“Kenapa? Tumben mukanya kesel gitu. Ada hal yang se-menyebalkan apa di kampus?” Tanya Kak Ravi setelah mulai melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.
Ya, hari ini aku dijemput Kak Ravi lagi. Dan sepertinya tugas mengantar dan menjemputku akan dilimpahkan pada Kak Ravi. Karena Bang Wara sudah mulai padat sekali jadwal kantornya.
Aku masih diam dan bersedakap dada, lebih enak juga menatap suasana luar jalan raya yang dipenuhi banyak kendaraan lainnya.
“Lova!!” panggil Kak Ravi yang sepertinya sedikit kesal karena kuabaikan.
Aku pun menoleh ke kanan. “Aku tuh lagi kesel sama orang yang ada di kampus, Kak. Sumpah ngeselin banget pokoknya. Gak ada baik-baiknya sama sekali.” Gerutuku mengeluhkan hal itu.
“Hahaha, memangnya kenapa? Kesal sama siapa?”
“Aku lupa tadi namanya siapa. Pokoknya gak mau lagi ketemu sama cowok kayak dia!! Muka doang good looking, tapi kelakuannya gak ada sopan-sopannya.” Cecarku.
Kak Ravi tampak terbahak dan aku melirik sinis karena ditertawai seperti itu. “Hahaha astagaaa… jadi adikku ini sudah mulai dekat dengan pria lain selain kakak-kakaknya nih? Cihuuuyy, ada yang udah mulai dewasa nih. Ceritanya pasti PDKT ya?”
“Ish, apaan sih!! BUKAN!!” Seruku dengan kesal.
“Terus kenapa hayooo kalau bukan PDKT?”
“Ceritanya panjang Kak.”
“Ya kalau panjang, diringkas aja kan beres.” Balas Kak Ravi dengan tatapan iseng padaku.
Aku mendengus pelan. “Singkatnya, aku pernah teleportasi pertama kali di kampus, dan tubuhku ketarik gitu aja ke tempat di mana pria itu ada. Terus, kemarin aku coba belajar kontrol teleportasiku pake jam saku. Dan dua kali aku ketarik juga ke tempat di mana pria itu ada. Konyolnya, pria itu juga gak sengaja ngelihat aku pas aku habis teleportasi. Dan dia ngira aku nguntit dia. Karena di kampus pun jadi sering ketemu, mana aku udah dituduh sebagai penguntit!! Masalahnya udah kelar sih tadi dia yang bilang sendiri. Ya tapi aku masih kesel aja. Kok ada pria kayak gitu!!”
Kak Ravi tampak tersenyum saat kulihat. “Hadeeehh, itu mah emang yang salah kamu. Bukan pria itu. Di mana-mana, orang juga akan takut lah kalau terus ketemu sama orang asing secara tiba-tiba. Ya pantes aja kalau kamu dicap sebagai penguntit. Kalau kakak jadi dia, kakak juga akan bereaksi yang sama. Bakalan terus mencecar kamu sampai kamu ngaku penguntit atau bukan.”
“Iya aku tahu aku salah, tapi kan teleportasi ke tempat di mana dia berada juga bukan kendaliku. Bener-bener terjadi gitu aja, Kak Ravi!!” Tegasku.
“Paham. Tapi kan namanya juga orang lain dan gak kenal siapa dan bagaimana kamu, tentu dia akan bersikap seperti itu. Coba kamu sendiri yang mengalami hal seperti itu. Pasti kamu juga was-was dong kalau merasa ada yang menguntit?”
Aku terdiam saja karena tidak mau mengangguk. Memang perkataan Kak Ravi itu benar.
“Nah pria itu was-was saja dan kesal juga. Sudahlah, lupakan saja hal seperti itu. Mulai sekarang, intinya kamu harus waspada terus pokoknya. Belajar mengendalikan sesuatu yang belum bisa kamu kendalikan dengan baik. Karena setelah ini kakak yakin, kamu pasti akan segera mengalami banyak hal baru yang tidak terduga.” Ujarnya menasehatiku.
Kuterima nasehat tersebut. Aku pun mengangguk pelan dan emosiku mereda begitu saja. Baiklah, memang salahku. Dan aku tegaskan pada diriku sendiri, bahwa hal itu tidak akan terjadi lagi.
Lebih baik pikiranku segera kufokuskan pada suatu tempat saja nanti jika ingin berlatih teleportasi lagi. Aku tidak akan melihat ke layar dimensi yang menampilkan pria itu lagi.
***
Keesokan harinya. Aku berada di kampus lagi tentunya.
Saat ini aku baru saja memasuki area kampus, melewati gerbang dan memotong jalan melalui taman. Lalu sampailah aku ke gedung fakultasku. Langsung saja aku menuju ke jurusan Manajemen, dan mengarah pada kelas yang sudah terbuka lebar pintunya.
Namun kulihat Kak Andra sedang berdiri di depan sana. Seperti sedang menunggu seseorang. Aku pun tersenyum, berniat ingin menyapanya sejenak.
“Pagi, Kak Andra.” Sapaku dengan pelan, karena agak sedikit canggung bagiku untuk menyapa lebih dulu.
Pria bertubuh jangkung dan selalu memakai almamater kampus itu tersenyum ke arahku. “Pagi, Bell. Gue lagi nungguin lo.” Ujarnya.
Tentu aku merasa sedikit heran, ternyata Kak Andra menunggu kedatanganku. “Ada apa Kak?” Tanyaku sopan.
Dan Kak Andra langsung menyodorkan sebuah makalah fisik beserta flashdisk warna hitam. “Ini titipan dari Sera. Katanya kalian berdua emang satu kelompok dan ngerjain tugas makalah ini.”
Aku pun langsung menerima dua benda itu. “Ah, iya Kak bener. Tapi Sera ke mana ya?”
“Dia sakit, nggak bisa masuk hari ini. Kebetulan kan rumah gue dekat dengan rumahnya, jadi gue tadi bersedia mampir buat ngambil ini.”
“Oh gitu… Sera kok gak ngabarin gue ya Kak. Eh, tapi gapapa kok bukan masalah besar. Justru gue makasih banget karena Kak Andra udah bantu Sera dan nganterin ini ke gue Kak.”
Kak Andra mengangguk dan tersenyum. Seperti biasa senyumnya selalu menawan dan manis. “Iya sama-sama. Mungkin Sera lagi gak sering pegang ponsel atau pegangnya gak terlalu lama karena sakit. Gue pun dikabarin tadi pagi banget dan gue bales langsung tapi gak dia bales sampai gue dateng ke rumahnya.” Jelasnya dengan ramah.
Aku mengangguk paham. “Ah, iya Kak gue ngerti kok. Kalau badan lagi sakit emang bawaannya pengen jauh-jauh dari ponsel.”
“Haha iya bener. Ya udah gue cabut dulu ya, mau langsung ke kelas juga.”
“Iya, oke. Sekali lagi thanks ya Kak Andra.”
Dan tanpa diduga, respon Kak Andra jauh dari ekspetasiku. Tangan kanannya terulur menuju kepalaku dan ucapan kecil langsung terjadi. “Sama-sama. Sukses buat tugas kalian.” Ujarnya dengan meninggalkan senyuman manis.
Aku hanya bisa memasang senyum saja dan mengangguk. Tidak bisa banyak berkata-kata karena mungkin sekarang aku seperti es yang meleleh.
Saat Kak Andra sudah benar-benar pergi, aku langsung nyengir sendiri dan memegang kepalaku. Ouh, apa itu tadi? Kak Andra benar-benar sukses membuat degup jantungku agak liar akhir-akhir ini.
Ya, tipe pria idamanku itu seperti Kak Andra. Cowok yang terkenal kalem, pintar, cerdas, sopan, dan suka sekali membantu banyak orang. Dan Kak Andra itulah yang suka memimpin galang dana untuk orang-orang yang membutuhkan bantuan dana di luar sana.
Sudahlah, jika aku terus tersipu kedua kakiku tidak akan masuk ke dalam kelas. Yang ada nanti teman-teman lain akan aneh menatapku yang tampak senang sendiri. Kuputuskan untuk segera masuk ke dalam kelas dan duduk di bangku yang biasa kutempati.
Selang lima belas menit, kelas pun sudah penuh dan sang dosen pun masuk. Semuanya segera menyodorkan tugas makalah pada dosen itu, termasuk diriku. Dan pembahasan bab pada mata kuliah kali ini pun segera dibahas. Semuanya juga sudah mempersiapkan diri lagi, karena yakin setelah ini pasti akan menerima tugas baru.
***
Pukul setengah tiga sore, kelas terakhir pun selesai lebih awal. Ada diskon setengah jam yang cukup membuatku tersenyum senang. Karena aku sudah sangat haus, ingin sekali membeli minuman boba yang ada di sebuah stand di dalam kafetaria dekat sini.
Dan aku langsung berjalan menuju ke sana setelah keluar dari kelas. Membeli minuman boba itu pasti akan mengalami antri meskipun hanya tiga sampai lima orang.
Aku pun santai saja, dan urutan antriku adalah antrian keempat. Tidak terlalu lama saat maju menuju ke kasir dan segera pesan. Kunikmati saja waktu belasan menit dengan larut dalam pikiranku sendiri.
Tak lama, ada seseorang yang berdiri di belakangku saat aku mulai bergerak maju dan sekarang posisiku adalah antrian ketiga. Karena gerakan refleks, aku pun menoleh ke belakang. Seakan memiliki rasa ingin melihat siapa yang antri di belakangku.
Dan ternyata… pria itu lagi. Pria yang kemarin memutuskan untuk menyelesaikan masalah itu denganku.
Kami saling bertatapan lagi dan aku langsung melengos menghadap ke depan lagi seraya mendengus kesal.
“Emang ya. Kayak gak ada tempat lain di sini. Lo lagi dan lo lagi.” Ujar pria itu, namun kali ini kudengar nadanya tidak seketus kemarin-kemarin.
Aku tidak menyahut dan memilih bersedekap dada saja sambil terus menikmati waktu antrian.
“Bukannya masalah udah selesai? Lo ramah dikit juga boleh. Atau emang diri lo selalu keras juga makanya sekarang gak balesin perkataan gue?”
Aku mengernyit heran mendengar perkataan itu. Lalu kuputuskan untuk melirik ke arahnya. “Maaf ya kak, kakak memangnya siapa? Kalau memang masalah sudah selesai. Ya sudah, lagi pula kan kita memang tidak saling kenal.” Ujarku dengan formal.
Terdengar jelas bahwa pria itu mendengus dan tersenyum. Lalu tiba-tiba dia mengulurkan tangan kanannya padaku. Dia mengajakku berjabatan tangan.
Aku menatapnya dengan sangat ragu. Karena merasa takut dan heran juga dengan pria yang memiliki emosi berubah-ubah. Namun, pada akhirnya aku mau meraih tangannya. Kami pun resmi berjabatan tangan.
“Kenalin, nama gue Ivander Jarvis Wyman. Biasa dipanggil Jarvis. Kayaknya kita harus saling kenal.” Ujarnya memperkenalkan diri.
Aku belum bersuara, namun kulepaskan langsung tanganku darinya. Menyelesaikan kegiatan berjabatan tangan. “Kenapa lo memperkenalkan diri ya Kak?” tanyaku heran.
Pria itu terkekeh pelan. “Lo satu server sama gue sepertinya. Tempus Itinerantur, kan?” Tanyanya yang membuatku terkejut hingga otomatis mataku membulat lebar mendengar pertanyaan itu.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments