Bodoh dan malu. Dua kata itu cocok sekali untuk keadaanku saat ini. Dalam keadaan rambut tergerai bebas, memakai setelan piyama lengan panjang yang kelonggaran, lalu tidak memakai alas kaki. Apalagi wajahku juga se-natural itu, tidak memakai bedak sedikit pun, apalagi liptint.
Demi apa pun, sungguh aku sangat malu. Sekarang beberapa pengunjung perpustakaan itu menatapku heran dan mereka mengernyitkan dahi dan alis. Seolah sedang melihat orang aneh atau orang gila yang dibiarkan masuk ke dalam perpustakaan kota.
Ditambah lagi aku baru sadar, kalau piyama yang kupakai ini adalah piyama yang dibelikan Kak Ravi bulan lalu. Piyama yang bermotif full karakter minion. Tentu aku terlihat mencolok dengan piyama warna kuning ini.
Ouh, damn!! Bagaimana caranya kembali lagi ke kamarku?
Jam saku? Ah, aku masih menggenggam jam saku itu di tangan kananku. Kulihat jam saku itu kini menyala, detik jarumnya tampak bergerak pelan detik demi detik. Lalu aku menatap lurus, sorot kedua mataku langsung bersitatap dengan pria yang kulihat di layar dimensi tadi.
Pria yang memakai topi putih dan rantai kalungnya juga masih terlihat bercahaya keemasan di mataku.
Ya, pria itu kini juga menatapku heran. Dan sepertinya dia ingat siapa aku. Lalu kini ia berjalan pelan menujuku.
“Lo… cewek yang pernah ketemu sama gue di kampus kan? Di taman tunas bangsa?” Tanya pria itu. Sepertinya ia sangat yakin dan ternyata ingatannya tajam.
Aku pun memasang cengiran ragu dan mengangguk pelan.
“Lo kenapa kayak gini dan di sini? Oh, lo juga gak pakek alas kaki. Lo baik-baik aja?” Tanyanya yang sepertinya peduli.
Namun, aku hanya bisa menelan ludah. Lidahku kelu untuk menjawab pertanyaannya. Lagi pula orang gila sekali pun tidak akan bisa masuk ke dalam perpustakaan ini, perpustakaan kota yang tentu memiliki area resepsionis dan penjaga.
Aku tidak menjawab pertanyaan pria itu. Perlahan aku mundur, lalu bergegas lari menuju entah ke arah mana saja yang membuatku yakin bahwa area itu lebih sepi dari area yang lain.
Tentu aku tidak ingin menimbulkan kegaduhan. Apalagi ada beberapa pelanggan perpustakaan yang sudah melihat dan menatapku dengan aneh. Aku tidak mau diusir dengan cara yang memalukan. Lebih baik aku harus segera paham kinerja jam saku itu dan bisa kembali ke kamarku lagi seperti tadi.
Lega karena kini aku berada di lorong rak paling belakang dan sepi, aku langsung menuju ke area paling sudut. Tadi saat berlari, aku sempat melihat ke belakang sesekali. Dan sepertinya pria tadi mengikutiku.
Napasku memburu, jantungku berdegup kencang seakan sedang dikejar monster. Sungguh, aku ingin kembali ke kamarku saja. Bisa atau tidak ya?
Kutatap jam saku yang kugenggam, seraya terus merapal dalam hati dan memejamkan mata untuk bisa kembali ke ruangan tanpa gravitasi itu lagi. Dan… SLAP!! Ah, aku langsung berada di ruangan hitam lagi. Dengan melihat beberapa layar dimensi seperti tadi.
Tentu aku sudah membuka mata. Dan aku melihat layar dimensi yang menunjukkan perpustakaan tadi, tepatnya di area di mana aku resmi menghilang. Terpampang jelas bahwa pria tadi mencari-cari keberadaanku, ia terlihat kebingungan saat merasa yakin bahwa ia sudah mengikuti langkahku dengan benar, namun aku tidak ada di sana.
“Hahahaha, asik juga ya.” Gumamku yang terheran-heran bahwa diriku sendiri bisa seperti ini. Tapi aku kasihan juga dengan pria itu, sepertinya tadi ia benar-benar ingin menolongku.
Masa bodoh saja. Aku langsung fokus menatap layar dimensi yang menampilkan area kamarku.
SPLASH!! Sepersekian detik aku langsung kembali ke kamarku lagi. Dengan posisi duduk bersila seperti tadi. Ouh, aneh ya? Kupikir hanya ruhku saja yang melalang buana, tapi ternyata ragaku juga.
“Gilaaa. Ini tadi beneran bukan mimpi?” Tanyaku dengan menatap jam saku. Kini jarum jam saku itu tidak lagi bergerak, dan hal itu cukup membuatku bingung.
Aku langsung mengambil sembarang buku tulis dan pulpen. Langsung duduk di kursi meja belajar, lalu aku segera mencatat apa yang sudah terjadi tadi.
Bodohnya, aku tidak melihat jam. Namun sepertinya kini aku teleportasi di waktu yang benar, tidak memakan banyak waktu seperti saat aku berada di kampus. Buktinya saja sekarang masih jam delapan malam lewat lima belas menit. Itu berarti, teleportasiku tadi memang sesuai dengan waktu, tidak melampaui waktu.
“Bentar deh… kayaknya waktu gue teleportasi tadi, jarum jamnya gerak. Jamnya nyala juga. Apa cara kerjanya gitu? Jam sakunya akan menyala ketika gue teleportasi? Kalau udah selesai, gak nyala lagi jamnya. Aaaahh, I see.” Gumamku sendirian, lalu menambahkan poin penting yang kukatakan sendiri itu ke dalam tulisanku.
Kucatat saja pada bagian buku tulis yang kosong. Setelah selesai menulis, langsung kusobek saja kertas dari buku tulis itu dan kutempelkan menggunakan paku push pin pada papan gantung di atas meja belajarku, tepatnya papan gantung yang berada di dinding.
“Apa gue coba lagi ya?” Tanyaku pada diriku sendiri. Jujur, perihal teleportasi aku memang belum menguasai itu. Jika tidak kucoba untuk kukendalikan dengan baik, tentu nanti aku tidak bisa mengontrol diri.
Baiklah, sepertinya aku ingin terus mencoba saja. Sampai aku benar-benar paham dan bisa mengendalikan diri jika sedang berada di luar. Juga sampai aku benar-benar bisa menguasai hal itu.
Aku kembali ke ranjang dan duduk dengan nyaman. Kugenggam lagi jam saku tersebut di tangan kananku. Kugenggam dengan sedikit lebih erat lagi. Lalu kupejamkan kedua mataku seakan sedang mencari titik fokus.
Dalam fokus itu, aku bisa merasakan dan mendengar detik jarum jam di telingaku. Dan ya, aku kembali lagi di ruangan tanpa ujung. Ruangan hitam itu dan kini sudah terpampang beberapa layar dimensi yang menampilkan tempat atau lokasi lain. Sepertinya layar-layar itu memang sebagai pilihan agar aku bisa teleportasi ke mana dan di mana.
Tadi aku sempat melihat jam di ponsel. Pukul 20:20 tepat sebelum aku duduk di ranjang. Kucatat waktu itu dalam pikiranku.
Kini aku melihat pria yang tadi lagi, sedang berjalan kaki menyusuri trotoar jalanan yang sepi dengan jajaran lampu-lampu tiang yang lumayan terang. Sepertinya pria bertopi itu sedang perjalanan pulang setelah meminjam buku dari perpustakaan kota.
Padahal aku tidak tertarik untuk berteleportasi ke pria itu lagi. Namun lagi dan lagi secara otomatis tubuhku langsung tertarik ke sana.
SPLASH!!
Aku kini sudah berdiri di belakang pria itu. Aku merasa heran, gugup, dan melongo sejenak sambil menatap punggung pria itu yang berjalan menjauh.
Aku menunduk dulu, menatap kedua kakiku yang telanjang dan merasakan pasir-pasir kecil menempel pada telapak kakiku. Ah, seharusnya aku juga memakai sandal tadi.
“Lo lagi? Hei, lo ngikutin gue ya? Lo penguntit? Sebenernya lo ngapain sih?”
Aku pun langsung mendongak ketika mendengar rentetan pertanyaan itu. Kutatap kedua sorot mata elang dari pria bertopi putih tadi. Tunggu, sejak kapan ia sudah berada di hadapanku? Ouh, ****! Aku harus bagaimana?
“Ah, engg… anu Mas, g-gue-----”
“Mas mes mas mes! Gue bukan mas-mas penjual nasi goreng. Lo mahasiswa di kampus yang sama kayak gue kan? Lo yang tadi siang nyasar ke taman tunas bangsa kan? Jawab!” Pintanya dengan tegas.
Aku pun langsung mengangguk. “I-iya…”
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments