Makan malam, aku telat datang ke ruang makan. Dikarenakan tadi aku sibuk mengerjakan beberapa tugas individu dari beberapa mata kuliah. Ya, karena nanti malam aku ingin menekuni dan menunggu cara kerja jam saku itu, jadi kukerahkan semua pikiranku untuk menyelesaikan tugas kampus. Agar tidak kepikiran juga dan tidak ada tanggungan lagi.
Alhasil karena datang telat ke ruang makan, aku mendapati kursi kosong yang paling pinggir, tidak dekat Ibu seperti biasanya.
Dan tahu kini aku duduk di samping siapa? Yakni Kak Elang. Hmm, hawa dingin langsung saja terasa menyergap diriku. Aku paling tidak suka duduk di dekat Kak Elang, rasanya seperti diintimidasi. Padahal ia tidak menatapku, namun aku merasa seperti itu.
Aku juga bukan terlalu percaya diri bahwa akan ditatap Kak Elang. Bukan seperti itu maksudku. Hanya saja, kalau berada di dekat Kak Elang selalu merasa mencekam.
“Kamu itu ke mana saja? Kakak-kakakmu selalu nungguin kamu dulu.” Protes Ibuku.
Aku cemberut saja sejenak. “Lagi ngerjain tugas kuliah Bu. Lagian kenapa sih selalu nungguin aku? Kan bisa makan duluan.”
Dan raut wajah Ibuku langsung terlihat tidak suka. “Dari dulu, aturannya ya begini. Mau sarapan, makan siang, atau makan malam harus sama-sama. Ayah kalian yang mengajarkan hal itu. Ayah kalian suka sama hal yang tepat waktu dan bersama-sama. Kamu saja yang selalu telat setiap kali menginjak waktu makan. Perbaiki hal itu, Lova.” Tegas beliau.
Aku pun jadi diam dan sedikit jengkel juga. Memang sih, keluargaku ini tidak pernah yang namanya makan sendiri-sendiri. Setiap kali waktu makan, pasti harus sama-sama dan anggota harus lengkap dulu sampai akhirnya bisa memulai makan.
Kecuali untuk makan siang, karena kami berempat alias anak-anak Ibu Daniz ini berkegiatan di luar.
Kudengar deheman pelan dari pria yang duduk di samping kiriku. Ia menoleh padaku dengan melempar tatapan tersinis. “Love memang begitu, Bu. Selalu membuang-buang waktu.” Kata Kak Elang.
“Santai aja kali. Lagian Lova itu nggak lagi goleran, gak juga lagi scroll sosmed. Tapi dia ngerjain tugas. Mungkin tadi lagi nanggung, jadi molor sedikit dan baru sadar kalau sudah waktunya makan malam.” Sahut Kak Ravi.
Ah, Kak Ravi ini memang kakak favoritku. Dia selalu membela dan memahamiku. Aku pun langsung menjulurkan lidah pada Kak Elang, masa bodoh kalau ia tak suka.
“Tapi juga didengerin apa kata Ibu, ya Lova. Jangan digampangin. Kan kalau keseringan juga gak baik. Yang lain sudah diam menunggu dengan kondisi lapar, tapi kamu doang yang belum datang.” Sahut Bang Wara. Kali ini ia sepertinya serius.
Aku pun mengangguk saja, lalu mulai meraih sendok dan garpu.
“Sudah sudah, kalau begitu ayo makan malam. Wara, kamu pimpin doanya.” Ujar Ibu.
Bang Wara langsung mengangguk. Ia mematuhi perintah itu, kemudian kami semua memulai makan malam.
Menu kali ini adalah nasi kuning dengan banyak lauk yang tentu saja cocok-cocok saja dipadukan. Mungkin sisa dari membuat beberapa tumbeng besar tadi sore. Lezat? Tentu saja. Kalau bukan karena Ibu yang mendapat pesanan seperti itu, tidak mungkin malam ini lauknya seperti ini.
Lumayan jarang kami makan nasi kuning seperti ini. Maka selagi ada makanan seperti ini, langsung saja kami sikat habis. Meskipun tentu tidak akan benar-benar habis.
“Bisa gak sih makan gak usah berisik? Kan bisa pelan. Jangan terlalu kencang nabrakin sendok ke piring." Protes Kak Elang.
Aku yang akan melahap suapan dari sendok pun batal, lalu menoleh ke kiri. “Apa sih Kak? Kalau gak suka duduk deketan, kakak aja yang pindah.” Balasku yang sudah ikutan kesal.
“Kalian berdua ini cuman sekali ini loh duduk sampingan. Bener-bener gak bisa deketan. Elang, kamu itu jangan keterlaluan. Dan Lova, jangan jahil juga berisiknya.” Sahut Bang Wara yang memang sebagai spesialis pelerai.
“Aku jahil? Ya elah Bang, aku makan biasanya juga gini. Ibu juga sama. Dentingan antara sendok ke piring juga gak aku buat-buat. Emang Kak Elang aja yang dari dulu sensi. Sensinya doang ke aku. Oh, mungkin dia mens tiap hari!!” Olokku tajam. Sudah tidak bisa aku diam saja. Ini itu selalu salah kalau di hadapan Kak Elang. Memang cocok kalau dia jadi burung elang, sang pemangsa yang mencengkeram liar mangsanya.
Tak ada sahutan dari Kak Elang, aku pun langsung melahap cepat-cepat makanan di piring. Meskipun belum kukunyah secara halus, kulahap saja begitu cepat. Agar cepat habis dan bisa pergi dari meja makan itu.
Semuanya tentu menatapku, kecuali Kak Elang. Ibu sudah kesal melihatku, biar saja.
Dan ketika makananku sudah habis dalam waktu kira-kira tiga menit saja, aku langsung beranjak dengan kesal. Meraih segelas air putih yang kubawa bersamaku dengan langkah kakiku yang cepat.
“Lova! Jangan lupa kunyahan terakhir yang lembut ya… semoga gak sakit peruuutt!!” Teriak Kak Ravi. Kudengar setelah itu ia terkekeh pelan.
Aku tak menyahut. Fokus saja terus melangkah, menaiki tangga, hingga akhirnya sampai di lantai dua dan masuk ke kamarku.
Brak!
Kututup pintu kamar dengan sedikit keras. Aku paling sebal kalau saat makan diganggu, diprotes, atau apa pun itu yang menyebabkan suasana hatiku menjadi buruk seketika.
Tidak ada orang yang suka diberi huru-hara ketika sedang makan.
Setelah minum perlahan, aku memutuskan membereskan meja belajar. Sekalian saja kutata beberapa buku yang harus dibawa besok. Selagi aku masih ingat jadi kukerjakan semua saja sekarang, agar besoknya tidak terburu-buru lagi.
Kubenahi juga beberapa hal yang berantakan. Seperti kaos kaki yang tadi asal kulempar, jaket kulit yang tergeletak di ranjang, dan juga menebas ranjang dengan sapu lidi yang khusus untuk hal itu.
Memang baru jam setengah delapan malam. Namun aku sudah merasa sangat mengantuk sekali.
Baru saja aku menaikkan kaki kanan ke ranjang, ada semburat cahaya yang berpendar. Hampir menyaingi lampu tidur kamarku. Ternyata berasal dari jam saku milikku yang kuletakkan di samping bantal tidur.
Langsung saja sepenuhnya aku naik ke ranjang dan meraih jam saku itu. Saat kupegang, cahaya keemasan itu berkurang, tidak sesilau tadi. Dan kuamati, perlahan jarum jam saku itu mulai bergerak, terlihat juga mesin jam yang ikutan bergerak di dalam sana.
Aku mengernyit bingung. Apa cara kerjanya sudah dimulai sekarang?
Dan tiba-tiba saja, sekelilingku berubah menjadi gelap. Bahkan aku tidak mellihat ranjangku, namun aku masih dalam posisi duduk bersila seperti di atas ranjang. Aku kembali ke ruangan tanpa gravitasi itu. Rambutku pun melayang-layang dan perlahan tubuhku pun ikut melayang.
Jam saku itu masih kugenggam di tangan kanan.
Di detik berikutnya, aku melihat layar. Seolah seperti layar bioskop, namun tidak sebesar itu. Rasanya memang seperti melihat layar film saja, dan layar itu terbagi menjadi beberapa. Aku melihat beberapa tempat. Ada kampus, alun-alun kota Depok, aku pun melihat Monas. Dan yang terakhir yang membuatku tertarik, aku melihat sebuah perpustakaan yang sangat tenang sekali suasananya.
Di perpustakaan itu tertampilkan situasi di salah satu baris rak buku. Lalu aku melihat seorang pria berkulit bersih dengan rambut cepak berwarna hitam. Pria itu? Pria yang kulihat saat aku teleportasi tadi pagi di kampus.
Pria yang duduk di taman tunas bangsa. Pria yang memiliki kalung bercahaya itu. Saat ini dia memakai topi berwarna putih, ia terlihat sedang memilih buku dari barisan rak buku di hadapannya.
Lalu, aku seperti tertarik ke depan sana. Menuju layar yang menampilkan ruang perpustakaan dan pria itu.
Aku melotot dan menggelengkan kepala. “Oh no no no no nooo!! Jangan ke sana!!”
Dan… SPLASH!
Terlanjur sudah!!
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments