sandika lalu menggiring duduk di sampingnya.
“Dia adalah istri ku fatma” ucap si mbah.
“Kenal mbak nama saya Sandika. Dia Gama, Arya, Beben dan Herman. Kami datang dari kota untuk menyelesaikan tugas praktek kuliah dalam jangka waktu satu bulan saja. Jika mbah berkenan, kami mohon ijin untuk menginap disini” ucap Sandika menyatukan kedua tangan di depan dadanya dengan sopan.
“Tidak bisa! Kalian harus segera pulang!” ucap si mbah.
“Bapak, sudah larut malam begini. Biarkan mereka menginap di rumah kita” ucap Fatma.
“Apa kalian tuli? Cepat pergi dari kampung ini!” ucap Bondan dengan nadanya yang tinggi.
Herman yang tidak tahan dengan sikap lelaki itu langsung meninju wajahnya. Cincin batu akik miliknya membuat hidung pria itu terluka. Perkelahian pun tidak bisa di elakkan, Sandika dan temannya yang lain berusaha memisahkan hingga si mbah menjungkir balikkan meja dengan penuh amarah.
"Kurang ajar kau!" balas Bondan.
“Cukup! Hentikan!” teriak si mbah.
Diskusi panjang, amarah yang masih tertahan serta pro dan kontra masih terlihat di depan teras rumah si mbah. Setelah si mbah memutuskan untuk bersedia membantu mereka, Bondan berpamitan pulang sambil melotot jarinya menunjuk ke arah Herman dan Sandika.
“Pasti kalian akan menyesal!” ucapnya lalu pergi.
Kelima pria itu membersihkan benda dan peralatan yang berantakan akibat ulah mereka. Tiba-tiba Arya menekan kepalanya lalu tidak sadarkan diri. Lukanya tampak serius, Fatma mengobatinya dengan ramuan tradisional. Dia membuka kain yang mengikat kepalanya, menabur serbuk tumbukan dedaunan lalu membalut luka dengan kain perca.
“Kalian beristirahatlah, besok bawa dia ke puskesmas” ucap Fatma.
“Terimakasih banyak mbah” kata Sandika.
Ukuran kamar yang terbilang cukup luas untuk sebuah rumah yang terbuat dari bambu. Sandika merapikan barang-barangnya lalu merebahkan tubuh di dekat jendela sambil memandang langit. Dia teringat akan sosok yang berkali-kali membantunya ketika di hutan. Membayangkan makhluk yang tidak terlalu menyeramkan baginya membuat dia penasaran akan wujud asli pembawa kunang-kunang tersebut. Sandika menutup mata berharap bisa bertemu dan mengucapkan terimakasih kepadanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!