TEMPUS 14 : Satu Server

“Kak, denger ya, gue gak ngerti apa maksud lo. Tapi lebih baik kalau emang kita udah gak ada masalah, ya udah gak usah saling kenal aja. Gue udah cukup nahan diri buat gak marah karena lo mengklaim gue sebagai penguntit kemarin-kemarin. Dan sekarang lo tiba-tiba sok akrab, bahkan ngenalin diri, lalu bilang kita satu server. Sorry, baiknya kita gak perlu seakrab itu.” Ujarku dengan menuturkan hal itu. Mempertegas bahwa aku memang tidak ingin mengenalnya lebih dari sekedar orang asing.

Oke, mungkin di sini aku yang terdengar berlebihan dengan menolak ajakan orang untuk berkenalan dengan baik. Tapi, apakah kalian juga ingin menerima perkenalan dari orang yang sebelumnya bersikap sangat tidak menyenangkan? Apalagi pria itu juga sempat berkata bahwa tidak ingin lagi bertemu denganku.

Meskipun pria itu mengiraku penguntit karena dia salah paham tentangku, tetap saja. Sifat aslinya saja sudah terlihat tidak menyenangkan sebagai orang asing, apalagi jika sudah kenal.

Kini, bukannya pria itu yang membalas perkataanku, melainkan seorang perempuan cantik dengan rambut bergelombang memajukan langkahnya untuk berhadapan denganku.

Perempuan itu adalah perempuan yang kulihat kemarin saat aku sedang makan siang dengan Kak Andra, Sera, dan Kak Leo. Perempuan yang selalu bilang tidak pada pria yang menghakimiku kemarin.

“Tenang aja, kali ini dia udah paham kok. Dia juga mengaku bahwa dia salah paham aja sama lo. Dan lo gak perlu ragu buat saling kenal sama dia. Kalian sama.” Kata perempuan itu. “Ah, sorry lupa ngenalin diri juga. Gue Freya Iswari. Biasa dipanggil Freya.” Sambungnya dengan tersenyum ramah ke arahku.

Aku tidak melihat niat-niat aneh dalam diri perempuan itu. Maka aku meraih tangannya dengan tangan kananku. Kami pun berjabatan tangan. “Gue Bellova. Panggil Bell aja.” Ujarku tanpa mengumbar nama panjangku. Dan sebenarnya aku malas saja menyebutkan lengkapnya.

Kudengar pria bernama Jarvis itu mendengus. Sepertinya dia kesal karena tadi tidak kubalas seperti ini.

“Senang berkenalan denganmu. Dan gue rasa lo gak perlu panggil kita dengan embel-embel ‘kak’. Yang santai aja. So, bisa kita bicara bertiga?” Tanya Freya.

Meski begitu, aku masih merasa ragu. Genggaman tanganku sedikit mengerat pada cup berisi minuman boba yang kubeli tadi.

Aku memang masih kesulitan membuka diri dengan orang lain. Rasa tidak nyaman dalam diriku pun masih sangat terasa.

“Waktu gue udah habis di sini. Karena gue setiap hari dianter-jemput. Dan sekarang gue rasa kakak gue udah nunggu di depan gerbang. Lain kali ya… gak bisa sekarang.” Ujarku begitu saja.

Kulihat Freya mengangguk dan tersenyum meski tidak terlalu lebar. Sepertinya perempuan itu sangat menyayangkan diriku pulang cepat. Sedangkan Jarvis, pria itu hanya diam saja.

Dan akhirnya aku terbebas dari mereka berdua. Dengan segera aku berjalan cepat menuju gerbang dan melihat siapa yang menjemputku kali ini.

Hal yang cukup membuatku terdiam beberapa detik, lalu segera memutuskan masuk ke dalam mobil jazz putih itu. Sebelum si pemiliknya mendelik marah karena tidak sabaran.

Kak Elang. Demi apa dia mau menjemputku??

“Bang Wara dinas. Ravi ada tugas kelompok yang harus diselesaikan sampai sore. Dan kamu… orang manja yang gak mau naik kendaraan umum, gak bisa nyetir sendiri, dan selalu bergantung. Jadi jangan salah paham kenapa aku mau jemput. Terpaksa.”

Tuh kan, padahal aku belum menyapa atau pun mengucap apa-apa. Namun pria di sebelahku ini begitu sinis sekali menjelaskan semuanya.

“Kalau Ibu beliin aku mobil, aku juga bakalan nyetir sendiri. Sayang aja Ibu kan ngelarang aku bepergian sendiri. Lagian kalau Kak Elang gak mau jemput, ya gak usah dijemput lah. Biar gak ter-pak-sa!!” Balasku tegas dengan penekanan di akhir.

Kulihat tatapan Kak Elang langsung melirik tajam. “Sabuk pengaman!!” Tegasnya. Ia tidak membalas perkataanku, melainkan langsung mengingatkan pada hal lain.

Aku hanya menghembuskan napas pelan. Sedikit merasa tertekan karena yang menjemputku adalah Kak Elang. Rusak saja moodku. Dia itu adalah seorang kakak yang paling menyebalkan di antara ketiga kakak-kakakku.

Sesuai perintahnya, aku pun sudah memakai sabuk pengaman. Dan mobilnya pun melaju dengan kecepatan sedang. Menebas angin sepoi di jalanan dan berbaur dengan kendaraan lain.

Perjalanan pulang dari kampus sampai rumah, aku sama sekali tidak bicara dengan Kak Elang. Memang benar-benar tidak seru jika dengannya. Kak Elang adalah orang yang enggan berbasa-basi dengan siapa pun, kecuali Ibu. Ah, yang penting dengan dijemput begini sebenarnya aku sudah bersyukur.

***

Hari cepat dilalui. Sudah empat hari berlalu, hari weekend pun juga sudah kunikmati dengan berada di rumah saja dan menikmati series fantasi tentang berhadapan dengan monster.

Kuakui diriku ini malas menyapa Ibu yang setiap hari selalu berada di dapur untuk membuatkan pesanan catering atau pesanan lainnya dari orang lain. Lagi pula sudah banyak karyawan yang membantu Ibu dengan senang hati. Jadi selama weekend kemarin kusegarkan pikiranku dengan menonton series film, menghuni kamar dari pagi hingga sore, dan sama sekali tidak memikirkan tentang jam saku dan hal yang berkaitan dengan itu.

Jujur, setelah membuka kotak dari ayah dan jam saku itu ada padaku, efek sampingnya benar-benar membuat hidupku jauh lebih tenang dari sebelumnya.

Aku tidak pernah lagi teleportasi secara tiba-tiba. Aku bisa tidur nyenyak seperti manusia lain tanpa merasa tengah berada di ruangan gelap tanpa gravitasi itu.

Aaah, hidupku normal. Aku mampu menikmati setiap waktu, merasa santai, dan tidak lagi terkekang dengan semua tanda tanya itu.

Tapi, beberapa jam lalu aku mulai menyimpan pertanyaan yang butuh jawaban penting. Pertanyaannya adalah, untuk apa aku memiliki kemampuan seperti ini? Ditujukan pada siapa? Karena tidak mungkin untuk diriku sendiri. Lalu, jika memang ada sangkut pautnya dengan seseorang, kemampuanku dan kakak-kakakku ini untuk membereskan masalah apa?

“Bellova!!”

Suara seorang pria memanggilku. Aku yang hendak berjalan mendekati kelas, terpaksa berhenti sejenak dan menoleh ke belakang. Suasana hatiku pun menjadi berubah kesal. Pria itu adalah Jarvis.

Aku menghembuskan napas panjang dan memasang wajah datar. “Kenapa manggil gue?” tanyaku.

“Kita itu satu server. Dengerin dulu penjelasan gue.” Tegasnya padaku, bahkan sampai menahan siku tangan kananku agar aku tidak berjalan menjauh darinya.

Tentu saja langsung kuhentak tangan Jarvis begitu saja. Hal paling membuatku risih adalah sampai menyentuh fisik tanpa seijinku dan dengan cara tiba-tiba tanpa gerakan yang sopan. “Gak usah nyentuh kan bisa. Dan maksud lo satu server satu server itu gak jelas banget!! Gak usah ngejar-ngejar orang dengan hal yang gak jelas kayak gitu.” Ujarku.

Namun Jarvis tetap mengejarku dengan mempercapat langkahnya yang lebar. “Lo punya jam saku yang sama kayak punya gue. Tempus Itinerantur, itu tulisan di baliknya kan? Kita satu server!!” Tegasnya dengan suara yang mampu didengar oleh mahasiswa lainnya.

Membuatku mengernyitkan dahi dan langsung berhenti melangkah. Aku menoleh ke belakang. “L-lo… juga punya jam saku yang sama kayak gue?” Tanyaku yang kini menjadi luluh. Perkataan Jarvis berhasil membuatku tidak ingin menghindarinya lagi.

Jarvis mengangguk dengan napas yang sedikit memburu. “Ya, dan gue bisa ngelihat jam saku lo tanpa halangan.” Ujarnya.

*****

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!