Tempus Itinerantur

Tempus Itinerantur

TEMPUS 1 : Duniaku

Dingin.

Sunyi.

Sepi.

Tubuhku melayang seperti sedang berada di dalam air. Namun disekeliling tubuhku tidak ada air sama sekali. Bahkan rambut-rambutku yang tergerai melayang-layang dengan lembut.

Ah, lebih tepatnya aku berada entah di mana dan ini tidak ada gravitasi bumi sama sekali. Tepatnya seperti ruang angkasa. Namun kurasa ruangan ini tidak berujung. Tidak ada atas ataupun bawah, tidak ada depan dan belakang, apalagi kiri dan kanan.

Kosong.

Hampa.

Luas.

Ciri khas saat aku mengalami hal seperti ini adalah setelah lima menit kemudian, terdengar suara detik jarum jam. Detik jarum jam itu awalnya pelan seperti detik jarum jam dinding di rumah. Namun, semakin lama semakin cepat. Bahkan rasanya tidak nyaman di telingaku.

Cahaya? Ah, aku tidak melihat cahaya. Namun kondisinya di sini remang-remang. Tidak jelas bagian mana yang bercahaya. Kurasa bagian atasku, tapi aku tidak bisa melihat apakah itu cahaya atau bukan. Yang pasti itu bukan lampu sorot, lampu senter, apalagi lampu tidur. Tentu saja bukan.

Aku hafal dengan keadaan seperti ini. Keadaan seperti ini kualami setiap hari. Iya. Setiaaaaaappp hari. Tidak pernah terjeda. Dan hal ini kusebut sebagai alam bawah sadarku. Kutebak, sebentar lagi akan ada suara khas dari seseorang. Suara itu akan sangat lantang. Bahkan nanti pasti aku akan tertarik kembali pada dunia nyata.

"LOVAAAAAAA.. BANGUUUUNNN. PERGI KE KAMPUS!!"

Tuh kan! Pasti itu Daniz, Ibuku. Maaf aku menyebut namanya saja tadi. Maksudku aku ingin memberitahu kalau nama Ibuku adalah Daniza. Tetanggaku biasa memanggilnya 'Bu Daniz'.

Mendengar suara khas itu setiap pagi adalah jalan ninjaku untuk berhasil keluar dari hal aneh seperti tadi. Ya. Aku tidak pernah bermimpi. Aku memang tertidur, bahkan sangat nyenyak. Namun alam bawah sadarku lah yang setiap hari begitu. Berada di sebuah entah apa namanya itu. Ingin kusebut ruangan, tapi tadi itu bukan ruangan.

Kedua mataku tentu saja sudah terbuka sangat lebar. Kalau kubuka lebih lebar lagi, bisa-bisa keluar nanti bola mataku. Ah, jangan membicarakan yang seram. Aku takut membayangkannya.

Jam dinding di dalam kamar sudah menunjukkan pukul enam pagi. Jaman sekarang Indonesia jadi semakin panas saja suhunya. Kalian juga merasa begitu tidak?

Kalau menurutku sih panas. Aku tinggal di Jawa Barat bagian dari Pulau Jawa di negara ini. Ya. Aku tinggal di kota Depok. Awalnya aku tinggal di Ibukota negara ini, namun karena satu dan lain hal keluargaku pindah ke kota Depok.

Aku anak bungsu di dalam keluargaku. Aku anak keempat, dari empat bersaudara. Usiaku delapan belas tahun, dan hari ini adalah hari ke delapan aku berangkat ke kampus.

Kurasa aku termasuk dalam kategori mendapat hoki. Aku tidak ingin sombong, namun aku bangga aku bisa masuk ke dalam universitas paling popular di kota Depok. Kalian cari tahu saja di internet, universitas apa yang terkenal di kota Depok. Yang jelas universitas tempatku menambah ilmu ada diurutan nomor satu.

Aku masuk ke dalam Fakultas Ekonomi dan Bisnis, singkatnya FEB. Dan aku memilih jurusan manajemen, ambil kelas master. Jadwal kuliahku di hari senin sampai jum'at. Bisa memilih kelas pagi yang dimulai jam sembilan, atau mengikuti kelas sore yang dimulai sekitar jam setengah tujuh malam.

Jurusan manajemen memang sengaja kuambil begitu saja. Setidaknya cita-citaku tidak terlalu muluk-muluk. Aku hanya ingin bekerja di sebuah perusahaan dan menjadi tim divisi keuangan. Itu saja. Yang penting sukses. Ah iya, lebih tepatnya aku mengambil jurusan Manajemen Keuangan, sub programnya Corporate Finance.

Ya sudahlah. Sekarang aku mau mandi dulu. Sebelum ibu negara masuk dan menjajah kamarku yang seperti kapal pecah ini.

Setelah selesai mandi, rutinitasku adalah melihat wajah Ayahku yang ada di sebuah pigura. Itu foto keluarga. Di dalam foto itu aku duduk dipangkuan Ayah, saat itu umurku masih sekitar dua tahun. Masih balita. Belum mengerti keadaan sekitar.

Kata Ibu, Ayahku meninggal saat umurku menginjak tiga tahun. Dan saat aku sudah mengerti apa itu meninggal, saat kutanya di mana makam Ayah, Ibu selalu menjawab 'jauh'. Dan sampai sekarang aku tidak pernah pergi ke makam Ayah.

Sebenarnya ada sebuah kotak aneh untukku. Kata Ibu, aku boleh membukanya saat usiaku sudah tujuh belas tahun. Tapi sengaja belum aku buka sampai sekarang. Aku takut dengan isinya. Kata Ibu, itu dari Ayah.

Sebuah kotak berukuran sedang. Bentuknya persegi empat, alias gambaran tepatnya adalah berbentuk kubus. Kotak itu berbahan kayu jati asli dengan warna plitur yang sudah sangat tua. Sehingga kotak itu warnanya coklat gelap. Kotak itu masih setia berada di dalam laci pertama meja belajarku. Kotak itu bergembok dan kunci kecilnya ada pada gantungan ritsleting tas ranselku.

Klek!!

"Lova. Kamu sebenarnya sedang apa? Sudah hampir jam tujuh. Turun ke bawah dan makan." Tegas Ibuku yang pagi ini masih mengenakan celemek di pinggangnya.

Aku menyengir. "Hehe, baik Bu.."

"Kakak-kakakmu mengomel di bawah. Kamu tidak segera turun. Mereka menantimu untuk sarapan."

"Iya Bu, aku akan segera ke bawah." Ucapku.

"Terus itu mau ngapain lagi kamu?"

"Sebentar, aku mau memilih jaket." Jawabku pelan.

Ibuku mendecakkan lidahnya. Mungkin gemas denganku yang memang tidak bisa bertindak cepat. Beliau turun ke lantai bawah lebih dulu. Setelah itu tentu saja aku menyusul, aku tidak ingin dilempari piring berbahan melamin lagi.

"Pagiii semuanyaaaa.. maaf ya Lova telat bangun." Ucapku menyapa dan meminta maaf pada kakak-kakak lelakiku.

"Apa masih 'seperti itu' lagi?" Tanya Bang Daniswara Zachary. Dia kakak pertamaku. Namanya memang mirip dengan Ibu, dan aku lebih suka memanggilnya 'Bang Wara'. Usianya beda sembilan tahun denganku, Bang Wara berusia 27 tahun dan belum menikah. Dia yang paling paham tentang alam bawah sadarku.

"Iya. Biasa. Setiap hari juga begini." Jawabku dengan mulai mengambil nasi.

"Apa susahnya sih buka kotak dari Ayah? Kamu tuh harus buka kotaknya." Ucap Bang Wara dengan tegas.

"Biarin Lova lah Bang.. itu hak dia mau membukanya atau tidak." Sahut Kak Ravi, dia kakak ketigaku. Nama panjangnya Ravindra Zachary. Orangnya perhatian, suka sekali membela adik perempuan satu-satunya ini. Dia berusia 20 tahun, beda dua tahun saja denganku.

Sementara Kak Elang kulihat sedang asyik makan dan membaca buku sejarah. Ya. Dia kakak keduaku. Namanya Elang Zachary. Kakak paling cuek sepanjang masa. Usianya 23 tahun, beda lima tahun denganku. Makan saja sambil membaca dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya fokus menyuapi makanan ke mulutnya. Tentu saja pandangannya hanya fokus ke buku. Aku hanya ingin bertanya sejak dulu, bagaimana bisa makan tanpa melihat ke piring? Bahkan melirik sekitar saja tidak.

"Jangan melihatku. Urus saja makananmu dan urusan duniamu yang lain itu." Tegas Kak Elang. Tuh kan, dia memang aneh. Padahal dia tidak sedang melihat sekitar tapi tahu kalau aku sedang mengamatinya.

Tunggu, tadi Kak Elang bilang agar aku mengurusi duniaku yang lain? Maksudnya apa ya? Memangnya duniaku berbeda sendiri? Hm, padahal aku ini bukan alien.

*****

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!