Begitu kelas mata kuliah terakhir selesai, tentu aku langsung membereskan semua alat tulis dan dua macam buku yang kubawa. Kumasukkan semua it uke dalam tas backpackku. Sera langsung menghampiriku begitu ia sudah beres lebih dulu.
“Makan bareng lagi yuk Bell. Kak Andra ngajakin lagi. Dan tenang, kita berempat lagi kayak waktu itu. Yang ngikut juga cuman Kak Leo.” Ujar Sera. Ia tampak antusias mengajakkku makan bersama.
Aku tersenyum mendengar ajakan itu lagi. Sebenarnya sangat ingin sekali berkata ‘iya’ lalu segera bertemu dengan Kak Andra dan Kak Leo. Namun, ajakan Jarvis tadi mengganggu pikiranku.
“Gue gak bisa Ser. Tadi pagi kan lo juga denger, Jarvis mau ngajakin gue ketemu bentar.” Ujarku jujur.
“Oh iya yah, gue lupa. Hehe tapi kalau boleh tahu, kalian itu emang lagi PDKT yah? Ciieeee…”
“Eh, gak gituuu. Ada urusan lain aja gue sama Jarvis. Beneran gak ada apa-apa kok.” Ujarku yang meyakinkan Sera. Rasanya tidak akan enak jika Sera sampai mengolokku seperti itu dan berita tersebar di kampus. Aku takut saja, karena Sera sifatnya itu selalu antusias jika mendengar berita apa pun.
“Hahaha santai kalik. Iya gue percaya. Lagian gue yakin sih lo gak bakal mau sama cowok kayak Jarvis itu. Yang ada tiap hari lo bakal ngelihat tuh cowok emosian mulu kalau lo pacaran sama dia.” Ocehnya.
Mendengar itu aku meringis dan terkekeh pelan seraya berdiri dari posisi duduk. “Hehe pokoknya gak seperti yang lo pikir kok Ser. Kalau gitu yuk keluar dari kelas. Abis ini gue langsung misah ya… salam buat Kak Andra dan Kak Leo. Next time ngajaknya jangan mendadak, biar gue tetep bisa ikutan. Hehe..” ujarku dengan berpesan seperti itu.
Ah, aku berpesan seperti karena memang masih ingin makan bersama mereka. Terutama memang masih ingin bertemu dengan Kak Andra, ups.
Sera berbelok ke arah kiri, dan aku berbelok ke lorong arah kanan. Padahal aku pun tidak tahu Jarvis akan mengajakku ke mana. Bahkan aku juga belum bertukar nomor dengannya. Aku pun malas sekali kalau berjalan ke gedung FISIP.
Dan karena bingung, aku pun memutuskan untuk berhenti sejenak. Sembari mengeluarkan ponsel dari dalam saku jaketku. Tujuanku adalah hendak mencari akun sosial media milik Jarvis dengan membuka aplikasi yang fungsinya hanya memposting foto dan video.
Namun belum sempat aku mengetikkan namanya pada kolom ‘search’, tiba-tiba aku merasa ada dorongan pemberitahuan dari pikiran. Sehingga aku terpejam dan dalam pikiranmu terpampang layar dimensi lagi. Menampilkan bagian gerbang masuk ke kampus dan aku melihat Jarvis sedang berdiri dengan memakai topi coklat.
Pria itu juga tampak menggenggam sesuatu di balik kaosnya, yakni kalung yang ia pakai.
Dan di detik berikutnya, secara otomatis saat bibir Jarvis mengatakan sesuatu, aku pun mendengarnya dengan jelas. Pria itu berkata, “gue di gerbang masuk. Lo ke sini.” Ujarnya begitu.
Slap!
Aku pun tersadar dan membuka kedua mataku. Tentu, aku terkejut dengan hal itu. Bagaimana bisa Jarvis menghubungkan pikirannya denganku? Bagaimana bisa dia memberitahuku dengan cara seperti itu?
Kuhabiskan waktu beberapa menit untuk mengatur napas, karena aku tadi cukup terkejut. Dan baiklah, aku mulai melangkahkan kaki untuk menuju keluar gerbang kampus dan menghampiri Jarvis.
***
Jarvis, pria itu benar-benar berdiri di depan gerbang masuk ke kampus. Ia tersenyum kecil ke arahku dan melambaikan tangannya juga dengan raut wajah yang ramah.
Karena sebelumnya hubungan kami kurang mengenakkan, maka aku jual mahal saja dan kubalas dengan anggukan kecil tanpa balik melemparkan senyum padanya.
“Gue bela-belain ke sini, muter jalan segala, buat nungguin lo.” Ujarnya.
Aku langsung mendengus pelan. “Lagian siapa suruh lo beneran mau nungguin gue?”
“Gue mau bantu ngajarin lo memahami cara kerja kemampuan yang kita punya Bell. Kan lo---”
“Tunggu deh, gue gak pernah minta hal itu ke lo, Jarvis. Lo ini kenapa antusias sekarang? Lo juga maksudnya ngajak atau nawarin gue sih?” Tanyaku sedikit kesal. Entah kenapa, aku jadi seperti orang ekstrovert saat menanggapi Jarvis. Padahal sebelumnya aku lumayan sulit bicara sesantai ini, apalagi mengekspresikan bagaimana kekesalanku pada orang lain.
"Gue ngajakin lo, bukan nawarin. Kalau nawarin, lo pasti gak akan mau.” Ujarnya.
“Ya meskipun lo ngajak, gue juga gak mau. Gue bisa sendiri kok memahami kemampuan gue. Gue gak butuh bantuan lo. Karena masih ada kakak-kakak gue yang bisa kasih tahu hal-hal tentang pemahaman soal ini ke gue.” Jelasku. Karena memang masih ada Bang Wara dan Kak Elang, meskipun mereka berdua tidak bisa ditentukan memiliki waktu yang cukup untuk menjelaskan banyak hal padaku.
Jarvis tampak berdecak. “Kita satu server, dan lo gak mau gue ajarin dan kasih tahu beberapa hal yang berpengaruh di diri kita?”
“Gak usah, gak perlu lo repot-repot.” Ujarku yang sudah muak karena Jarvis mulai terlihat memaksa. Layaknya mas-mas sales yang menawarkan barangnya dengan memaksa.
“Gak repot bagi gue, Bell. Karena kita emang disuruh berpasangan. Karena misi kita dengan kemampuan ini tuh sama. Kita harus menemukan ayah kita, kan?”
Pertanyaannya kali ini membuatku sukses terdiam. Pandanganku pada Jarvis pun terpaku sampai membuatku tidak berkedip. “M-maksud lo?” Tanyaku dengan heran.
“Bokap lo juga gak ada kan? Bukan gak ada yang berarti meninggal, tapi gak ada karena gak tahu dia di mana. Bokap gue juga. Gue yakin mereka masih terjebak.”
“Wait, huh, lo lagi ngelantur? Jarvis please, ini bukan saatnya bercanda. Jangan bawa-bawa bokap kita.” Tegasku.
“Gue serius Bell. Apa keluarga lo gak ngasih tahu? Sekarang gue tanya ke mana bokap lo? Kalau lo jawab dia gak ada atau meninggal, di mana makamnya? Bokap lo, bokap gue, mereka tuh bukan meninggal Bell. Tapi terjebak di sebuah ruang. Dan cuma kita yang bisa cari tahu. So please, gue bersedia ngajarin lo banyak hal. Kita harus berjuang bareng.” Ujar Jarvis dengan tatapan yang begitu tegas.
Membuatku cukup terhenyak dengan semua perkataannya. Dia benar, sampai saat ini pun Ibuku dan kakak-kakakku tidak pernah menjelaskan di mana ayah sebenarnya.
“Lo… mau ngajarin gue mulai kapan?”
“Up to you. Gue bisa kapan pun. Sekarang pun gue bisa.” Ujar Jarvis dengan mudahnya.
Hendak aku menjawab, namun… TIN TIN!!
Suara klakson mobil di pinggir trotoar sebelah kananku pun membuatku menoleh. Mobil jazz putih, milik Kak Elang. Kaca jendela bagian kanan depan pun segera turun.
“Ah, Kak… aku pulang telat dan nanti bisa pulang sendiri kok. Aku mau---”
“Gak. Pulang.” Tekan Kak Elang yang sudah kuduga ia akan melarangku.
Aku menatap Jarvis dengan menghembuskan napas pelan. “Sorry, kakak gue gak bisa dinego. Kayaknya kali ini gue pulang dulu. Nanti---”
“Gimana kalau nanti teleportasi dan ketemuan?” Ajak Jarvis.
Aku melongo sejenak karena heran. Jarvis benar-benar antusias mengajakku. “Ah, lihat nanti deh ya. Gue musti masuk ke mobil sekarang. Bye!!” seruku yang langsung pamit darinya.
Dan kulihat Jarvis masih berdiri di titik yang sama sampai Kak Elang sudah melajukan mobilnya menjauh dari area kampusku.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments