TEMPUS 5 : Kotak Dari Ayah

Sampai di dalam kamarku, Bang Wara langsung saja duduk manis di tepi ranjangku. Dia memang tidak pernah sopan kalau sudah denganku, selalu saja langsung menuju ranjangku jika masuk ke dalam kamarku. Padahal aku ingin menyuruhnya duduk di kursi meja belajar saja. Tapi ya sudah lah, aku tidak ingin meributkan hal itu.

Langsung saja aku membuka laci meja belajarku. Kukeluarkan sebuah kotak berbahan kayu jati asli dari dalam sana. Degup jantungku agak berdebaran ketika menyentuh kotak itu. Sepertinya kali ini aku merasa antusias.

"Cepat bawa ke sini… jangan cuman kamu pandangi saja kotak itu. Kalau terus dipandangi mana bisa terbuka, kecuali kalau kamu bisa mengendalikan apa pun melalui pikiran." Ujar Bang Wara yang selalu saja tidak sabaran.

Aku berdecak dan membawa kotak itu padanya. Setelah pantatku mendarat juga di tepi ranjangku, Bang Wara langsung saja meraih kotak kayu itu dariku. Membuatku berdesis karena kesal. Sebenarnya siapa yang paling antusias membuka kotak itu? Harusnya aku kan?

Sebelum membuka kotak itu, Bang Wara menyempatkan mengamati seluruh bagian permukaan kotak itu terlebih dahulu. Entah tujuannya apa aku tidak tahu. Yang pasti aku masih mengamatinya saja.

"Tempus Itinerantur." Ujar Bang Wara.

Aku melongo saja, karena tidak paham ia bicara apa. "Hah?" Tanyaku seperti orang yang sedang diajak bicara ketika sedang berada di boncengan motor.

"Bahasa latin, artinya perjalanan waktu. Time travel. Ini beda…" gumam Bang Wara.

Aku mengernyit heran. "Apanya yang beda sih? Kotak punya abang juga sama kan bentuknya?"

"Sama, tapi setiap kotak yang diberikan Ayah ke kita semua, punya tulisan yang berbeda Lova."

"Oh ya? Emang punya abang, punya Kak Ravi, sama punya Kak Elang tulisannya apa?" tanyaku penasaran. Aku baru tahu juga kalau ada tulisan di bagian bawah kotak, dan ternyata semua kotak kami berempat terdapat tulisan yang berbeda.

"Punya abang sendiri bertuliskan 'Odor' yang berarti indera penciuman atau dalam ranah bau dan aroma. Kalau punya Ravi, tulisannya 'Tace' artinya diam. Punya Ravi emang gak ada fungsinya, dia orang normal, karena 'Tace' yang artinya diam itu memang sebagai tanda bahwa Ravi gak punya power khusus." Jelas Bang Wara.

Aku mengangguk-angguk, meskipun tetap saja masih sedikit asing untuk kupahami. "Kalau punya Kak Elang?"

"Punya Elang, tulisannya 'Futurum' artinya masa depan. Dia bisa ngelihat masa depan, tapi hanya di saat dia sendiri yang menghendaki itu."

"Maksudnya gimana Bang?"

"Ya kalau Elang lagi sengaja lihat masa depan, itu artinya atas kehendak dia sendiri. Biasanya hal itu terjadi ketika Elang ngerasa dirinya terancam, terganggu, atau sedih. Kayak contohnya tadi pagi deh, kamu kan pas mau sarapan lagi ngelihatin dia, dia langsung negur kamu kan meskipun dia gak ngelihat ke kamu?"

Aku mengangguk sebagai jawaban.

"Nah, itu artinya Elang lagi ngelihat masa depan di beberapa menit selanjutnya akan terjadi apa. Dan dia udah tahu kalau kamu bakal ngelihatin dia, itu berarti dia lagi sengaja aja ngelihatin masa depan."

"B-berarti… Kak Elang udah tahu dong masa depan bertahun-tahun kemudian dan yang terjadi pada kita semua ini bakal gimana dan kenapa?" Tanyaku yang sudah panik lebih dulu.

Bang Wara terkekeh sambil menoel pelan pucuk hidungku. "Lova, gak gitu konsepnya. Elang, cuman bisa ngelihat masa depan tentang apa yang akan terjadi pada diri dia sendiri. Fokus dan dominannya di situ, bukan di orang lain. Ya dia bisa sih kalau mau melihat masa depan orang lain, tapi caranya agak ngeri."

Aku mengernyit penasaran. "Emang gimana?"

"Orang yang ingin tahu masa depannya seperti apa, harus ngasih satu tetes darahnya ke Elang."

"HAH??" Pekikku kaget.

"Bukan seperti yang ada di pikiranmu!! Elang gak meminum atau pun menjilat tetesan darah itu. Pokoknya satu tetes darah orang lain yang terkena kulit dia, dia langsung tahu masa depan orang itu kayak gimana, gambarannya kayak lagi lihat trailer film yang mau dirilis." Jelas Bang Wara, kali ini langsung membuat bulu kudukku meremang.

Kemampuan Kak Elang ternyata sedikit seram, namun menurutku juga sangat keren. "Gila. Jadi Kak Elang juga udah tahu dong masa depannya seperti apa?" Tanyaku lagi.

Dan Bang Wara langsung menggeleng. "Nggak, dia gak pernah berusaha lihat masa depannya sendiri. Dia cuman lihat masa depan di beberapa menit selanjutnya, atau beberapa jam selanjutnya. Dia punya remnya sendiri, Lova. Jadi bisa bisa kontrol diri. Maka dari itu, itu alasan Elang takut atau menghindari terkena luka atau darah sejak dia masih kecil."

Aku mengangguk paham. Ternyata usaha Kak Elang yang selalu menghindari darah karena hal itu. Pantas saja cita-citanya yang menjadi dokter, harus pupus tertelan begitu saja.

Yang kulihat kini, Bang Wara tampak membuka kotak kayu jati itu. Awalnya kesulitan, karena sejak dulu aku benar-benar tidak pernah mau membuka dan bahkan pernah kutimbun dengan banyak barang, sebelum akhirnya kupindahkan ke laci meja belajar agar tidak lupa bahwa harus dibuka disaat umurku sudah cukup.

Sekarang waktunya, dan sepertinya aku harus siap-siap menerima benda apa yang harus kubawa setiap hari.

Aku menelan ludah karena gugup, seraya mengeratkan kedua tanganku di pangkuanku sendiri. Hingga akhirnya... kotak kayu jati itu pun terbuka sempurna.

Bang Wara tampak menyipitkan mata saat ada semburat cahaya keemasan yang hanya sepersekian detik saja munculnya. Seolah benda yang ada di dalam kotak itu begitu senang ketika rumahnya dibuka. Seolah pancaran cahaya keemasan tadi berupa tanda, bahwa bend aitu masih berfungsi dengan baik.

"Jam saku kuno." Ujar Bang Wara, sambil menunjukkan isi kotak itu padaku. Ia menyuruhku untuk memegang sendiri. Dan aku pun langsung menerima kotak itu.

Kuamati sejenak benda yang disebut jam saku kuno itu. Lalu aku mengangkat benda itu dengan tangan kananku. Kuangkat jam saku itu sampai kepalaku mendongak.

Dan karena terkena sinar mentari sore yang menelusup melalui jendela kamarku yang terbuka, jam saku kuno yang berwarna emas itu pun berkilatan. Layaknya perhiasan yang masih baru dibeli dari toko emas.

"Wow…" gumamku kagum. "Tapi Bang, kok jarumnya gak gerak ya?" Tanyaku heran.

"Nona Bellova, kamu itu mahasiswa. Harusnya tahu jawabannya. Ayah memberikan kotak itu tepat beberapa hari sebelum dia pergi. Artinya, saat kamu masih balita. Pikir saja sendiri mengapa bisa jarum jam saku itu tidak bergerak. Kurasa kamu bukan balita lagi." Ujar Bang Wara dengan ketus, sambil beranjak dari duduknya. Mungkin dia geregetan dengan pertanyaanku.

Aku pun memasang cengiran saja. "Hehe, abisnya benda ini kelihatan seperti baru dibeli. Nggak berkarat sama sekali. Jadi spontan bertanya seperti tadi, aku kira masih bisa berfungsi. Kalau gitu, Bang Wara bisa hidupin jam ini?"

Bang Wara terlihat menghela napas pelan. Ia menatapku dengan berdecak, lalu menengadahkan tangannya, meminta jam saku milikku.

Kuberikan langsung benda itu padanya. Dengan senang hati aku pun ikut berdiri.

"Sepertinya di kamarku masih tersedia beberapa baterai jam saku. Ikut aku." Perintah Bang Wara. Aku pun ikut saja, seperti anak kucing yang bergantung pada induknya.

*****

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!