NovelToon NovelToon

Tempus Itinerantur

TEMPUS 1 : Duniaku

Dingin.

Sunyi.

Sepi.

Tubuhku melayang seperti sedang berada di dalam air. Namun disekeliling tubuhku tidak ada air sama sekali. Bahkan rambut-rambutku yang tergerai melayang-layang dengan lembut.

Ah, lebih tepatnya aku berada entah di mana dan ini tidak ada gravitasi bumi sama sekali. Tepatnya seperti ruang angkasa. Namun kurasa ruangan ini tidak berujung. Tidak ada atas ataupun bawah, tidak ada depan dan belakang, apalagi kiri dan kanan.

Kosong.

Hampa.

Luas.

Ciri khas saat aku mengalami hal seperti ini adalah setelah lima menit kemudian, terdengar suara detik jarum jam. Detik jarum jam itu awalnya pelan seperti detik jarum jam dinding di rumah. Namun, semakin lama semakin cepat. Bahkan rasanya tidak nyaman di telingaku.

Cahaya? Ah, aku tidak melihat cahaya. Namun kondisinya di sini remang-remang. Tidak jelas bagian mana yang bercahaya. Kurasa bagian atasku, tapi aku tidak bisa melihat apakah itu cahaya atau bukan. Yang pasti itu bukan lampu sorot, lampu senter, apalagi lampu tidur. Tentu saja bukan.

Aku hafal dengan keadaan seperti ini. Keadaan seperti ini kualami setiap hari. Iya. Setiaaaaaappp hari. Tidak pernah terjeda. Dan hal ini kusebut sebagai alam bawah sadarku. Kutebak, sebentar lagi akan ada suara khas dari seseorang. Suara itu akan sangat lantang. Bahkan nanti pasti aku akan tertarik kembali pada dunia nyata.

"LOVAAAAAAA.. BANGUUUUNNN. PERGI KE KAMPUS!!"

Tuh kan! Pasti itu Daniz, Ibuku. Maaf aku menyebut namanya saja tadi. Maksudku aku ingin memberitahu kalau nama Ibuku adalah Daniza. Tetanggaku biasa memanggilnya 'Bu Daniz'.

Mendengar suara khas itu setiap pagi adalah jalan ninjaku untuk berhasil keluar dari hal aneh seperti tadi. Ya. Aku tidak pernah bermimpi. Aku memang tertidur, bahkan sangat nyenyak. Namun alam bawah sadarku lah yang setiap hari begitu. Berada di sebuah entah apa namanya itu. Ingin kusebut ruangan, tapi tadi itu bukan ruangan.

Kedua mataku tentu saja sudah terbuka sangat lebar. Kalau kubuka lebih lebar lagi, bisa-bisa keluar nanti bola mataku. Ah, jangan membicarakan yang seram. Aku takut membayangkannya.

Jam dinding di dalam kamar sudah menunjukkan pukul enam pagi. Jaman sekarang Indonesia jadi semakin panas saja suhunya. Kalian juga merasa begitu tidak?

Kalau menurutku sih panas. Aku tinggal di Jawa Barat bagian dari Pulau Jawa di negara ini. Ya. Aku tinggal di kota Depok. Awalnya aku tinggal di Ibukota negara ini, namun karena satu dan lain hal keluargaku pindah ke kota Depok.

Aku anak bungsu di dalam keluargaku. Aku anak keempat, dari empat bersaudara. Usiaku delapan belas tahun, dan hari ini adalah hari ke delapan aku berangkat ke kampus.

Kurasa aku termasuk dalam kategori mendapat hoki. Aku tidak ingin sombong, namun aku bangga aku bisa masuk ke dalam universitas paling popular di kota Depok. Kalian cari tahu saja di internet, universitas apa yang terkenal di kota Depok. Yang jelas universitas tempatku menambah ilmu ada diurutan nomor satu.

Aku masuk ke dalam Fakultas Ekonomi dan Bisnis, singkatnya FEB. Dan aku memilih jurusan manajemen, ambil kelas master. Jadwal kuliahku di hari senin sampai jum'at. Bisa memilih kelas pagi yang dimulai jam sembilan, atau mengikuti kelas sore yang dimulai sekitar jam setengah tujuh malam.

Jurusan manajemen memang sengaja kuambil begitu saja. Setidaknya cita-citaku tidak terlalu muluk-muluk. Aku hanya ingin bekerja di sebuah perusahaan dan menjadi tim divisi keuangan. Itu saja. Yang penting sukses. Ah iya, lebih tepatnya aku mengambil jurusan Manajemen Keuangan, sub programnya Corporate Finance.

Ya sudahlah. Sekarang aku mau mandi dulu. Sebelum ibu negara masuk dan menjajah kamarku yang seperti kapal pecah ini.

Setelah selesai mandi, rutinitasku adalah melihat wajah Ayahku yang ada di sebuah pigura. Itu foto keluarga. Di dalam foto itu aku duduk dipangkuan Ayah, saat itu umurku masih sekitar dua tahun. Masih balita. Belum mengerti keadaan sekitar.

Kata Ibu, Ayahku meninggal saat umurku menginjak tiga tahun. Dan saat aku sudah mengerti apa itu meninggal, saat kutanya di mana makam Ayah, Ibu selalu menjawab 'jauh'. Dan sampai sekarang aku tidak pernah pergi ke makam Ayah.

Sebenarnya ada sebuah kotak aneh untukku. Kata Ibu, aku boleh membukanya saat usiaku sudah tujuh belas tahun. Tapi sengaja belum aku buka sampai sekarang. Aku takut dengan isinya. Kata Ibu, itu dari Ayah.

Sebuah kotak berukuran sedang. Bentuknya persegi empat, alias gambaran tepatnya adalah berbentuk kubus. Kotak itu berbahan kayu jati asli dengan warna plitur yang sudah sangat tua. Sehingga kotak itu warnanya coklat gelap. Kotak itu masih setia berada di dalam laci pertama meja belajarku. Kotak itu bergembok dan kunci kecilnya ada pada gantungan ritsleting tas ranselku.

Klek!!

"Lova. Kamu sebenarnya sedang apa? Sudah hampir jam tujuh. Turun ke bawah dan makan." Tegas Ibuku yang pagi ini masih mengenakan celemek di pinggangnya.

Aku menyengir. "Hehe, baik Bu.."

"Kakak-kakakmu mengomel di bawah. Kamu tidak segera turun. Mereka menantimu untuk sarapan."

"Iya Bu, aku akan segera ke bawah." Ucapku.

"Terus itu mau ngapain lagi kamu?"

"Sebentar, aku mau memilih jaket." Jawabku pelan.

Ibuku mendecakkan lidahnya. Mungkin gemas denganku yang memang tidak bisa bertindak cepat. Beliau turun ke lantai bawah lebih dulu. Setelah itu tentu saja aku menyusul, aku tidak ingin dilempari piring berbahan melamin lagi.

"Pagiii semuanyaaaa.. maaf ya Lova telat bangun." Ucapku menyapa dan meminta maaf pada kakak-kakak lelakiku.

"Apa masih 'seperti itu' lagi?" Tanya Bang Daniswara Zachary. Dia kakak pertamaku. Namanya memang mirip dengan Ibu, dan aku lebih suka memanggilnya 'Bang Wara'. Usianya beda sembilan tahun denganku, Bang Wara berusia 27 tahun dan belum menikah. Dia yang paling paham tentang alam bawah sadarku.

"Iya. Biasa. Setiap hari juga begini." Jawabku dengan mulai mengambil nasi.

"Apa susahnya sih buka kotak dari Ayah? Kamu tuh harus buka kotaknya." Ucap Bang Wara dengan tegas.

"Biarin Lova lah Bang.. itu hak dia mau membukanya atau tidak." Sahut Kak Ravi, dia kakak ketigaku. Nama panjangnya Ravindra Zachary. Orangnya perhatian, suka sekali membela adik perempuan satu-satunya ini. Dia berusia 20 tahun, beda dua tahun saja denganku.

Sementara Kak Elang kulihat sedang asyik makan dan membaca buku sejarah. Ya. Dia kakak keduaku. Namanya Elang Zachary. Kakak paling cuek sepanjang masa. Usianya 23 tahun, beda lima tahun denganku. Makan saja sambil membaca dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya fokus menyuapi makanan ke mulutnya. Tentu saja pandangannya hanya fokus ke buku. Aku hanya ingin bertanya sejak dulu, bagaimana bisa makan tanpa melihat ke piring? Bahkan melirik sekitar saja tidak.

"Jangan melihatku. Urus saja makananmu dan urusan duniamu yang lain itu." Tegas Kak Elang. Tuh kan, dia memang aneh. Padahal dia tidak sedang melihat sekitar tapi tahu kalau aku sedang mengamatinya.

Tunggu, tadi Kak Elang bilang agar aku mengurusi duniaku yang lain? Maksudnya apa ya? Memangnya duniaku berbeda sendiri? Hm, padahal aku ini bukan alien.

*****

TEMPUS 2 : Teleportasi

Seperti biasa, selesai sarapan aku naik lagi ke lantai dua menuju kamar lagi. Untuk mengambil perintilan-perintilan barang bawaanku ke kampus. Tas ranselku ini namanya tas backpack, tahu kan tas backpack? Yah memang tas ransel, tapi bukan tas ransel yang masih dipakai anak sekolah kebanyakan.

Lumayan modis kalau memakai tas backpack untuk ke kampus. Tas ranselku warna hitam. Dan aku juga hobi memakai jaket kulit, warna apa saja aku suka. Di kampus malah ada yang hanya memakai baju casual dan tas selempang unyuk, tapi buku-buku mereka dibawa di tangan. Aku anti rempong(ribet), aku tipe orang yang paling tidak suka membawa-bawa barang. Jadi lebih suka menggunakan tas ranselku saja atau tas selempang yang ukurannya besar, biar muat semua barang bawaan.

Setelah mengecek semuanya sudah lengkap, aku turun ke bawah lagi. Kulihat hanya ada Bang Wara yang masih duduk di meja makan.

"Kak Ravi dan Kak Elang mana?" Tanyaku.

"Biasa.. mereka sudah pergi sendiri-sendiri." Jawab Bang Wara. Bang Wara memang satu-satunya kakak yang dipanggil dengan embel-embel 'Bang' sendiri. Khusus begitu untuk Bang Wara, karena paling terlihat dewasa dan akrab saja kalau dipangil 'Bang' atau 'Abang'.

"Kak Ravi kayaknya sibuk banget ya sekarang." Gerutuku.

"Iya jelas. Dia kan masuk kedokteran. Mungkin setelah ini akan menghadapi koas dulu."

Aku mengangguk paham. "Untung beasiswa. Aku pengen kayak gitu."

Bang Wara langsung menjitak tipis kepalaku. "Udah terlanjur masuk universitas bayar mandiri gak pantes ngomong gituuu!!! Dasar! Udah ayok abang antar."

Aku cemberut saja. Tapi benar juga sih. Aku masuk ke Universitas Indonesia memang bukan karena beasiswa. Karena dukungan dari ketiga kakak-kakakku. Dan juga dukungan dari Ibu tentunya.

"Buuuuu.. aku pamit kuliaaahh.." teriakku karena Ibu masih ada di dapur.

Terlihat para karyawan catering menoleh semua. Aku nyengir saja dan menyapa mereka dengan anggukan. Ibuku keluar dari wilayah dapur yang besar.

"Iyaaa.. hati-hati. Daniswara.. jaga adikmu yaaa.." peringat Ibuku dengan melambaikan tangannya.

Aku tersenyum dan melambaikan tanganku juga. Bang Wara juga begitu. Memang rutinitas Ibuku setiap pagi adalah membuat masakan untuk catering. Ibuku memang memiliki usaha Catering sejak tujuh tahun yang lalu dan syukurlah sekarang cateringnya laris manis.

Karyawan catering Ibuku ada total 25 orang. Sudah sekalian dengan abang kurirnya. Langganan catering Ibuku bukan cuma rumah-rumah tetangga sekitar ataupun orang biasa. Tapi juga kantor-kantor perusahaan besar yang satu hari bahkan bisa memesan 20 sampai 30 makanan catering versi kotak bekal atau paket bento. Menu catering Ibuku lumayan banyak dan bisa request. Bahkan banyak wanita kantor yang memesan menu sehat yang kalorinya sedikit. Seperti nasi merah dengan lauk yang seimbang.

Ah, sudahi dulu bercerita tentang catering Ibuku. Sekarang aku dan Bang Wara baru saja sampai di halaman parkir rumah kami. Aku banyak bersyukur tinggal di rumah yang termasuk bagus. Rumah ini adalah rumah peninggalan Ayah untuk kami.

Rumahku memiliki luas bangunan 300 meter persegi dan dua lantai. Di jaman dulu Ayah sudah memiliki tanah rumah ini saja sudah bisa disebut kaya. Kalau jaman sekarang, mungkin biasa-biasa saja dan sudah banyak yang lebih dari ini kan?

Bagian rumah yang paling kusukai tentu saja kamarku. Bagian lain yang kusukai adalah bagian foyer rumah. Foyer rumah kami terbilang luas, terisi ruang tamu, etalase untuk menyimpan barang-barang unik, foto-foto pigura dan lukisan yang memenuhi dinding, dan juga berbagai macam vas guci dengan isian bunga dan daun kering. Lumayan instagramable. Aku sering rebahan di bagian ruang tamu sendirian dengan bermain ponsel atau menonton televisi. Ya, aku menyukai kesendirian.

"Sudah sampai. Pulang kuliah jam berapa?" Tanya Bang Wara yang menghentikan mobilnya dengan pelan.

"Seperti biasa. Jam setengah empat sore." Jawabku dengan malas dan memeluk tas backpack.

"Kujemput seperti biasanya juga."

Aku mendengus mendengar itu. Diantar oleh Bang Wara pasti satu jam lebih awal dari jam kuliah, dan dijemput Bang Wara pasti melebihi jam pulang kuliah. "Aku akan menelpon Kak Ravi saja. Aku akan pulang dengannya."

"Baiklah jika itu maumu. Pastikan pulang kuliah jangan ke mana-mana. Abangmu ini lelah kalau harus mencari alasan untuk jawaban dari pertanyaan Ibu."

Mendengar itu aku langsung nyengir. "Hehe iya Bang.. nanti aku pulang tepat waktu."

Bang Wara mengangguk. Aku pun juga langsung keluar dari mobil. Kulihat gedung A fakultas FEB sudah ramai dengan para mahasiswa. Aku tidak terlalu suka bergaul. Bahkan bisa dibilang aku belum memiliki teman yang sangat akrab di sini. Semuanya hanya sekedar kenal saja. Mengingat dunia kuliah memang banyak perbedaan usia diantara para mahasiswa.

Seperti biasa setelah diantar oleh Bang Wara, aku langsung menuju ke kelas Manajemen Keuangan. Kelas masih kosong. Tentu saja, ini masih jam delapan kurang lima belas menit. Karena aku termasuk mahasiswa yang malas untuk membuka buku lebih awal, sebagai gantinya untuk mengisi waktu yang masih panjang aku memilih tidur.

Rasanya menelungkupkan wajah di antara tekukan kedua lengan tangan sangat nyaman. Apalagi kelas masih kosong tidak ada orang.

Saat aku mulai tertidur, kurasakan lagi aku seperti melayang tanpa beban. Itu alam bawah sadarku. Suara detik jarum jam di telingaku rasanya sangat cepat dan cepat.

Dan tiba-tiba aku seperti melihat sesuatu. Seperti melihat sebuah gambaran area fakultas lain dan ada seorang pria yang duduk di bawah pohon beringin di area taman tunas bangsa. Gambaran itu rasanya seperti ditarik, dan tiba-tiba tubuhku serasa ditarik begitu dahsyat hingga dadaku rasanya agak sesak.

Kedua mataku terbuka dan aku dalam keadaan sadar. Kalian tahu sekarang aku ada di mana? Aku sudah terduduk di dudukan semen yang mengitari pohon beringin. Dan seketika aku membalikkan badanku. Tampak ada seorang pria yang duduk di sisi lain dengan mengenakan headset dan mungkin sedang mengerjakan sesuatu dengan memangku laptopnya.

Ada sesuatu yang tampak bercahaya di leher pria itu. Cahayanya keemasan. Tak terasa ternyata langkahku mendekati posisi duduk pria itu. Tentu saja pria itu tampak kebingungan dengan kehadiranku. Wajahku sendiri mungkin juga tampak seperti orang bingung atau linglung.

"Mas, saya di mana ya?" Tanyaku dengan polos.

Pria itu mendongak dan menatapku seperti orang aneh. "Lo siapa?" Tanyanya bingung.

"Ah, kenalin. Bellova dari Fakultas EkBis. Emm, kayaknya gue nyasar." Ujarku santai, berusaha tidak memperlihatkan raut wajah kebingunganku.

"Oh lo mahasiswa baru?"

Aku mengangguk. "Iya. Ini taman tunas bangsa ya?"

Pria itu yang gantian mengangguk. "Iya. Lo di sekitar fakultas FISIP. Bukannya jam segini Fakultas FEB udah mulai ya?"

Mendengar kalimat tanya itu sontak saja aku langsung melihat jam tangan arloji kecilku di pergelangan tangan kiri. APAA??! Yang benar saja!! Padahal tadi masih pukul delapan kurang lima belas menit. Kenapa sekarang sudah jam sepuluh pagi???

Apa aku gilaaa?? Tiba-tiba aku berada di area fakultas FISIP!! Tas bacpackku tentu saja ada di kursi di dalam kelas Manajemen Keuangan. Bagaimana mungkin aku bisa sampai di sini? Mana mungkin juga aku menyebrangi danau mahoni dengan berjalan kaki? Kalaupun berjalan kaki lewat jalanan kendaraan menuju fakultas FISIP ini, butuh jarak 600 meter dari fakultasku.

Aku melamun dan masih tercengang. Apa yang baru saja kualami? Pria tadi melambaikan jemari tangannya di depan wajahku dan ia berdiri. Menatapku yang mungkin terlihat aneh dan kebingungan.

"Lo gapapa?" Tanyanya.

Aku menggelengkan kepala dengan pelan. "Ah, gapapa. G-gue kayaknya harus balik ke fakultas gue." Ucapku dengan sedikit terbata. Rasanya aku butuh minum.

*****

TEMPUS 3 : Hal Yang Bercahaya

"Lo gapapa?" Tanyanya.

Aku menggelengkan kepala dengan pelan. "Ah, gapapa. G-gue kayaknya harus balik ke fakultas gue." Ucapku dengan sedikit terbata. Rasanya aku butuh minum.

Pria itu terlihat terbengong-bengong. Apalagi aku sendiri. Rasanya kondisiku sekarang sudah mirip orang gila yang sedang linglung. Kalung yang ada di leher pria itu masih mengganggu pandanganku. Cahaya keemasannya mencolok. Apa hanya aku yang melihat kalung itu bercahaya keemasan? Sebenarnya kalung itu ingin kupegang, tapi tentu saja aku tidak berani. Nanti bisa-bisa aku ini dikira ingin menjambret.

Aku menganggukkan kepalaku untuk kode permisi. Pria itu juga mengangguk dengan sopan. Tampan sih, namun aku tidak kenal siapa dia. Tentu saja aku tidak kenal. Fakultasku saja jauh letaknya dari area fakultas FISIP ini.

Pikiranku jadi ke mana-mana. Aku merasa diriku ini jadi tidak normal. Jujur, ini kali pertamaku mengalami teleportasi. Badanku benar-benar seperti ditarik oleh sesuatu. Seperti ada portal khusus yang mirip lubang hitam angkasa yang menyedotku tadi. Dan sekarang tubuhku agak meriang dan panas dingin.

Dengan terpaksa aku harus berjalan kaki menuju kembali ke fakultas ekbis. Mungkin aku akan duduk di kafe dulu. Ah, tidak bisa. Tas dan ponselku berada di kelas. Aku tidak bisa membeli sesuatu tanpa uang.

Tenggorokanku kering sekali rasanya. Jalan kaki ke fakultas ekbis jaraknya lumayan jauh. Karena harus memutari danui mahoni dari sisi kiri. Kusabarkan saja hati dan tenagaku. Sedikit bersyukur aku tidak berteleportasi ke tempat lain, kota lain, atau negara lain. Kalau seperti itu ceritanya nanti aku bingung bagaimana harus pulang. Konyol sekali bukan?

Setidaknya hanya butuh waktu sekitar tiga puluh menit untuk sampai ke gedung A fakultas ekbis. Napasku tentu saja sudah terengah-engah. Keringat membanjiri bagian dalam dadaku dan leherku basah. Terpaksa aku menunggu dulu dengan duduk-duduk di anak tangga depan gedung A.

Aku harus menunggu kelas pertama selesai. Sebal sekali kalau sudah melewatkan satu kelas. Karena aku paling tidak suka bertanya ke teman lain apa yang dibahas tadi. Dengan duduk sebentar begini rasa hausku setidaknya jadi berkurang. Angin semilir dengan segera berhembus pelan di sekitar tubuhku. Membuat keringatku sedikit demi sedikit jadi hilang. Badanku jadi ringan kembali dan napasku kini sudah teratur.

"Nih tas lo. Kok lo tinggalin gitu aja sih?"

Sontak saja aku kaget dengan suara itu. Ternyata Sera yang menuruni anak tangga dan memberikan tasku. Tentu saja aku menerimanya langsung.

"Ah, Sera. Kelas udah selesai?" Tanyaku.

Sera mengangguk dan mengambil duduk di sebelah kananku. Dia sepantaranku umurnya dan juga masih semester pertama. Namanya Serafina, panggilannya Sera. Sera orang blasteran Indonesia dan Jerman. Rambutnya asli cokelat kepirang-pirangan dan agak curly.

"Iya. Dosennya mendadak ada urusan. Kelas di stop gitu aja." Kata Sera.

"Lah terus? Gak ada kelas hari ini?"

Sera mengangguk. "Kelas ketiga kan ada Bu Lusy. Tapi masih nanti jam satu siang. Ke mana gitu yuk Bell, lo sama gue aja. Makan." Ajaknya dengan langsung berdiri.

Sebenarnya aku malas sekali diajak seorang teman. Aku juga kurang suka dan kuranh nyaman saja dengan Sera. Aku tidak terlalu akrab dengan gadis ini. Tapi sejak awal masuk Manajemen, Sera seperti berusaha akrab denganku.

"Boleh. Ke mana? Gue gak mau jalan terlalu jauh ya." Pintaku karena kakiku sudah pegal dan tidak ingin lagi menuju ke tempat yang jauh.

"Ke kantin FEB aja lah.. ngapain juga jauh-jauh."

Mendengar ajakan itu aku kali ini hanya bisa pasrah saja. Padahal tidak terlalu jauh letaknya, tapi kakiku berasa mau copot saja. Bukannya aku akrab dengan Sera ya, aku hanya merasa sangat lapar saja. Dan karena Sera sudah baik memberikan tasku yang isinya masih lengkap, jadi kali ini aku mau makan dengan Sera.

Suasana di kantin FEB tidak terlalu ramai. Banyak meja dan kursi yang masih kosong. Hanya ada beberapa kelompok mahasiswa yang makan di sana. Dengan segera aku memesan lontong sayur dan es teh. Sepertinya lontong sayur sangat pas untuk perutku saat ini. Di sini porsinya lumayan banyak sampai bisa munjung di piring dan diberi kerupuk udang. Hmmm, aku pasti akan makan dengan lahap saat makanannya tiba.

"Lo tadi ke mana Bell? Gak biasanya lo ninggalin kelas." Ujar Sera saat minuman kami baru saja diantar ke meja.

"Ah, perutku sakit Ra.. lama di toilet." Jawabku asal.

"Oh gitu.. tapi kok lama banget sampe dosen kelas pertama kelar?"

"I-iya.. saking sakitnya jadi betah di toilet." Tuh kan, jawabku asal lagi. Sudahlah, aku ini tidak pandai berbohong. Tapi kalau Sera kuceritakan detailnya, pasti dia akan menganggapku orang gila.

Sera mengangguk saja kemudian gadis itu menyedot es jeruknya. Aku juga begitu, aku langsung saja menyedot es tehku dan habis setengah gelas. Rasanya tenggorokanku yang sempat gersang tadi kini menjadi sangat basah dan licin. Lega sekali.

***

Setelah makan dengan Sera dan sempat mampir ke coffee shop, aku dan Sera kembali ke kelas Manajemen. Bu Lusy belum datang. Tentu saja karena ini masih jam setengah satu.

Sera duduk di bangkunya sendiri. Dan aku kembali ke bangkuku yang ku tempati tadi pagi. Resiko kalau kenyang baru makan pasti mengantuk. Kali ini aku tidak ingin tertidur lagi. Sepertinya aku trauma dengan kejadian tadi.

Setengah jam waktu kugunakan dengan membaca buku pengetahuan saja. Sampai Bu Lusy masuk kelas dan menginterupsi semua mahasiswa. Tentu saja kegiatanku membaca buku pengetahuan lain kuhentikan.

Lima belas menit mengikuti pengajaran Bu Lusy aku tenang-tenang saja. Materi yang diberikan beliau kudengarkan dan kupahami sambil sesekali kutulis point-point pentingnya saja. Namun, memasuki setengah jam atau tiga puluh menit pengajaran Bu Lusy tiba-tiba telingaku berdenging sangat nyaring di gendang telinga.

NGGGIIIIIIIIIIIIINNNNGGGGGG....

Otomatis aku memejamkan mata dan menutup kedua telingaku dengan telapak tangan. Rasanya malah semakin kencang saja bunyi 'nging'nya. Sesekali aku membuka mata dan mengecek keadaan sekitar, takut kalau semua mahasiswa di kelas jadi memperhatikanku yang tampak aneh.

Namun semua mahasiswa diam. Tidak ada yang memperhatikanku sama sekali. Seolah aku ini juga diam dan tidak kesakitan. Sebenarnya aku ini kenapa?

CTAK!!

Tiba-tiba sekitarku menggelap. Kosong. Tidak ada mahasiswa lain. Tidak ada manusia lain di sekitarku. Semua ke mana? Aku bingung. Kali ini aku benar-benar bingung dalam membedakan mana halusinasi mana yang nyata.

Aku masuk kembali ke ruangan kosong, hampa, dan tanpa gravitasi seperti yang ada di alam bawah sadarku. Tiba-tiba gambaran tentang kalung bercahaya yang dipakai pria tadi bermunculan. Seolah benda itu harus kuraih. Seolah aku diberi petunjuk untuk harus merasi kalung bercahaya keemasan tadi.

SPLASH!!

Aku kembali pada tempatku. Di dalam kelas. Bu Lusy masih saja mengajar. Semua mahasiswa diam dan anteng memperhatikan. Keringat dinginku sudah keluar di bagian leher.

Ingatanku langsung menjurus pada kalung bercahaya yang dikenakan pria tadi. Apa hubunganku dengan kalung milik orang lain? Haruskah aku mencari pria tadi dan bertanya tentang kalungnya? Oh Tuhan.... sepertinya aku ingin lari saja dari dunia ini..!

*****

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!