Keesokan harinya.
Hari ini, semangatku anjlok begitu tahu Bang Wara dan Kak Ravi sudah berangkat lebih dulu dan melewatkan sarapan. Dan yang tersisa adalah Kak Elang, sedangkan Ibu sudah disibukkan dengan olahan pesanan catering yang sepertinya begitu banyak.
Sebenarnya tumben saja hal ini terjadi. Biasanya Ibu benar-benar tidak membiarkan anak-anaknya pergi sebelum sarapan bersama. Namun ternyata Ibu sudah menyiapkan empat kotak bekal untuk dibawa kami semua.
Dan alhasil, aku berangkat ke kampus diantar oleh Kak Elang. Pria yang sifatnya beku seperti es dan suhu kutub utara. Pria yang menyebalkan, tidak seru sama sekali, tidak bisa diajak bicara. Benar-benar membuatku muak.
“Aku naik taksi saja. Kak Elang boleh berangkat sendiri.” Ujarku dengan berani menatap kedua mata Kak Elang. Ia tampak berdiri di samping mobilnya.
Tatapannya benar-benar memicing dan sesinis itu. Seolah sedang melihat orang yang menurutnya begitu menyebalkan. Benar-benar tidak menyenangkan sekali dia itu.
“Ada rencana apa? Kamu akan bertemu dengan pria yang waktu itu ya?” Tanyanya yang membuatku sedikit tertegun.
Ah, aku lupa. Kak Elang kan memang bisa melihat masa depan orang. Jadi, apakah sekarang ia sedang melihat apa yang terjadi padaku ke depannya? Kalau iya, dia tidak sopan sama sekali!
“Pria siapa sih?!” Tanyaku kesal. Aku berlagak tidak tahu saja apa maksud pertanyaannya. Padahal aku tahu.
Kulihat Kak Elang langsung bersedekap dada. “Nggak perlu pura-pura. Dan nggak perlu bohong. Bang Wara sudah memberitahuku bahwa ia mengijinkanmu memiliki jam bebas setelah kuliah selesai dan kamu tidak lagi dijemput oleh siapa pun. Dan sekarang, aku memang sedang melihat apa yang akan terjadi padamu nanti. Kamu bertemu dengan pria jangkung itu, yang kapan lalu sempat berbincang denganmu di depan gerbang kampus, saat aku menjemputmu.” Ujarnya panjang.
Dan baru kali ini aku mendengar Kak Elang bicara lebih panjang. Biasanya ia bicara singkat, padat, jelas. Apa sekarag ia mulai peduli padaku?
“Ya sudah kalau Kak Elang mencoba melihat masa depanku yang terjadi nanti. Sudah tahu kan jawabannya? Kalau iya memang begitu, kenapa? Mau melarangku?” Tanyaku.
Kak Elang menggelengkan kepalanya. “Tidak. Aku hanya ingin memberimu nasehat. Sebaiknya kau kenali dulu kemampuan kakak-kakakmu, dari pada mengenali kemampuan orang lain dan belajar bersama orang lain itu. Itu memang hakmu. Tapi harap hati-hati saja.” Ujarnya.
Belum sempat aku membalas perkataannya, Kak Elang sudah melengos dan masuk ke dalam mobilnya. Aku pun mendengus kesal, lalu aku segera melangkah untuk menuju ke depan rumah.
Tapi ternyata Kak Elang memanggilku.
“Lova! Mau ke mana?”
Aku pun menoleh. “Kenapa?”
“Masuk.” Perintahnya.
Aku mengernyit. “Aku naik taksi saja. Dari pada----”
“Kubilang masuk ya masuk!! Aku paling tidak suka melanggar perintah Bang Wara!!” Tegasnya lebih lantang. Membuatku langsung bungkam dan akhirnya aku berjalan pelan menuju samping kiri mobilnya.
Aku pun masuk ke dalam mobil Kak Elang. Sambil menghembuskan napas pelan, aku mengaitkan sabuk pengaman.
Dan mobil jazz putih itu langsung melaju meninggalkan halaman luas rumah kami. Juga segera meninggalkan area sekitar rumah.
Sepanjang perjalanan, Kak Elang diam saja. Ia bahkan tidak melirikku sama sekali, hanya fokus pada jalan raya yang pagi ini cukup padat tapi tidak sampai membuat kemacetan. Sebenarnya aku tahu, ada setitik rasa peduli dalam diri Kak Elang. Hanya saja benteng cueknya sangat tinggi, itulah yang menyebabkan dirinya cenderung kaku sejak dulu. Dan hari ini aku berhasil melihat rasa peduli itu.
***
Hari ini aku tidak melihat Sera. Padahal aku ingin mengajaknya menemaniku nanti saat bertemu dengan Jarvis.
Karena aku sudah merasa dekat dengan Sera, maka aku berniat ingin menceritakan tentang diriku pada Sera. Tapi apa daya jika ternyata hari ini Sera tidak menghadiri kelas satu pun. Ia juga tidak pernah memberitahuku melalui aplikasi chatting. Sera adalah orang ekstrovert, namun tidak terlalu akrab jika dalam ranah bertukar pesan.
Alhasil, sekarang aku menemui Jarvis sendirian. Pria itu berdiri di dekat pohon beringin taman tunas bangsa. Dengan ciri khasnya seperti biasa, yakni memakai topi yang hari ini berwarna putih.
Jarvis tidak sendirian. Ia bersama seorang perempuan yang pernah dikenalkannya padaku. Perempuan bernama Freya.
“Jarvis.” Panggilku supaya ia menoleh. Karena aku datang dari arah belakang mereka.
Mereka berdua langsung berbalik badan. Menatapku dan langsung tersenyum padaku. “Eh, sorry ya bikin lo jalan ke sini. Soalnya kalau mobil gue yang ke sana, jalannya berlawanan. Ah maksudku, arah tujuannya jadi berlawanan.” Jelas Jarvis.
Aku mengangguk saja, karena ia tadi juga sudah memberitahu melalui telepati pikiran.
Ya, aku dan Jarvis masih berkomunikasi dengan cara itu. Kami belum bertukar nomor untuk bisa saling bertukar pesan. Mungkin Jarvis sedikit malas dengan hal itu, dan aku pun tidak keberatan.
“Gue seneng ternyata lo welcome ke Jarvis. Gue pikir, lo bakalan nolak dia habis-habisan.” Ujar Freya saat kita bertiga sudah masuk ke dalam mobil milik Jarvis.
Aku tersenyum. Baru saja bibirku menganga hendak membalas perkataan Freya, Jarvis menimpali lebih dulu. “Udah begitu Frey. Tapi gue keukeuh jelasin ke dia. Akhirnya dia ada di sini sama kita kan, sekarang.” Jelasnya.
Aku mendengus kesal. “Lagi pula siapa yang gak kesel, kalau dari awal lo duluan yang nyebelin? Gue udah lo tuduh penguntit, terus tiba-tiba lo yang dateng ke gue dengan ajakan gak jelas dan bilang satu server. Orang lain juga pasti reaksinya akan sama kayak gue.” Sahutku dengan kesal.
Freya terkekeh saja mendengar ucapanku. Ah, aku lupa tidak bertanya padanya.
“Lo juga tahu apa yang terjadi di antara kami?” Tanyaku pada Freya.
Freya mengangguk. “Gue juga sama seperti kalian, tapi gue beda server.” Ujarnya.
Aku yang memang duduk di jok tengah, hanya bisa menatap raut wajah Freya dari kaca spion tengah. Karena perempuan itu memang duduk di depan, di samping Jarvis yang sedang menyetir. “Memangnya, lo server apa Kak?”
“Hahaha, udah gue bilang gak usah pake embel-embel ‘kak’ kalau sama kita. Panggil gue Freya aja ya!” Pintanya.
“Hehe, maaf.” Ujarku sambil nyengir.
“Gue ada di server masa depan, futurum.” Ujar Freya.
Dan jawabannya itu membuatku terhenyak. Futurum, bahasa latin yang artinya masa depan. Dan futurum itu… sama dengan kemampuan yang dimiliki Kak Elang.
“Kenapa Bell?” Tanya Freya. Mungkin karena aku terdiam bengong tidak membalas perkataannya.
“Ah, nggak apa-apa Frey.” Ujarku singkat saja. Aku hanya belum ingin menceritakan tentang kakak-kakakku pada mereka. Belum saatnya saja. Sesuai nasehat Kak Elang tadi, aku masih mencoba mengenali Jarvis dan Freya dulu untuk saat ini.
Jika ternyata mereka memang tulus dan tidak ada niat buruk, maka pertemuan seperti ini akan tetap kulanjutkan.
***
Kami bertiga sampai di sebuah tebing yang tidak terlalu tinggi. Letaknya lumayan jauh karena berada di sebuah desa yang memang datarannya lebih tinggi dari bagian area kota. Aku kagum dengan tempat itu, sepertinya cocok sekali untuk orang-orang yang sedih dan ingin melepaskan beban dengan cara berteriak bebas.
Angin semilir membuat rambutku yang tergerai langsung tersibak ke belakang. Jarvis dan Freya mengajakku berdiri di tengah-tengah hamparan tanah lapang yang rumputnya mengering.
“Apa harus kita mulai dengan teleportasi, Bell?” Tanya Jarvis padaku.
Aku bengong sejenak. Kami baru sampai, apakah langsung dimulai begitu saja latihannya? Bagaimana jika aku terlalu gugup dan tidak bisa?
Teleportasi sedikit membuatku trauma.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
Putri Seruni Auliyah
lanjut thor, ceritanya keren
2022-12-30
1