TEMPUS 10 : Terus Bertemu

“Ah, engg… anu Mas, g-gue-----”

“Mas mes mas mes! Gue bukan mas-mas penjual nasi goreng. Lo mahasiswa di kampus yang sama gue kan? Lo yang tadi siang nyasar ke taman tunas bangsa kan? Jawab.” Pintanya dengan tegas.

Aku pun langsung mengangguk. “I-iya…”

“Panggil ‘Kak’ bukan ‘Mas’!! Gue itu kakak tingkat lo! Sembarangan aja.” Ujarnya yang bagiku begitu galak.

“Ah, sorry deh Kak. Gue gak sengaja ke sini soalnya.” Ujarku yang masih merasa gugup.

Wajah pria di hadapanku itu tampak kesal, sepertinya dia sangat risih. “Gak sengaja? Jadi sejak masuk ke perpustakaan tadi juga gak sengaja? Sebenernya apa sih yang lo mau dari gue? Aaah, apa lo tim horenya Freya?”

Ditanya begitu tentu aku langsung mengernyit bingung. “S-siapa Freya?” Tanyaku.

“Alaah, gak usah sok nggak ngerti. Freya yang bikin tim hore buat bikin gue mau jadi ketua BEM kan? Dan lo yang ditunjuk dia buat ngejar-ngejar gue supaya gue yakin mau jadi ketua BEM? Ogah ya!! Gue paling nggak suka berhubungan sama banyak orang. Dan sebaiknya lo buruan pergi, atau gue yang tegasin langsung ke kantor dekan?”

Aku langsung melotot. “Eh, enak aja!! Lo yang salah paham ya Kak!! Ngapain juge gue ngejar-ngejar lo dan mau-mau disuruh buat ngeyakinin lo? Lagian ya, lo itu gak cocok jadi ketua BEM!! Ketua BEM gak akan bertingkah galak kayak lo!”

“Cewek gila! Sana pergi!!” Usirnya yang sepertinya tidak percaya dengan perkataanku.

Tentu aku jengkel, maka dari itu aku langsung emosi dan membalas perkataannya. “Lo yang gila. Ngapain juga kepedean ngira gue adalah tim hore? Kita beda fakultas!!” Balasku. “Dan kakak aja yang pergi!! Lagian ini trotoar buat orang umum!!!” Sambungku dengan kesal.

Tampaknya pria itu juga sangat kesal, hingga dengusan dari hidungnya terdengar jelas olehku. Tangan kirinya yang menenteng kantong plastik putih berisi beberapa buku itu terlihat mengeras.

Tentu aku kini merasa ciut. Takut juga jika dia bertindak buruk padaku karena tidak terima dengan perkataanku.

Tapi syukurlah, pria itu langsung berbalik pergi.

Aku langsung menatap jam saku yang kini jarum jam yang panjang sudah menunjuk ke angka enam. Sekarang pukul setengah sembilan malam, berarti sepuluh menit sudah aku berada di tempat tujuan teleportasi.

Langsung saja aku kembali memejamkan mata dan menetapkan ingatan area kamarku dalam pikiranku.

SLAP!!

Aku langsung kembali berada di kamar, terduduk lagi di atas ranjang, namun kedua kakiku tampak kotor karena terkena pasir.

Napasku memburu karena masih kesal perihal tadi. Namun kusempatkan untuk mengintip apa yang terjadi selanjutnya, dengan cara memejamkan mata dan fokus hingga aku kembali lagi ke ruangan tanpa gravitas itu.

Kulihat pada layar dimensi yang menunjukkan di mana pria itu tadi berada. Ternyata sekarang ia tampak kebingungan mencari di mana keberadaanku. Rupanya ia menyempatkan diri untuk menengok ke belakang dan mengecek diriku.

“Hahahahahha, gue kayak hantu deh.” Gumamku dengan tertawa renyah. Astaga, bagiku semua itu sangat lucu.

Kuletakkan kembali jam saku milikku ke samping bantal tidur. Lebih baik kusudahi saja percobaan malam ini. Efek sampingnya ternyata membuat tubuhku cepat lelah dan mudah mengantuk.

“Tapi nyebelin banget sih kakak tingkat tadi. Semoga gak ketemu di kampus deh.” Harapku. Akan tidak enak sekali jika sampai bertemu dengannya di kampus. Bisa-bisa dia menginterogasiku dengan banyak pertanyaan yang aneh.

***

Dan pagi ini, aku berangkat kuliah diantar oleh kakak ketigaku, yakni Kak Ravi. Kebetulan Bang Wara sudah berangkat lebih pagi tadi. Kata Ibu, abangku itu ada rapat mendadak yang baru terjadwalkan kemarin malam dan baru dibaca Bang Wara tadi pagi.

Pantas saja tadi Bang Wara sampai tidak ikut sarapan.

“Sudah ngobrol sama Bang Wara?” Tanya Kak Ravi.

Aku mengangguk. “Sudah.”

“Wah, ngobrol apa saja?”

“Banyak. Aku juga sudah membuka kotak dari Ayah.” Ujarku memberitahu.

Kak Ravi tampak menoleh padaku sejenak. Raut wajahnya terlihat terkejut. “Woaah!! Beneran dek?”

“Iya, serius. Nih punyaku.” Aku pun langsung menunjukkan jam saku yang baru saja kurogoh di saku jaket kulitku bagian kanan. Menunjukkan benda itu pada Kak Ravi.

“Jam saku?” Tanyanya.

“Iya.”

“Sama kayak punya Kak Elang berarti.”

“Memang.” Sahutku langsung.

“Hahahaha, hati-hati saja. Pasti ada waktunya kamu harus bertanya ke Kak Elang. Kan benda milik kalian itu sama.”

Aku langsung saja cemberut. “Puas sekali Kak ketawamu itu. Kayaknya seneng banget kalau aku harus berhadapan sama Kak Elang.”

Kulihat Kak Ravi nyengir. “Hahahaha iya lah. Cuman kalian yang kayak musuh. Dan seru aja ngelihat kalian saling bertengkar. Udah sama-sama gede tapi masih aja suka ribut, hahahaha…”

***

Begitu mobil Kak Ravi melesat menjauh, aku pun melambaikan tangan kanan. Entah ia melihat atau tidak, yang penting sudah kebiasaanku memberi salam terakhir berupa lambaian tangan.

Saat hendak masuk ke perpustakaan kampus, tidak sengaja aku bersitatap dengan seseorang.

Ah, pria itu lagi. Pria yang kutemui sebanyak dua kali tadi malam. Dan sekarang pria itu tampak memakai topi hitam. Wajahnya begitu datar dan sinis saat menatapku.

Kuacuhkan saja, ia memang menuju keluar meninggalkan perpustakaan. Kalau aku baru hendak masuk ke perpustakaan. Sepertinya pria itu hobi membaca buku, tujuannya selalu ke perpustakaan, setahuku dalam dua hari ini.

Tujuanku ke perpustakaan memang karena aku sedang membutuhkan beberapa buku untuk kubawa pulang. Beberapa buku pengetahuan yang tentu berkesinambunngan dengan mata kuliah jurusanku.

Di dalam perpustakaan, aku sempat bertemu dengan Sera. Teman satu kelasku dan seangkatan. Namun dia hanya menyapa saja, setelah itu langsung pergi ke arah lain. Kubiarkan saja, karena aku memang tidak terlalu dekat dengannya.

“Bellova?”

Aku langsung menoleh ke kanan, menatap seseorang yang memanggil namaku dengan pelan. “Eh, Kak Andra?”

Seorang pria bertubuh jangkung, dengan rambut hitam cepak namun sedikit bergelombang. Senyumnya manis dan alisnya tebal tertata. Namanya Andra Wirawan, kakak tingkat jurusan ekonomi bisnis yang sama denganku, namun dia memilih akuntansi.

“Lagi mau pinjam buku juga?” Tanyanya.

Aku pun mengangguk, dan jujur aku sedikit gagal fokus dengan senyumannya. Membuat degup jantungku menjadi berdebaran. “Hehe, iya nih Kak. Kakak juga?”

Dia mengangkat tangan kirinya yang sudah membawa buku. Menunjukkan buku yang sudah ia dapatkan. “Iya, ini sudah ketemu.”

“Buat nugas juga kak?”

“Nggak sih, buat menambah pengetahuan aja karena memang nggak punya buku ini. Oh ya, lo nanti free nggak setelah kelas selesai? Denger-denger Pak Kris cuti hari ini jadi jam kuliah nggak sampai sore.”

Aku mengangguk. Mengetahui pengumuman itu juga dari grup chatting. “Ah, iya. Gue free kok kak, kenapa?”

“Mau makan siang bareng? Ada Sera dan lainnya juga kok.”

Aku diam sejenak, menimbang jawaban untuk ajakan itu. Tapi detik berikutnya aku merasakan tepukan pelan dari tangan kanan Kak Andra di lengan kiriku.

“Jangan kebiasaan sendiri melulu. Join sama yang lainnya juga. Gak baik kalau kurang friendly ke semua temen. Mau yaa…” ujarnya yang sedikit memaksa.

Alhasil, aku menganggukkan kepala. Tidak apa-apa, sesekali juga perlu makan siang bersama teman-teman satu jurusan. “Iya deh, boleh. Gue mau.” Jawabku.

*****

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!