Sesuai dengan apa yang sudah Bang Wara jelaskan tadi tentang bahasa latin yang tertulis pada bagian bawah kotak miliknya dan bagian belakang Pocket Watch itu. Odor, yang artinya indera penciuman atau bau. Odor ya, bukan outdoor.
Kini pun aku mulai mendengarkan Bang Wara yang mulai bercerita juga. Tentang bagaimana sebelum ia membuka kotak dari ayah, hingga ia sudah memahami benda miliknya itu.
“Yang menyuruh paksa membuka kotak dari ayah itu, tentu saja Ibu. Karena abang sendiri pun ragu. Dulu, kotak milik ketiga kakakmu ini semuanya dipegang sama Ibu. Karena Ibu takut jika ada yang membuka sebelum usia 17 tahun. Kalau kutanya mengapa harus dibuka di atas usia itu, jawaban Ibu selalu sederhana. Katanya, ya biar cukup umur saja untuk menghadapi apa yang akan terjadi. Tentu abangmu ini juga bingung, Lova. Tapi ya sudah lah, akhirnya kami bertiga menurut dan membuka kotak dari ayah di usia yang cukup. Meskipun hampir setiap hari juga abang, Ravi, sama Elang berbondong-bondong mencari cara untuk bisa mengambil kotak itu dari Ibu. Tapi tetap saja kami kalah, Ibu selalu menyimpannya dengan sangat baik di tempat yang tersembunyi.”
Aku terkekeh mendengar hal itu. Tentu ketiga abangku itu pasti sama-sama penasaran sekali dan ingin mengetahui apa isinya. Layaknya sedang mendapatkan kado.
“Terus, Bang Wara juga mengalami hal-hal sepertiku tidak?” Tanyaku.
Bang Wara mengangguk. “Tentu saja, tapi tidak seperti kamu, tentu berbeda. Coba cium pocket watch ini.” Suruhnya.
Aku bingung dengan mengernyitkan dahi. Karena bukannya melanjutkan cerita, namun Bang Wara menyuruhku mencium pocket watch itu.
Kucondongkan kepalaku ke depan, mengarahkan pucuk hidungku pada pocket watch yang dipegang Bang Wara dalam kondisi terbuka. Dan ternyata… benar-benar di luar dugaanku. Tercium aroma yang begitu harum sekali, padahal seharusnya yang kucium adalah aroma besi atau logam, atau bahkan seharusnya tidak ada bau.
Tentu aku melebarkan kedua mataku. “Ih, ternyata harum. Kok bisa sih Bang?” Tanyaku benar-benar keheranan.
“Ya bisa lah, nyatanya kamu juga bisa mencium wanginya.”
“Abang kasih semprotan parfum ya jangan-jangan?”
“Dih, ngapain? Kurang kerjaan banget. Coba cium lagi!! Kamu gak akan familir sama baunya. Seperti parfum langka yang sulit ditemukan di bumi ini.” Ujar Bang Wara yang kembali mengarahkan pocket watch itu mendekat ke hidungku.
Aku pun menghirum aroma harum itu lagi. Dan benar, wanginya bukan wangi yang sering kutemui di banyak parfum pria maupun wanita. Wangia yang berbed sekali, namun ada sedikit aroma lavender, sepertinya campuran dari beberapa aroma bunga.
“Ada wangi lavendernya sedikit.” Ujarku.
“Benar, aku pun menebak seperti itu. Wanginya sangat menenangkan bukan?”
“Iya Bang, kayaknya wangi dari campuran beberapa bunga deh. Tapi aku gak bisa mikir itu semua campuran dari bunga apa saja.”
Bang Wara mengangguk. “Dan setiap kali mencium aroma dari pocket watch ini, abang seperti sedang melihat ingatan masa lalu. Namun sampai sekarang belum jelas itu apa.”
“Jadi kemampuan abang itu mencium bau?”
“Hahaha, bisa dikatakan seperti itu. Namun abang sendiri sampai saat ini masih kesulitan memahami dan menggunakan kemampuan itu, Lova.”
“Kenapa?”
“Sulit saja. Antara indera penciuman, dengan ingatan. Dari hasil mencium bau, abang pun langsung bisa melihat ingatan atau memori masa lalu. Masa lalu dari seseorang pun sepertinya bisa, hanya saja abang tidak berani mencoba dan meningkatkan kemampuan ini.”
Aku terdiam sejenak, berpikir bahwa mungkin saja Bang Wara memang takut mencoba karena belum siap jika harus menghadapi banyak hal. Aku pun terkadang merasa seperti itu. Tapi jika aku tidak bisa mengatasi hal-hal aneh yang terjadi setiap hari, kurasa aku sendiri akan tertekan.
“Tapi dari bau pocket watch itu, apa sih yang abang lihat?” Tanyaku lagi.
“Sepertinya masa lalu ayah. Lingkungannya kuno sekali, seperti sebuah lapangan luas, dikelilingi pegunungan, seperti sedang berada di luar negeri, bukan di Indonesia. Ada hembusan angin yang sepertinya terasa begitu dingin. Bunga-bunga di lapangan itu juga sedikit membeku dan pucat, tapi abang gak pernah melihat adanya ayah. Abang hanya melihat sebuah tangan yang memegang buku catatan dengan sampul berbahan kulit dan berwarna coklat. Posisi melihat itu, layaknya abang sedang melihat tangan sendiri dengan kepala menunduk. Tapi… abang rasa itu adalah tangan dan tubuh ayah. Tapi abang masih gak ngerti itu apa dan kenapa.”
Aku mengangguk paham. “Apa ayah berusaha menyampaikan masa lalu dari aroma di pocket watch ini? Melalui kemampuan abang, mungkin.”
Mendengarku mengatakan hal itu, Bang Wara langsung mengernyit. “Lova, apa selama ini kamu juga tidak percaya bahwa ayah meninggal?”
Kini, kekhawatiranku tentang hal itu pun akhirnya diungkit oleh Bang Wara. Aku pun langsung mengangguk saja. “I-iya. Aneh saja. Selama aku hidup, kalian semua tidak ada yang pernah menjelaskan ke mana ayah. Kalau meninggal, harusnya kalian menceritakan padaku apa sebabnya beliau meninggal. Ibu pun gak pernah kan ngajakin kita berziarah kubur. Alasannya makamnya jauh, tapi kenapa tega Ibu gak berziarah selama bertahun-tahun?”
“Sebenarnya, memang terjadi sesuatu sama ayah. Hanya saja Ibu gak pernah mau menceritakan hal itu. Abang rasa, Ibu mengalami trauma. Dan abang rasa, kita berempat yang mencari tahu sendiri. Lova, ketiga kakakmu ini sebenernya emang nungguin kamu ngebuka kotak itu. Dan sekarang kan sudah, nanti abang yang atur kapan kita harus ngumpul.”
“Ngumpul di mana dan untuk apa Bang?”
“Kamu akan tahu.” Jawab Bang Wara singkat, kulihat ia sambil menghela napas berat.
“Kembali ke topik tadi Bang, emang abang bisa ngelihat masa laluku?” Tanyaku. Ya, aku terus saja penasaran.
Bang Wara mengangguk. Ia langsung mencondongkan tubuhnya padaku. Bang Wara menghirup aroma tubuhku di bagian leher. Sontak, aku malu dan memukul lengannya.
“Bang!! Aneh ih!!” Pekikku yang kaget.
“Memang begitu cara abang mengenali bau dari orang lain. Abang pun sering melihat masa lalu Ibu ketika memeluk Ibu.”
Aku pun terdiam dan heran. “Oh.. terus apa yang abang lihat dari aku?”
“Kamu memiliki satu masa lalu yang terus tersimpan setiap hari. Masa lalu itu cuman berupa kenangan bermain bersama kita semua saat kamu menginjak masa TK. Benar?”
Aku membulatkan mataku. “Wih, keren. Bener. Hehe, abisnya aku suka aja inget-inget itu. Seru, tapi nggak bisa diulangin.” Ujarku jujur.
Bang Wara tersenyum saja. Mungkin dia juga ingin mengulang masa kanak-kanak yang menyenangkan.
“Kalau masa lalu Ibu?” Tanyaku lagi.
“Sebuah trauma, tapi abang gak bisa cerita sekarang. Sudah waktunya kamu balik ke kamar dan mandi.”
“Ish, resek kamu Bang!! Bilang aja kalau gak mau certain. Ya kan?”
“Nggak gitu Lova! Memang sudah hampir gelap dan abang masih ada kerjaan tuh.” Ujarnya sambil menunjuk meja kerja dengan komputer yang lampu powernya berkedip-kedip, tanda bahwa komputer itu dalma mode sleep.
Aku mendengus pelan. “Ya elah, nanggung banget.”
“Besok atau kapan kan masih bisa cerita, kayak apa aja, kita kan serumah! Udah ah, sana. Lebih baik kamu segera bisa memahami cara kerja jam sakumu itu!!” Tegasnya yang langsung mengibaskan tangannya, seperti gerakan mengusir.
Alhasil, aku pun bangkit saja dan keluar dari kamarnya sebelum Bang Wara berubah menjadi singa. Ah, tidak benar-benar berubah. Maksudku dia juga bisa semarah itu kalau sudah merasa terganggu.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments