Dua hari setelah aku mendengarkan beberapa penjelasan dari Jarvis, aku sengaja untuk tidak menemuinya lagi. Jarvis pun sudah kuberitahu. Alasanku adalah supaya kakak-kakakku tidak ada yang curiga bahwa aku telah memiliki teman baru.
Juga karena Kak Elang yang kini selalu bertugas menjemputku, agar ia tidak menyinggung tentang Jarvis. Karena sudah pasti jika mereka tahu aku memiliki teman pria, mereka akan menginterogasiku sampai membuatku jujur.
Dan sore ini, aku ingin bicara dengan Bang Wara. Kebetulan kakak sulungku itu terlihat begitu santai. Sepertinya masalah pekerjaannya sudah baik-baik saja dan sekarang jadwalnya pun lebih longgar dari kemarin-kemarin.
Selesai mandi karena pulang dari kampus, aku langsung turun ke lantai satu. Meja makan masih sepi dan Ibu tampak sibuk di dapur untuk menyiapkan makan malam. Kali ini ada Kak Ravi yang iseng membantu Ibu, jadi aku tidak perlu ikutan, hihi.
Kulangkahkan kakiku menuju kamar Bang Wara yang terbuka. Si empu langsung menoleh begitu melihatku datang dan berdiri di ambang pintu kamarnya.
“Lova? Hai, lama tidak menemuimu. Maafkan abang ya, sibuk urusan kantor melulu. Sini masuk.” Ujarnya ramah.
Dan aku nyengir, lalu masuk. Langsung kurasakan elusan di kepalaku dari Bang Wara. Sepertinya suasana hatinya sedang baik. “Hmm, aku tuh juga gak berani ke sini tauk Bang. Takut ganggu abang. Emang sesibuk itu ya sama kantor?” Tanyaku, seraya aku mendaratkan pantatku di tepi ranjang Bang Wara.
Bang Wara terkekeh. “Kamu kelak kalau sudah kerja, pasti tahu sendiri. Yaah, begini lah. Di dalam pekerjaan pasti ada satu dan lain hal yang bisa memicu problem dan harus diatasi. Syukur sekarang sudah teratasi dan abang gak sesibuk itu lagi. Kamu gimana? Sudah paham cara kerja jam saku itu?” Tanyanya.
Aku mengangguk. “Sedikit demi sedikit sih Bang. Dan aku nggak kenapa-napa kok.”
“Teleportasi? Bisa ke mana aja?”
“Hehehe, bisa. Tapi belum sehebat itu, masih harus mengatur kontrol dalam diriku. Aku nggak nanya-nanya ke Kak Elang. Bukan takut sama dia sih. Lebih tepatnya masih sebel aja. Mukanya ituloh, bikin orang nggak mood ngobrol sama dia.” Ujarku gregetan.
“Loh, padahal abang sengaja loh nyuruh Elang yang jemput kamu. Abang juga udah cerita ke dia dan nyuruh dia bantuin kamu memahami cara kerja jam saku itu. Masa dia gak ada ngomong apa pun?”
Dan kini mulutku menganga. “Bang Wara serius? Ya elah, ngapain sih Bang nyuruh-nyuruh orang yang gak pernah care sama orang lain?”
“Jadi bener dia gak ada ngomong apa pun ke kamu?”
“Ish!! Abang ih!! Ya boro-boro ditanya, suasana mobil udah kayak penjagaan ketat narapidana!! Senyap. Dia cuman jemput, menyetir dengan baik, dan gak pernah tanya apa pun ke aku.” Gerutuku kesal.
Bang Wara terkekeh pelan. “Lagian kenapa kamu gak tanya-tanya duluan sih?”
“Dih, kan… tetep aku yang disalahin.”
“Abang nggak nyalahin Lova. Tapi kenapa nggak ada tanya sama sekali ke Elang? Kan kamu juga udah tahu kalau dia punya benda yang sama seperti kamu.” Ujar Bang Wara.
Aku bersedekap dada yang mendengus kesal. “Ya kan aku nggak tahu rencana abang kayak gitu. Udah tahu aku ini sulit banget komunikasi sama Kak Elang, malah dijadiin satu. Dan aku ke sini mau bilang ke abang, mulai sekarang aku gak usah dijemput lagi kalau pulang kuliah.” Tekanku.
Kulihat Bang Wara langsung mengernyitkan dahi. “Kenapa? Ngambek ya karena Elang yang kusuruh jemput?”
“Bukan karena itu kok. Sekarang kan aku udah bisa kontrol diri. Jadi fine fine aja kalau aku di luar. Gak bakalan lepas kendali, tenang aja. Aku udah merasa seperti manusia normal sekarang. Dan aku juga kepingin nggak dicap terlalu introvert. Biar bisa gaul sana sini dan habis kuliah bisa juga kerja kelompok barengan. Janji deh, pulangnya gak akan lewat dari jam delapan malam, itu kalau ada tugas. Kalau nggak ada, ya aku langsung pulang tepat waktu kayak biasanya.” Jelasku panjang.
Bang Wara belum menyahut, ia tampak berpikir dan diam sambil menatapku tanpa berkedip. Layaknya sedang mempertimbangkan jawaban yang cocok.
Pasalnya, Bang Wara memang anak sulung atau pertama. Jadi ia yang paling tua di antara ketiga saudara kandungnya, maka dari itu peran Bang Wara pun memang seperti seorang ayah atau kepala keluarga. Dan semuanya memang selalu menunggu keputusan dari Bang Wara.
Bang Wara, ibarat kepala suku dalam rumah ini, hahaha.
“Janji nggak akan ada pergaulan yang aneh-aneh?” Tanyanya.
“Astaga, aneh-aneh gimana sih Bang? Temenku di kelas, cuman satu yang akrab, Serafina namanya. Dan aku ijin kayak gini, karena gak enak juga kalau setiap tugas kelompok aku gak pernah bisa pulang molor. Kasian dong temen-temen yang satu kelompok sama aku. Bisa-bisa aku dicap sebagai orang yang bisa diajakin tugas kelompok. Terus kalau aku dikucilin di kelas gimana? Dengan alasan Bellova gak pernah bisa join kalau ada tugas kelompok. Endingnya, nanti aku yang jadinya gak punya temen kelompok. Pada jauhin semua gimana?”
Bang Wara tampak menghela napas. “Panjang bener omongannya. Usaha ngebujuk ya?” Tanyanya.
“Ish, nyebelin. Jujur banget sindiriannya!” Kesalku.
“Ya sudah, boleh.” Ucap Bang Wara dengan mudah.
Aku tentu langsung tersenyum senang. “Beneran Bang?”
“Iya lah, lagi pula kamu bukan anak kecil lagi. Abang tahu, kalau kamu juga ingin punya banyak pengalaman di luar sana. Lagi pula kamu memang baru memulai di dunia kuliah. Jadi mulailah mencari banyak teman dan menciptakan circle itu sendiri. Dan kalau sudah dikasih kepercayaan begini, tolong jangan dipatahkan kepercayaan ini yaa…” ujarnya mewanti-wanti.
“Hihi, siap abang!! Makasiiiihh…”
“Tapi kamu harus bener-bener hati-hati ya… jangan sampai kenapa-napa. Kamu juga harus tetep tanya ke Elang meskipun hal itu akan kamu lakukan kapan-kapan. Abang cuman mau kamu setidaknya tanya ke saudaramu sendiri. Kan kebetulan Elang punya benda yang sama kayak kamu.”
Mendengar permintaan itu, aku pun mengangguk. Tapi tentu aku tidak akan melakukan hal itu dalam waktu dekat. Entah jika ternyata Kak Elang mungkin yang menegurku lebih dulu untuk mengajak saling bicara.
Urusan meminta ijin tidak dijemput lagi, akhirnya berhasil disetujui Bang Wara. Dengan begini, aku bisa mulai berlatih dengan Jarvis.
Meskipun sebenarnya aku sedikit takut, namun jika tidak mengumpulkan keberanian, apakah aku akan terus diam? Diam saja tidak memberikan sebuah perubahan. Lagi pula ini demi Ayah. Hidup selama 18 tahun, aku benar-benar tidak merasakan peran Ayah.
Ayah meninggalkan kami semua saat umurku masih 2 tahun. Dan tentu kala itu memoriku belum sekuat itu mengingat bagaimana kondisi sekitarku.
Jika penjelasan Jarvis memang benar, maka aku hanya bisa terus merapal do’a dalam hati. Semoga di mana pun Ayah berada, aku akan bisa menemukannya dan membawanya pulang kembali ke rumah.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments